Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 24 Maret 2021

Senandung #10

Cerita Bersambung
(side a)
Ancaman Bu Arifah tentang sang putri terngiang terus di telinga Senandung. Hatinya amat takut. Maka, saat Kiyan berkunjung diceritakan segala ancaman yang ditujukan padanya.
Namun, Kiyan justru menanggapi dengan santai. Dia menyarankan agar Senandung tidak usah terlalu memikirkan omongan sang Mama.

Akhirnya, walau hati masih masgul, Senandung mengiyakan saran Kiyan.
Senandung tengah bersiap menjemput sang putri di sekolah. Ketika dirinya tengah merapikan diri di depan cermin, ponsel di atas nakas bergetar. Matanya sedikit menyipit saat membaca nama yang tertera dalam layar. Alin. Sedikit heran karena gadis itu sudah jarang menghubungi.
"Hallo ...." Senandung menyapa.
"Hallo, Mbak Sena. Bira sekarang ada di rumah, aku tadi yang menjemput karena rindu. Mbak Sena bisa temui Bira di sini." Suara Alin di seberang.

TUTSH
Belum sempat Senandung menjawab, sambungan telepon sudah dimatikan. Maka, setelah menyambar tas slempang, wanita itu bergegas keluar rumah dan mengunci pintu.

Lima menit kemudian, taksi pesanan sudah datang. Setelah menyebutkan alamat, pak supir pun melajukan taksi ke alamat yang di tuju Senandung.

Sepanjang jalan, pikiran Senandung menerawang. Dirinya masih heran kenapa tiba-tiba saja Alin menjemput Gembira. Apa gadis itu tidak sekolah, pikirnya. Karena terus saja melamun, Senandung tak menyadari kalau telah sampai.
Sapaan pak supirlah yang membuat dia tersadar dari lamunan. Setelah membayarkan sejumlah uang, Senandung pun bergegas menuju rumah Adam. Dia mengetuk pintu pelan-pelan seraya memanggil nama Alin dan Gembira. Namun, sampai ketukan yang kesepuluh tak ada jawaban.

Ketika Senandung mendorong pintu, ternyata tidak dikunci. Maka, ia pun memutuskan untuk masuk.
"Alin ... Bira ... kalian ada di mana?" Senandung memanggil.

Karena tidak juga ada jawaban, Senandung melangkah menuju dapur. Namun, di bekas kamarnya dulu, terdengar suara orang merintih kesakitan. Itu suara Adam. Merasa penasaran, dia segera menuju arah sumber suara.
"Kak Adam?" panggilnya seraya mengetuk pintu kamar.
"Ss-si-apa?" desis Adam dari dalam.
"Sena, Kak."
"Ma-masuk, Na!"
Mendengar Adam menyuruh, Senandung segera mendorong pintu yang tidak terkunci. Terlihat Adam meringkuk di bawah selimut.
"Kakak sakit?"

Senandung mendekat. Karena Adam tak lekas menjawab pertanyaan, dia duduk di tepi ranjang. Dibukanya selimut yang menutupi tubuh Adam.
Adam terlihat sedikit pucat. Namun, saat Senandung menempelkan tangan pada dahinya, tidak terasa panas. Lelaki itu bangkit duduk.
"Kakak sakit apa?" tanya Senandung perhatian.
"Aku sakit karena merindukanmu."

Jawaban Adam membuat Senandung tercengang. Dia semakin terkejut saat tangan Adam menyentak tubuhnya untuk mendekat.
"Kak, lepas! Apa-apaan ini?" Senandung meronta.
Wanita itu berhasil melepaskan pegangan tangan Adam. Tanpa membuang waktu, wanita itu bangkit berdiri bersiap keluar.
"Aku ke mari karena Bira dijemput oleh Alin. Di mana mereka sekarang?" tanya Senandung kesal.
"Sepanjang waktu aku hanya memikirkanmu, tapi kenapa tak sedikit pun kau memikirkan aku, Sena?" Adam balik tanya dengan nada yang memelas.
"Kenapa harus repot memikirkan aku? Rujuklah dengan Mbak Ratna, Kak!"
"Karena aku sangat mencintai kamu, Sena."

Kembali Adam merengkuh tubuh ramping Senandung dalam dekapan yang erat. Membuat wanita itu susah bergerak dan bernapas.
"Lepas, Kak! Apa-apaan, sih?" gertak Senandung keras.
Senandung meronta dengan geram. Namun, tenaganya tak cukup kuat untuk melepaskan diri.

"Sena!"
Seketika Senandung dan Adam menoleh ke arah sumber suara. Betapa terkejut Senandung melihat sudah ada Kiyan dan Bu Arifah di ruangan itu.
Adam sendiri langsung melepas Senandung dari dekapan, begitu melihat Kiyan datang tatapan tajam padanya.
"Kiyan? Kenapa bisa ada di sini?" tanya Senandung heran.
"Aku yang seharusnya bertanya. Kenapa kau ada di kamar Adam, Sena?" tanya Kiyan masgul.
"Itu ... itu karena aku mau menjemput Bira di sini, tapi ...."
"Wanita seperti ini yang kau harapkan sebagai calon istri, Kiyan?" Bu Arifah memotong ucapan Senandung yang terbata.
"Kiyan. Apa yang kau lihat, tidak seperti kau pikirkan!" ujar Senandung meyakinkan Kiyan.
"Tapi ini di kamar Adam, Sena. Kalo kau ada perlu dengan dia, masih banyak tempat lain, bukan di kamar. Sungguh aku kecewa, Sena," ujar Kiyan getir.

Kemudian tanpa berkata lagi Kiyan pergi. Di saat yang bersamaan Senandung melihat, Bu Arifah dan Adam saling melempar senyum. Ini sungguh aneh. Hatinya yakin ada konspirasi di antara mereka berdua.
"Kiyan, tunggu!" cegat Senandung saat menyadari kepergian Kian.

Ketika Senandung akan mengejar Kiyan, kembali Adam menyergap. Sekuat tenaga wanita itu memberontak.
"Lepas!" teriak Senandung geram.
Senandung menginjak kaki Adam dengan wedgesnya, sehingga dapat terlepas. Namun, seperkian detik kemudian Adam sudah bisa kembali menyergap.

Ketika Senandung sedang berusaha melepaskan diri dari dekapan Adam, kalung yang ia kenakan terjatuh.
Mata Bu Arifah terbelalak melihat inisial liontin pada kalung itu, yaitu huruf A dan H. Diambilnya kalung yang tergeletak di lantai. Lalu ia mengamati secara saksama kalung Senandung.

"Kalung si-siapa ini?" tanya Bu Arifah. Dengan matanya dia menyuruh Adam melepaskan Senandung. Lalu dia menunjukkan kalung itu pada calon istri Kiyan dengan tangan yang bergetar.
Senandung meraba leher. Menyadari kalung yang biasa ia pakai dari kecil tidak ada, dia pun menjawab, "Itu punya saya."
"Ka-kau? Bagaimana Ka-kau bisa men-dapatkannya?" Bu Arifah kembali bertanya dengan suara yang terbata.

Senandung merebut kalung yang masih di pegang Bu Arifah. Dengan lantang dia menjawab, "Kalung murahan ini adalah peninggalan Ibu saya. Yang dia berikan saat hendak pergi meninggalkan keluarganya."
Senandung semakin heran melihat Bu Arifah mengucurkan air mata.
"Siapa nama ayah dan ibumu, Sena?"  tanya Bu Arifah antusias.
"Hardi. Sedangkan Ibu, namanya sama seperti Anda. Arifah. Sama-sama kejam. Dia tega meninggalkan saya yang masih sangat kecil dulu, demi mengejar lelaki kaya."

Senandung mengusap sudut mata yang mulai basah dengan punggung tangan. Lalu tanpa sepatah kata dia pun berlalu meninggalkan Bu Arifah yang tergugu dalam tangis.
'Apakah dia Senandung anakku?'
Tubuh Bu Arifah terhuyung. Beruntung dengan sigap Adam menangkap.

==========
(side b)

Sepanjang perjalanan pulang, Bu Arifah terus saja menangis. Dia tidak menyangka kalau ternyata Senandung adalah anak kandungnya, yang ia tinggal 19 tahun silam.

Masih teringat jelas dalam benak. Waktu itu umur Senandung masih 6 tahun, sedangkan Bu Arifah masih berusia 26 tahun. Hardi sang suami adalah seorang pengangguran berat.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Bu Arifah bekerja sebagai penyanyi di kafe kepunyaan Bapak Indra Saputra, seorang duda beranak dua. Karena memiliki wajah cantik banyak lelaki yang suka padanya. Salah satunya Pak Indra.
Berhubung sudah muak dengan sikap malas Hardi, Bu Arifah pun memutuskan untuk menerima cinta Pak Indra.

"Arifah ... jangan pergi, Sayang! Aku janji akan segera mencari pekerjaan."
Hardi  menghentikan langkah Arifah yang telah bersiap pergi dengan menggeret koper. Lelaki itu berlutut pada sang istri agar tidak meninggalkan keluarganya.
"Jika kau pergi, bagaimana dengan nasib Sena, Fah?" Hardi mengiba pada sang istri.
"Sena anak yang kuat. Dia pasti bisa menjalani kehidupan tanpa aku," jawab Arifah muda tegas. Lalu Arifah segera melepaskan pegangan tangan suaminya pada kaki.

Di teras Senandung kecil yang tengah asyik bermain boneka. Bocah itu heran melihat Ibunya menggeret koper.
"Ibu, mau ke mana?" tanya Senandung segera.
"Ibu mau berangkat kerja, Nak," jawab Bu Arifah dusta.
"Kalo kerja kenapa musti bawa koper? Ibu mau ke mana? Sena ikut."  Senandung merengek sembari memegangi tangan sang ibu.
"Sena di rumah saja sama Ayah, ya!" pinta Bu Arifah.

Lalu wanita itu melepas kalung yang ia pakai dan mengenakannya pada leher Senandung.
"Kalung ini adalah mahar dari Ayahmu dulu buat Ibu. Sena tolong jaga, ya! Sekarang Ibu harus pergi," pesan Bu Arifah.

Lalu setelah mencium pucuk kepala Senandung, Bu Arifah melangkah pergi. Tak dihiraukan panggilan Senandung dan suami. Bahkan, ketika dia melihat sang anak berlari mengejar taksi yang ditumpangi. Ia tak peduli.
"Ibu ...."

Teriakan pilu Senandung dulu kembali terlintas di benak Bu Arifah. Wanita itu semakin tergugu dalam tangis. Baru sekarang dia merasa amat menyesal.

'Harni. Dia bisa memberikan jawaban yang tepat.' Bu Arifah bergumam.
Dia teringat adik Hardi yang merawat anaknya dulu. Segera dia menyuruh sang supir untuk putar balik menuju tempat Harni. Perintahnya dibalas anggukan hormat oleh sang supir.

Didorong rasa penasaran yang mendalam. Bu Arifah menyuruh sang supir untuk menambah kecepatan. Lelaki yang sudah terlihat beruban itu mengiyakan perintah sang majikan, sehingga tidak sampai satu jam mereka sampai tujuan.

Begitu Bu Arifah turun dari mobil. Bibi Senandung yang hendak keluar menatap heran padanya. Mungkin wanita itu tidak mengenali penampilan mantan kakak iparnya yang sekarang.

"Assalamualaikum. Apa kabar, Harni?" sapa Bu Arifah kalem.
Bibi Senandung menyipit berusaha mengenali siapa tamunya. Setelah mengamati secara saksama dari ujung kepala sampai kaki, barulah dia ingat lantas berseru,"Mbak Rifah?"
"Iya. Ini saya. Bagaimana keadaanmu juga Se-na?" Suara Bu Rifah terdengar parau saat menyebut nama anaknya.
"Mbak, masih ingat punya anak yang bernama Senandung?" Harni balik tanya dengan sinis.
"Tentu. Dia anak kandungku satu-satunya. Di mana dia sekarang?"
"Senandung yang malang. Aku sudah berpisah dengan dia selama enam tahun."
"Kenapa?" tanya Bu Arifah penasaran.

Bi Harni tidak segera menjawab. Wanita itu menghela napas dalam-dalam untuk mengumpulkan keberanian berbicara. Maka, setelah merasa siap. Dia pun mulai bercerita.
Harni bercerita bahwa Senandung terpaksa tinggal bersamanya saat berumur sepuluh tahun, karena sang ayah meninggal.
Kemudian dengan jujur Harni mengakui. Bahwa dirinya sering setress menghadapi permasalahan ekonomi yang mendera. Sehingga untuk melampiaskan kekesalan, wanita itu kerap berlaku kasar pada Senandung. Tak segan memukul bila sang keponakan sedikit saja melakukan kesalahan.

"Anakku ada tiga, Mbak. Laki-laki semua, sedangkan suamiku hanya seorang buruh pabrik. Dengan Sena tinggal di sini, beban kami semakin bertambah," ujar Harni beralasan kenapa dia sering galak pada Senandung.

Kemudian Harni juga bercerita. Betapa bahagianya dia, saat Senandung disunting oleh pemuda tampan yang kaya. Namun, kegembiraan itu tak berlangsung lama, karena ternyata mertua keponakan tidak memberi restu. Bahkan, Harni lebih bersedih lagi saat harus  menolak kehadiran Senandung  kembali ke rumah.

"Sungguh tak sampai hati menolak kehadiran Senandung yang tengah hamil muda waktu itu, tapi apa dayaku, Mbak. Karena bila menolak perintah Bu Ambarwati, suami dan anakku akan dipecat dari pabriknya."

Mata Harni tampak berembun setelah selesai bercerita. Terlihat dirinya begitu sedih sekaligus menyesal. Kemudian dengan parau dia berkata, "Sejak saat itu, aku tidak pernah ketemu Sena lagi."
"Sena akan menikah dengan anak sambungku," ujar Bu Arifah pelan.
"Benarkah?" tanya Bi Harni bahagia.
Bu Arifah mengangguk lemah. Namun, dia tidak berani bercerita tentang kelakuan kejamnya pada Senandung.

Setelah merasa puas berbincang dengan Harni, dan juga karena melihat hari semakin gelap, maka Bu Arifah pamit pulang.
Di dalam mobil, pikiran Bu Arifah terus saja berkecamuk. Dia merasa amat menyesal. Kedua pipinya basah oleh air mata saat terkenang perpisahan dengan sang anak.
Kemudian, bayangan dirinya yang begitu tega mengancam Senandung agar menjauhi Kiyan, menyusul di benak. Wanita itu benar-benar merutuki kebodohan sehingga tergugu dalam tangis. Namun, yang lebih memilukan hati dia adalah saat mendengar semua cerita dari Harni.

"Maaf, Ibu. Kita sudah sampai."
Ucapan supir membuat Bu Arifah menghentikan sedu-sedannya. Wanita itu baru keluar dari mobil, setelah terlebih dahulu mengelap mata dan pipi yang basah oleh air mata dengan tisu.

Begitu sampai rumah, Bu Arifah disambut tatapan heran oleh suami dan Syifa yang tengah main ke rumah.
"Mama kok matanya merah gitu?" tanya Syifa perhatian.
Syifa segera bangkit dari sofa, untuk membimbing sang Mama duduk di samping Papanya.

"Ada apa, Ma?"
Kali ini Pak Indra yang bertanya. Pria itu heran melihat penampilan sang istri yang kacau dengan mata sembap.
"Senandung, Pa," jawab Bu Arifah getir.
"Kenapa dengan wanita itu?" sela Syifa sebal.
"Ter-nyata Se-na adalah anak kandungku, Pa," jawab Bu Arifah tersendat. Kembali dia menangis.
"APA !?"
Syifa tampak terkejut, tapi tidak dengan Pak Indra. Pria tua itu mendengkus pelan. Dengan datar dia berujar, "Sudah kuduga. Pertama lihat Sena, aku langsung teringat kau saat muda dulu. Di mana instingmu sebagai seorang ibu? Masa tidak bisa mengenali anak sendiri."
"Ya itulah bodohnya aku. Namun, yang paling kusesali adalah ... aku telah tega memfitnah dia," sesal Bu Arifah merutuki segala kebodohan.
"Maksud Mama apa?" tanya Syifa bingung.
"Aku berkonspirasi dengan mantan suami Ratna untuk menjebak Sena, agar Kiyan membenci dia," jawab Bu Arifah dengan suara yang serak.
Syifa dan Pak Indra terperanjat. Mereka saling berpandangan kaget.
"Aku memang seorang ibu yang jahat. Sudah menelantarkan, lalu kini menyakiti." Bu Arifah menampari pipi sendiri. Wanita itu benar-benar menyesal.
"Udah ... Ma!"
Syifa menghentikan aksi Bu Arifah. Segera dia memeluk ibu sambungnya dengan penuh kasih sayang.

"Sena yang malang. Sejak kecil sudah ditinggal ayah dan ibunya. Harus hidup dengan bibi dan saudara galak. Lalu saat menikah punya mertua yang jahat dan ...."
Bu Arifah tak mampu meneruskan cerita. Wanita itu terisak pilu.

"Lalu apa, Ma?" tanya Syifa penasaran.
"Senandung menjalani kehamilan seorang diri. Terlunta-lunta di jalan. Ibu macam apa aku ini?" Bu Arifah memaki diri sendiri.
"Bukankah dulu sudah berkali-kali papa peringatkan, agar Mama mengunjungi anakmu dan mengajaknya ke mari. Namun, kau selalu menolak. Seharusnya Mama tak perlu menyesal," tutur Pak Indra datar.  Setelah menghela napas yang terasa berat, pria itu kembali berujar, "Aku juga turut merasa andil berbuat dosa pada Sena, karena telah merebutmu dari tangan ayahnya."

Lalu dengan pelan, pria itu berjalan menuju kamar. Meninggalkan Syifa dan Bu Arifah yang setia dalam tangis.

"Kiyan mana, Syifa?" tanya Bu Arifah kemudian.
"Entah. Dari tadi hapenya susah dihubungi," jawab Syifa enteng.
"Ahh ...," keluh Bu Arifah semakin sedih. Kembali dia meremas rambutnya.

==========
(side c)

Hati Senandung amat sedih setelah merasa dijebak oleh Adam dan Bu Arifah. Hatinya semakin teriris karena Kiyan termakan fitnah keji itu. Air mata wanita itu mengucur membasahi kedua pipi.
'Kau sudah terbiasa menangis, Sena. Dan kau akan terus menangis bila memaksakan diri hidup bersama Kiyan,' gumam Senandung pada diri sendiri.
Senandung menghapus air mata, dalam hati sudah bertekad ingin melupakan Kiyan. Karena terus saja melamun, dia tak sadar kalau ternyata sudah sampai rumah. Di depan pintu, dirinya sudah disambut hangat oleh sang putri.

"Bunda dari mana aja?" tanya Gembira begitu melihat sang ibu datang.
"Bunda jemput Bira di rumah om Adam, tapi gak ada. Bira ke mana aja sama Mbak Alin?" Senandung balik tanya.
"Tadi mbak Alin jemput Bira di sekolah, terus ngajak main ke mall," jawab polos Bira dengan semringah.
"Oh. Ya udah masuk yuk!"

Ibu dan anak itu lantas masuk. Ketika melewati kamar Epa tampak gadis itu tengah berkemas seperti hendak pergi. Senandung yang penasaran segera masuk ke kamar sang kawan.

"Ep, mau ke mana? Pake bawa koper segala?" tanya Senandung heran.
"Eh, Na. Kau udah pulang? Iya nih. Aku musti balik kampung. Ibu sakit keras dan aku harus menjaganya."
"Berapa lama?"
"Emm ... selamanya." Epa menjawab dengan berat hati. Senandung yang mendengar menjadi semakin penasaran.
"Kenapa mendadak gini, Ep?" protes Senandung kesal.
"Maaf, Sena. Sebenarnya bukan mendadak. Sudah berungkali ibu menyuruhku pulang kampung, tapi aku saja yang tak peduli. Namun, saat kemarin paman telpon dan bilang kalo ibu sakit keras. Aku sudah tidak bisa menghindar," ujar Epa beralasan.
"Kalo begitu aku ikut," pinta Senandung kemudian.
"What? Hey ... kau mau menjadi seorang nyonya kaya, Sena. Nyonya Kiyan Bagus Saputra." Epa mengingatkan. Namun, dengan tegas Senandung menggeleng.
"Kenapa?" tanya Epa penasaran.

Lalu Senandung pun menceritakan penjebakan yang dilakukan oleh Bu Arifah dan Adam padanya. Serta kegalauan hatinya karena Kiyan termakan fitnah keji itu.
"Jahat banget sih, calon mertuamu itu?"  geram Epa.
"Maka dari itu, aku memutuskan ingin pergi jauh dari kehidupan Kiyan. Lagian bila dipaksakan bukan kebahagiaan yang kudapat, tapi penderitaan. Karena ibunya Kiyan tidak menyukaiku, sama seperti mamanya Ale."
"Iya juga sih. Tapi, ini kau serius mau ikut aku ke kampung?" Epa memastikan.
"Tentu. Lagian di sini aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi," jawab Senandung mantap.
"Ya sudah kalo itu keinginanmu. Kebetulan aku punya sepupu ganteng. Gak kaya sih tapi baik kok orangnya. Tar aku kenalin deh ma kamu." Epa mengedipkan satu mata bermaksud menggoda Senandung, tapi sang teman hanya mengerucutkan bibir. Malas menanggapi.
"Becanda, Na. Ya udah sekarang kau bersiap-siaplah karena kita akan berangkat pagi-pagi sekali!" Perintah Epa kemudian.
"Oke."

Senandung bergegas ke kamarnya sendiri. Dirinya pun berniat berkemas seperti Epa.
***

Keesokan pagi,

Pukul setengah enam pagi Senandung dan Epa sudah bersiap pergi. Karena Gembira masih tertidur, Senandung terpaksa menggendong putri kecilnya. Sementara Epalah yang menggeret kedua koper milik sendiri dan kepunyaan sang kawan.
Setelah berpamitan pada ibu pemilik kontrakan, kedua wanita itu bergegas menuju taksi yang sudah menunggu.

"Kau sudah siap, Sena?" tanya Epa begitu mereka masuk taksi.
"Sudah," jawab Senandung mantap, lalu dia mengeluarkan ponsel. Setelah itu membuang sim cardnya ke luar jendela taksi.
"Kenapa?" tanya Epa bingung.
"Aku ingin melupakan semua kenangan tentang kota ini. Dengan begini tidak akan ada lagi yang bisa mengganggu dan menghubungiku lagi."
"Ide yang bagus! Aku juga ah ...," kata Epa. Gadis itu pun membuang sim card ponselnya, "banyak kenangan di kota ini, tapi kenangan yang menyedihkan."
Senandung tersenyum mendengar ucapan sang kawan, tangannya terus saja mengelus rambut sang putri.

"Selamat tinggal Kiyan. Selamat tinggal Ale. Selamat tinggal bibi. Selamat tinggal Kak Adam dan Alin. Semoga kalian selalu berbahagia," ucap Senandung lirih. Air matanya menetes, tapi segera dihapusnya. Bahkan, dia menyuruh supir taksi mempercepat laju kendaraan menuju terminal.
***

Tiga jam kemudian,
Tampak mobil Range Rover hitam milik Kiyan datang ke kontrakan Senandung. Pemuda itu turun bersama sang mama. Namun, betapa terkejutnya mereka mendapati rumah kontrakan itu sudah kosong.

Mereka semakin shock saat sang pemilik kontrakan memberi tahu bahwa Senandung dan Gembira pamit pergi bersama Epa ke kampung halaman tiga jam yang lalu.
"Ibu tahu alamat kampung Epa?" tanya Kiyan antusias pada pemilik kontrakan.
"Waduh ... gak tau tuh, Mas."
Jawaban pemilik kontrakan membuat Kiyan dan Bu Arifah mengeluh kecewa.
"Coba kau hubungi hapenya Sena, Yan!" suruh bu Arifah segera. Kiyan mengangguk cepat. Segera dia mengeluarkan ponsel mahalnya dari saku. Bergegas dihubungi nomor Senandung.

♪Tulalit. Tulalit. Tulalit.♪
"Shit!" umpat Kiyan kesal.
"Kenapa, Yan?" tanya bu Arifah cemas.
"Hapenya Sena tulalit, Ma. Gak bisa dihubungi," jawab Kiyan sedih.
"Ya ... Tuhan. Coba kau hubungi nomernya temennya! Siapa itu namanya?"
"Epa?"
"Iya. Cepat, Yan!"
"Kiyan gak punya nomer dia, Ma," sahut Kiyan semakin sedih.
"Tuhan ... bagaimana ini? Bahkan Sena belum tau kalo aku adalah ibu kandungnya," sesal Bu Arifah sedih.
"Aku pun belum meminta maaf karena telah tidak mempercayainya." Kiyan pun turut menyesal.
"Sena ...."

Ibu Arifah meratap sedih. Wanita itu luruh ke tanah, sedangkan Kiyan hanya mampu mengatupkan rahangnya yang terasa kaku.

--- TAMAT ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER