(side a)
Putri terus terisak. Tak tahan Galang mendengarkan tangisan itu. Perempuan yang dicintainya sepenuh hati, benarkah hanya dirinya yang dicintai? Bagaimana dengan laki-laki gagah dan ganteng dan baik hati.. bapaknya Adhitama? Benarkah Putri mengabaikannya?
Galang masih diamuk rasa cemburu. Kata-kata Retno masih terngiang ditelinganya, bahwa Raharjo masih mencintai Putri.
"Mas, mengapa mas Galang tidak mau mendengarkan aku? Aku hanya cinta mas Galang, sangat mas, aku sangat mencintai kamu," rintih Retno sambil mempererat pelukannya.
Galang meletakkan bantal yang semula menutupi wajahnya. Rambut isterinya tergerai lepas didadanya, menebarkan harum yang menggelitik rasa.
Perlahan Galang menyingkapkan rambut itu, lalu mengangkat kepala isterinya lembut.
Ditatapnya wajah cantik yang sembab oleh air mata dengan perasaan yang mengharu biru. Perlahan jemarinya mengusap pipi basah itu, lalu menariknya kedalam pelukannya.
"Mas Galang, jangan begitu, takdir mempertemukan kita, dan menciptakan cinta dihati kita. Jangan mengootori cinta itu dengan prasangka yang keliru."
Galang mengangkat wajah isterinya, menatapnya haru, bibir tipis itu bergerak-gerak, ingin mengucapkan sesuatu tapi keburu Galang mengecupnya lembut.
Tiba-tiba pintu diketuk dari luar.
"Putri, ajak suamimu makan dulu, simbok sudah menyiapkan dari tadi," kata bu Broto dari luar pintu.
Putri duduk, menarik suaminya agar ikut duduk.
"Ibu menyuruh kita makan," bisiknya kepada suaminya.
"Sebentar bu, mas Galang keburu tidur," teriak Putri. Tentu ia bohong. Ia hanya tak ingin memperlihatkan wajahnya yang sembab dihadapan kedua orang tuanya.
"Baiklah, nanti kalau sudah bangun, ajak dia makan ya."
Putri tak menjawab. Dipandanginya suaminya, masih tampak lesu. Barangkali tak mudah menghilangkan gundah kalau itu berhubungan dengan cinta.
"Makan ya mas?"
"Aku mau kembali ke Jakarta."
"Mass!!
"Sore nanti."
"Aku dan Adhitama?"
"Kamu tinggal saja disini dulu, eyangnya Adhit masih kangen."
"Mas, kamu tega mas? Kamu mau meninggalkan aku ?" Putri kembali terisak.
"Tidaaaak," kata Galang pelan, sambil memeluk isterinya.
"Tapi kenapa kamu pulang sendiri, meninggalkan aku dan Adhitama, apakah mas tidak mau lagi mengakui Adhitama sebagai anak mas Galang? Mas tidak lagi mencintai aku dan Adhit?"
"Aku mencintai kalian, tapi aku butuh menenangkan pikiran."
"Tapi mas.. sampai kapan?"
"Aku akan menjemput kamu nanti." Sekarang ayo kita makan, basuh wajahmu, aku mau pesan ticketnya dulu." kata Galang tandas, membiarkan Putri melangkah kekamar mandi, dan melanjutkan isaknya disana.
***
Bu Marsih gembira bukan alang kepalang, ketika melihat Teguh pulang. Segala masakan yang menjadi kesukaan anak lelakinya, ditata diatas meja. Tapi bu Marsih agak heran melihat wajah Teguh tampak sendu dan tak bersemangat.
"Ayo makanlah le, itu semua buat kamu," kata bu Marsih sambil menyendokkan nasi ke piring Teguh.
"Terimakasih bu," kata Teguh singkat sambil mengambil lauk sekenanya, yang penting ibunya tidak kecewa. Padahal sebenarnya ia sedang tak ingin makan.
"Le, ibu kalau melihat wajahmu itu kok seperti nggak bersemangat gitu ya, apa kamu sakit?" tanya bu Marsih sambil memperhatikan cara Teguh makan. Memang tidak lahap seperti biasanya.
"Masa iya sih bu, cuma perasaan ibu saja barangkali."
"Tapi kamu nggak sakit kan?"
"Nggak bu, sehat banget. Jam berapa nanti kerumah Naning?" tanya Teguh mengalihkan perhatian ibunya.
"Nanti sore saja le, biar kamu istirahat dulu, omong-omong sama ibu, cerita tentang keadaanmu di Jakarta, gitu lho le."
"Ya bu. Oh ya, oleh-oleh buat ibu aku taruh dimeja kamar lho bu," kata Teguh.
"Oalah le, pakai oleh-oleh segala, coba ibu liat ya le," kata bu Marsih sambil melangkah kedalam kamar.
Raharjo merasa lega. Sungguh ia sedang tak berselera makan, tapi dihadapan ibunya ia tak berani mengatakan apa-apa. Ia bahkan mencicipi semua lauk yang ditata diatas meja, walau sedikit-sedikit.
Ia masih merasa bermimpi ketika ketemu Putri, dan herannya lagi ternyata Putri itu isteri sahabatnya, Galang, yang berbulan bulan berteman dan belum pernah berhasil mempertemukan dirinya dengan isterinya. Ya Tuhan, ternyata dia.. kekasihku, yang hilang setahun lebih. Sekarang sudah punya suami dan seorang anak laki-laki yang sangat disukainya entah karena apa. Tentu Teguh tak mengira bahwa itu darah dagingnya, karena Putri sudah mengatakan bahwa Adhitama adalah anak pertamanya. Aduhai, Putri tampak sangat mencintai suaminya, mengapa harus sakit hati ini? Jerit hati Teguh. Walau cinta tinggal sekeping, tapi itu adalah cinta, sesedikit apapun, masih tersisa rasa itu, dan terasa sakitnya ketika mengetahui dia sudah menjadi milik orng lain.
Teguh mengakhiri makan sebelum ibunya kembali menghampiri dengan wajah berseri.
"Teguh, baju ini bagus sekali, pasti mahal ya le? Beli di Jakarta?" tanya bu Marsih sambil menempelkan kebaya warna biru tua berkembang merah kuning itu didadanya. Tapi beli di Jakarta? Tidak, ketika naik taksi dari bandara dia mampir ke butik yang kebetulan dilewati, dan membeli kebaya terbagus buat ibunya. Ia juga membeli roti yang enak, semuanya dibelinya di Solo karena ketika di Jakarta dia tak sempat belanja oleh-oleh buat ibunya. Hanya ada titipan sekotak kecil dari Retno untuk ibunya dan bekal satu dua baju yang dibawanya. Lalu Teguh Raharjo baru teringat kalau dia juga harus pergi kerumah Retno untuk mengantarkan titipannya.
"Namanya Jakarta ya le, barang-barangnya pasti bagus," kata bu Marsih sambil terus menimang nimang baju barunya.
"Nanti dipakai untuk resepsinya Naning ya bu."kata Teguh. Ia tak perlu mengatakan dimana membeli baju dan roti buat ibunya. Biarlah bu Marsih tetap mengira bahwa itu semua dibeli di Jakarta. Barangkali bu Marsih akan lebih suka.
"Ya, kamu benar le, hm.. ibu senang sekali ini.. terimakasih ya le," kata bu Marsih sambil memeluk anaknya dari belakang.
"Oh ya bu, Teguh mau kerumah ibunya Retno dulu setelah ini, takut kelupaan."
***
Tapi sebelum kerumah ibunya, dikamarnya Teguh menelpon Retno, rasanya ia ingin menumpahkan semua yang dirasakannya kepada Retno, hal yang dilakukannya sejak masih sama-sama kuliah dulu.
"Hallo Jo... sudah kangen-kangenan sama ibu kamu?" tanya Retno dari seberang.
"Seandainya kamu ikut bersamaku Ret...," kata Teguh sambil berdesah.
"Ada apa, suaramu kok sedih begitu?"
"Aku ketemu Putri."
"Apa?" tanya Retno agak keras, karena terkejut.
"Ya, aku ketemu dengan tak di sangka-sangka."
"Oh, apa Putri ada dirumahnya dan kamu nekat datang kesana?"
"Tidak, kami ketemu di bandara."
"Wah, senangnya Jo, aku ikut bahagia untuk kamu Jo, tapi suaramu kok sedih begitu? Putri nggak cinta lagi sama kamu?"
"Retno, dia itu bu Galang.."
"Apa Jo?"
"Isterinya mas Galang itu Putri Ret, dia.. sudah punya anak satu, bayi yang sangat aku suka itu."
"Ya Tuhan... ya Tuhan.. berbulan-bulan baru kamu tau Jo?"
"Kami sama-sama mau ke Solo, aku dan mas Galang, tapi dia mengajak simbok dan isterinya dan juga anaknya. Begitu sampai di bandara, aku melihat dia, dan mas Galang bilang, itu isteriku Jo.. Aku hampir mati karena terkejut Ret, aku hancur."
"Jo, mengapa kamu berkata begitu? Kamu bilang sudah melupakannya, cintamu tinggal sekeping, tapi sekarang kamu menyebut-nyebut mati segala, hancur lagi," omel Retno, padahal sesungguhnya Retno sendiri juga gelisah. Apakah Retno cemburu? Tapi Retno sangat pintar menyembunyikan perasaannya.
"Benar, cintaku tinggal sekeping, tapi sekeping itu kan rasa Ret... dan tetap aku merasa tersakiti."
"Kalau begitu kamu masih benar-benar cinta Jo, "
"Sekarang ini aku masih shock Ret, entah perasaan ini seperti apa. Pertemuan itu sungguh tak disangka. Bukan hanya pertemuannya, tapi kenyataan bahwa dia itu isterinya mas Galang, sungguh Ret... sampai sekarang aku masih merasa seperti mimpi."
"Lalu mas Galang bagaimana? Setelah mengetahui bahwa isterinyalah bekas kekasihmu?"
"Aku juga nggak tau Ret, dipesawat kami semua tak ada yang bicara, sampai turun dan masing-masing memesan taksi."
"Ya sudah Jo, kamu nggak usah galau, ini kenyataan yang harus kamu hadapi. Apa kamu mau menangisinya? Ayolah Jo, bangkit dan semangat, cinta tak harus memiliki bukan? Dan kamu harus bahagia melihat Putri sudah hidup bahagia bersama suaminya. Begitu bukan cinta sejati itu?"
Raharjo terdiam, tak seharusnya menangisi sesuatu yang tak mungkin diraihnya. Raharjo tak tau, bahwa setelah pembicaraan itu berakhir, Retno sempat mengusap air matanya yang mengalir membasahi pipinya.
***
"Lho, kamu itu baru datang tadi pagi, dan sore ini mau balik ke Jakarta?" kata pak Broto ketika melihat Galang bersiap mau pulang sore itu juga.
"Iya pakde, Galang sudah memesan ticketnya."
"Bukankah besok itu hari Minggu? Dikantor kamu hari Minggu itu harus masuk, begitu?"
"Bukan pakde, kami akan pindah rumah, besok Galang akan mempersiapkan barang-barang yang harus dibawa."
"Pindah kemana lagi? Kontrakan sudah habis?"
"Saya mendapat rumah dinas, mungkin agak besar."
"Hm, dulu kamu menolak rumah pemberianku, sekarang dikasih orang lain kamu mau," omel pak Broto tampak tak senang.
"Pak, Galang itu mendapat rumah karena kadudukannya. Bapak kan tau kalau Galang nggak suka dikasih cuma-cuma. Ia itu pekerja yang disukai atasannya pak, dia mendapat kedudukan penting disana," terang bu Broto yang sudah mendengar perihal rumah itu dari Putri.
"Dulu dikantorku dia juga aku beri dia kedudukan," masih mengomel pak Broto.
"Itu beda pak, sudahlah, lihat, ini Adhit minta digendong eyangnya tuh," kata bu Broto sambil mengulurkan Adhit yang semula digendongnya kearah suaminya. Pak Broto tersenyum dan menghentikan omelannya setelah menggendong cucunya.
Bu Broto mengedipkan matanya kearah Galang, seakan minta agar apa yang dikatakan mertuanya tak usah dimasukkan ke hati.
Galangpun terdiam, ia lebih merasakan ketidak nyamanan hatinya sendiri jadi tak perlu merasakan apa yang dikatakan mertuanya.
"Putri, panggil Sarno saja , biar dia mengantarkan suamimu ke bandara," kata bu Broto kepada Putri.
Putri tak menjawab, wajahnya pucat pasi, dengan gemetar ia melangkah kesamping rumah untuk mencari Sarno. Pandangannya sayu, bagaimanapun kepulangan suaminya sangat menyakiti perasaannya.
"Biar aku panggil sendiri Putri," kata Galang. Ia terkejut melihat wajah isterinya pucat pasi.
Putri tak menjawab, ia terus melangkah, tapi ketika turun dari tangga, badannya tiba-tiba limbung. Putri tak lagi kuat berdiri, dan pasti terjatuh kalau Galang tidak menangkapnya.
==========
(side b)
Pak Broto dan Bu Broto terkejut. Galang mengangkat tubuh isterinya dan membawanya kedalam kamar. Putri tergolek lemah, bibirnya pucat... Galang menciumnya lembut. Putri bukannya tak sadar, mata indahnya mengerjap-kerjap. Dipandanginya wajah suaminya yang tampak khawatir.
"Kenapa dia?"
"Biar ibumu panggil dokter saja,"
Bu Broto dan suaminya ikut-ikutan panik. Tapi ketika melihat Putri sudah tersadar, mereka lega.
"Kenapa nduk?"
"Nggak apa-apa, hanya pusing," jawab Putri lemah.
"Bu, panggil dokter cepat," seru pak Broto ..
Bu Broto segera menelpon dokter langganannya, sementara simbok membawakan teh hangat sambil menggendong Adhit.
"Ya ampun Adhit, sini sama bapak, hati-hati mbok, itu kan air panas, tegur Galang yang segera mengambil Adhit dari gendongan simbok.
"Ma'af pak, simbok panik begitu melihat jeng Putri pingsan. Diminum dulu tehnya jeng," kata simbok sambil mengangkat kepala Putri, supaya bisa minum dengan enak.
Putri meneguk tehnya.
"Aku nggak apa-apa. Mas, segera berangkat, nanti ketinggalan pesawat," kata Putri lirih.
"Masih dua jam an lagi, kamu tak apa-apa?"
"Pergilah, aku nggak apa-apa mas," kata Putri sambil memegang lengan suaminya.
"Jangan khawatir, aku akan segera menjemput kamu,"
Putri hanya mengangguk.Sesungguhnya ia tak mengerti mengapa suaminya kembali ke Jakarta begitu cepat. Hatinya bagai teriris ketika merasakan keraguan didalam sikap Galang terhadap dirinya.
"Banar, nanti kamu terlambat, ibumu sudah memanggil dokter, pasti semuanya baik-baik saja," kata pak Broto menimpali.
"Benar Galang, sini, Adhit biar sama eyang."
Adhit merengek, lalu menangis keras. Tampaknya ia tau bahwa orang yang sangat mengasihinya akan pergi.
"O, sayang, bapak pergi hanya sebentar, jangan menangis le.." kata Galang yang merasa berat meninggalkan Adhitama.
Ia menyerahkan Adhit kepada isterinya, tapi Adhit terus saja menoleh kearah Galang sambil terus menangis. Putri sedih, ia segera mendekap Adhit, maksudnya mau disusuinya, tapi Adhit menolak. Ia menangis semakin keras.
"Ada apa ngger, cah bagus.."
Galang tak tega, kembali mendekati Putri dan mengangkat Adhitama, yang begitu Galang menggendongnya langsung menghentikan tangisnya.
"Anak pinter, sudah bisa *klayu* sama bapaknya," kata bu Broto yang mengikuti Galang membawa Adhit keluar kamar.
Putri menitikkan air mata yang kemudian cepat-cepat diusapnya. Kepergian Galang bukan hanya menyakiti hatinya, tapi juga hati Adhit. Walau bukan darah dagingnya, tapi kedekatannya sejak masih dalam kandungan, menciptakan benang kasih sayang yang melebihi apapun, seperti kepada orang tuanya sendiri.
"Sayang, bapak hanya ingin menenangkan diri, ma'afkan bapak ya, nanti bapak akan menjemput Adhit, sama ibu, bapak janji," bisik Galang ditelinga Adhit, yang seakan mengerti apa yang diucapkan ayahnya, Adhit menatap wajah laki-laki ganteng yang sedang menggendongnya.
"Kamu mengerti kan nak?" bisik Galang lagi sambil mencium kedua pipi Adhit, ber kali-kali. Setitik air mata Galang menetes dipipi Adhit, yang segera diusapnya.
"Mobil sudah siap pak," kata Sarno tiba-tiba.
"Oh ya, terimakasih pak Sarno," jawab Galang.
"Adhit, dengar kata bapak ya, jangan rewel, bapak janji akan menjemput kalian, secepatnya," bisik Galang lagi ditelinga Adhit. Adhit mengangkat tangannya, memegangi wajah Galang, membuat Galang kembali berurai air mata. Kembali diciumnya Adhit berkali-kali.
"Sudah Galang, mari, Adhit biar sama eyang, nggak boleh nangis ya?" Bu Broto mengulurkan tangannya untuk mengambil Adhit dari tangan Galang.
Bayi mungil itu mengangkat angkat kepalanya, agar bisa melihat kepergian ayahnya.
"Galang pamit pakde, bude," diciumnya tangan kedua mertuanya, tapi tak tahan Galang kembali berlari kearah kamar, dimana dilihatnya isterinya tengah mengusap air matanya.
"Putri.." Galang mendekap wajah Putri dan diciumnya sepuas puasnya.
"Pergilah mas," bisik Putri.
Galang melepaskan pelukannya, lalu keluar dari dalam kamar itu.
***
Teguh Raharjo sudah kembali dari rumah Retno, ibunya menunggu untuk pergi kerumah Naning bersama-sama. Naning yang sudah berhias cantik berjingkrak jingkrak melihat Raharjo ada didepannya. Naning langsung bangkit dari duduknya dan merangkul Teguh sampai anak muda itu gelagapan.
"Heeiii.... kamu itu calon pengantin.. nanti kalau calon suami kamu tau kamu memeluk-meluk orang ganteng bagaimana?" kata bu Marsih berseloroh.
Naning melepaskan pelukannya, wajahnya yang sudah dipoles make up tebal tampak lebih cantik, walau badannya sedikit gemuk.
Naning terkekeh.
"Orang ganteng ini kan mantan aku bu," kata Nanging tanpa malu-malu. Tapi ketika melihat wajah Teguh tampak lesu, Naning heran.
"Mas Teguh sakit?"
"Nggak, aku biasa-biasa saja," kata Teguh sambil duduk disebuah bangku yang ada dikamar pengantin itu.
"Tapi mas Teguh kelihatan lesu deh, apa mas Teguh sedih karena Naning mau menikah?" tanya Naning masih tetap tanpa malu.
"Mas, dari dulu kan Naning menunggu mas Teguh, tapi mas Teguh nggak perduli, sekarang giliran Naning mau menikah mas Teguh sedih, Naning jadi menyesal mau menikah besok pagi," kata Naning sambil merengut lucu.
Teguh tertawa.
"Apa kamu sudah gila? Mengapa aku harus sedih melihat kamu mau menikah? Aku senang, kamu cocog sama Pulung, pasangan yang pas, sama-sama gendut seperti bola," kata Teguh mencoba bercanda.
"Aaah.... mas Teguh..."
"Mas Teguhmu ini baru datang tadi, trus pergi kerumah temannya karena ada titipan, trus kesini, jadi kalau wajahnya kelihatan lesu itu ya karena capek Ning," kata Bu Marsih.
"Hm, kirain patah hati mendengar Naning mau menikah," kata Naning masih dengan mulut manyun..
"Kamu sukanya berpikiran aneh-aneh Ning. Oh ya, jam berapa besok ijab kabulnya?"
"Ijab kabul pagi jam 9, baru sorenya resepsi. Mas Teguh masih disini kan?"
"Nggak Ning, aku hanya akan menunggui kamu pas ijab saja, sorenya harus sudah kembali ke Jakarta."
"Mmm.., mas Teguh kok gitu, kenapa nggak nungguin resepsinya juga?"
"Mas Teguh kan kerja Ning, jadi nggak bisa ijin lama-lama, Senin nya sudah harus masuk." kata bu Marsih menimpali.
"Kamu sudah harus berterimakasih aku datang menyaksikan kamu menikah."
"Aku bilang sama bu Marsih, kalau mas Teguh nggak datang aku nggak mau menikah."
"Iya, aku datang karena ingin kamu menikah. Aku senang kamu mendapat jodoh yang baik. Besok kalau sudah menikah, sudah jadi isteri, kamu harus merubah sifat kamu yang kadang seperti anak kecil, tau!"
"Ya mas, aku tau. Aku juga mau berdo'a untuk mas Teguh, supaya segera menikah dengan gadis cantik, baik, seperti aku."
"Moooh..." teriak Teguh.
"Kok emoh?" Naning merengut lagi.
"Kalau seperti kamu, gendut kaya bola... aku nggak mau.. gerah !"
Dan Naning terkekeh senang. Sungguh bahagia akhirnya laki-laki yang dicintainya sejak awal mau menungguinya menikah seperti yang diinginkannya.
Ketika Teguh akan pulang, tiba-tiba Naning menarik tangannya.
"Ada apa?" tanya Teguh yang merasa khawatir Naning akan melakukan hal yang macam-macam.
"Mas, aku minta ma'af, dulu sekali, seorang wanita menelpon mas, aku mengatakan bahwa aku calon isterimu, itu aku sudah pernah mengatakan sama kamu kan mas? Sekarang aku sadar, aku salah, aku minta ma'af ya. Sekarang bagaimana dia, apa menganggap mas Teguh benar-benar menjadi suamiku? Mas Teguh tau siapa dia? Aku lupa menanyakan namanya," kata Naning panjang lebar. Teguh jadi teringat kembali, ketika ia marah-marah pada Naning gara-gara ditelepon mengaku calon isterinya. Ya Tuhan, apakah itu benar telepone dari Putri, yang kemudian mengnggap dirinya sudah punya calon isteri, dan itukah sebabnya maka dia menikah dengan Galang? Beribu pertanyaan berkecamuk dibenak Teguh, bahkan ketika ia sudah merebahkan dirinya ditempat tidur malam itu.
***
Ketika dokter datang memasuki kamar Putri, Putri sudah duduk memangku anaknya yang sudah tertidur. Putri baru saja menyusukan anaknya, setelah rewel karena kepergian ayahnya.
"Hallo Putri, " sapa dokter Frans, dokter pribadi keluarga Broto.
"Hallo dokter,"
"Kami masih cantik seperti dulu. Ini anakmu?"
"Ya dokter."
"Hm, cakep, dan sehat," kata dokter Frans sambil duduk dikursi yang disediakan. Simbok datang untuk mengambil Adhitama dari pangkuan Putri, karena bu Broto menyiapkan kamar tidur khusus untuk cucunya.
"Apa yang kamu rasakan, katanya tadi kamu pingsan.." dokter Frans mengambil stetoskop dari dalam tas dan dikenakannya.
"Berbaringlah, biar aku periksa."
Putri berbaring, dibelakang dokter Frans, pak Broto dan bu Broto menunggui dengan wajah khawatir.
"Dia itu sebenarnya lemah dok, sakit sedikit saja pingsan," kata bu Broto.
"Ya, aku tau, tapi nggak apa-apa, dia baik-baik saja." kata dokter Frans setelah memeriksa Putri.
"Apa kamu sedang memikirkan sesuatu yang berat?" tanya dokter sambil memandangi Putri yang masih terbaring.
"Tekanan darahmu sangat rendah," sambung dokter Frans lagi.
"Oke, saya akan beri kamu resep. Dan periksa darah ke laborat ya,"
Dokter setengah tua itu menuliskan sesuatu di sebuah kertas, satu untuk membeli obatnya, dan satu lagi untuk periksa ke laborat.
"Apa ada yang sangat menghawatirkan?" tanya pak Broto.
"Nggak ada, baik kok, jangan khawatir ya pak. Oh ya, mana suami Putri?" dokter Frans melihat ke sekeliling.
"Baru tadi kembali ke Jakarta dok."
"O, itu sebabnya Putri sakit," kata dokter Frans sambil terkekeh.
Putri tertunduk, tersipu, benarkah? Tapi Putri merasa perasaannya tertekan. Ia yakin suaminya belum bisa menerima pertemuannya dengan Teguh, yang ternyata bekas kekasih Putri. Apapun yang dikatakannya belum membuatnya tenang, dan Putripun merasa gundah atas sikap suaminya itu. Itukah sebabnya dia limbung dan merasa sakit?
***
Galang sudah sampai di Jakarta, sudah berbaring dikamar tidurnya yang dingin dan senyap.
Ia menoleh kearah box bayi yang memenuhi kamar tidurnya yang kecil, melongok kesana dan kosong karena Adhitama berada jauh dikota Solo lalu ditinggalkannya.Lalu jiwanya juga merasa kosong, dan semuanya menjadi tanpa makna. Mengapa semua itu terjadi, mengapa bertemu Raharjo, bersahabat, dan kemudian ternyata dia adalah bekas kekasih isterinya, yang ternyata masih mencintainya, aduhai...
Terngiang kembali isak isterinya, mas, aku mencintai kamu, sangat mencintai kamu mas... Dan Galang kemudian menarik guling disampingnya, dipeluknya erat-erat.
Jo, apakah kamu masih mencintai bekas kekasihmu itu? tanyanya pada suatu hari, rasa itu ssudah digulung hari dan masa, cintaku tinggal sekeping mas. Tapi kan rasa itu masih ada? Lalu Retno juga mengatakan bahwa Raharjo masih mencintai kekasihnya yang hilang setahun lebih yang lalu. Ya Tuhan, ya Tuhan... apa yang harus aku lakukan?
Malam telah larut, tapi Galang belum bisa memejamkan matanya. Ia nanap memandang kearah ponselnya ketika tiba-tiba telepone berdering. Siapa menelponnya ditengah malam buta seperti ini? Galang meraih ponselnya, dan membaca siapa penelpun dimalam larut itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel