Cerita Bersambung
(side a)
Pak Sarno memacu mobilnya menuju rumah majikannya. Disepanjang perjalanan pak Broto mengomel tak henti2nya.
"Bocah tak tau diuntung. Bisa saja membohongi orang tua hanya karena laki2 tak berguna itu."
"Sabar pak, barangkali jeng Putri sudah sampai rumah," hibur Sarno karena majikannya terus menerus mengomel.
"Tadi kan aku sudah tilpun kerumah, dan dia belum sampai rumah."
"Mungkin memang belum sampai pak."
"Tapi perasaanku berkata lain. Pasti ia pergi kerumah Teguh. Kamu tau dimana rumah dia?"
"Nggak tau tuh pak."
"Waduh, harus bertanya pada siapa ya, aku yakin dia pasti kesana. Heran aku dengan cara berfikir bocah itu. Kalau bener dia jadian sama Teguh, mau makan apa dia? Selama ini makan enak tidur nyenyak, semua keinginan aku berikan. Apa Teguh bisa memberikan itu semua?"
"Sabar dulu pak, barangkali jeng Putri sudah sampai rumah."
"Baiklah, percepat mobilnya, nggak sabar aku."
"Ya pak, jalanan ramai karena ini sa'atnya pulang sekolah."
Pak Broto mengeluh. Dia merasa mobilnya merayap seperti siput.
Tapi begitu memasuki rumah, tampak bu Broto menunggu diteras rumah, wajahnya tampak cemas. Pak Broto yang buru2 turun dari mobil bergegas menghampiri isterinya.
"Belum pulang juga?"
"Belum pak, kemana dia?"
"Sudah aku duga, dia lari kerumah laki2 itu."
"Mengapa bapak tidak langsung mencarinya kesana dulu?"
"Kesana bagaimana, rumahnya saja aku nggak tau. Sarno juga nggak tau."
"Bagaimana pak.. Oh ya, Putri kan latihan menari .. dan juga bersama Teguh, coba Sarno suruh bertanya kesana, pasti mereka tau.Entah temannya, atau pengurusnya."
"Iya juga ya. Sarno... kesini !"
"Ya pak."
"Kamu ke tempat Putri latihan tari ya, tanya kepada siapapun juga dimana rumah Teguh, lalu kamu langsung mencarinya kesana."
"Baik pak."
"Jangan pulang tanpa membawa Putri."
"Baik"
***
"Permisi..." suara halus itu mengalun dari pintu depan. Teguh merasa suara itu tidak asing baginya.
"Permisi.." ulang suara itu. Tampaknya bu Marsih sedang tak ada dirumah.
Teguh yang sedang melamun dikamarnya melompat keluar kamar dan menuju depan rumah menghampiri arah datangnya suara itu.
"Putri?" teriaknya sambil menghambur kearah Putri yang kemudian merangkulnya sambil menangis tersedu.
"Bagaimana kamu bisa kemari? Apa ayahmu tidak menjemputmu? Setiap hari aku lewat didepan sekolahmu, dan selalu melihat mobil ayahmu sudah menunggu disana."
"Aku ijin pulang sebelum jam pelajaran selesai. Aku ingin bertemu kamu Teguh. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu."
"Ayo masuk dan duduklah dulu," kata Teguh sambil menggandeng Putri masuk kedalam rumah.
Putri duduk dan masih sibuk mengelap wajahnya dengan tissue karena tangisnya belum juga berhenti..
"Bagaimana kamu ini, pasti ayahmu marah karena kamu kemari," kata Teguh sambil ikut mengusap air mata Putri.
"Apa kamu tidak suka aku datang kemari?"
"Suka, suka sekali, tapi ini cara yang tidak benar Putri, kamu diam2 pergi dan pasti ayah ibumu kebingungan mencari kamu."
"Aku tidak tahan Teguh, aku nggak bisa hidup tanpa kamu."
"Jangan begitu Putri. Kita sudah melakukan hal yang salah. Kita tidak bisa menyalahkan ayahmu. Orang tua mana yang suka melihat anak gadisnya berhubungan dengan laki2 yang belum jelas masa depannya? Jangan salahkan ayahmu Putri, dia benar."
"Teguh, aku bersusah payah datang kemari dan kamu malah menyalahkan aku?"
"Bukan menyalahkan Putri, aku hanya mengingatkanmu."
"Aku tidak tahan Teguh. Jadikan aku isterimu."
Teguh terkejut mendengarnya. Dia berfikir Putri terlalu terburu buru. Ia mengira sebuah perkawinan itu begitu mudahnya.
"Dengar Putri, kalau dipikir pikir, kita ini masih terlalu muda untuk memikirkan itu."
"Kamu tidak cinta aku Teguh, aku benci kamu."
Tiba2 tangis Putri meledak. Teguh merangkulnya.
"Tenang Putri, jangan berkata begitu, kamu salah terima. Aku sangat mencintai kamu. Sangat, lebih dari apapun. Tapi baiklah, kita endapkan dulu perasaan kita itu, dan mari kita melanjutkan sekolah kita, lalu biarkan aku bekerja, dan setelah itu aku akan melamarmu. Itu lebih baik bukan?"
"Bapak tidak akan mengijikanmu Teguh, percayalah."
"Kalau sekarang aku bisa menerimanya, tapi nanti kalau aku sudah bisa berdiri tegak dan siap menghidupi seorang isteri, aku akan berani melakukannya, apapun akan aku lakukan untuk mendapatkanmu Putri."
"Teguh.. aku bingung," tangis Putri sedikit mereda.
"Tenangkan hatimu dan teruskan sekolahmu. Kita akan bersatu, percayalah. Tapi bukan sekarang."
Putri mengusap air matanya. Ada sedikit kata2 Teguh yang bisa diterima akal sehatnya. Mungkin Teguh benar, mereka masih kanak2. Putri teringat kata2 simbok, itu cinta monyet. Masih suka meloncat loncat. Ah tidak, Putri berjanji tidak akan meloncat kemanapun. Hanya Teguh yang dicintainya.
"Putri, ayo aku mengantarmu pulang."
"Teguh.." Putri masih ingin membantah.
"Bapak dan ibumu pasti kebingungan mencarimu. Ayo.. aku keluarkan dulu sepeda motorku ya."
Teguh menuju kesamping rumah, dan sa'at itulah bu Marsih datang. Agak heran bu Marsih melihat seorang gadis cantik duduk dikursi tamu ambil mengusap sisa airmatanya.
"Oh, ada tamu rupanya," tegur bu Marsih yang belum pernah melihat Putri.
Putri berdiri, dan menyalami bu Marsih dengan mencium tangannya.
"Temannya Teguh?"
"Ya bu."
"Oh. baiklah, mana Teguh?"
"Ini aku bu," teriak Teguh dari depan. Rupanya ia sudah mengeluarkan sepeda motornya dari samping rumah.
"Silahkan duduk nak, ibu buatkan minuman ya?"
"Nggak usah bu, saya mau pamit."
"Ya bu, Teguh mau mengantarkan pulang dulu ya bu. Oh ya, ini namanya Putri, teman Teguh menari."
"Oh, senang nak Putri mau datang kegubug ibu ini."
Putri mengangguk, ia sangat terkesan dengan keramahan ibunya Teguh ini. Apakah hanya orang kaya saja yang memiliki sifat congkak dan sombong? Ia bandingkan bu Marsih dengan ayahnya. Jauh sekali bedanya.
"Ayo Putri, jangan kesorean"
Putri membonceng Teguh meninggalkan rumah, diikuti dengan pandangan keheranan oleh bu Marsih. Siapa sebenarnya gadis cantik itu..?
***
Tapi diujung lorong dikampung itu ada mobil ayahnya baru saja berhenti. Teguh menghentikan motornya, dan menyuruh Putri turun. Ada rasa was2 dihati Putri. Kalau ayahnya yang datang kemari, pasti seluruh kampung akan keluar melihat tontonan menarik karena pasti ayahnya akan marah2 dengan teriakan khasnya.
Beruntung karena ternyata pak Sarno yang turun.
Teguh menghampiri pak Sarno.
"Menjemput Putri pak? Ini saya baru mau mengantarnya pulang."
"Oh iya nak, terimakasih banyak. Pak Broto menyuruh saya mencari jeng Putri karena ketika menjemput disekolah ternyata sudah pulang."
"Ya, dia kerumah saya dan saya sudah membujuknya untuk pulang."
"Terimakasih banyak nak. Tadi saya bertanya ke teman menari jeng Putri tentang alamat rumah nak Teguh. Syukurlah ketemu."
"Putri, pulanglah, kamu sudah dijemput."
Putri mengangguk, lalu naik keatas mobil ayahnya.
Teguh menunggu sampai mobil itu lenyap ditikungan.
***
"Kok sudah kembali nak? Memangnya dimana rumah temanmu itu?"
"Ketemu sopir yang menjemput dia bu, diujung kampung."
"Siapa sebenarnya gadis itu Teguh?" tanya bu Marsih
"Teguh kan sudah bilang bahwa itu teman Teguh menari."
"Tapi dia tadi disini menangis nangis, kamu menyakiti hatinya?"
"Nggak bu, panjang ceritanya."
"Kamu pacaran sama dia?"
"Kami saling mencintai bu."
"Oh ya ampuun, jadi mas Teguh ternyata mencintai aku?" tiba2 suara melengking itu hampir membuat bu Marsih dan Teguh terlonjak kaget.
==========
(side b)
Tiba2 saja Naning nyelonong masuk dan nimbrung berbicara tanpa tau apa sebenarnya yang dibicarakan. Ia mengira Teguh mengatakan bahwa Teguh dan dirinya saling jatuh cinta. Begitu masuk Naning lalu menghambur kearah Teguh dan berusaha memeluknya. Beruntung Teguh menghindar, dan Naning jatuh terjerembab kelantai.
"Adduuhh... " rintihnya sambil berusaha berdiri.
Teguh bukannya membantu Naning berdiri, malah tertawa terbahak bahak. Bu Marsihpun tersenyum, tapi matanya melotot kearah Teguh, seakan menegur Teguh yang justru mentertawakannya bukan menolongnya.
"Mas Teguuhhh..." Naning merengut, sambil duduk dikursi ia mngelut elus lututnya yang terasa nyeri.
"Teguh, jangan begitu ah," tegur bu Marsih.
"Salahnya sendiri, main sosor saja.. Nanti saja bu ceritanya, Teguh mau mandi dulu." kata Teguh sambil melangkah kekamarnya.
"Bu Marsih, lihat tuh.. katanya saling cinta tapi mas Teguh malah membuat saya tersungkur. Udah gitu saya malah diketawain," keluh Naning sambil masih saja mengelus elus lututnya.
"Ya sudah, kamu juga sih, datang2 sudah mau nubruk aja."
"Lha katanya saling mencintai, kok gitu?" Naning merengut.
"Sudah, jangan dulu mikir cinta2an. Kalian ini masih sangat muda.Nanti kalau sudah sa'atnya, dan kamu memang jodohnya Teguh, pasti akan jadian kok."
"Bener ya bu?"
"Sudah, sekarang bantuin ibu menyiapkan yang akan dimasak besok."
***
Ketika Putri mau langsung masuk kekamarnya, pak Broto memanggilnya.
"Duduk disini dulu!" perintahnya tandas.
"Ma'af bapak," lirih Putri bersuara, sambil menundukkan kepala, kemudian duduk dihadapan ayahnya.
"Kamu ini sudah pintar berbohong ya. Ada2 saja akal2an kamu untuk membodohi orang tua. Kamu tau, bapak bersikap begini itu juga demi kebaikan kamu. Kamu itu masih muda, sa'atnya memikirkan sekolahmu. SMA saja belum selesai sudah berfikir mengejar laki2 yang belum jelas jluntrungnya. Berfikir nduk.. berfikir.. perbuatan kamu itu menyakiti orang tua. Tau?"
Putri hanya mengangguk. Air matanya mulai meleleh turun. Ia mengerti, memang masih terlalu muda, tapi apa salah kalau mencitai seseorang?
"Mulai besok, Sarno akan menunggui kamu mulai kamu masuk ke pekarangan sekolah sampai keluar lagi kemudian mengantarmu sampai kerumah."
Putri mengangkat mukanya. Dipandanginya wajah ayahnya yang tampak keruh dan penuh kemarahan. Astaga, mana bisa ia menemui kekasihnya walau sebentar saja?
"Dan jangan berfikir untuk membuat kebohongan2 lagi, Jangan mengarang alasan untuk mendapatkan kesempatan bertemu dengan laki2 itu."
Putri mengusap air matanya. Tak sepatahpun ia mampu menjawab kata2 ayahnya. Semakin dia menjawab akan semakin panjang kata2 ayahnya yang akan didengarnya.
"Dan satu lagi, kamu tidak usah ikut lagi latihan menari."
"Tapi bapak, bulan depan kami akan pentas dan....."
"Tidak boleh. Nanti kamu akan ketemuan lagi sama dia."
Putri ingin mengatakan lagi sesuatu, tapi pak Broto sudah berdiri dan meninggalkannya .
***
"Teguh, sekarang coba cerita sama ibu. Kemarin kamu mau mengatakan apa tentang temanmu yang bernama Putri? Kamu dan dia saling jatuh cinta?" tanya bu Marsih ketika Teguh sedang berkemas akan pergi kuliah.
"Ya bu, kami bertemu ketika latihan menari bersama sama."
"Lalu kenapa kemarin dia menangis disini?"
"Hubungan Teguh dan Putri tidak disetujui ayahnya."
"Mungkin karena kalian masih sangat muda."
"Bukan, Putri itu anaknya priyayi, bangsawan yang kaya raya. Dan Teguh ini kan hanya orang biasa." ujar Teguh dengan tatapan mata sedih.
"Ya sudah, kalian ini kan masih muda, sebaiknya tidak memikirkan cinta terlebih dulu. Pikirkan sekolahmu le, nanti kalau pendidikan kamu terganggu gara2 cinta2an, ibu kan sedih. Dulu waktu bapakmu mau meninggal, beliau berpesan agar ibu menjadikanmu orang yang pintar, berpendidikan, supaya kamu memiliki masa depan yang baik."
Teguh menundukkan kepalanya.
"Ya bu, Teguh tak akan mengecewakan ibu, dan pasti melakukan apa yang menjadi pesan bapak almarhum."
"Ya sudah le, sebaiknya kamu tidak usah memikirkan dia lagi. Apa dia juga teman kuliahmu?"
"Dia masih SMA bu."
"Naa, apalagi masih sekolah. Wis le, mikir sekolah dulu. Jangan sampai karena hal itu lalu sekolahmu terganggu."
Teguh mengangguk pelan. Ia kemudian berdiri, sambil mengusap air matanya yang sempat bergulir, lalu mencium tangan ibunya.
"Sudah, jangan sedih... semangat ya le."
Teguh tersenyum, lalu mengambil tas berisi perangkat kuliahnya. Dalam hati ia berkata, akan bisakah dia melupakan Putri yang dicintainya?
***
"Ibu, tolong bilang sama bapak supaya mengijinkan Putri ikut latihan menari ya," rengek Putri kepada ibunya ketika malam2 ibunya duduk sendirian.
"Lhah, mana berani ibu bilang begitu sama bapakmu. Kamu kan tau, kalau bapak sudah bilang tidak itu ya tidak. Tak seorangpun bisa mengubahnya."
"Tapi kan Putri harus pentas bulan depan bu, dua minggu lagi."
"Mau bagaimana lagi nduk, bapakmu sudah melarang, ya jangan nekat."
"Kan kasihan penyelenggaranya bu, harusnya aku jadi Lara Ireng, nggak akan ada yang bisa menggantikan bu."
"Terus.. Teguh itu jadi apa?"
"Jadi Permadi bu, lakonnya kan Parta Krama."
"Hm, kamu mencari kesempatan untuk bertemu Teguh kan?"
"Bukan bu, karena pentas itu, hanya Putri dan dia yang bisa melakukannya. Kalau diganti orang lain susah, kasihan kan, waktunya nggak lama lagi."
"Ya sudah, bilang sana sama bapak, kalau ibu nggak berani, nanti ibu dibentak malah jatuh pingsan."
"Bu, tolonglah bu.. Putri janji nggak akan melakukan hal2 yang nggak disukai bapak."
"Ini kan salah kamu juga, kamu berbuat yang macam2, pakai membohongi orang tua segala, ya begini ini jadinya."
"Bu, Putri janji.. ini demi penyelenggara pentas itu bu, kasihan, kalau ibu nggak percaya, ibu boleh mengantar Putri dan melihat Putri latihan.. sampai pentas itu selesai bu.." Putri terus merengek, dan akhirnya bu Broto tak sampai hati menolaknya.
Namun begitu bu Broto menyampaikan keinginan itu, pak Broto justru marah2.
"Tidak itu tidak, artinya tidak!! Ibu itu jangan gampang dibodohi sama anakmu itu, dia itu hanya ingin ketemuan sama si Teguh, bukan untuk latihan menari."
"Pak, latihan itu untuk pentas yang akan diselenggarakan 2 minggu lagi. Kalau Putri nggak datang, kasihan penyelenggaranya. Putri itu jadi lakonnya pak."
"Biar saja jadi lakon atau tidak, apa urusannya sama aku."
"Putri itu jadi pemeran utama pak, nggak ada yang bisa menggantikan, disa'at yang hanya kurang dua mingguan lagi."
"Ya biarin ta, apa perempuan selain Putri nggak ada?"
"Waktu latihannya mepet pak."
"Kok ibu jadi tiba2 ngebelain Putri. Ibu nggak kapok dibohongi anakmu sendiri? Orang itu ya, kalau sudah sekali berbohong, maka pasti akan diikuti dengan kebohongan2 yang lain. Dan kalau sekali berbohong itu berarti dia sudah nggak lagi bisa dipercaya."
"Bapak kok begitu amat sama anaknya sendiri."
"Lha kenyataannya memang berkali kali bohong kan? Apa kata2 bapak ini salah?"
"Putri berjanji tidak akan melakukan hal2 yang tidak baik. Ia bahkan bersedia ketika latihan dan pentas ditungguin sama ibu."
"Apa?"
"Ini demi penyelenggara pentas itu pak, kasihan kalau gagal sementara undangan sudah tersebar."
Pak Broto terdiam. Tampaknya dia memikirkan sesuatu. Bu Broto sedikit lega, melihat wajah pak Broto tidak segarang tadi. Mungkin kata2 bahwa ibunya mau menungguin putrinya latihan dan pentas, sedikit membuatnya bisa mengendapkan amarahnya.
"Apa ibu mau, ikut Putri latihan, dan menungguinya sampai dia pulang?"
"Ya pak, ibu akan ikut setiap kali Putri latihan. Juga ketika pentas nanti."
"Baiklah kalau begitu, tapi ibu harus berjanji akan mengawasi setiap gerak gerik Putri dan si Teguh itu."
***
Dua kali latihan itu bu Broto benar2 menunggui anaknya. Ia melihat tak sedikitpun tampak hal2 mencurigakan diantara Putri dan Teguh. Masing2 menjaga kepercayaan bu Broto, agar pentas itu tak akan gagal. Begitu juga dengan latihan terakhir yang dilakukannya.
"Besok pentas itu akan diselenggarakan pak, bapak mau ikut menonton kan?"
"Bapak itu pengin, tapi bapak nggak suka melihat tampang si Teguh itu."
"Selama ini dia baik kok pak, dia juga memberi salam sama ibu dengan sangat santun."
"Hm, ibu jangan terkecoh dengan sikap yang ditunjukkan dia, dia itu hanya berusaha memikat hati ibu supaya ibu merelakan anaknya berdekatan dengan dia.
"Ah, bapak kok gitu. Ikut ya pak, ibu suka sekali melihat pentas itu. Masih latihan saja sudah bagus, apalagi kalau nanti benar2 didandanin."
Sesungguhnya pak Broto suka sekali melihat kesenian Jawa ditampilkan. Itu budaya yang sangat indah dan adiluhung. Dulu waktu muda pak Broto juga sering menari. Ia pernah menari jadi Gatutkaca, dan tarian itu jugalah yang kemudian mempertemukannya dengan gadis cantik bernama Saptari, yang kemudian menjadi isterinya. Saptari bukan penari, tapi ia suka melihat tarian2 Jawa juga.
"Bagaimana pak, masa ibu akan datang sendiri."
"Ya sama Sarno.."
"Emoh, memangnya aku isterinya Sarno?"
"Ya sudah, gampang, ."
Itu jawaban yang melegakan. Putri juga senang bapaknya akan hadi di pementasan itu.
***
"Waah, simbok juga kepengin lihat kalau nanti malam jeng Putri menari."kata simbok keesokan harinya.
"Simbok mau ikut? Boleh kok, nanti Putri bilang sama ibu kalau simbok pengin ikut.."
"Bener ya jeng, simbok pengin sekali."
"Ya sudah, sekarang Putri minta tolong dibelikan rujak diujung jalan sana. Enak itu rujaknya.
"Lho, masih pagi kok pengin rujak, sarapan dulu ta jeng/"
"Sarapannya nanti saja, Putri pengin rujak sekarang, cepetan mbok."
"Ya, ya.. baiklah, tapi dimakan setelah sarapan ya.."
"Cepet ta mbok.."
Tapi setelah simbok pulang membawa sebungkus rujak, Putri langsung melahapnya sampai habis. Simbok kesal karena Putri nggak mau sarapan sebelumnya.
"Jeng Putri itu yen dikasih tau kok banyak ngeyelnya ya, nanti kalau perutnya sakit simbok nggak ikutan lho." mengomel simbok sambil membawa piring bekas rujak itu kebelakang.
Tapi belum sampai simbok meletakkan piring kotor itu, tiba2 dilihatnya Putri berlari kekamar mandi dan terdengar suara orang muntah2.
"Lhah... jeng.. muntah2 ya?"
Bersambung #4
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel