Cerita Bersambung
(side a)
Sebelum sampai, Retno minta agar Galang berhenti diwarung makan untuk membeli makan dan minum untuk mereka.
Mereka tiba dirumah dinas Galang, dan Galang merasa puas dengan hasil kerja pak Tarman.
"Barang-barang yang mau saya bawa sudah saya kumpulkan pak Tarman, nanti pak Tarman boleh mengusungnya kemari dan menatanya sekalian."
"Baik pak, nanti sore saja ketika pak Galang sudah ada dirumah, jadi gampang mengambilnya," kata pak Tarman.
"Baik," jawab Galang singkat, kemudian mempersilahkan Retno dan Raharjo duduk dibangku taman yang sudah ditata apik oleh pak Tarman. Pohon-pohon mawar sudah tersebar dikebun kecil itu, dan sebagian telah berbunga, merah dan kuning.
"Semoga Putri senang melihat kebun mawarnya," ucap Galang sambil duduk.
Raharjo menundukkan kepalanya. Ia bahkan tak tau bahwa Putri suka bunga mawar. Rupanya Galang lebih mengerti tentang Putri daripada dirinya. Raharjo mengibaskan perasaan menyesalnya. Ia sudah memilih hidupnya dan itu yang terbaik bagi dirinya. Omelan-omelan Retno selalu terngiang ditelinganya, dan Raharjo tidak menampiknya. Ia harus melanjutkan hidupnya dan tidak tenggelam dalam mimpi-mimpi kosong.
"Nanti setelah selesai, pak Tarman akan membenahi rumah Raharjo, bukankah demikian Jo?"
Raharjo yang semula membuka-buka ponsel mendongakkan kepalanya. Ada WA dari ibunya yang mengatakan bertemu Putri di toko serabi. Tapi Raharjo tak mengomentarinya. Ia juga tak tau mau berkomentar apa, kan dia sudah tau bagaimana keadaan Putri sekarang.
"Jo.., lagi WA nan sama siapa? Asyik bener.." tegur Retn
"Sama ibu, oh ya.. kamu ngomong apa?"
"Huh, kebiasaan deh. Itu, pak Tarman nanti setelah selesai menata rumahnya mas Galang, sekaliyan membenahi rumah baru kamu kan?"
"Oh, iya, tapi kamu saja nanti yang mengaturnya.
"Hm, gitu ya?" jawab Retno sambil tersenyum.
Galang membuka ponselnya, memotret semua isi kebun, rumah dari depan, lalu dia masuk kedalam setelah berpamitan.
"Sebentar ya, mau memotret isi rumah juga, lalu aku kirimkan ke Putri."
"Oh ya mas, silahkan," jawab Retno sambil menata makan dan minumnya dimeja taman itu.
"Pak Tarman, sini... ini minum sama makan pak Tarman dan teman-teman pak Tarman." Kata Retno sedikit berteriak. Pak Tarman tergopoh mendekat dan mengambil jatah yang diberikan Retno.
"Terimakasih bu Retno."
"Sama-sama pak Tarman."
Raharjo masih membuka-buka ponselnya, tapi tak menulis apapun. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi ragu-ragu. Ia melihat sikap Galang belum seperti biasanya.
"Jo, katanya mau ngomong," kata Retno sambil meneguk botol minumannya.
"Oh, eh.. iya.. eh.. apa? Ngomong apa?"
"Waduuh, bener-bener nih orang. Kenapa pak Teguh Raharjo akhir-akhir ini jadi kuper ya?"
"Ya, bener kamu, aku jadi bodoh. Gimana sih, ngomong apa?"
"Katanya mau ngomong sama mas Galang, biar nggak canggung gitu lhoh, masa diem-dieman semua."
"Aku lagi nyusun kata-kata nih."
"Udah jadi belum?"
"Belum,"
"Iih.... "
"Bodoh..bodoh..bodoh..." kata Raharjo mendahului sebelum Retno mengatakannya.
Retno tertawa. Galang sudaah keluar dari dalam, laluf kembali duduk diantara mereka.
"Ini mas, makan dan minum dulu, sudah disiapin lho.." kata Retno.
"Oh, ya, terimakasih. Ini kalian menunggu aku?"
"Ya iyalah, masa kami makan duluan, bisa kualat mendahului yang tua," canda Retno sambil membuka bungkusan.
"Sebentar, aku mengirimkan foto-foto rumah ini dan sekitarnya ini dulu buat isteriku," kata Galang yang kemudian sibuk mengirimkan foto-fotonya.
"Pasti bu Galang senang, dan nanti begitu kembali sudah langsung kerumah ini kan mas?"
"Ya, aku harap begitu. Nah, sudah oke, ayo kita makan," kata Galang dengan sikap sedikit manis. Aneh rasanya duduk bersama dalam suasana kaku.
"Mas Galang," kata Raharjo.
Galang mengangkat mukanya.
"Aku minta ma'af kalau membuat suasana jadi tidak enak," kata Raharjo sambil meraih kotak nasinya untuk mengurangi rasa canggung.
"O, nggak apa-apa kok, ayo makan saja," jawab Galang sambil menggigit dada ayam yang sudah dipegangnya.
"Mas, aku... ingin memberi tau... bahwa.."
Galang menghentikan menyendok nasinya, menunggu.
"Bahwa aku dan Retno... mm.. aku.. akan segera menikah.."
Galang menghentikan menguyah ayamnya.
"Maksudnya aku sama Retno.."
"Haaa..." pekik Galang yang kemudian menggigit lagi ayamnya lalu menyendok nasinya.
"Mohon do'anya," lanjut Raharjo yang mebudian membuka kotak nasinya.
"Jadi... kalian akan menikah?"
"Ya mas, keburu tua," kata Raharjo saambil tersipu. Ia lega telah mengatakannya, dan berharap berita itu membuat rasa cemburu dihati Galang segera mencair.
"Aku sudah bilang, kalian cocog, ber kali-kali kan aku bilang?" Galang merasa bahwa nasi ayam yang dimakan siang itu amatlah nikmat.
"Ayamnya enak, bumbunya merasuk sampai kedalam," gumam Galang sambil menggigit lagi paha ayamnya, sampai habis.
"Alhamdulilah, lain kali makan-makan disana ya," celetuk Retno.
"Siip.. aku setuju," kata Galang bersemangat.
"Waduh, dimana cuci tangannya?"
"Itu ada ledeng mas.. yang tampaknya dipergunakan untuk menyiram bunga."
"Oh iya, Galang berdiri untuk mencucig tangannya sementara yang lain belum menghabiskan makannya. Apakah ketegangan mulai mencair?
"Oh ya..ada yang mau saya katakan," kata Galang tiba-tiba setelah selesai mencuci tangannya. Ia mencium bau tangannya, masih amis karena nggak ada sabun. Galang mengernyitkan hidungnya. Retno yang pengertian segera mengambil tissue basah dan diberikannya pada Galang.
"Ini mas, pasti bisa mengurangi amisnya."
"Terimakasih, aduh aku tadi mau ngomong apa ya, hmmm... oh.. itu.. Jo, pak Haris tetap meminta kamu menari bersama isteriku."
Raharjo baru saja menenggak air dalam botol minumannya, tersedak tiba-tiba.
"Jo, pelan-pelan," kata Retno.
Raharjo menghabiskan minumannya, lalu berdiri untuk mencuci tangan seperti Galang telah melakukannya.
"Pak Haris meminta tarian itu, tapi apakah mas Galang mengijinkannya?" tanya Retno tiba-tiba.
Galang mengelap mulutnya dengan tissue. Raharjo telah kembali dan mengambil tissue basah yang masih terletak dimeja. Kemudian duduk ditempatnya semula. Ia menata degup jantungnya ketika pembicaraan mengarah ke acara tarian itu.
"Pak Haris berkali-kali mengingatkan tentang tarian itu. Tapi aku tidak tau apakah Raharjo bersedia atau tidak," kata Galang seperti berkata pada dirinya sendiri."
"Itu kan tergantung mas Galang, mas Glang mengijinkan atau tidak?" tanya Retno menengahi, karena ia tau Raharjo tak akan bisa menjawabnya.
"Jo, kalau kamu mau, besok ketemu sendiri sama isteriku, tanyakan sama dia, apakah diah mau atau tidak.h Kalau mau.. ya.. silahkan.."
***
Putri tersenyum-senyum sendiri ketika membuka ponsel dan Galang mengirimkan foto rumah dinasnya.
"Bagus, aku suka mas Galangg menanam mawar untuk aku juga. Ada yang kembang nih, merah sama kuning," pekik Putri sambil membalas WA Galang yang telah mengirimkan foto-foto rumah dinasnya. Sangat menyenangkan. Kamar tidurnya juga besar, box nya Adhitama tak akan memenuhi kamar itu. Ada ruangan cukup untuk Adhitama bermain. Dengan antusias dia membalas WA suaminya.
"Ada apa kamu bicara sendiri nduk?"Tanya bu Broto sambil mendekati Putri.
"Ini bu, ini foto-foto rumah yang akan kami diami nanti, ini rumah dari perusahaan," kata Putri sambil menunjukkan foto-foto itu.
"Wah, bagus nduk, jauh lebih bagus dari rumah kontrakanmu," pekik bu Broto senang.
"Iya bu, itu kan ketika awalnya kami hidup susah."
"Kamu pasti senang, banyak pohon mawar juga, aduh ini yang merah cantik ya."
"Besok kalau mas Galang menjemput aku, ibu ikut ya?"
"Kelihatannya menyenangkan, tapi bapakmu bagaimana? Ibu tuh masih takut pergi jauh, karena bapak kan baru sembuh dari sakitnya. Itupun sudah langsung pergi ke kantor setiap hari. Jengkel aku, susah diingatkan."
"Iya, ibu harus sabar."
"Ya nanti melihat situasi ta nduk, kalau bisa ya sehari dua hari ikut ke Jakarta juga nggak apa-apa."
Suara mobil terdengar memasuki halaman, pak Broto langsung turun dan memasuki rumah. Dilihatnya isterinya sedang duduk bersama Putri.
"Ada apa nih? Kayaknya lagi pada seneng," tegur pak Broto.
"Itu lho pak, Galang mengirimkan foto rumah dinasnya. Coba perlihatkan kepada bapak nduk," pinta bu Broto kepada Putri, yang kemudian mengangsurkan ponselnya.
"Hm, ini rumah biasa saja," kata pak Broto sambil membuka buka foto itu.
"Itu bagus pak, nanti kalau Galang menjemput kita ikut yuk?"
"Ah, enggak bu, kantor lagi banyak pekerjaan. Selama aku sakit semuanya jadi tidak terkontrol."
Bu Broto mengeluh.
"Ini ponselmu, bukankah masih bagus rumah yang bapak berikan ketika kamu menikah lalu ditolak oleh suamimu?" kata pak Broto sambil mengembalikan ponsel Putri, lalu berjalan kedalam, diikuti isterinya. Tak ada yang menanggapi kata-kata pak Broto, daripada pembicaraan jadi panjang.
Putri menerima ponselnya kembali dengan wajah cemberut, sedikit kesal atas komentar bapaknya. Lalu dibukanya lagi WA karena ada yang masuk. Ternyata dari suaminya lagi.
"PUTRI, INI AKU SEDANG BERSAMA RAHARJO. PAK HARIS MENGINGATKAN TENTANG TARIAN ITU. KALAU KAMU BERSEDIA, BICARA SENDIRI SAJA SAMA RAHARJO."
Itu balasan WA dari Galang. Putri terkejut sekali. Jadi ia harus menari bersama Teguh?
==========
(side b)
Putri tak ingin membalas kata-kata itu. Bagaimana ia harus bicara dengan Teguh, sementara baru ketemu sebentar saja Galang sudah ngambeg lalu meninggalkannya di Solo.
Ia kemudian masuk kekamarnya, menyimpan ponselnya disana, lalu mencari Adhitama keruang tengah. Si kecil tampan itu sedang mengangkat angkat kakinya keatas, lalu memasukkan ibu jarinyaa ke mulut.
"Haii... sayang, enaknya ibujari kaki kamu," teriak Putri lalu merebahkan tubuhnya didekat Adhitama.
Adhitama tertawa-tawa melihat ibunya ada didekatnya, lalu dimiringkannya tubuhnya. Rupanya si kecil sedang berusaha tengkurap.
"Mas Adhita itu pinter sekali jeng, baru tiga bulan sudah mau tengkurap, lihat tuh.. sudah berhasil dia... waah.. ayo pinter..." teriak simbok yang baru keluar dari dapur. Ditangannya ada sepiring srabi yang dia beli tadi pagi.
"Jeng, ini srabinya, nanti lupa dimakan," kata simbok.
"Lho, simbok nyimpennya dimana, aku jadi lupa kalau tadi minta dibeliin lagi."
Putri duduk, lalu mencomot sepotong srabi dari piring yang disodorkan simbok.
"Pagi-pagi sudah bilang pengin dibelikan srabi kok lupa. Simbok naruhnya ya dimeja makan."
"Hm... aku tuh tiba-tiba pengin banget makan srabi lho mbok, nggak tau berarapun aku sikat habis," kata Putri dengan mulut penuh makanan, sementara tangan yang lainnya mencomot sepotong lagi.
"So'alnya lama nggak pulang ke Solo, jadi kangen rasanya srabi. Memangnya di Jakarta nggak ada ta jeng?"
"Ada sih, tapi aku belum pernah beli, nggak tau juga tempat srabi yang kayak begini itu dimana penjualnya."
"Katanya sudah ada dimana-mana kok.."
"Ya, nanti aku minta mas Galang untuk mencarinya. Ayo mbok, kamu juga ambil," kata Putri, lalu tangannya mengambil lagi satu. Simbok menutupi mulutnya sambil tertawa.
"Lha nanti kalau simbok ikutan makan, bisa-bisa jeng Putri nyuruh simbok beli lagi."
"Nggak sekarang, tapi besok kalau ke pasar pokoknya beli lagi ya mbok. Nggak usah banyak-banyak, satu kotak cukup. Habis yang makan cuma aku saja."
"Yang lain sudah bosan jeng. Tapi ngomong-ngomong... jangan-jangan jeng putri ngidam.." celetuk simbok tiba-tiba. Putri terkejut, dielusnya perutnya perlahan.
"Aah, simbok ada-ada saja, nggak ah.. kan kalau ngidam itu mintanya lotis.. rujak.. gitu, masa srabi?"
"Lho, yang namanya jabangbayi itu mintanya semaunya jeng, ada yang minta lotis setap hari, ada yang minta srabi... nggak apa-apa jeng, biar hamil lagi, supaya mas Adhit ada temannya bermain."
Putri kembali mengelus perutnya. Masih rata kok.. pikirnya. Tapi ada harap-harap cemas dirasakannya.
***
Galang menunggu jawaban Putri, tapi ponsel itu sudah dimatikan. Apakah Putri menolaknya?
"Dia belum jawab mau atau tidaknya Jo, nanti saja kalau dia sudah kembali bisa bicara lagi," kata Galang kepada Raharjo yang sejak tadi diam terpaku. Ia membayangkan bagaimana nanti ia harus bersikap kalau bertemu Putri, lalu apakah nanti Galang akan memeloototi keduanya ketika sedang bicara? Entahlah.
"Oh ya, ganti topik dulu saja. Kapan rencana kalian akan menikah?" kata Galang mengalihkan pembicaraan.
Raharjo mengangkat wajahnya, lalu saling pandang dengan Retno. Retno menggeleng-geleng.
"Terserah kamu saja," katanya lirih.
"Aku harus menemui kedua orang tuanya dulu mas, masih was-was kalau nanti ditolak, lalu diusir dari rumah itu."
"Eeeh, masak orang tuaku sejahat itu?" seru Retno.
"Ya belum tau, ini kan masalah kehidupan anaknya Ret, mana mungkin orang tua mau menerima menanntu sembarangan. Aku ini kan...."
"Stop Jo, kalau kamu memang nggak mau melamar kepada orang tuaku ya terserah. Kata Retno sambil cemberut.
Galang tertawa keras. Alangkah merdu suara itu, pikir Retno. Rupanya hati Galang sudah mencair. Syukurlah, pikirnya.
"Ini kok terus jadi aneh. Masa mau dilamar saja pakai memasang wajah cemberut."
"Mas, dia itu penakut, masa belum-belum sudah membayangkan buruknya?"
"Ya Jo, jadilah laki-laki sejati. Orang melamar memang ada resikonya Jo, resiko ditolak sama mertua. Eh, pengalaman pribadi ya?" Galang tiba-tiba teringat kisah cinta Teguh dan Putri yang pernah didengarnya dari Raharjo juga.
Raharjo merasa sungkan karena kata-kata Galang seperti menyindirnya.
"Nggak, nggak.. aku nggak takut, kapan kamu mengijinkan aku menemui orang tua kamu?"
"Terserah kamu, kamu yang mau melamar," kata Putri, masih dengan wajah cemberut.
"Sudah dong cemberutnya, kalau perlu Raharjo akan melamar kamu besok, biar aku yang mengantar," kata Galang sambil menatap Retno.
Raharjo tertawa.
"Secepatnya, kan rumahnya baru mau ditata?" kata Raharjo yang kemudian membuat Retno tersenyum.
***
Digulung hari demi hari, kebekuan hati mulai mencair, dan semua mulai membenahi hidupnya masing-masing.
Hari itu Galang memasuki halaman rumah mertunya dengan hati yang mantap. Diteras, dilihatnya Adhitama sedang digendong simbok. Setengah berlari Galang menemuinya.
"Haloo... gantengnya bapak," seru Galang sambil mengambil Adhit dari tangan simbok. Simbok berlari kebelakang untuk memberitahu momongannya.
Adhit terkekeh senang ketika Galang mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi, lalu menciuminya penuh rindu.
"Kamu juga kangen sama bapak ya? Bapak juga kangen sama kamu," lalu Galang mengangkatnya tinggi lagi, dan Adhitpun terkekeh lagi.
"Eeeh.. mas, ya ampuun.. hati-hati.. " pekik Putri yang kemudian memeluk suaminya erat-erat.
Galang memeluk keduanya, mencium pipi dan kening isterinya dengan hangat.
"Aku kangen sama kamu," bisik Galang lirih, tapi kedua tangan Adhitama tiba-tiba menutupi wajah ayahnya sambil berteriak teriak senang.
"Aauuuw... Adhit.. bapak nggak boleh ya mencium ibu?" seru Galang yang masih saja memeluk keduanya.
"Ayo masuk mas, bapak sama ibu ada didalam." ajak Putri sambil menarik tangan suaminya.
Galang melangkah masuk sambil menggendong Adhit, dan menggandeng tangan isterinya.
"Mengapa tadi nggak bilang supaya Sarno bisa menjemput kamu Galang," tegur pak Broto sambil menerima uluran tangan Galang untuk diciumnya.
"Cuma sendirian saja pakde, nggak apa-apa," jawab Galang sambil mencium tangan bu Broto juga.
"Galang, sebaiknya bawa dulu anakmu kesini, lalu kamu cuci kaki tangan, baru gendong Adhit lagi." tegur bu Broto sambil tersenyum.
"Iya, ma'af bude, habis Galang sudah kangen sekali," jawab Galang sambil mengulurkan Adhit ketangan neneknya. Adhit tampak tak terima, tangannya melambai kearah Galang sambil merengek.
"Sebentar sayang, sama eyang putri dulu, bapakmu harus cuci kaki tangannya sebelum gendong kamu," hibur sang nenek sambil berdiri.
Galang sudah masuk kekamarnya, rupanya karena udara gerah Galang sekalian mandi dan Putri sudah menyiapkan baju ganti yang bersih.
"Terimakasih sayang, ber-hari-hari aku melayani diriku sendiri, tapi sekarang ada kamu," kata Galang sambil memeluk isterinya.
"Eeiitt.. pakai baju duluuuu," teriak Putri karena Galang hanya membalutkan handuk sebatas pinggang.
"Biarin saja, kan hanya ada kamu, apa aku harus malu?"
"Maas..."
"Kok teriak sih, nanti bapak sama ibumu dengar bagaimana?"
Putri tersenyum dan tak mampu menjawabnya. Kerinduan yang tertahan selama ber hari-hari memercikkan bunga-bunga api yang menyengat dan kemudian terburai dengan indahnya dilangit sana. Alangkah indah hari ini.
***
Akhirnya pak Broto dan bu Broto ternyata ingin ikut bersama menantunya. Berat rasanya ditinggalkan cucu kecil yang sedang lucu-lucunya.
Begitu memasuki halaman rumah dinas barunya, Putri tertegun.
"Inikah rumah kita mas? Bagus sekali, aduuh.. mawar-mawarku..." pekik Putri begitu turun dari dalam taksi yang ditumpanginya, lalu berlari-lari kecil mendekati kebun mawarnya, ada empat bunga yang sedang berkembang, merah, putih, kuning, satinya seperti batik, merah putih.
Galang tersenyum melihat ulah isterinya. Ia mempersilahkan pak Broto dan bu Broto masuk, sementara simbok menggendong Adhit yang terlelap tidur. Mungkin capek karena sepanjang perjalanan bercanda dengan ayahnya.
"Rumahmu ini lumayah Lang,aku suka," kata pak Broto memuji.
"Terimakasih pakde," jawab Galang senang.
"Tapi ini kan rumah dinas, bukan punya kamu sendiri," lanjur pak Broto. Yaah, ada tapinya juga, pikir bu Broto yang berjalan disampingnya, mengikuti suaminya melihat -lihat seisi ruangan.
"Galang dan Putri baru memulai hidupnya, ya nggak apa-apa rumah dinas. Ini bagus, ada AC disetiap ruangan, kamarnya tiga besar-besar. Perabotnya bagus semua. Ada kaca besar yang persis sepert punyaku ya pak," kata bu Broto bersemangat.
"Punya ibu yang mana yang persis seperti itu?"
"Yang ada dikamar, yang diberi dari sahabat ibu yang rumahnya Semarang itu. Persis ini lho pak."
"O, dari jeng Lies itu? Iya, mirip," kata pak Broto sambil terus berjalan mengitari rumah.
"Eh, mbok, ayo aku antar kekamarmu. Ayo sini, agak dibelakang, tapi semua barang-barang simbok sudah aku angkut kesini semua. Sini mbok.." kata Galang sambil menarik lengan simbok.
"Waah, kamarnya simbok bagus sekali, ada gambarnya nyonyah cantik, yang dibawahnya ada jam nya." pekik simbok senang. Ia membuka sebuah almari yang ada disana dan membukanya.
"mBok, barang-barangmu masih ada di dalam kooper dan kardus besar itu, aku belum menatanya, takut salah, nanti simbok bisa menatanya sendiri."
"Iya pak, nggak apa-apa, nanti simbok mengaturnya sendiri."
"Sini, Adhit biar aku tidurkan dikamarnya," kata Galang sambil meminta Adhit dari tangan simbok.
"Kalau sudah, ada sayuran, ikan dan bumbu-bumbu didapur, simbok silahkan memasaknya semau simbok. Kalau ada yang kurang bilang saja, ada mini market disebelah, tinggal beli," lanjut Galang.
"Waah, benar=benar sudah lengkap. Saya masak dulu saja mas, menata kamarnya bisa nanti saja. Yang penting semua bisa makan siang dirumah," ujar simbok sambil menuju ke dapur yang ditunjuk Galang.
Galang mengangguk, membawa Adhit kakamarnya, memasukkan kedalam boxnya, lalu menutupkan pintunya.
Kedua orang tuanya sedang duduk diruang depan, sambil memandang kearah kebun yang asri. Putri baru saja melihat-isi rumahnya, lalu ikut duduk bersama mereka.
"Mas Galang sudah mengusung semua yang kami perlukan dirumah ini. Bahkan dia sudah belanja sayur dan ikan beserta semua bumbunya, hebat suamiku bukan?" kata Putri riang.
Galang hanya tersenyum, melirik gemas kearah isterinya.
Pak Broto membuka ponselnya, mengirim pesan kepada anak buahnya, tentang apa yang harus mereka lakukan sepanjang kepergiannya.
"Bapak itu, mbok ya santai saja, jangan memikirkan pekerjaan kalau lagi bepergian," keluh bu Broto melihat suaminya masih berkutat dengan pesan-pesannya.
"Ah, kamu itu bu, urusan pekerjaan harus selalu dikontrol, kalau tidak bisa kacau seperti waktu aku sakit itu dan nggak sempat menata pekerjaanku." omel pak Broto.
Tiba-tiba ponsel Galang berdering. Dari pak Haris?
"Halo selamat siang pak Haris,"
"Kamu sudah sampai di Jakarta?"
"Sudah pak,"
"Sudah menempati rumah barumu?"
"Sudah pak, kami baru saja sampai. Kedua mertua saya juga ada disini pak."
"Wah, senang ya ditungguin mertua. Sampaikan salam saya ya buat bapak dan ibu mertua kamu."
"Nanti saya sampaikan pak."
"Galang, besok itu aku harus pergi ke Singapur, ada undangan sahabat disana yang nggak bisa aku tolak."
"Oh, berapa hari pak?"
"Mungkin hanya dua atau tiga hari, tapi aku minta mulai besok pagi kamu sudah harus membentuk team untuk perayaan kita yang tinggal beberapa minggu lagi lho."
"Oh, baik pak."
"Jangan lupa tarian Raharjo bersama isterimu, aku ingin sekali melihat tarian Jawa, dan kalau itu dilakukan oleh karyawanku serta keluarganya, aku akan senang sekali," kata pak Haris bersemangat.
Pembicaraan itu kemudian berakhir setelah pak Haris mengatakan semua pesan yang harus dilakukan Galang ketika dia pergi.
Galang menutup ponselnya dengan wajah lesu.
"Ada apa mas?"
"Pak Haris mengingatkan, besok aku sudah harus bisa mengatur terselenggaranya perayaan ulang tahun perusahaan. Dan kamu diharapkan bisa menari bersama Raharjo."
Putri diam tercenung di kursinya, sementara pak Broto mengangkat kepalanya, dan menunjukkan wajah kesal.
"Apa Lang? Kamu mau menyuruh isteri kamu menari? Tidak! Aku tidak mengijinkan anakku menari lagi." kata pak Broto tandas, matanya tajam menatap Galang yang lemas tanpa daya.
Bersambung #29
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel