Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 02 Mei 2021

Sekeping Cinta Menunggu Purnama #26

Cerita Bersambung
(side a)
Ponsel itu terus berdering dan Galang hanya memandanginya tanpa ekspresi. Tulisan pengirim itu tertera jelas RAHARJO. Mau apa dia menelpon dimalam buta seperti ini? Minta ma'af? Apakah dia harus minta ma'af? Atau minta ijin untuk bisa menemui Putri walau hanya sekejap? Tidak, Galang tak akan membiarkan Raharjo menemui isterinya, apalagi di sedang tak ada disampingnya. Dan Galang juga tak ingin memberitahu Raharjo bahwa dia sudah ada di Jakarta. Akan mudah baginya nanti bisa berduaan dengan Putri. Tidaaaak. Dan sampai ponsel itu berhenti berdering Galang hanya memandanginya.

Galang masih mendekap gulingnya erat-erat, seakan itulah Putri isterinya. Ah, apa aku sudah gila? Aku meninggalkannya lalu aku merindukannya. bisik batin Galang.
Tapi dia memang merindukan isterinya, ia juga merindukan Adhitama, anaknya, atau anak Raharjo yang tertitipkan padanya. Bukan, Adhitama anakku, bukankah Putri juga mengatakan pada Raharjo bahwa Adhitama anak

pertamanya bersama Galang? Lalu Galang sadar, bahwa sesungguhnya Putri ingin menutupi keberadaan Adhitama yang darah daging Raharjo. Apakah itu bukan menunjukkan bahwa Putri memang mencintainya? Memilihnya hidup bersama dirinya dan Adhitama anaknya? Mengapa dia meragukannya?

Sampai malam berganti pagi, Galang masih tergolek diranjang tanpa mampu memejamkan matanya.
Ia juga tak hendak bangkit, ataupun sekedar minum seteguk air.
Ketika akhirnya matanya terlelap karena keletihan, tiba-tiba ponselnya kembali berdering. Dengan malas Galang meraih ponselnya, dan matanya terbuka lebar ketika membaca tulisan ISTERIKU dilayar ponselnya.

"Hallo," serak suara Galang menyambut telepone itu.
"Mas, baru bangun?" suara lembut itu amat dikenalnya, amat dirindukannya.
"Ya, semalaman aku nggak tidur," jawab Galang lesu.
"Kenapa mas?"
"Nggak biasa tidur sendirian, kangen sama kamu, sama Adhit.."
"Lalu mengapa mas pergi meninggalkan kami?"
"Aku bingung, aku harus menenangkan pikiran."
"Sekarang sudah tenang?"
"Belum."
"Mas..."
"Apa kata dokter? Kamu seperti sudah sehat."
"Kata dokter aku tidak apa-apa. Hanya tertekan, pastinya, karena mas tinggalkan."
"Hm.. sesungguhnya aku juga tau."
"Tapi tekanan darahku rendah, hari ini aku harus periksa ke laboratorium."
"Periksa apanya?"
"Darah, atau.. entahlah, ada suratnya,"
"Periksa, dan kabari aku..."
"Mas masih malas bicara, ya sudah tidurlah lagi."
"Mana Adhit?"
"Digendong simbok, didepan."
"Ya sudah, nanti aku telepone kamu."
Pembicaraan terhenti karena Galang tak tahan oleh serangan kantuknya.
***

Ketika pak Haris melewati rumah dinas yang akan dipakai Galang, dilihatnya rumah itu terbuka. Retno yang duduk disamping pak Haris berteriak :" Seperti ada mas Galang disana."
Pak Haris mengantikan mobilnya, lalu mundur beberapa meter, Dan kemudian memasuki halaman rumah apik yang terbuka pintunya.

"Benarkah ada Galang? Katanya ke Solo? Bohong dia?"
"Nggak tau om, tadi saya seperti melihat dia masuk dari pintu samping."
"Ayo turun."
Pak Haris dan Retno turun, langsung masuk melalui pintu depan. Dilihatnya Galang sedang menata perabotan disesuaikan dengan seleranya.
"Galang.."
Galang terkejut, karena terpaku pada apa yang dikerjakannya sampai tak tau ada orang masuk, dan ternyata pak Haris.Tergopoh ia menyambut lalu menyalami tangan pimpinannya.
"Kamu nggak jadi ke Solo?"
"Jadi pak, sorenya saya kembali."
"Isteri dan anakmu?"
"Masih di Solo pak, kasihan, sudah lama tidak ketemu bapak ibunya."
"Kamu bisa menyuruh Tarman untuk membersihkan dan menata rumah ini, jangan kamu sendiri mengerjakannya. "
"Ya pak, nanti saya telepone dia."
"Kalau perlu telepone sekarang saja, biar segera dikerjakan. Bilang mana yang kamu nggak cocog, dan apa kurangnya."
"Tapi.. ini hari Minggu.."
"Nggak apa-apa, panggil saja, nanti aku beri dia uang lemburnya. Oke, biar aku saja yang memnggilnya," kata pak Haris yang kemudian menelpon pegawainya yang akan disuruhnya membantu berbenah dirumah Galang yang baru. Pak Haris berjalan keluar sambil berbicara dengan pak Tarman, sementara Retno mendekati Galang.

"Mas, apa kabar?"
"Baik Retno," jawab Galang singkat. Wajah sendu itu tertangkap oleh Retno. Pasti karena pertemuan Raharjo dan isterinya, pikir Retno.
"Bu Galang masih di Solo?" Galang hanya mengangguk sambil menarik kursi dan mempersilahkan Retno duduk.
"Raharjo sudah menelpon aku mas."
"Tentang pertemuannya dengan isteriku?"
"Ya, sungguh tak disangka, berbulan bulan kita bergaul dalam pekerjaan dan belum pernah sekalipun bertemu. Dan tiba-tiba dia ternyata adalah Putri."
"Kamu juga mengenal Putri?"
"Pernah beberapa kali bertemu ketika bersama Raharjo, tapi nggak begitu akrab."
"Raharjo bilang apa? Bukankah dia masih mengharapkan isteriku?"
"Mengapa mas Galang berkata begitu? Raharjo tidak seburuk itu. Kalau dia shock, pastilah, karena kan pertemuan itu tidak di sangka-sangka."
"Bukankah kamu pernah bilang bahwa Raharjo masih mencintai kekasihnya yang hilang setahun lebih yang lalu?"
"Itu kan perkiraanku mas, kenyataannya aku tidak tau. Kalau ada cinta yang tersisa, mungkin saja, tapi kalau ingin kembali ya mana mungkin mas."
"Cara dia memandang isteriku, aku tidak suka,"
"Ya, mas cemburu, oke, itu kan tandanya cinta. Tapi apa karena itu lalu mas membenci Raharjo? Lalu menuduhnya akan melakukan hal buruk?

Galang terdiam. Sesungguhnya ia merasa keterlaluan telah berprasangka buruk pada Raharjo. Galang merasa bahwa perasaannya berlebihan. Ia kemudian teringat telepon Raharjo tengah malam tadi. Mungkin Raharjo juga sedang diamuk perasaan gundah, atas pertemuan yang tak di sangka-sangka itu, lalu ingin berbincang dengannya. Ia menyesal telah mengabaikan telephone itu.

"Mas, aku mohon, janganlah hal ini membuat persahabatan kita jadi retak. Tetaplah seperti dulu."
Pembicaraan terhenti ketika dilihatnya pak Haris sudah kembali memasuki ruangan.
"Sudah beres, sebentar lagi Tarman dan kawan-kawannya akan datang kemari, katakan saja apa maumu, Galang," kata pak Haris setelah beberapa sa'at lamanya berbicara diluar dengan anak buahnya.
"Terimakasih banyak pak," kata Galang sambil berdiri.
"Aku mau pulang, Retno, kamu mau tetap disini dulu atau aku antar pulang?"
"Saya disini dulu om, mau omong-omong sama Galang."
"Baiklah, tungguin Tarman ya Lang," kata pak Haris sambil berlalu.
"Perabotan disini sudah lengkap, tapi kalau ada barang-barang kamu yang harus diusung kesini, suruh mereka mengusungnya, ada colt terbuka yang nanti dibawa Tarman,"lanjut pak Haris.
"Baik pak, terimakasih,"
Galang kembali duduk, pikirannya masih terbang ke mana-mana.
"Bagus kalau bisa segera diatur rumah ini mas, besok kalau bu Galang dan Adhitama kembali, bisa langsung pulang kemari.

Wajah Galang sedikit berseri, membayangkan anak isterinya segera tinggal dirumah ini ber sama-sama.
Ia juga membayangkan box tidurnya Adhitama tak akan berdesakan dengan ranjang bapak ibunya. Galang berdiri lagi dan berjalan kearah sebuah kamar yang paling besar. Ia akan menata box bayi itu disamping ranjang mereka, tapi ada almari yang harus dipinggirkan kesamping.. dan..

"Oh ya Lang," pak Haris berteriak didepan pintu. Galang berhenti dan setengah berlari menghampiri pak Haris.
"Mobilmu dan mobil untuk Raharjo sedang diurus, nanti minggu depan mungkin sudah selesai," lanjut pak Haris.
"Oh, terimakasih pak."
"Mobilmu itu biar dipakai isterimu saja. Besok kalau ada uangnya, diganti yang baru saja."
"Ya pak," jawab Galang sambil tertawa.
"Oh ya," sudah melangkah tapi pak Harus masih ingin bicara, Galang urung masuk kedalam rumah, mengikuti sampai pak Haris tiba didepan mobilnya.
"Aku ingatkan, pesta ulang tahun perusahaan lho Lang, jangan lupa, Raharjo harus menari bersama isterimu," lalu pak Haris masuk kedalam mobil, meninggalkan Galang yang terpaku disana.

==========
(side b)

Galang masih terpaku ditempatnya berdiri, bahkan sampai ketika mobil pak Haris sudah lenyap ditelan keramaian. Dihalaman itu sebuah pohon mangga sedang berbunga. Daunnya yang rimbun membuat sekelilingnya terlindungi dari panas menjelang sore hari itu. Ada sebuah bangku dibawah mangga itu, Galang melangkah kesana dan duduk sambil menyilangkan kakinya. Dipandanginya halaman yang cukup luas itu tampak tak terawat karena lama tak ditempati. Ada pohon mawar yang nyaris kering. Aduhai, Galang teringat isterinya yang sangat menyukai mawar. Nanti ia akan menyuruh pak Tarman mencari bibit mawar yang banyak agar halaman ini penuh bunga kesukaan Putri. Galang menghela nafas panjang. Kata-kata pak Haris tadi sungguh mengganggu benaknya yang hampir redam oleh panas dihati yang membara.

Pak Haris masih berharap Raharjo menari bersama isterinya. Ya Tuhan, mampukah mereka melakukannya, dan mampukah hatiku melihatnya? Keluh Galang dalam hati. Ada kicau burung kecil yang hinggap didahan pohon itu, Galang mendongakkan kepalanya, dan melihat sepasang burung berkejaran dari dahan ke dahan. Alangkah manis..

Langkah-langkah kecil yang mendekat, membuyarkan lamunan Galang. Ia baru teringat bahwa tak sendirian dirumah itu.

"Mas Galang, aku kira mas Galang sudah pulang duluan meninggalkan aku," pekik Retno sambil mendekat, kemudian duduk disebelah Galang.
Galang tertawa lirih.
"Ma'af, aku lupa kalau ada kamu didalam."
"Iih, jahat bener, kalau aku tidak keluar pasti mas Galang benar-benar pergi meninggalkan aku deh."
"Ma'af..." Galang mengusap wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya.
"Mas Galang masih memikirkan Raharjo?"

Galang menatap Retno yang juga sedang menatap kearahnya. Mata bening itu tampak kesal melihat sikapnya. Ia menghela nafas, kemudian mengalihkan pandangannya kearah kebun yang kerontang.

"Tadi pak Haris bilang, bahwa Raharjo harus menari bersama isteriku," keluh Galang lirih.
"Oouw...." Retno tak perlu minta penjelasan lagi karena sudah tau bahwa hal itulah yang menambah gundah dihati Galang.

Sebuah colt terbuka memasuki halaman. Galang dan Retno berdiri menunggu.
Pak Tarman dan tiga orang temannya turun dari sana dan menyalami Galang serta Retno.

"Apa yang harus saya kerjakan pak?" tanya pak Tarman.
"Ayo masuk pak," Galang beranjak masuk kedalam rumah. Retno mengikuti dari belakang.
"Ret, bantuin aku menata rumahku ya?" pinta Galang sambil menatap Retno.
"Siap, komandan," kata Retno sambil mengangkat tangannya seperti seorang militer menghormati atasan. Galang tersenyum. Perempuan ini sebenarnya sangat serasi berdampingan dengan Raharjo. Apakah setelah pertemuan dengan Putri lalu Raharjo tetap tak mau melamar Retno seperti pernah dianjurkannya? Galang menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal.

Pak Tarno berdiri mematung, lalu Galang sadar bahwa ia sedang ditunggu.
Ia kemudian memberi perintah kepada pak Tarman tentang apa yang harus dirubahnya. Cat rumah, Letak perabotan..

"Bagaimana kalau cat rumah diganti biru muda?"
"Wauw, bagus mas, biru itu pertanda cinta," pekik Retno. Pak Tarman ikut tersenyum.

Mereka dirumah itu dan membicarakan apa yang sebaiknya diganti atau ditata, sampai malam tiba. Retno memesan makan dan minum untuk mereka melalui online, sebelum mereka semua pulang, dan pak Tarman mengatakan siap mengerjakan pembenahan rumah itu mulai besok pagi.
***

Putri sedang duduk diteras sendirian. Ia ingin menelpon suaminya tapi diurungkannya. Tadi pagi tampak sekali bahwa Galang menerima telepone dengan ogah-ogahan. Dan setelah itu Galang tak berusaha menelponnya lagi. Apakah sesungguhnya Galang ingin menjauhi isterinya? Dan kata-kata yang diucapkannya adalah bohong semata? Kangen? Masa  iya.. Kenapa ia tak berusaha menelpon dirinya? Menanyakan kesehatannya... dan.. astaga, Putri baru ingat bahwa hari ini ia harus periksa ke laborat. Hari sudah malam, tapi Putri memang enggan melakukannya.

"Putri, kamu melupakan sesuatu," tiba-tiba bu Broto menegurnya dari pintu.
"Apa bu?"
"Bukankah seharusnya kamu tadi periksa ke laborat?"
"Oh, iya, Putri lupa.. tapi nggak usahlah bu, Putri sudah merasa sehat."
"Kamu itu gimana ? Dokter menyuruh kamu periksa, berarti ada apa-apanya. Bagaimana kalau memang kamu menderita sakit yang kamu tidak tau atau tidak merasakannya?"
"Putri benar-benar merasa sehat bu, saya kira dokter Frans hanya menghawatirkan tekanan darah Putri yang rendah, atau mungkin hb rendah, sudahlah, besok Putri mau beli vitamin saja."
"Persis seperti bapaknya," omel bu Broto yang kemudian masuk kedalam rumah.
"Pak, Putri ternyata memang nggak mau periksa ke laborat.," kata bu Broto kepada suaminya yang sedang menonton televisi.
"Mungkin dia sudah merasa sehat." jawab pak Broto tanpa mengalihkan pandangannya  dari layar televisi.
"Hm...," bu Broto mendengus. Ada pertandingan sepak bola, pantas pak Broto nggak perhatian. Bu Broto masuk keruang tengah, mencari Adhitama yang sedang bercanda dengan simbok, bersama beberapa mainan yang tersebar disekelilingnya.
***

Ketika Retno sampi di rumah kost Raharjo, dilihatnya Raharjo sudah berdiri ditepi jalan. Retno mengehentikan mobilnya persis disamping Raharjo.

"Ayo naik, belum punya mobil sudah sombong mau ninggalin aku," gerutu Retno setelah Raharjo duduk disampingnya. Raharjo hanya terdiam, bahkan ketika mobil itu melaju menyusuri jalanan yang ramai dan sesak.

"Hei, apa aku bicara sama patung?" celoteh Retno sambil menghindari pejalan kaki yang nekat menyeberang.
"Hampir saja," celetuk Raharjo karena terkejut.
"Hm... bisa ngomong rupanya."
"Diamlah Ret, aku lagi bingung nih," keluh Raharjo.
"O, bingung... maksudnya bingung karena apa? Masih mimpi ketemu Putri? Lalu apa, mau menangisinya sepanjang hidup kamu? Hari terus berjalan, dan kamu harus melanjutkan hidupmu. Kalau kamu cinta, biarkanlah dia bahagia bersama suaminya. Begitu kan?"
Raharjo terdiam.
"Kalau kamu mau menangis sepanjang hidup kamu ya terserah, aku kehabisan tissue untuk mengeringkan air matamu. Jadi aku nggak akan bicara lagi, terserah kamu mau apa."
"Tega ya?"
"Apa maksudmu tega? Apa aku harus menangis bersama kamu?Hm... sorry ya.."
"Retno.. kamu bisa diam nggak?"
"Nggak bisa, suka-suka aku mau ngomong atau nggak, mulut-mulutku sendiri."
"Kok pagi ini kamu galak? Biasanya kamu lemah lembut, dan sayang sama aku."
"Apa? Ya Tuhan, siapa sayang sama kamu? Laki-laki cengeng, gampang mengeluh, suka bermimpi, no.. Jo, aku nggak sayang sama kamu."
Raharjo mengelap keringat dingin yang membasahi tubuhnya.
"Jangan ngabisin tissue ku."
"Retno, demi Tuhan, apa yang harus aku lakukan?"
"Jo, kamu bukan anak kecil. Ketika sesuatu menimpamu, jangan sampai kamu jatuh tanpa bisa bangun lagi. Bahwa hidup itu harus kita jalani, seperti sebuah perjalanan untuk menuju kesuatu tempat. Kalau kamu bermimpi, maka kamu tak akan bangun selamanya."
"Mengapa pagi ini aku seperti ketemu dengan nenekku ya?"
"Semprul kamu, masa aku kamu anggap seperti nenek-nenek?"
"Baiklah.. "
"Apa yang baiklah?"

Rahajo menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Jangan sampai kamu jatuh tanpa bisa bangun lagi.  Pinter juga nenek-nenek cerewet ini. Pikir Raharjo yang kemudian menghela nafas berkali-kali.
"Kamu sesak nafas?"

Tuh kan, hari ini baru Raharjo sadar bahwa Retno sangat cerewet. Baiklah, bukankah gadis ini sangat baik dan semuanya demi kebaikanku? pikir Raharjo lagi. Lalu dihembuskannya lagi nafasnya, dan kali itu dihembuskannya keras.

Mampir ke apotik sebentar ya?"
"Ngapain?"
"Beli obat sesak nafas buat kamu,". Dan Raharjo terbahak.
Retno cemberut, tapi hatinya senang bisa membuat Raharjo tertawa.
"Jadi.... "
"Jadi apa?
 "Kamu mau tetap menangisi nasib kamu atau mau bangkit lagi? Demi cintamu yang sekeping itu kamu akan membawa hati  kamu terus ber darah-darah?"
Raharja mengangkat tangan kanannya, memegang tangan Retno yang masih hinggap di setir mobil.

"Bersama kamu, aku akan kuat, lalu Raharjo tersenyum. Retno memalingkan mukanya. Sejak dulu dia tau bahwa senyum itu bisa menjatuhkan hatinya. Tapi tidak, Retno tak mau jadi pelarian cinta Raharjo. Matanya terus menatap kedepan.
"Kok diam," tanya Raharjo.
"Nanti kamu bilang aku nenek-nenek lagi. Oh ya Jo, kamu tau? Pak Haris kemarin ketemu mas Galang, dan dia minta supaya kamu tetap menari sama Putri."
"Apa? " Raharjo melepaskan tangannya. Jiwanya kembali bergetar. Kalau itu terjadi, bisa-bisa aku yang pingsan, bukan Putri. Pikir Raharjo.
"Apa yang kamu pikirkan? Kalau hati kamu bersih pasti kamu bisa menjalaninya."

Sementara itu mereka sudah sampai dikantor. Retno memarkir mobilnya, lalu dilihatnya Galang baru saja turun dari mobilnya dan berjalan kearah kantor. Retno turun dari mobilnya dan setengah berlari mengejar Galang.

"Mas... mas Galang, tungguin ,,," terengah suara Retno karena berlari-lari.
"Awas ya, jangan sampai kamu terjatuh. kenapa lari-lari?"
"Itu mas, Raharjo, dibelakang, tungguin donk," pinta Retno. Mau tak mau Galang berhenti. Ia tak mau disebut ke kanak-kanakan.

Raharjo melangkah menghampiri, agak ragu-ragu ketika tangannya terulur kearah Galang.
"Mas, dari Solo kemarin?" tanya Raharjo pelan, Galang menyambut tangan Raharjo dan melepaskannya.

Alangkah gantengnya Raharjo. Pantas dulu Putri suka sama dia. Lhah, kok lari kesana lagi. Galang menenangkan pikirannya.

"Aku Sabtu sore sudah kembali," jawab Galang sambil terus melangkah.
"Oh,"
"Mas.." kata Raharjo pelan. Galang menoleh kesamping, dimana Raharjo berjalan sejajar dengannya. Retno mengikuti dari belakang sambil ter saruk-saruk, habis keduanya melangkah cepat sekali.
"Aku minta ma'af, semua ini terjadi karena..."
"Sudah, lupakanlah..." sergah Galang.
"Baiklah."
"Pak Haris meminta kamu tetap menari bersama isteriku,"kata Galang yang kemudian berbelok kearah ruangan dikantornya.

Kini Raharjo yang terpaku. Ia berhenti didepan pintu ruang kantor Galang, dan menatap daun pintu yang tertutup rapat.
Retno menariknya menjauh dari sana.
"Ia memberi tau, bukan mengijinkan," desis Raharjo pilu.

Bersambung #27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER