Cerita Bersambung
(side a)
"Jo, ini program yang kamu buat, aku suka," kata pak Haris kerika memeriksa laporan Raharjo di akhir minggu itu.
"Terimakasih pak, sama saya mohon pamit karena besok pagi mau pulang ke Solo."
"Lho, ada acara apa kok tiba2 mau pulang ke Solo? Barusan juga Galang bilang mau ke Solo besok pagi. Ayah mertuanya sakit katanya."
"Benar pak, kebetulan kami ada keperluan yang bersamaan waktunya."
"Apa kamu mau dijodohkan sama orang tuamu ?"
Raharjo tersipu.
"Ada kerabat yang mau menikah hari Minggu pak, tapi Minggu sore saya sudah kembali."
"O, kerabatmu yang mau menikah? Terus kapan kamunya Jo?"
"Belum ada yang mau pak," jawab Raharjo tersipu.
"Masa belum ada yang mau? Kamu ganteng, kamu sudah mulai mapan, atau kamu yang terlalu memilih-milih?'
"Nggak pak, sungguh, belum ada yang mau."
Pak Haris tertawa.
"Boleh aku carikan? Aku punya keponakan-keponakan yang cantik lho. Bukan Widi, jangan khawatir, dia sudah aku coret dari daftar keluargaku," kata pak Haris yang tiba-tiba wajahnya berubah sendu. Bagaimanapun dia sangat kecewa mengetahui polah kemenakannya yang satu itu.
"Kalau sudah selesai saya mau pamit memesan tiket buat besok pak. Mas Galang sekaliyan nitip pesan juga buat keluarganya."
"Eit, tunggu, jangan kamu sendiri, akan aku suruh pak Bowo pesan buat kalian, dia sudah biasa ."
"Terimakasih banyak pak, saya bilang mas Galang lebih dulu."
"Galang sudah tau, biar kantor yang mengurusnya, sekarang kamu boleh kembali keruanganmu."
Raharjo mengucapkan terimakasih dan berlalu. Diliriknya Retno yang sibuk dengan pekerjaannya disudut ruangan. Ada harapan untuk melihat sedikit saja senyumnya, tapi mungkin pekerjaan Retno terlalu banyak, sehingga ia sama sekali tak mengangkat kepalanya dari laptop yang dihadapinya. Raharjo keluar dengan sedikit rasa kecewa. Lalu ia heran pada dirinya sendiri, sebenarnya apa yang diinginkan oleh batinnya.
Namun sepeninggal Raharjo, pak Haris bertanya pada Retno.
"Kamu sama sekali nggak ingin pulang ke Solo juga?"
Retno masih berkutat dengan pekerjaannya.
"Retno," panggil pak Haris lebih keras.
"Ya om,"jawab Retno terkejut,.
"Kamu itu kalau sudah bekerja lalu nggak bisa memperhatikan kiri kananmu lagi," tegur pak Haris.
"Ma'af om, baru mengetik surat yang tadi om berikan, katanya harus selesai hari ini."
"Aku bertanya, apa kamu juga ingin pulang ke Solo bersama mereka?"
"Lho, kan besok om Haris menyuruh saya kerumah."
"Oh iya aku lupa, tapi nggak terlalu penting, kalau kamu ingin pulang sehari dua hari juga nggak apa-apa, nanti kamu kecewa."
"Enggak om, kan bisa pulang kapan saja, sementara mereka baru ada keperluan yang mendesak."
"Sungguh nggak ingin? Aku lihat kamu seperti kecewa.."
"Om bisa saja.." jawab Retno lalu kembali menekuni pekerjaannya.
"Apa kamu pacaran sama Raharjo?"
Kali ini Retno terkejut. Tangannya berhenti mengetik, kepalanya diangkat, memandang kearah om nya dengan heran.
"Benar?"
"Aaap..apa om?"
"Kamu ini seperti nenek-nenek saja, diajak ngomong kalau belum dua atau tiga kali belum mengerti juga."
"Saya.. kurang mendengar karena...sedang.. menyelesaikan ini.." jawabnya sekenanya, padahal sungguh dia tadi mendengarnya dengan jelas.
"Aku bertanya singkat saja kok, apa kamu pacaran sama Raharjo?"
"Ap..pa.. pacar..pacaran?"
"Iya tidak?"
"Nggak om, sungguh, Raharjo itu kan pemalu om, sedangkan saya kan agak cerewet."
"Oh, ya.. ya..menurutku itu benar, dia itu pemalu, jadi harus ada yang mencarikan." kata pak Haris mengangguk-angguk. Retno kembali memainkan jari tangannya diatas keyboard laptopnya, sambil bertanya-tanya dalam hati, apa arti anggukan kepala om nya waktu itu.
***
"Bu, nanti kalau dokter visite, aku mau bilang bahwa aku ingin pulang." kata pak Broto ketika pagi itu ia baru saja membuka matanya. Kemudian ia mencoba duduk, wajahnya memang sudah memerah, tidak pucat seperti hari-hari sebelumnya. Kepulangan cucunya ternyata memberinya kekuatan dan semangat untuk bisa bangkit.
"Lho, kok bapak yang bilang, dokter dong yang menentukan boleh atau tidak bapak pulang. Kalau bapak sudah sehat, cek up semuanya bagus, ya pasti boleh pulang."
"Aku ini sudah sehat bu, kamu sendiri bilang bahwa cucuku akan datang, mengapa aku nggak boleh pulang?"
"Kalau memang bapak benar-benar sudah sehat, ya pasti boleh pulang. Jangan memaksa dong pak."
"Yang merasakan itu aku, aku ini sudah sehat, dan kamu tau bu, kalau aku tidak boleh pulang, berarti aku tidak boleh ketemu sama cucuku, untuk apa dia balik ke Solo?"
Bu Broto terdiam, memang benar, anak bayi mana boleh masuk rumah sakit.
"Ya sudah, nanti bagaimana kata dokternya, kalau bapak merasa sehat dokternya pasti tau kok."
"Ya sudah, ibu kumpulkan semua mainan-mainan ini, nanti aku yang akan memberikannya pada cucuku."
"Sudah pak, sudah dikumpulkan, nanti biar Sarno membawanya pulang."
"Aku mau mandi sekarang bu."
"Mandi sendiri kekamar mandi?"
"Ya iyalah mandi sendiri, apa ibu mau memandikan aku seperti bayi?" Pak Broto langsung merosot turun dari tempat tidurnya. Ketika bu Broto ingin memapahnya, pak Broto menolaknya.
"Aku sudah kuat bu, tenang saja."
"Baiklah, pelan-pelan jalannya, dan kamar mandinya nggak usah dikunci. Pakai air hangat lho pak."
"Ya, aku tau," kata pak Broto sambil memasuki kamar mandi. Bu Broto merasa lega, pak Broto berjalan mantap, tanpa dipapah. Ia segera menyiapkan baju pak Broto, yang kemudian disusulkannya kekamar mandi.
"Mudah-mudahan kedatangan anak cucunya benar-benar bisa memberi kesembuhan," bisik bu Broto penuh harap.
***
Raharjo sedang bersiap mau berangkat ketika ponselnya berdering.
"Hallo Jo, sudah siap?" suara Retno dari seberang.
"Sudah, ini sudah didepan rumah."
"Mau nungguin aku Jo? Biar aku antar kamu."
"Nggak usah Retno, kasihan kamu, aku sudah memanggil taksi on line."
"Bener?"
"Bener, jangan khawatir, tuh dia sudah datang."
"Hati-hati ya Jo, kalau bisa mampirlah kerumah."
"Iya pasti, kan kamu nitip sesuatu buat ibu kamu?"
"Ya sudah, terimakasih banyak Jo."
Sampai Raharjo naik kedalam taksi yang dipesannya, Retno masih wanti-wanti berpesan sama Raharjo.
"Hati-hati ya Jo."
"Iya, terimakasih, sampai ketemu Ret."
"Jangan lupa oleh-oleh buat aku ya Jo, serabi, ampyang, emping yang mentah saja, nanti aku goreng sendiri."
"Iya, aku masih ingat, kamu kayak nenek-nenek deh."
"Ih, jahat.. masa aku kaya nenek-nenek?"
Raharjo tertawa, kemudian menutup ponselnya. Sesugguhnya ia kecewa karena Retno tak ikut pulang bersamanya.
***
"Kamu sama simbok disini saja ya sayang sambil nungguin Raharjo. Kok belum sampai juga anak itu."
"Coba mas telephone dia, jangan-jangan kena macet dia."
"Hallo, Jo, sampai mana?"
"Oh, ini sudah hampir sampai mas, tenang aja,"
"Ya sudah, kirain lupa bangun." dan Raharjo tertawa diseberang sana
"Sudah hampir sampai, aku ngurusin ticketnya dulu, kamu sama simbok nungguin disini ya?" kata Galang kepada isterinya.
"Ya mas, aku mau beli pampers dulu disana."
"Jangan lama-lama, " kata Galang sambil bergegas meninggalkannya.
"mBok, kamu duduk disini saja ya, aku mau membeli pampers buat Adhit, lupa tadi mau beli dijalan. Lagian mas Galang tampak terburu-buru."
"Ya jeng, simbok duduk disini saja sama mas Adhit. Hm, tidur terus nih jeng, seneng mau ketemu eyangnya."
"Iya mbok, sebentar ya..jangan pergi kemana-mana, sambil nungguin mas Galang lagi ngurusin ticket."
Putri berjalan melenggang kearah sebuah toko yang tak jauh dari sana. Ia hanya ingin membeli pampers .
Simbok yang sedang duduk menunggu terkejut ketika seseorang menepuk pundaknya.
"Simbok !!"
Simbok menoleh dan terkejut.
"Lho, pak Raharjo?"
"Mana mas Galang dan isterinya?"
"Tuh.. lagi.. ngurusin apa, nggak tau simbok. Simbok disuruh nungguin disini. Sedangkan ibunya mas Adhit lagi beli pampers, tadi kelupaan," kata simbok.
"Hai, Adhitama, sayangku, sini mbok, biar aku gendong," pinta Raharjo sambil mengulurkan tangannya.
"Lagi bobuk lho pak.."
"Nggak apa-apa, jangan khawatir, dia tak akan terbangun. Aku hanya pengin menggendong saja kok. Hai sayang, ayo kita cari bapak kamu ya," kata Raharjo yang kemudian meninggalkan simbok sendirian.
"Hati-hati pak.."
Tapi tiba-tiba Adhitama merengek dan membuka matanya. Raharjo senang sekali melihatnya bangun. Ia mendekapnya dan menggendongnya berjalan menyusul Galang.
Putri sudah keluar dari sana dan kemudian merasa heran karena mendapatkan simbok ditempat duduknya semula tapi tanpa menggendong Galang. Selendang batik yang tadi dipakainya untuk menggendong hanya disampirkan saja dipundaknya.
"Aduuh, mbok, mana Adhit?"
"Itu, dibawa pak Raharjo," kata simbok sambil menunjuk kearah perginya Raharjo.
Putri duduk disamping simbok, memandangi punggung Raharjo yang sedang menggendong Adhit, mendekati Galang yang tampaknya sudah membalikkan badannya menuju kearahnya.
"Hei, Adhit, ikut siapa kamu? Hm, awas ya.. semoga kamu diompolin Jo, soalnya dia belum memakai pampers," canda Galang sambil mengajak Raharjo kembali menemui isterinya.
"Nggak apa-apa mas, kalau diompolin kan biar cepet ketularan," jawab Raharjo sambil mencium pipi Adhit.
"Sudah beres semua mas?" lanjut Raharjo.
"Sudah beres semua, kamu nggak bawa koper?"
"Nggak, cuma sehari saja, ya cuma bawa tas kecil ini, berisi sarung celana dalam, baju koko untuk ke kondangan nanti.."
Putri yang sedang menunggu suaminya merasa lega melihat Galang sudah bersama Raharjo. Tadinya takut terlambat, sementara ticket sudah diurus suaminya.
Tapi semakin mendekat kearah Putri, Raharjo terkejut, darahnya seakan berhenti mengalir. Wajahnya pias, apakah aku bermimpi? Perempuan cantik memakai celana jean ketat dan blouse warna pink dengan bunga-bunga biru, berkaca mata hitam besar, dan juga sedang memandanginya dengan mata terbelalak, bukankah itu Putri?
==========
(side b)
Walau suasana hiruk pikuk disekitarnya, tapi bagi Putri dan Raharjo semuanya terasa mencekam. Ada bayangan seperti mimpi, yang ternyata terpampang didepan mata. Putri merasa seakan sedang melayang diangkasa, tanpa pegangan. Kalau saja dia sedang berdiri pasti akan jatuh lunglai ke lantai. Telapak tangannya basah oleh keringat. Didepannya, Adhitama digendong oleh Raharjo, Teguh Raharjo, yang telah membuat benih menetes dirahimnya, dan benih itu adalah Adhitama. Tidaaak... itu anakku.. anak mas Galang.. teriak Putri dalam hatinya. Simbok yang tidak tau apa-apa segera berdiri mendekati Raharjo, meminta Adhitama yang masih dalam gendongannya.
"Sama simbok saja, cah bagus," kata simbok yang lalu menggendongnya dengan selendang yang sejak tadi tersampir dipundaknya.
Raharjo terpaku ditempatnya. Darahnya seakan berhenti mengalir, iapun limbung. Apakah yang didepan itu Putri kekasihnya yang hilang? Sorot mata itu, bibir itu, wajah itu, yang dulu selalu dirindukannya, lalu terpisah tanpa pesan dan kesan.. Ya Tuhan.. Kau pertemukan kami disini, apa maksudnya ini? Bisik batinnya yang merasa teriris.
"Jo, kok bengong, itu isteriku, ibunya Adhit.. " kata Galang yang melihat kekakuan itu. Ada rasa tak enak menghentak, seakan seorang laki-laki ganteng sedang menyukai isterinya. Memang isteriku kan cantik? kata hati Galang yang belum tau semuanya. Kurang suka juga melihat Raharjo menatap isterinya seperti melihat hantu.. eh bukan.. seperti melihat bidadari turun dari kahyangan?
"Putri...?" desis itu lirih bergetar dibibir Raharjo, namun Galang mendengarnya.
"Kamu mengenal isteriku?"
"Putri.... " bisiknya lagi lalu tangannya terayun kedepan, sambil berjongkok dihadapan Putri yang masih terduduk kaku.
Putri mengalihkan tangannya, sehingga tangan Raharjo jatuh ke pangkuan Putri.
"Teguh ?" hanya itu yang diucapkan Putri dengan lemah. Tapi segera Putri berdiri, membiarkan Teguh masih berjongkok didepan kursi yang tadi diduduki Putri.
"Ini suamiku.." kata Putri sambil mendekati Galang. Sekejap saja rasa terkejut itu, dan Putri segera sadar bahwa ia adalah suami Galang.
Teguh berdiri dengan lunglai. Matanya sayu memandangi Putri berdiri disamping Galang.
Galang tiba-tiba teringat ketika menghadap pak Haris beberapa hari lalu. KAMU, GALANG PERKASA, DAN KAMU TEGUH RAHARJO......
"Jadi Raharjo itu Teguh?" bisik Galang pelan. Putri pernah menceritakan perihal hubungannya dengan Teguh, sampai lahirlah seorang anak bernama Adhitama, yang dikasihinya bagai darah dagingnya sendiri.
"Ma'afkan aku mas," bisik Raharjo lirih.
"Kalau begitu... Adhitama adalah...." kata Galang yang kemudian dipotong oleh Putri.
"Adhitama putra pertama kami."
Galang hanya mengangguk, dan Raharjo seperti tak bereaksi. Sungguh sebuah kebetulan yang luar biasa ketika ia bersahabat dengan seseorang, yang ternyata seseorang itu adalah isteri kekasihnya. Aduhai.
Tiba-tiba panggilan dari pegawai bandara terdengar keras, bahwa penumpang pesawat Garuda dengan nomor penerbangat sekian, tujuan Solo harus segera bersiap menunggu di boarding room. Ketegangan batin itu terurai sebentar. Mereka bergegas masuk sambil membawa barang bawaan mereka. Putri menggandeng simbok agar bisa berjalan lebih cepat.
"Oh ya Jo, ini ticketmu, dan KTP mu," kata Galang sambil melangkah. Raharjo menerimanya dengan telapak tangan membasah, mata yang membasah, jiwa yang juga basah.
Masing-masing dari mereka memendam perasaan yang tak menentu, bahkan setelah naik kedalam pesawat, lalu turun dari pesawat. Tak ada suara, tak ada kata, kecuali berbicara dengan hati mereka masing-masing.
Putri bahkan lupa menelpone ibunya untuk minta agar Sarno menjemputnya.
"Mas, apa kita menunggu agar Sarno menjemput kita?" tanya Putri pelan.
"Naik taksi saja," jawab Galang singkat. Entah mengapa, Putri menerima jawaban itu seperti pisau tajam mengiris dagingnya. Apakah Galang marah?
"Mas, aku mau cari taksi bandara," kata Raharjo yang kemudian pergi meninggalkan mereka.
Tanpa berkata pun Galang juga memesan taksi bandara. Mereka menuju pulang kerumah tanpa kata ramah. Kekakuan suasana masih menyelimuti mereka.
***
"Bu, jam berapa mereka sampai? Kok tidak menelpon kita?" kata pak Broto yang bersiap meninggalkan rumah sakit. Sarno sudah mengangkat semua barang-barang perlengkapan pak Broto yang semula diperlukan sa'at opname.
"Ibu juga nggak tau pak, kemarin ibu sudah bilang, kalau sudah berangkat dari Jakarta, kabari ibu supaya ibu bisa suruhan Sarno untuk menjemput. Kok nggak ada kabarnya ya."
"Coba ibu telpone dia.."
"Kalau mereka masih didalam pesawa ya nggak bisa telepon pak, ditunggu dulu kabar dari mereka, sementara kalau bapak mau pulang sekarang ya ayo, pulang."
"Sebentar, jalannya pelan-pelan saja, sambil nungguin Sarno datang kemari lagi."
"Lha mengapa juga Sarno ibu suruh datang kemari."
"Ya biar bapak kalau jalan ada yang menuntun.. "
"Ibu itu menganggap bapak sudah loyo apa? Lihat, bapak masih bisa berjalan cepat, tegap, tidak loyo seperti kakek-kakek,"
Bu Broto memilih diam. Ia sudah tau kalau pak Broto bawaannya keras, tidak mau mengalah, dan tidak mau kalah. Dia juga tidak mau dibilang tua atau sakit-sakitan.
Pak Broto sudah berjalan duluan. Bu Broto mengawasi sekeliling barangkali ada barang yang tertinggal. Nah, itu kaca mata pak Broto kan, masih tertinggal diatas meja. Untung bu Broto melihatnya.
Ketika keluar bu Broto melihat pak Broto sudah berjalan jauh kedepan. Ia berpapasan dengan Sarno yang kemudian berusaha menggandengnya, tapi tangan Sarno ditepiskan dan pak Broto berjalan dengan gagahnya.
Dilihatnya Sarno mengangkat bahu, dan bu Broto tersenyum melihat ulah suaminya. Sarno menghampiri bu Broto dan meminta tas yang dibawanya.
"Bapak nggak mau digandeng bu," keluh Sarno.
"Ya sudah, No, biarkan saja. Dia itu kalau dikatakan sakit atau tua, nggak mau. Kita awasi saja dari belakang."
"Benar bu."
"Yang penting dia sehat No, apapun kita lebih baik ngemong, ngalah."
"Jeng Putri belum jadi pulang bu?"
"Lha ya itu, aku juga menunggu kabarnya, supaya kamu bisa menjemput ke bandara No, tapi kok nggak ada kabarnya. Nanti saja kalau sampai rumah aku telepon mereka, kalau sekarang takutnya masih ada didalam pesawat.
"Benar bu, nanti saya siap menjemput jeng Putri dan suami serta putranya."
"Itu No, bapak sudah mau masuk ke mobil," kata bu Broto ketika melihat suaminya sudah sampai di parkiran. Sarno segera ber lari-lari menghampiri.
***
Ternyata Galang dan isterinya sudah sampai dirumah lebih dulu. Mereka berdiri diluar gerbang karena gerbang itu digembok dari luar.
"Tuh mas, tadi harusnya kita menelpon Sarno," kata Putri sambil mengelap keringatnya.
"Jadi aku yang salah?" kata Galang tanpa senyum.
Putri sedih, sejak dari bandara sikapnya sangat kaku. Ia sudah berusaha memperlihatkan bahwa Galang adalah suaminya, dan itu ternyata belum cukup bagi Galang.
"Maas," Putri mendekati Galang, bergayut dilengannya.
"Aku telepone Sarno ya?"
"Terserah kamu saja," masih kaku jawaban itu. Putri hampir menangis, air matanya berlinang ketika dia menelpon ibunya. Galang melihatnya, ingin rasanya ia mengusap mata bening itu, tapi diurungkannya. Pertemuannya dengan Teguh membuatnya gundah. Galang masih ingat kata Retno bahwa Teguh masih mencintai Putri. Ia juga pernah mendengar sendiri dari Raharjo bahwa masih ada sisa sekeping cinta dihatinya terhadap Putri. Dan Putri itu adalah isterinya. Aduhai..Teguh Raharjo begitu gagah dan tampan, lebih tampan manakah Teguh dengan dirinya? Galang dibakar rasa cemburu.
"Hallo nduk, ibu sudah menunggu telepone mu dari tadi. Sudah berangkat dari Jakarta?" tanya bu Broto dari seberang.
"Bu, aku sudah didepan rumah," jawab Putri dengan suara lirih menahan tangis.
"Ya ampuun. Sudah dirumah? Ya sudah, tunggu sebentar. No, ayo agak cepat sedikit, mereka sudah dirumah, dan nggak bisa masuk pastinya. Kamu menggembok pintu gerbang".
"Iya bu, Sarno gembok, habis nggak ada orang."
"Waduuh, kasihan anak-anak itu."
"Cepat sedikit to No, kamu itu kayak orang lagi belajar nyetir saja." kata pak Broto menimpali.
"Ini sudah cepat pak, jalanan rame, lagian sudah hampir sampai tuh pak,"
"Mereka pasti kepanasan.." keluh pak Broto.
"Sabar pak, sebentar lagi sampai," hibur isterinya.
***
Pertemuan Putri dan ayah ibunya berlangsung sangat mengharukan. Pak Broto menggendong Adhit dan mendekapnya erat-erat didadanya.
"Kamu benar, gantheng seperti eyang kakungmu ya?"
Galang menyalami kedua mertuanya dengan mencium tangan mereka. Namun ia lebih banyak diam. Membiarkan kedua mertuanya sibuk menimang cucunya. Dan Galang merasa seperti orang asing. Bukankah Adhitya bukan darah dagingnya?
Putri ke belakang membuat minuman, sambil berurai air mata. Simbok yang menyusulnya sangat heran melihat tangis momongannya.
"Ada apa jeng? Kok nangis?"
"Nggak apa-apa mbok, Aku terharu bapak menyayangi cucunya." jawab Putri. Mana mungkin ia sesambat sama simbok-nya tentang keadaan yang menimpanya?'
"Sini biar simbok saja yang buat minuman," kata simbok sambil menyiapkan cangkir untuk membuatkan minuman. Walau simbok tau bahwa sesuatu sedang terjadi pada momongannya, tapi ia tak pernah ingin tau. Ia adalah abdi yang benar-benar abdi dan tak berhak mencampuri urusan majikannya.
"Ini mbok, ditata saja di meja, mereka kan belum sarapan. Aku sudah beli lauk mateng ini semuanya. Nggak ada waktu untuk memasak mbok." kata bu Broto sambil menaruh tas kresek berisi lauk dimeja.
"Oh, baik bu, taruh saja disitu nanti simbok menatanya," kata simbok.
Putri sudah kembali kedepan, dan duduk disamping suaminya. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu suaminya. Putri harus menunjukkan bahwa dia mencintai Galang, lebih dari apapun, dan Teguh adalah masa lalunya. Tapi Galang masih terlihat kaku.
"Bagaimana pekerjaanmu, Galang?" tanya pak Broto.
"Baik pakde," jawab Galang singkat.
"Kamu tampak lelah Galang, tiduran dikamar ya?" bu Broto yang melihat Galang tak bersemangat mengira menantunya lelah.
"Nggak apa-apa bude."
"Kamar yang didepan itu selalu rapi, bude bersihkan setiap hari seperti ketika isteri kamu masih disini. Ayo istirahat saja sana. Putri, ajak suamimu kekamar."
"Ayo mas," Putri menggandeng lengan suaminya. Galang menurut, lebih baik ia menyembunyikan rasa gundah yang dirasakannya daripada ikut berbincang dengan kedua mertuanya.
Putri mengantarkannya kekamar.
"Tiduran dulu mas? Mas Capai?"
"Aku baik-baik saja." jawab Galang singkat, yang kemudian merebahkan tubuhnya dipembaringan. Tapi ia menutup wajahnya dengan bantal. Putri sedih, ia merebahkan kepalanya didada suaminya, dan menumpahkan air matanya disana.
"Mas Galang, apa mas Galang marah sama Putri?"
Tapi Galang tak menjawab. Ia bahkan membiarkan baju dan dadanya basah oleh air mata yang membuncah.
"Mas Galang, aku mencintai kamu mas, hanya kamu yang aku cintai.." isak Putri memelas.
Indahkah hari itu?
Bersambung #25
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel