Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 03 Mei 2021

Sekeping Cinta Menunggu Purnama #27

Cerita Bersambung
(side a)
Raharjo meneruskan langkahnya menuju ruang kerjanya. Ia terpaku dimejanya, menyesali semua yang terjadi pada dirinya. Dia mengeluarkan laptop dari almari mejanya, membukanya seakan sedang mencari cari sebuah data. Tapi kemudian disandarkannya tubuhnya sambil kedua tangannya bersedakap.

Tiba-tiba terdengar ketukan dipintu kantornya. Lalu Retno masuk dan langsung duduk dihadapan Raharjo. Ia tau Galang belum bisa bersikap manis pada Raharjo, dan Retno merasa iba melihat wajah Raharjo yang pias.

"Jo, kamu seperti orang lagi susah. Aku kan sudah bilang bawa kamu harus melupakan semuanya, dan melanjutkan hidup kamu. Anggap saja Putri bukan jodoh kamu, dan kamu bisa memilih siapa yang pantas menjadi pendamping hidup kamu."

"Itu so'al yang mungkin mudah aku lakukan Ret, aku pasti akan bangkit."
"Nah, apa lagi?"
"Kamu nggak melihat sikap mas Galang sama aku? Apakah aku salah dalam hal ini? Aku hanya terkejut ketika tiba-tiba bertemu diaa, dan lebih terkejut lagi ketika tau bahwa dia adalah isteri mas Galang, bahkan sudah punya anak satu."
"Ya aku tau."
"Berarti begitu berpisah dengan aku, Putri langsung menikah sama mas Galang. Mungkin tadinya dipaksa oleh orang tuanya, tapi lama kelamaan Putri juga mencintainya."
"Ya, apalah yang terjadi, apa gunanya dipikirkan. Kenyataannya adalah dia sudah menikah dan kamu harus melupakannya."
"Oke, aku akan berusaha melupakannya. Bukankah tentang rasa aku sudah pernah berkata bahwa cinta itu telah hampir hilang dari hatiku? Tapi aku tak mau mas Galang membenci aku."
"Kita akan mendekatinya pelan-pelan, memberi pengertian bahwa kamu tak akan pernah berharap untuk kembali pada Putri. Kamu juga harus bisa mengerti Jo, mas Galang past cemburu sama kamu."
"Aku juga bingung nih Ret, kalau benar pak Haris masih berharap supaya aku menari bersama Putri, lalu bagaimana?"
"Mas Galang juga bingung Jo. Pasti tak mudah membiarkanmu menari bersama isterinya dalam situasi seperti ini."
"Ada satu jalan," tiba-tiba Raharjo mengangkat kepalanya dan meletakkan tangannya diatas meja.
"Jalan apa Jo?"

Raharjo menatap Retno dengan mata disipitkan, ia menemukan keteduhan pada raut muka cantik itu, pada mata bening itu. Tapi Raharjo ragu-ragu mengungkapkan isi hatinya.
Retno mengalihkan pandangan kelain tempat, tak tahan ia dipandang begitu lekat oleh Raharjo.

"Ret, maukah kamu...." Raharjo menghentikan ucapannya.
"Maukah apa Jo?" Retno memandang Raharjo yang masih menatapnya lekat. Lalu ditundukkannya mukanya.
"Maukah kamu menjadi .. isteriku?"
Retno terkejut bukan alang kepalang. Sontak ia berdiri dari tempat duduknya.
"Ret, kamu marah?" lembut suara Raharjo.
"Kamu bicara tentang isteri seperti sedang menelan suatu makanan enak, yang setelah tertelan habislah nikmatnya."
"Aku serius," lirih suara Raharjo. Sungguh ia ketakutan telah mengucapkan kata-kata itu, padahal sudah lama disimpannya. Bagaimana kalau Retno marah, lalu membecinya? Tiba-tiba Raharjo menyadari siapa dirinya, hanya anak seorang pedagang makanan, yang sudah janda, tak punya harta..aduh, kalau dia menolak bagaimana? kata batin Raharjo.
"Tidak !!" lalu Retno berlalu keluar dari ruangan itu.

Tuh kan....Raharjo kemudian menutup mukanya dengan kedua belah telapak tangannya.Rasa sesal setelah mengucapkan kata-kata itu kemudian menghantui perasaannya.  Ingin ia mengejarnya, tapi diurungkannya. Retno pasti telah masuk keruangan pak Haris, mana mungkin ia bisa bicara leluasa disana? Tapi kalau sudah ketemu lalu akan bicara apa? Minta ma'af atas kelancangannya, begitu?Aduh, bagaimana ini, Raharjo bingung sendiri. Kata "tidak" yang baru saja didengarnya seperti suara geledeg disiang hari bolong.

Tiba-tiba suara intercom diruangannya berbunyi. Raharjo segera mengangkatnya.
"Raharjo, keruanganku sekarang," itu suara pak Haris.
"Baik pak," jawab
Raharjo mengusap peluh didahinya dengan tissue, lalu beranjak keluar ruangan, menuju ruang pimpinannya.

Ketika masuk, dilihatnya Retno sudah menekuni pekerjaannya, tanpa menoleh sedikitpun kearahnya.
"Selamat pagi pak," sapa Raharjo.
"Pagi Jo, duduklah."
Raharjo duduk menghadap pak Haris.
"Ini, laporan kamu sudah aku baca. Bagus, kalau PT Seribu bisa bekerja sama dengan kita. Nanti kamu lanjutkan pembicaraan yang sudah kamu lakukan sejak awal. Kamu boleh mengundangnya kemari supaya bertemu langsung dengan aku kalau semuanya sudah deal."
"Baik pak."
"Tapi kamu harus hati-hati, mereka itu orang-orang pintar yang sudah mumpuni dalam berbisnis."

Raharjo hanya mengangguk angguk. Pikirannya lebih tertuju kepada gadis cantik yang tampak tak perduli dengannya disudut sana. Aduhai, aku kan sudah tau bahwa aku ini laki-laki yang tak pantas bagi dia, kok aku nekat mengatakannya. Memang sih, sudah lama dia takut mengucapkannya, atau memang tak berani mengatakannya, karena merasa dirinya rendah. Tapi ia harus segera mengatakannya, maksudnya supaya kalau Galang tau mereka jadian, Galang tak usah cemburu lagi padanya. Tapi celaka tujuhpuluh lima nih, Raharjo gagal membuka sebuah jalan demi perdamaian.

"Jo, kamu lagi sakit? Sepertinya kamu kok nggak konsen sama apa yang aku katakan?" tegur pak Haris sambil memandangi Raharjo lekat-lekat.
"Ma'af pak, kepala saya sedikit pusing, tapi nggak apa-apa kok, baik, saya sudah mengerti yang bapak ucapkan, sungguh."
"Retno," tiba-tiba pak Haris berteriak.
"Ya om," jawab Retno sambil menghentikan pekerjaannya.
Raharjo ingin menoleh kesudut ruangan agar bisa menatap wajah Retno, tapi takut pak Haris mencurigainya.
"Ambilkan obat pusing untuk Raharjo dialmari obatku,"perintah pak Haris.
Retno segera berdiri, mengambil sebotol obat, dibawanya kehdapan pak Haris.
"Ini om."
"Kok gitu, ambilkan sebutir untuk Raharjo, sama air minumnya."
"Sudah pak, saya akan minum sendiri, saya punya obatnya," sergah Raharjo.
"Sudahlah, jangan menolak, aku nggak suka stafku bekerja menahan sakit. Mana air minumnya Ret."

Retno mengambilkan sebotol air putih, dan mengambil sebutir obat yang kemudian diserahkannya pada Raharjo.
Raharjo menerimanya. Ketika tersentuh sedikit jemari tangan Retno, Raharjo merasakan ada getaran disana. Raharjo segera menelan obatnya, padahal tadi dia tidak benar-benar pusing.

"Sekarang kembalilah keruangmu, nanti kalau sudah ada kesepakatan dengan PT Seribu, baru kamu laporkan kemari."
"Baik. Terimakasih pak, selamat pagi."
Pak Haris mengangguk.
"Oh ya Jo," pak Haris berseru lagi. Sering pak Haris bilang sudah menyelesaikan pemicaraan, tapi kemudian ada tambahannya lagi.
Raharjo berhenti, lalu membalikkan badan menghadap pak Haris.
"Galang sudah mulai membenahi rumah barunya, apakah kamu juga ingin berbenah lalu segera pindah? Nanti setelah pak Tarman selesai mengerjakan rumah Galang, kamu boleh memintanya membantumu juga."
"Baik pak," jawab Raharjo singkat. Ia belum kepikiran untuk pindah, apalagi sa'at ini hatinya sedang gundah.
"Oh ya Jo," tuh kan, masih ada lagi yang akan dikatakan pak Haris.
Raharjo gagal membalikkan badannya untuk pergi.
"Tentang perayaan ulang tahun perusahaan Jo, kamu sudah mempersiapkannya?"
Degg. Sebuah palu memukul dadan Raharjo. Apa yang harus dijawabnya?
"Segera persiapkan Jo, aku juga sudah memberitahu Galang."
Raharjo hanya mengangguk, dan benar-benar membalikkan badannya.

Raharjo melangkah keluar ruangan. Ada sikap canggung dari Retno ketika menyerahkan obat dan minuman itu. Raharjo kembali menyesali ucapannya tadi, dan berjanji akan minta ma'af se besar-besarnya. Tapi sekarang pak Haris menandaskan lagi keinginannya tentang tarian itu,. Raharjo tak tau, Retno menatap punggungnya dengan rasa iba.
***

"mBok, Adhitama sudah tidur kan?" kata Putri pagi hari itu.
"Ya jeng, simbok mau kepasar sekarang."
"Aku ikut ya mbok."
"Lha nanti kalau mas Adhit bangun bagaimana?"
"Kan cuma sebentar, nanti aku titipin sama ibu."
"Y sudah kalau begitu simbok tunggu," ujar simbok yang kemudian duduk ditangga teras.
"Bu... ibu.. Putri mau ikut simbok kepasar ya?"
"Adhit tidur?"
"Ya, kan kepasarnya nggak lama. Putri ingin ke Notosuman, pengin makan srabi Notosuman."
"Kalau begitu panggil Sarno saja, biar diantar Sarno. Notosuman dari Kusumoyudan kan lumayan jauh  Coba telepon Sarno, mungkin masih di kantor setelah mengantar bapakmu."
"Nggak bu, Putri ingin naik becak saja. Nanti ke Notosuman dulu beli serabi, trus ke pasar Kadipala. "
"Waaalahh, mutar-mutar itu jalannya.Tadi ibu suruh simbok ke pasar Gede untuk beli buah buat bapakmu."
"Memag Putri pengin jalan-jalan pakai becak," jawab Putri yang kemudian mengganti bajunya dengan celana jean dan kaos yang sedikit longgar. Sekarang ini Putri kurang suka memakai baju ketat seperti memperlihatkan keelokan tubuhnya. Galang pernah mengatakan kurang suka dengan baju ketat isterinya.

"Ayo mbok, cari becak dulu," teriaknya kepada simbok setelah berganti pakaian.
"Naik becak jeng?"
"Iya, aku ingin naik becak muter-muter mbok, ke Notosuman dulu ya."
"Lho, tadi bu Broto menyuruh simbok ke pasar Gede."
"Ya, aku ingin makan serabi Notosuman dulu, baru kita ke Pasar Gede. Eh bukankah Kaipala lebih dekat dengan Notosuman?"
"Pasar Gede cari buah yang bagus jeng,tadi keng ibu menyuruhnya begitu. ya sudah simbok cari becak dulu." kata simbok sambil berjalan kegerbang, tapi Putri mengikutinya dari belakang.
"Kita cari becaknya sambil jalan mbok."

Simbok terpaksa menuruti kata Putri, untunglah tak lama becak itu segera ditemukan diujung jalan disebelah barat rumahnya.
Putri tampak menikmati sekali berjalan jalan dengan becak dipagi itu. Ia bisa memandangi bangunan-bangunan dan hiruk pikuk disekitarnya dengan leluasa. Berbeda kalau ke mana-mana diantar mobil.

Sesampai di toko serabi itu ternyata pembeli berjubel, jadi harus ngantri. Simbok ingin turun sendiri saja, tapi Putri mengikuti masuk. Ternyata tidak hanya serabi dijual disitu, ada makanan lain yang semuanya mengundang selera.

Tiba-tiba Putri terkejut ketika seseorang memanggil namanya.
"Bukankah ini.. mbak Putri?"
Putri menoleh, seorang perempuan paruh baya dan seorang wanita lagi yang lebih muda bertubuh tambun sedang memandanginya.

Putri seperti teringat perempuan paruh baya itu, tapi lupa dimana.
"mBak Putri, saya kan bu Marsih, ibunya Teguh."

Putri tertegun memandanginya.

==========
(side b)

Putri tertegun. Iya benar, itu ibunya Teguh. Dia pernah kesana ketika itu, menangis dihadapan Teguh, lalu bu Marsih melihatnya. Mungkin bu Marsih sudah tau hubungannya dengan Teguh dulu. Putri jadi merasa nggak enak. Diulurkannya tangannya untuk menjabat bu Marsih dan menciumnya lembut.

"Apa kabar bu?" sapa Putri, sedikit gemetar.
"Baik mbak, sudah pernah ketemu Teguh? Dia sekarang di Jakarta.
"Oh, iya bu," jawab Putri tanpa mengiyakan pertemuannya dengan Teguh dua hari yang lalu.
"Apa kabar nak Putri?"
"Saya baik, saya sudah menikah dan.. anak saya... satu," lanjut Putri.
"Oh, syukurlah, Teguh malah belum mau menikah nih.

Tiba-tiba perempuan tambun yang sedari tadi diam saja mengulurkan tangannya menyalami Putri.
"mBak Putri, saya Naning."
"Oh iya," jawab PUtri singkat.
"Dulu saya pernah menjadi calon isterinya mas Teguh," lanjut Naning tanpa malu-malu.
Bu Marsih segera menowel lengan Naning keras-keras.
"Tapi mas Teguh nggak mau sama saya, jadi saya menikah dengan orang lain, seneng mas Teguh menungguin pernikahan saya kemarin," dan Naning tertawa kecil dengan lucu.
"Naning!! Kamu itu apaan sih.!"

Putri segera teringat ketika pada suatu hari menelpon Teguh, seorang perempuan menjawab dan mengakuinya sebagai calon isteri Teguh. Itu pula sebabnya semakin mantap hati Putri untuk melupakannya, apalagi ketika Galang memperhatikannya, mangasihinya, menjaganya dengan tulus. Dan Teguhpun hilang dari hatinya.

"Ma'af mbak Putri, dia  ini sebetulnya hanya suka bercanda."

Putri mengangguk pelan, dan Bu Marsih segera menarik Naning keluar dari warung srabi itu, karena tampaknya bu Marsih sudah selesai belanja srabi nya.
Putri kemudian duduk dibangku yang ada diruangan itu, dan memberi isyarat kepada simbok untuk memesankan apa yang diinginkannya.

"Srabi saja jeng?"
"Ya mbok, 2, yang biasa saja, aku nggak suka coklat."
"Yang digulung atau tidak?"
"Digulung mbok, "

Putri menunggu sambil mengibaskan bayangan tentang Teguh yang kembali melintas dibenaknya.
***

Sepulang kerja itu Raharjo mendahului pergi ke parkiran. Ia harus mengatakan pada Retno bahwa dirinya sangat menyesal. Bukankah awalnya Raharjo mengatakan bahwa ada satu jalan untuk melumerkan rasa cemburu dihati Galang? Dan menurut Raharjo jalan itu adalah yang tadi dikatakannya pada Retno, melamarnya. Sungguh ia tak menyangka Putri menolaknya. Dan penolakan itu menyadarkan Raharjo tentang siapa dirinya. Sesungguhnya ia bukan tak suka pada Retno, hanya takut, ragu-ragu, merasa rendah diri, dan tadi itu meluncur dari mulutnya begitu saja karena keinginan mencairkan suasana tegang diantara dirinya dan Galang. Kalau diterima Raharjo pasti bersyukur karena apa yang dikatakannya itu tidak bertentangan dengan hatinya. Dan ia akan segera menemui Galang untuk mengatakan bahwa Retno lah yang cintai, bukan Putri lagi. Tapi ternyata tidak, hati Raharjo lumat bersepih.

Ketika terdengar langkah kaki mendekat, Raharjo membalikkan tubuhnya, menghadap ke arah kedatangan Retno. Retno menatapnya seperti tanpa ekpresi, tampaknya ia benar-benar marah.
"Retno, aku mau ngomong sebentar, sebelum kamu pulang," kata Raharjo dengan jantung berdebar.
"Bisakah bicara didalam mobil?" tanya Retno sambil membukakan pintu mobil untuk Raharjo.
"Bolehkah ikut bersamamu seperti biasanya?" Raharjo ragu-ragu.
"Naiklah," kata Retno singkat, sambil memutari mobil dan membuka pintu depan lalu duduk didalamnya/
Raharjo masih berdiri dibawah, dengan pintu masih terbuka.
"Nggak mau masuk?"
Raharjo melompat kedalam dan menutup pintunya.

Retno menjalankan mobilnya pelan, keluar dari temat parkir. Dari kaca spion dilihatnya Galang baru menuruni tangga menuju tempat parkir mobilnya.
***

"Retno, aku minta ma'af, " kata Raharjo hati-hati.
Retno tak menjawab.
"Aku terlalu lancang, tak tau diri, berani mengucaapkan kata-kata itu." lanjut Raharjo.
"Kata-kata apa?"
"Bahwa aku melamarmu untuk menjadi isteriku. Aku tiba-tiba sadar, aku tak pantas mengatakannya, aku harus tau diri. Sungguh aku minta ma'af. Tadinya aku berharap, "ada jalan" yang aku katakan sebelumnya, adalah apabila aku dan kamu bisa bersatu dalam..... dalam... cinta," kata Raharjo semakin lirih, apalagi ketika mengucapkan kata cinta.

"Nah, itu."
"Apa?"
"Kamu mengatakan itu hanya karena ingin berdamai dengan mas Galang kan?"
"Lhoh," Raharjo bingung.
"Aku tidak mau menjadi alat damai untuk kalian. Pura-pura saling bersatu supaya rasa cemburu mas Galang cair? Tidak, aku menolaknya, aku tak mau berbohong dalam mempermainkan rasa."
"Retno, apa maksudmu?"
"Jo, kamu ini benar-benar bodoh."
"Benar," kata Galang singkat, lalu ia meluruskan pandang kearah depan, diiantara lalu lalang yang padat disore menjelang senja itu. Bukankah aku memang bodoh? Pikir Raharjo.
"Jo,"
"Aku melupakan siapa diriku, untuk itu aku minta ma'af, anggap saja aku tak pernah mengucapkan itu."
"Jo, bukan itu...."
"Kamu mau mema'afkan aku atau tidak?"
"Kamu tidak mengerti apa yang aku maksudkan Jo, aku tidak marah karena kamu mengucapkan itu, tidak. Aku sedih karena ucapan itu hanya karena kamu ingin berdamai dengan mas Galang, aku tadi sudah mengatakannya bukan?"
"Oh.. itu.." Raharjo benar-benar bodoh, tak mudah mencerna apa yang dikatakan Retno. Ia diam beberapa sa'at. AKU SEDIH KARENA UCAPAN ITU HANYA KARENA KAMU INGIN BERDAMAI DENGAN MAS GALANG. Ooo... Tuhan, Raharjo menyadari arti ucapan Retno.

"Kamu tidak mengerti juga?"
"Retno, tapi... aku.. aku juga .. sayang sama kamu," gemetar suara Raharjo ketika mengucapkannya, lalu dipandanginya wajah Retno yang kemudian memerah.
"Tapi... aku minta ma'af, tidak apa-apa kalau kamu menolaknya, sekarang aku tau diri,."
Retno tiba-tiba menghentikan mobilnya disebuah rumah makan. Lalu memarkir mobilnya disana.
"Retno, kamu lapar?"
"Ya, aku lapar, sesiang tadi perutku belum kemasukan apapun. Ayo turun," kata Retno yang kemudian turun dari mobil, diikuti Raharjo,
"Ma'af ya Ret."
"Aku ingin kamu mengucapkan kata-kata terakhirmu tadi, sambil kita makan."
"Tentang... aku minta ma'af?"
"Bodoh! Tentang perasaan kamu yang sesungguhnya."
"Tt..tapi..,"Raharjo begitu gugup. Tapi Retno menggandengnya memasuki rumah makan itu, lalu memilih duduk dimeja sudut yang jauh dari pelanggan yang lain.
"Jo, diluar ada penjual bunga, beli setangkat lalu berikan padaku sambil mengucapkan apa yang kamu rasakan kepadaku."
"Aap..apa?"
"Bodoh !!" Kata Retno lagi sambil duduk, tapi kemudian Raharjo mengerti. Ia berdiri. Lalu dibelinya bukan hanya setangkai bunga, tapi seikat bunga. Retno tersenyum geli.
"Kamu ini tidak romantis ya Jo? Mengucapkan cinta saja harus diberitau bagaimana caranya," ujar batin  Retno sambil tersipu. Sesungguhnya ia hanya ingin menggoda Raharjo. Sesungguhnya ia bahagia mendengar deretan kata Raharjo yang terakhir, lalu ia ingin mendengarnya lagi.  Kemudian ia menarik buku menu yang disodorkan dan me milih-milih makanan yang diinginkannya.

"Retno,"
Retno mendongakkan kepalanya, memandangi Raharjo yang memegangi seikat bunga, lalu diulurkannya padanya. Retno diam, menunggu sambil menatap mata Raharjo yang memandanginya dengan wajah pias. Retno tersenyum dalam hati. Pasti Raharjo ragu-ragu mengatakannya. Laki-lagi ganteng yang penakut. Pikir Retno.

"Retno, bunga ini untuk kamu," bisiknya lirih.
"Oh, terimakasih Jo, bunganya indah sekali." Tangan Retno mengulur, menerima ikatan bunga dari genggaman Raharjo. Tapi Raharjo malah menggenggam tangan lembut itu erat-erat, sehingga dua pasag tangan memegangi ikatan bunga. Retno tersipu sendiri. Ini idenya, tapi kemudian ia merasa sangat malu.

"Sebagai ungkapan rasa... cinta .. aku.. sama.. kamu... Ma'af kalau aku lancang," lirih kata itu. Retno sedikit kesal karena ada lanjutan kata ma'af disana.
"Tanpa kata ma'af Jo."
 "Aku, mencintai kamu.."

Dan mata Retno berkaca-kaca. Ber tahun-tahun dia menunggu kata itu, baru sekarang didengarnya. Ya Tuhan, alangkah indah sore itu.
***

Baru saja pak Tarman mengatakan kapada Galang bahwa sudah selesai membenahi rumah yang akan ditinggalinya.

"Baiklah pak, nanti waktu istirahat saya akan melihat kesana, lalu pak Tarman bisa membantu mengusung perabot yang perlu saya bawa dari rumah lama."
"Baiklah, saya akan menunggu diluar," jawab pak Tarman sambil berlalu.

Galang melanjutkan pekerjaannya. Waktu istirahat tinggal beberapa menit lagi. Ia sangat bersemangat untuk menata rumah barunya. Ia berjanji dalam hati, nanti kalau semuanya sudah siap Galang akan menelpon isterinya dan mengirimkan gambar rumah beserta isinya, dan setiap sudut yang ingin dipamerkannya . Galang tersenyum membayangkan isterinya dan Adhitama pasti menyukai rumah barunya.

Ketika kemudian ia menemui pak Tarman diluar, dilihatnya Raharjo sedang berbincang dengan pak Tarman. Galang ingin menghentikan langkahnya lalu kembali keruangannya, tapi Retno keburu melihatnya. Rasa sungkan membuat langkahnya terus berlanjut.

"Mas, rumah mas Galang sudah oke kata pak Tarman, " kata Retno riang.
"Ya, terimakasih telah membantu memikirkan penataannya," jawab Galang sambil tersenyum.
"Nanti aku sama Raharjo mau ikut bersama pak Tarman," lanjut Retno
"Aap..pa?"
"Kami ingin melihat rumah baru mas Galang. Mungkin Raharjo juga sedang memikirkan rumah barunya nanti." kata Retno.

Galang tak bisa mengatakan tidak. Walau tak banyak yang dikatakannya, Galang membiarkan Raharjo dan Retno ikut bersamanya.

Bersambung #28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER