Cerita bersambung
Karya : (un_known)
PERTEMUAN
Hari ini Tia akan pergi ke air terjun.
Seawal pagi, Tia Ariana, gadis remaja berusia empat belas tahun yang baru saja menerima ijazah SMP, telah berkutat antara dapur dan kamar mandi. Ia merendam pakaian-pakaian kotor dalam ember berisi air bersabun. Sembari menunggu debu dan kotoran yang menempel pada pakaian itu lepas, Tia memasak sarapan pagi sekaligus hidangan makan siang. Pekerjaan selanjutnya adalah menyapu lantai dan membersihkan halaman. Tia menyelesaikannya dengan cepat namun cermat. Kemudian, ia kembali ke kamar mandi untuk mencuci dan mandi.
Pukul tujuh pagi semua pekerjaan sudah beres. Sekarang ia bisa pergi dengan tenang, tanpa kuatir diomeli Omak saat nanti dirinya kembali.
Tia memakai kaos ketat dan celana pendek sebagai dalaman, lalu melapisi dengan kemeja kotak-kotak dan rok panjang selutut bermotif batik. Ia mengoleskan bedak tipis-tipis di kulit wajah yang putih dan bersih. Rambut coklat panjang dan lebatnya diikat sembarang.
Ketika melewati kamar Abak, pintu kamarnya terbuka sebagian. Pelan-pelan Tia berjingkat, mengintip, memastikan tidak ada Omak di sana.
Abak terbaring di tempat tidur berkasur tipis dan kusam, sekusam kulit Abak. Tia berjalan menghampirinya dan duduk di pinggir tempat tidur.
Abak semakin pucat pagi ini.
"Kau mau kemana, Tia?"
"Ke air terjun, Abak. Tapi agaknya tidak jadi."
"Mengapa?"
"Lain kali saja. Abak nampaknya tidak sehat. Lebih baik aku menemani Abak di rumah."
"Abak tidak apa-apa. Pergilah, tapi bawa kawan bersamamu! Jangan sampai Ranto mengganggumu lagi."
"Aku bersama Iis dan Wati. Wati akan membawa Imran bersamanya, jadi aku tidak sendiri."
"Hhhh ...," Abak menghela nafas, nampak berat dan tertekan,
"Pak Manan beruntung akan mendapatkan menantu seperti Imran. Tidak seperti Abak yang akan bermenantukan Ranto anak Juragan Miskun."
Abak terbatuk-batuk sambil menahan dada. Nafasnya tersengal-sengal. Tia bergegas ke dapur dan mengambil segelas air hangat untuk Abak.
"Minum dulu, Abak."
Abak menerima gelas pemberian Tia dan minum beberapa teguk.
"Andai saja Abak sehat seperti dulu, Abak akan membawamu pergi dari kampung ini. Mungkin di luar sana kau bisa sekolah, dan yang pasti Ranto tidak bisa memburumu lagi," Abak bicara dengan susah payah. "Maafkan Abak yang tidak berdaya."
Mereka berdua hanyut dalam pikiran masing-masing.
Rencana menikahkan Ranto dengan Tia sudah ada dalam angan-angan Juragan Miskun sejak Tia masih di dalam ayunan. Ranto adalah putra bungsu sekaligus anak laki-laki satu-satunya Juragan Miskun, orang paling kaya di desa Malam Kolam. Kekayaan Juragan Miskun amat banyak, terdiri atas puluhan hektar kebun sawit dan karet. Rumahnya besar dan mewah, dan dia orang pertama di desa yang memiliki kendaraan roda empat. Jika bagi sebagian orang di perkotaan harta sebanyak itu tidak ada apa-apanya, bagi masyarakat Malam Kolam itu sudah luarbiasa. Waktu acara khitan Ranto sepuluh tahun silam, Juragan Miskun mengadakan pesta besar dengan mengundang pejabat Kecamatan dan beberapa petugas Polsek. Mereka hadir dengan menggunakan pakaian resmi. Sejak itu nama Juragan Miskun semakin harum, disegani dan ditakuti.
Juragan Miskun menaksir Tia untuk menjadi menantu, istri dari Ranto putra kebanggaannya. Tia memiliki kecantikan luar biasa, yang mampu menyihir siapa saja yang memandangnya. Menurut bisik-bisik, Tia bukanlah anak kandung Pak Ahmadi, melainkan bayi merah yang ditemukannya dalam patahan badan pesawat yang jatuh di tengah hutan desa Malam Kolam empat belas tahun silam.
Tia berusia sepuluh tahun saat lagi-lagi mendengar rumor tentang dirinya. Di tengah acara pemakaman Omak, Tia merasakan berpuluh-puluh pasang mata memandang kagum bercampur heran pada dirinya.
"Tidak habis pikir, bagaimana bisa si Ahmadi yang kulitnya secoklat tanah, bisa memiliki anak secantik ini?" bisik seorang Ibu yang berdiri tak jauh dari Tia.
"Kabar yang kudengar, dia anak angkat!" sambung orang disebelahnya.
Sambil menahan tangis melihat jenazah Omak dimasukkan ke dalam tanah, Tia terus memasang telinga menyimak bisik-bisik itu. Tapi Abak menghampirinya, dan bisik-bisik itu mendadak berhenti.
Malam itu, di kamarnya yang sempit dengan cahaya temaram lampu petromaks, Tia berdiri di depan cermin, mengamati pantulan dirinya.
Di dalam cermin, ia melihat seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun yang memiliki tinggi tubuh menyaingi perempuan dewasa, kulit yang putih kemerahan, wajah yang demikian indah dengan sepasang alis coklat gelap yang tebal melengkung. Di bawahnya, sepasang mata coklat besar dipagari bulu mata lebat, panjang dan lentik. Hidung mancung yang lembut, paling mancung di antara hidung semua teman-temannya. Bibir merah segar yang menurut mulut cabul Ranto, menggiurkan. Pipinya bersemu merah kapanpun terpapar matahari, atau saat ia sedang malu ataupun marah. Ia memiliki rambut ikal yang panjang dan lebat, berwarna coklat gelap seperti alisnya, dengan anak-anak rambut yang tumbuh subur di atas kening.
Tia menyadari kecantikannya, dan sama herannya dengan orang lain. Mereka agaknya benar, dirinya anak angkat.
Seminggu setelah pemakaman Omak, Tia memberanikan diri bertanya pada Abak.
"Orang-orang bilang aku anak angkat."
"Siapa yang bilang?"
"Orang-orang di pemakaman, juga di tahlilan Omak. Sebelum ini teman-temanku juga ada yang mengatakannya."
"Tia," Abak meletakkan kedua tangannya di bahu Tia, berucap dengan lemah lembut dan senyum membayang, "Kau merasa dirimu anak angkat?"
Tia mengangguk, tapi dengan cepat menggeleng ragu-ragu,
"Tidak. Omak dan Abak sayang padaku."
"Nah, berarti mereka salah. Kau anak Abak dan Omak. Meski sekarang Omak sudah meninggal, kau tetap anaknya."
Dan pembicaraan itu berakhir sampai di situ. Tidak pernah ada pembicaraan ke dua tentang topik yang sama.
Setahun berselang, Abak menikah kembali dengan sepupu jauhnya agar mereka berdua ada yang mengurus. Abak bekerja sebagai tenaga sekuriti pabrik sawit di desa Teluk Landai yang berjarak dua puluh kilometer dari Malam Kolam. Abak berangkat pagi-pagi dengan berbekalkan nasi bungkus buatan Omak, baru kembali sore hari menjelang Maghrib. Atau kadang-kadang Abak dapat tugas masuk malam. Dengan adanya Omak baru, Tia ada teman saat Abak bekerja.
Kesempatan itu dimanfaatkan Juragan Miskun untuk mendapatkan Tia. Selama bertahun-tahun, sinyal-sinyal yang dikirimkan kepada Ahmadi dan Inur tidak pernah mendapat tanggapan. Setelah Inur meninggal dan kedudukannya digantikan Ida, Juragan Miskun merapat padanya. Melalui Ida, Juragan Miskun menjanjikan kebun, rumah, sepeda motor, jalan-jalan ke kota setiap bulan, pendeknya masa depan yang cerah andai mereka menerima lamaran Ranto.
Ahmadi kontan menolak. Ia dan Inur tau benar karakter dan sepak terjang Juragan Miskun seketurunan. Mereka adalah legenda hidup desa Malam Kolam tentang kekayaan harta dan kemiskinan moral. Jauh dari adab, budi pekerti, apalagi tuntunan agama. Tidak pernah terdetik jika Tia harus menikah dengan Ranto.
Dua tahun yang lalu Ahmadi terserang stroke. Ia terpaksa berhenti bekerja dan diam di rumah, hidup dari hasil kebun sawit yang cuma dua hektar. Secara berangsur, Ida menjual kebun mereka pada Juragan Miskun demi membiayai pengobatan Ahmadi. Setelah sawit habis dan Ahmadi masih butuh biaya, Juragan Miskun menawarkan bantuan.
"Lebih baik aku mati dari pada menerima bantuannya!" gumam Ahmadi dengan bibirnya yang miring.
"Orang mau menolong kok dilarang!" ketus Ida.
"Mereka tidak menolong! Mereka sedang membeli Tia!"
Tapi Ida bergeming. Dia tetap menerima bantuan demi bantuan yang diulurkan Juragan Miskun. Ranto semakin sering berkunjung, membawa bermacam buah tangan seperti susu, roti, beraneka buah mahal seperti apel, anggur, pir. Mata Ida berbinar. Ia menarik tangan Tia, memaksanya duduk menemani Ranto di ruang tamu, tidak peduli pada protes keras Ahmadi.
Pada akhirnya, keberatan pria separuh baya yang sakit-sakitan itu tidak berarti apa-apa lagi. Sekarang, mereka sekeluarga bahkan hidup dari uang pemberian Juragan Miskun.
"Ini tidak seberapa. Kami bisa memberi lebih banyak. Nikahkan aku dengan Tia!" kata Ranto pada Ida.
Tia dan Ahmadi menolak. Juragan Miskun menjadi berang. Dia mendatangi Ahmadi, tegak di pintu kamarnya dengan berkacak pinggang.
"Nikahkan Ranto dengan Tia, utang kuanggap lunas!" dia menepuk pintu kamar dengan keras.
Ida tergopoh-gopoh menarik lengan Juragan Miskun dan membujuknya.
"Sabar, Juragan! Kami menerima tawaran ini! Tunggulah Tia lulus SMP. Tak sampai dua bulan lagi dia lulus, segera kita nikahkan mereka berdua!"
Kedua beranak itu tidak mampu berbuat apa-apa menghadapi keputusan sepihak Ida dan Juragan Miskun. Tia menangis memeluk lengan Abak, impiannya untuk melanjutkan pendidikan terancam musnah.
"Aku masih ingin sekolah, Abak!"
"Untuk apa sekolah? Kau akan menikah juga dengan Ranto!" Ida muncul di depan pintu. "Lagipula, siapa yang akan membiayai? Sekolah begitu jauh di Kecamatan, naik apa kau kesana? Jalan kaki?"
Ida terus mengomel. "Kau pikir biaya sekolah murah? Biaya berobat murah? Biaya hidup murah? Juragan Miskun sudah habis-habisan! Kau jangan mau gratis saja!"
Tidak kehabisan akal, Tia nekat menemui Ranto dan mengajaknya bicara. Mereka bertemu di bawah pohon rambutan di samping rumah Wati.
"Aku mau nikah denganmu, tapi biarkan aku sekolah dulu," Tia memberi syarat. "Sekarang umurku baru empat belas. Masa kau mau nikah dengan anak kecil!"
"Omak dan Nenekku nikah umur tiga belas. Umur tak jadi soal!" Ranto ketus.
"Setidaknya biarkan aku lulus SMA dulu! Aku janji!"
"Tidak bisa! Tiga tahun lagi umurku sudah dua lima, terlalu tua untuk nikah!"
"Siapa bilang? Kau akan matang dan dewasa. Aku suka pria matang sepertimu!"
Ranto diam saja, tapi diam-diam menelan ludah memandang bibir Tia yang bergerak-gerak saat bicara.
"Kau suruh aku tunggu tiga tahun? Menunggu bulan depan saja aku sudah tidak sabar!" tangan Ranto mulai meraba.
Tia menepis tangan kurus itu. Dia memasang wajah memelas, menatap Ranto penuh harap. Saat tangan Ranto kembali gentayangan di pinggul Tia, Tia menahan tangan pemuda itu dengan kedua tangannya.
"Ayolah Ranto! Pendaftaran SMA sudah dibuka. Sebagian temanku sudah mendaftar. Dari SD, nilaiku selalu tertinggi satu Kabupaten, sayang kalau aku putus di sini," Tia memelas.
"Pokoknya tidak!! Kau tuli ya??" hardik Ranto.
Tia tersurut. Binar takut bercampur kecewa nampak nyata pada wajahnya. Ia menghempas tangan Ranto dengan marah.
"Kan, nangis!" Ranto serba salah melihat mata Tia mulai berair, "Makanya kau jadi perempuan jangan keras kepala! Aku jadi geram padamu!"
Ranto menggenggam jari Tia, mencoba merayu kembali. Tapi Tia menepisnya dengan kasar. Ia berjalan cepat-cepat.
"Hei, kau mau kemana?"
"Bunuh diri!"
"Tia!"
"Aku malas hidup! Tak ada yang mengerti aku, termasuk kau!"
"Tia!" Ranto menarik lengan Tia, "Aku cinta padamu!"
"Aaahhhh!!" Tia mendorong pemuda itu keras-keras, lalu berlari meninggalkan Ranto.
Tia sangat ingin sekolah. Dengan sekolah, dirinya memiliki harapan untuk menjadi sesuatu. Menjadi seseorang. Siapa tahu ia menemukan jalan untuk keluar dari desa ini. Abak selalu berharap Tia pergi dari tempat ini, karena di sini Tia tidak memiliki masa depan.
"Tempatmu bukan di sini, Nak! Seharusnya kau melihat dunia! Abak yang bersalah! Abak yang bersalah!" tangis Abak berulang-ulang, membuat Tia ikut menangis.
Meski enggan, akhirnya Tia pergi juga ke air terjun. Abak membujuknya untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan bersenang-senang dengan teman-temannya.
"Setelah menjadi istri Ranto, kau akan terkurung. Pergilah, senangkan dirimu!" kata Abak.
Belum ada siapa-siapa di sana saat Tia tiba. Hari memang masih pagi. Tia memandang berkeliling, mencari keberadaan teman-temannya. Tapi rupanya ia memang kepagian.
Tia mendongak memandang sisi tebing yang menjulang. Tidak terlalu tinggi dengan curah yang tidak terlalu besar, tapi airnya bening dan segar. Berpagar pohon-pohon tinggi di sisi-sisi tebingnya, membuat suasana sangat sejuk dan asri. Berasal dari salah satu sungai di celah Bukit Barisan, ini adalah satu-satunya air terjun yang pernah Tia datangi.
Tia membuka pakaian luar, menyisakan kaos ketat dan celana pendek setinggi lutut. Ia bergidik menahan sensasi dingin dan segar saat air menyentuh kulit dan membasahi dirinya. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar, menikmati geleyar kebebasan seiring tekanan air yang semakin besar. Ia menenggelamkan diri sebatas bibir sembari menarik lepas ikatan rambutnya, membiarkan helai-helai ikal panjang berwarna coklat itu mengambang di permukaan air.
Ia menyelam, menahan nafas selama mungkin, lalu muncul kembali di permukaan. Ia mencoba bermacam-macam gaya renang, bolak balik beberapa kali.
Perlahan, Tia berenang ke bawah air terjun. Ia mengambil sisi terluar, karena tekanan airnya lebih ringan di banding bagian tengah. Tia mendongak, membiarkan curah air menimpa wajah. Tak sadar ia menangis.
Tidak lama lagi, semua ini akan tinggal kenangan. Tidak akan ada lagi kebebasan. Tidak ada lagi teman-teman. Tidak ada air terjun. Setelah menikah, nasibnya akan seperti umumnya perempuan-perempuan desa ini, atau lebih khususnya, istri-istri Juragan Miskun. Dimanja saat pengantin baru, lalu diabaikan setelah perut mulai membuncit dan melahirkan, untuk selanjutnya makan hati karena kehadiran perempuan lain yang diaku sebagai istri muda. Saat mencoba protes apalagi berontak, akan langsung diceraikan dan dipulangkan ke rumah orangtua. Anak akan diambil dan diasuh oleh istri muda yang juga tidak bisa protes saat kemudian kedudukannya disaingi pendatang baru yang terus berganti.
Entah Ranto akan bertingkah laku seperti Ayahnya ataukah lebih buruk dari pada itu. Sebenarnya dia lumayan juga, wajahnya mewarisi kecantikan Ibunya tapi perangai mirip Juragan Miskun.
Dua tahun yang lalu Ranto tertangkap basah sedang mencabuli Titin anak Pak Sapar di dalam mobil sang Juragan, tapi kedua belah pihak keluarga berunding mencari jalan damai di balik pintu tertutup. Setelah kejadian yang menghebohkan itu, Titin tidak pernah lagi kelihatan batang hidungnya. Setengah kabar mengatakan Titin diungsikan ke rumah Makciknya di Pekanbaru untuk belajar menjahit. Dan kemudian kebun sawit Pak Sapar bertambah lebar dua hektar.
Belum lagi mulut Ranto yang selalu bau alkohol itu. Tia jijik melihatnya. Matanya merah, bicaranya menjadi tidak jelas. Ia selalu mencoba mencium Tia, tak peduli mereka sedang di ruang tamu rumah Tia.
"Mulutmu bau bir!" Tia meninggalkan Ranto begitu saja, tidak sudi mengalami ciuman pertama dengan seorang pemabuk busuk macam Ranto.
"Kau harus pergi dari desa ini, Nak! Kemana saja, asal pergi!" begitu kata Abak sebulan yang lalu.
Tapi mau pergi kemana? Tia tidak pernah kemana-mana! Perjalanan terjauhnya hanyalah ke Ibukota Kabupaten yang dilakukannya dua kali, kedua-duanya waktu SD. Tia mewakili Kecamatan dalam lomba murid berprestasi tingkat Kabupaten dan keluar sebagai pemenang pertama. Harusnya ia berhak maju ke tingkat Propinsi, dan Tia sangat antusias mempersiapkan diri. Tapi sampai hari ini tidak pernah ada kejelasan soal itu. Entah siapa yang telah menggeser Tia dan menggantinya dengan anak yang lain.
"Agaknya nasib kurang ramah padaku," gumam Tia. Ia membiarkan airmatanya hanyut bersama air.
Tiba-tiba ia menyadari kehadiran orang lain di sana. Tia kaget. Seorang pria muda, entah dari mana datangnya, sedang berenang tak jauh dari Tia.
Mata Tia menyipit. Pria ini jelas orang asing. Bukan hanya keberadaannya, namun juga sosoknya.
Dia menyerupai pria kaya dalam film-film Barat. Wajah yang mirip tokoh-tokoh itu. Berkulit putih, berhidung mancung, ciri-ciri fisik sedemikian. Tak jauh berbeda dengan diriku, pikir Tia.
Semasa kecil, setiap bermain putri-putrian Tia akan didapuk sebagai Putri. Putri Raja, Putri Tidur, Cinderella. Segala macam putri dari negeri dongeng. Menurut mereka, karena wajah Tia yang mirip perempuan Eropa.
Mereka saling memandang dengan rupa penasaran.
"Maaf!" kata Tia akhirnya. Sambil berbalik ia berkata, "Silahkan diteruskan!"
"Hei, tunggu!" seru pria itu. Ia berenang mengejar Tia.
Tia berhenti dan berbalik. "Ya?"
"Silahkan berenang lagi! Aku sudah selesai!" katanya, menyadari ketidak nyamanan Tia. Sesungguhnya dia benar.
"Tidak!" tolak Tia. "Kamu saja! Aku orang sini, bisa kapan-kapan! Silahkan berenang sepuasnya!"
Tia memang tidak nyaman berdua-duaan dengan pemuda asing, dengan pakaian seperti ini pula. Meski pria ini sangat tampan!
Tia bersumpah, inilah pria tertampan yang pernah ia temui.
Dada Tia berdesir seketika. Ia menyentuh pipi yang tiba-tiba memanas.
Pria itu masih saja melihat padanya. Pipi Tia semakin panas. Ia memandang sembarang arah sambil membenamkan diri sebatas leher, malu dengan pakaian yang bagai mencetak bentuk tubuh. Aneh sekali, di depan Imran atau teman-teman pria yang lain ia santai saja.
"Jadi kamu penduduk desa ini?"
Tia mengangguk.
"Sungguh?"
Tia mengangguk lagi.
"Sukar dipercaya!" dia tidak melepaskan pandangnya dari Tia. "Karena wajahmu sangat berbeda!"
Setelah beberapa tahun menganggap kecantikannya sebuah musibah, untuk pertama kalinya Tia merasa senang.
"Aku Adrian Heinzh!" Ia mengulurkan tangan.
Ragu-ragu, Tia membalas uluran tangannya.
"Sejujurnya, aku melihatmu dari tadi. Kupikir kamu orang asing."
"Kamu juga nampak asing," balas Tia. "Namanya juga. Hens."
"Heinzh," dia mencontohkan. "Agak berdesis dan kasar."
"Heinzh?" Tia mengulanginya.
Adrian mengangguk dengan senyum lebar yang ramah.
"Nama yang unik. Seperti nama luar."
"Aku setengah Swiss. Sebenarnya Papa lahir di Inggris, tapi aslinya dari Swiss. Mama Jawa Solo."
Tia mengangguk-angguk, seketika merasa kagum. Swiss, Inggris, Jawa, Solo. Semua itu negeri-negeri yang hanya ada dalam khayalan Tia dan Abak saja. Negeri di ujung dunia yang tidak terjangkau oleh orang kampung dan miskin seperti mereka. Negeri yang kerap diceritakan Abak secara diam-diam pada Tia kecil. Omak tidak suka tiap Abak menyinggung-nyinggung Luar Negeri.
"Suatu saat kamu akan ke sana! Jakarta, Amerika, Inggris, Belanda, Spanyol. Itu adalah tanah yang indah dan hebat! Kamu hanya perlu menjadi pintar," demikian yang selalu dikatakan Abak pada Tia kecil.
"Siapa namamu?" Adrian memutus lamunan Tia.
"Tiara Ariana. Mereka memanggilku Tia."
"Bahkan namamu saja tidak cocok untuk tempat ini! Maaf, bukan merendahkan desamu, tapi namamu terlalu keren."
Tia tersenyum dan menunduk, berusaha menyembunyikan pipinya yang pasti sudah merah. Saat ia mengangkat wajah, Adrian masih memandang, membuat Tia ingin menyelam saja!
Tia memandang berkeliling, berharap Imran cs segera datang dan menyelamatkannya dari debar-debar indah yang seketika memenuhi dada. Entah mengapa mereka belum muncul juga.
"Menunggu seseorang?"
"Teman-temanku berjanji akan datang."
Mereka berenang ke tepi dan duduk dibebatuan. Tia berusaha tidak peduli dengan pakaiannya. Di Swiss atau Inggris, perempuan memakai bikini saat berenang, pikir Tia. Bajuku ini sudah sangat sopan.
"Kamu penduduk asli desa ini? Bukan pendatang?" tanya Adrian kemudian, belum mampu melepaskan rasa penasarannya.
"Entahlah." Tia menggeleng. Tiba-tiba ia ingin bicara tentang dirinya. "Orang bilang aku anak angkat, tapi kata Abak itu hanya gosip."
"Abak? Abak itu siapa?"
"Ayah. Itu bahasa sini."
"Ow." Adrian mengangguk-angguk. "Kalau benar kamu anak angkat, berarti Ayahmu harus ke Luar Negeri, minimal ke kota untuk mendapatkanmu, karena wajahmu campuran sekali."
"Kamu percaya aku anak angkat?"
"Maaf, aku tidak pantas menjawabnya! Itu urusan keluarga, bukan? Ngomong-ngomong, berapa usiamu?"
"Empat belas."
"Empat belas sebesar ini?" Adrian terheran bercampur kagum. "Kupikir kamu sudah tamat SMA!"
"Aku baru tamat SMP." Tia menunduk. Ia merasa sedih bercampur malu.
"Kudengar SMA terdekat di Kecamatan. Cukup jauh dari sini, bukan?"
"Aku tidak melanjutkan pendidikan."
Senyum Ryan memudar. Di depannya, Tia nampak muram. Senyum indah yang beberapa saat lalu ia perlihatkan hilang tak berbekas.
Pembicaraan mereka terjeda oleh sebuah seruan.
"Tia!!"
Mereka berdua memandang ke atas tebing. Teman-teman Tia melambai. Tia membalas, memberi tanda pada mereka agar turun.
Tia memperkenalkan Ryan dengan teman-temannya.
"Pak Adrian," Imran mengangguk segan, dibalas anggukan kecil pria berambut sedikit gondrong itu. Tia melihat pada Imran, kemudian Ryan, merasa janggal akan keduanya.
Mereka turun ke air, kecuali Imran dan Ryan. Kembali Tia dibuat heran, karena biasanya Imran paling betah berlama-lama berenang hingga setengah dipaksa agar mau pulang. Sekarang dia duduk saja di dekat Ryan tanpa banyak bicara.
Sambil berenang, Tia bertanya pada Wati.
"Calon suamimu aneh pagi ini."
"Mungkin dia segan pada Pak Ryan."
"Dari tadi kalian memanggilnya Bapak terus! Dia kan masih muda sekali! Aku yakin tidak lebih dari dua puluh!"
"Entahlah!" Wati mengangkat bahu.
"Dia datang dua hari yang lalu bersama Bang Pandro, tinggal di rumah Pak RT. Omakku bantu-bantu Bu Rt menyiapkan makanan untuk tamunya ini," sambung Iis.
"Teman Bang Pandro?" Tia keheranan. "Bang Pandro kan kerja di pabrik sawit, sedangkan Adrian orang Inggris. Aneh sekali!"
"Bang Imran saja sampai disuruh ngungsi ke rumah Bang Pandro karena kamarnya dipakai untuk Pak Adrian." kata Wati.
Mereka bertiga berpandangan, tidak mengerti apa-apa.
"Bang Pandro!" Wati menunjuk dengan matanya.
Mereka melihat ke tebing. Di atas sana, Pandro sedang bicara dengan pria asing itu. Adrian sudah berpakaian dan sedang menyimak Pandro yang bicara panjang lebar. Pandro begitu serius, sesekali ucapannya disela Adrian. Saat Adrian bicara, Pandro menunduk, beberapa kali mengangguk patuh.
Dari tempatnya berenang, Tia melihat Adrian menyibak poni panjang yang menutupi setengah wajahnya, memperlihatkan wajah yang nampak serius.
Pandro dan Adrian melangkah meninggalkan air terjun. Sesaat sebelum keduanya menghilang di balik pohon, Tia masih sempat melihat Adrian menoleh padanya.
==========
KEMATIAN
Dari kejauhan, Tia melihat Omak sudah berkacak pinggang diambang pintu. Dengan muka masam mencuka, dadanya naik turun penuh amarah. Belum apa-apa Tia sudah menggigil menahan takut. Bencana sudah di depan mata, pikirnya. Entah kesalahan apa lagi yang sudah ia lakukan.
Begitu melihat Tia, Omak menyongsong dan tanpa banyak bicara, menjambak rambutnya yang basah. Sontak Tia menjerit kesakitan, kepalanya ikut tertarik searah sentakan tangan berkulit coklat Omak.
"Sakit Mak!"
"Rasakan! Geram aku!!" Omak mengganas, semakin menyentak rambut Tia
"Lepaskan, Mak! Sakit!"
"Tau rasa kamu!!"
Airmata Tia berjatuhan. Hatinya sedih bercampur marah. Belum lagi perasaan malu karena mereka mulai menarik perhatian para tetangga.
"Sudah, Ida! Sudah!" Pak Saleh tetangga sebelah rumah mencoba melerai.
Pegangan Ida semakin kencang. "Biar tau rasa, Bang! Anak perawan tak punya malu! Biar aku hukum dia!"
"Selesaikan di dalam rumah! Jangan begini, malu dilihat orang!"
Ida menarik Tia ke dalam rumah dan menolaknya ke tengah kamar.
"Ada apa ini?" Ahmadi terkejut melihat kemarahan Ida dan tangis Tia.
"Ini anak gadismu, sudah tau mau nikah malah berpeluk-pelukan dengan laki-laki lain! Basah-basahan di air terjun! Apa tidak kelewatan itu namanya?"
"Bohong!" tegas Tia. Keberaniannya muncul tiba-tiba. "Aku tidak pelukan dengan siapa-siapa!"
"Berani melawan ya!" Ida menjambak rambut Tia kembali.
Tia berusaha melindungi diri dan menahan tangan Ida, namun cengkeraman Ida pada rambutnya semakin erat. Tia menjerit-jerit.
"Sudah Ida! Sudah!" seru Ahmadi dari atas ranjangnya. Ia berusaha bangkit namun dirinya terlalu lemah. Bibirnya semakin miring dengan liur menetes.
Ida melepas tangannya, tapi berdiri dengan berkacak pinggang dan nafas ngos-ngosan menahan marah. Wajahnya gelap.
"Wawan melihatmu berenang dan berpelukan dengan laki-laki di air terjun! Masih mau mengelak?" tuding Ida pada Tia.
Tia mengangkat wajah dan memandang Ida dengan berani. Ia tidak terima dengan fitnah itu karena bukan hanya menyangkut dirinya tapi juga menyakiti hati Abak.
"Aku tidak berpelukan!" Tia bangkit, memasang sikap menantang. Ia muak dengan perlakuan sewenang-wenang Ida pada mereka berdua.
"Berani ya!" Ida bagai hendak menerkam Tia.
"Jangan coba-coba menyakitiku lagi!" balas Tia sambil mengusap air mata dengan kasar. Rasa takut yang bertahun-tahun ia rasakan lenyap enyah kemana. Mungkin benar kata orang, semut pun akan menggigit kalau terjepit.
"Ohh, sudah hebat ya!!"
"Ada jin di dalam badanmu!" balas Tia.
Saat Ida menyerang, Tia berusaha mempertahankan diri, balas mendorong Ida dengan keras. Ida bertubuh kecil dan kurus, tidak seimbang dengan Tia yang tinggi. Ia terhenyak di lantai.
"Tia!!" seru Ahmadi.
"Beraninya kau!" ekspresi kaget terpancar nyata dari wajah dan suara Ida. Dia mendongak memandang Tia, lalu pada Ahmadi, meminta pembelaan.
"Aku tidak akan diam saja kalau Omak terus begini!"
"Apa katamu?" Ida bangkit, lalu berkacak pinggang. "Aku mengurusmu siang malam selama bertahun-tahun, sekarang kau melawan aku?"
Tia memberi senyum sinis. Ia betul-betul jengkel pada perempuan ini. Kalau bukan karena dia istri Abak, Tia tidak akan sudi lagi memanggilnya Omak. Biarkan saja dianggap durhaka!
"Aku menganggapmu seperti anak sendiri, sekarang kau melawan bahkan mendorong Omak mu sendiri!"
Tia diam saja dan duduk di sisi Abak. Dia tidak peduli pada sumpah serapah Omak. Terserah saja Omak mau berkata apa, Tia sudah tidak peduli. Hatinya puas sudah berhasil membuat Omak jera dan tidak berani memukulnya lagi.
Tia memegang kepalanya. Rasa sakit karena dijambak tadi belum hilang sepenuhnya.
Terdengar suara seseorang memanggil dari halaman. Ida memasang telinga, lalu cepat-cepat keluar. Tiba-tiba dia masuk kembali dan berkata,
"Aku harus ke rumah Juragan Miskun, menjelaskan ulahmu tadi!" dia menarik jilbab kusam yang tergantung di dinding dan menyarungnya dengan terburu-buru. "Kau jangan kemana-mana! Awas kalau kau pergi menjumpai laki-laki itu lagi!"
Ida pun pergi. Tia dan Abak berpandangan.
"Mengapa harus melawan orangtua, Tia? Biar bagaimana dia Omak mu." tegur Ahmadi.
"Maafkan aku, Abak. Tapi aku capek dipukul terus." Tia mulai menangis.
"Siapa laki-laki itu, Nak?"
Tia mengigit bibir. Entah bagaimana cara menerangkannya pada Abak.
"Dia temannya Bang Pandro. Tapi, kami tidak berbuat seperti tuduhan Omak!"
"Teman Pandro? Satu pabrik dengannya?"
"Entahlah, Bak. Rasanya tidak mungkin orang seperti itu kerja di pabrik seperti Bang Pandro, karena dia orang asing."
"Orang asing?"
"Orang Inggris berdarah Swiss. Ibunya dari Solo. Namanya Adrian Heinzh."
"Adrian Heinzh?" Ahmadi mengeja nama itu, berusaha mengingat sesuatu. "Heinzh."
"Dia menginap di rumah Pak Rt."
"Betul begitu?"
"Iya, Bak. Mereka nampak hormat padanya."
Ahmadi mengangguk-angguk.
"Pergilah ke rumah Pandro, suruh dia kesini segera!"
"Untuk apa, Bak?"
"Abak mau bicara. Cepatlah, sebelum Ida pulang!"
Meski tidak mengerti apa-apa, Tia menuruti perintah Abak. Dia melewati jalan pintas untuk mempercepat tujuan.
Asih, istri Pandro sedang memasak saat Tia muncul dari pintu dapur.
"Ya Alloh! Kau mengejutkan saja!" Asih memegang dada.
"Bang Pandro mana, Kak?"
"Ke rumah Bapaknya. Memangnya ada apa kau mencari Bang Pandro?"
"Kalau Bang Pandro pulang suruh ke rumah. Abak yang suruh."
"Ada apa sih? Penting ya?"
"Entahlah!" Tia mengangkat bahu.
"Kalau penting susul saja ke rumah Bapaknya. Eh, sini," Asih menarik tangan Tia dan membawanya duduk di bangku panjang yang menempel di dinding. "Bang Pandro bawa teman lho! Orangnya ganteng banget! Bule! Nanti kau main-mainlah ke rumah Iis, rumahnya kan di sebelah rumah Pak Rt, Bapaknya Bang Pandro."
"Memang siapanya Bang Pandro sih?"
"Anaknya pemilik pabrik sawit tempat Bang Pandro kerja. Dia mau beli lahan perkebunan di desa kita."
"Bule ngurusin sawit?"
"Dia setengah bule! Orangnya Masya Alloh, cakep banget! Gini!" Asih mengacungkan jempol. "Mana masih muda. Kata Bang Pandro masih kuliah."
Tia mengangguk-angguk dengan mulut setengah membuka. Kagum.
Kuliah? Alangkah hebatnya!
Tia teringat senyum Ryan yang lenyap saat Tia mengatakan tidak akan melanjutkan pendidikan ke bangku SMA.
"Aku pulang, Kak! Jangan lupa sampaikan pesanku ke Bang Pandro! Suruh cepat, ya, Kak!"
Tia bergegas pulang ke rumah. Malang baginya, saat dia tiba, Ida sudah berada bersama Abak.
"Dari mana kau, anak genit?"
Tia diam saja, melengos melihat Ida.
"Heh! Aku bertanya padamu!" tangan Ida terulur dan kembali menarik rambut Tia.
"Lepas, Mak!! Sakit!!"
"Bilang kau dari mana!"
"Dari rumah Bang Pandro!"
"Apa! Menemui laki-laki itu, ya? Karena dia temannya Pandro?! Berani kamu, ya!" Ida menyentak rambut Tia semakin keras, membuat Tia menjerit dan berusaha melepaskan diri, namun cengkeraman Ida begitu erat. "Aku susah payah meyakinkan Juragan Miskun, kau malah enak-enakan pacaran!"
"Sudah, Ida! Lepaskan Tia!" tangan Ahmadi terulur lemah, bibirnya semakin miring saat ia berteriak. "Lepas!"
"Sakit, Mak!"
"Rasakan!"
Mata Ahmadi melotot pada Ida dengan emosi tak tertahankan. Ia berusaha bangkit namun dirinya terlalu lemah. Ahmadi terus berusaha, tapi malah jatuh ke lantai.
"Abak!!"
Pegangan Ida lepas. Mereka berdua berlari menyongsong Abak yang sudah tidak sadarkan diri.
"Abak! Bangun!" Tia menepuk pipi Abak, namun mata Abak tetap terpejam. Tia panik, dia lari ke luar untuk memanggil tetangga.
Di halaman, sebuah mobil berhenti. Tia terpaku keheranan. Belum pernah ada mobil yang datang ke rumah mereka.
Pandro keluar dari dalamnya.
"Ada apa, Tia? Mengapa menangis?"
"Abak pingsan, Bang!"
"Apa?"
"Jatuh dari tempat tidur!"
Pandro kembali ke mobil dan bicara dengan seseorang di dalamnya. Sekejap kemudian Adrian keluar dan bersama Pandro bergegas masuk rumah. Tanpa mempedulikan Ida yang terheran-heran, mereka berdua menggotong Abak ke dalam mobil.
"Tia, masuk!" Pandro memberi tanda.
Tia cepat-cepat naik, Pandro dan Adrian mendudukkan Abak di samping Tia.
"Biar aku saja!" Adrian memotong Pandro dan duduk di kursi supir. Ia menghidupkan mobil, dengan tangkas melarikan kendaraan roda empat itu dan meninggalkan debu mengepul di depan Ida.
Mereka membawa Ahmadi ke Puskesmas Kecamatan. Namun kondisi Ahmadi terlalu parah dan dirujuk ke RSUD di Ibukota Kabupaten. Malangnya, ambulance sedang dipakai mengantar pasien meninggal hingga Ahmadi harus dibawa menggunakan mobil pribadi.
Adrian melarikan mobil dengan kecepatan tinggi. Berkali-kali Pandro melirik padanya, diam-diam mengagumi kemampuan anak muda ini dalam menyetir. Di belakang, Tia tak henti menangis melihat Abak yang semakin pucat dan belum juga sadarkan diri.
Ryan melirik Tia dari spion tengah, lalu menambah kecepatan.
Ahmadi mendapat penanganan serius dari tim Dokter dan para medis. Tia melihat Adrian Heinzh sedang bicara dengan seorang dokter, yang kemudian memanggil perawat dan memberikan intruksi padanya. Perawat tersebut bergegas menyuntikkan sesuatu melalui selang infus yang terhubung ke tubuh Abak.
"Ayahmu akan baik-baik saja," dia menenangkan.
"Aku takut sekali," airmata Tia menetes kembali.
Keadaan Abak memang sangat memprihatinkan. Hingga tengah malam, Abak belum juga sadarkan diri. Berkali-kali Tia mengintip dari jendela kaca, berharap melihat Abak membuka mata.
"Istirahatlah, Tia, biar Abang yang menjaga Pak Ahmadi di sini!" Pandro sudah berdiri di belakang Tia bersama Adrian. "Di ujung jalan sana ada penginapan. Pak Adrian sudah memesan dua kamar."
Tia memandang ke dua pria itu, tidak mengerti harus mengatakan apa. Adrian diam saja dengan wajah datar.
"Besok pagi Pak Adrian akan mengantarmu ke sini," sambung Pandro lagi.
Tia ragu-ragu sejenak, sebelum akhirnya mengangguk.
Mereka hanya berdua sekarang.
Tia meremas-remas jarinya. Ia memandang lurus ke jalan, tidak berani menoleh pada pria di sampingnya. Entah mengapa rasanya kikuk sekali.
"Kamu lapar?" Ryan bersuara untuk pertama kali.
Tia menggeleng. "Tidak."
Mereka melewati sebuah ruko tiga pintu bertuliskan Penginapan Sakinah. Adrian terus menyetir dengan kecepatan rendah. Dia melihat-lihat ke sisi kiri, mengamati deret pertokoan yang sudah tutup, bagai mencari sesuatu.
Akhirnya mereka berhenti di depan sebuah gerobak makanan tepi jalan.
"Tidak ada lagi restoran yang buka. Kita makan emperan saja." katanya sambil mematikan mobil.
Mereka duduk berdampingan di kursi panjang kayu yang menghadap ke jalan. Suasana kota begitu sepi. Hanya satu dua kendaraan yang melintas. Tia memeluk diri, menahan dingin yang menggigit.
Ia baru menyadari bahwa dirinya masih memakai pakaian yang sama dengan tadi pagi. Kemeja kotak-kotak dan rok batik selutut, dengan rambut kusut karena belum sempat disisir sejak kembali dari air terjun.
Ia semakin sungkan. Rasa percaya diri karena selalu dianggap sebagai makhluk tercantik di Malam Kolam sudah lenyap sama sekali.
"Makanlah." Adrian mengagetkannya.
Tia menunduk, lalu makan tanpa banyak bicara.
"Masih memikirkan Ayahmu?"
Tia mengangguk.
"Insyaallah dia baik-baik saja."
Tia mengangkat wajah yang dari tadi menekur. Ia memandang Adrian dengan rupa keheranan.
"Ada apa?"
"Maaf, tidak sopan menanyakannya. Kamu Muslim?"
Adrian membalas dengan senyum. Lalu berkata, "Ya. Mengapa? Ada yang aneh?"
"Nngggg ..., tidak." Tia menunduk lagi, meneruskan makan.
Adrian Heinzh membawa Tia ke Penginapan Sakinah. Melewati resepsionis, Tia menunduk dalam-dalam. Ia kuatir, jangan-jangan orang akan menilai dirinya macam-macam. Dari tadi pria di respsionis itu terus memandang dirinya.
Kakinya menapak anak tangga dengan berat, mengikuti Adrian yang berjalan duluan. Pria itu membuka pintu kamar bernomor dua nol tiga.
Mereka masuk. Adrian memandang berkeliling, memeriksa kamar mandi, jendela dan kunci di pintu. Tia duduk di pinggir ranjang, kikuk. Janggal sekali rasanya berada dalam ruangan yang sama dengan pria asing. Baru kenal. Tampan pula.
"Ini!" Adrian menyerahkan anak kunci. "Begitu aku keluar, kunci pintunya, dan jangan buka kecuali aku yang mengetuk."
Tia mengangguk. Masih bingung. Dia belum pernah tidur di hotel. Sendirian pula. Bagaimana kalau kamar ini ada hantunya? Pernah jadi tempat mutilasi dan arwah korbannya gentayangan? Mengerikan!
"Ada apa?" Adrian menangkap ekspresi khawatir Tia. "Takut?"
Tia menggeleng cepat-cepat.
"Kamarku di sebelah. Kalau ada apa-apa panggil saja." Ia meninggalkan Tia.
Sebelum menutup pintu, ia berpesan sekali lagi, "Sekarang kunci pintunya!"
Tia cepat-cepat mengunci pintu.
Sekarang dirinya sendirian di kamar yang lapang dan lengang. Kamar ini bersih sekali, kasurnya empuk, ada bantal dan selimut. Seprainya berwarna putih polos dan berbau kaporit. Tia menarik bantal, membaui, tapi tidak ada bau kaporit disitu, melainkan bau pengharum yang lembut. Segera Tia menyukai kamarnya. Tidak ada lagi rasa takut.
Tia memikirkan Abak. Apakah sekarang Abak sudah sadarkan diri? Beruntung sekali ada Bang Pandro yang mau menjaga Abak. Meski tidak ada pertalian darah, tapi hubungan baik antara Abak dengan Pak Rt, Bapaknya Bang Pandro, membuat Bang Pandro beserta Ilham adiknya sangat menghormati Abak, sekaligus menyayangi Tia. Mereka sudah seperti keluarga, terlebih Tia anak tunggal dan Bang Pandro pula tidak memiliki adik perempuan. Secara psikologis mereka saling membutuhkan, dan itu telah mendekatkan mereka.
Tia berbaring di ranjang. Menggeser-geser lengannya di seprai yang licin. Menyenangkan sekali. Rasanya berbeda jauh dengan seprai di rumah, yang selalu saja kusam dan berbulu.
Pikiran Tia beralih pada Adrian Heinzh. Membayangkan sosoknya di kamar sebelah. Membayangkan pertemuan mereka di air terjun. Adrian baik hati, tampan dan kaya. Dada Tia berdebar.
Tia bangkit, lalu berjingkat ke dinding, merapatkan telinganya. Ia berharap mendengar suara pria itu, atau langkah kakinya, atau suara apa saja asal berasal dari kamarnya. Tapi tidak terdengar suara apa pun.
Sedang apa dia sekarang? Apakah dia sudah tidur? Ataukah sedang menelpon? Kira-kira, siapa yang dia telepon? Kekasihnya? Ya, mungkin kekasihnya. Pasti kekasihnya!
Apakah kekasihnya cantik? Sudah pasti. Mahasiswi? Besar kemungkinan iya. Adrian tidak suka perempuan bodoh. Anak orang kaya? Entahlah, Adrian tampaknya tidak peduli pada status sosial, meski dia kaya sekali. Apakah mereka satu kampus? Ya, mungkin saja mereka satu kampus. Mungkin mereka sudah saling jatuh cinta di pertemuan pertama dan jadian hari itu juga!
Tia membayangkan Adrian dan kekasihnya. Tiba-tiba saja ia menjadi cemburu.
Pikiran-pikiran seperti itu terus mengikutinya hingga bermenit-menit kemudian, dan Tia tidak sadar lagi kapan dia jatuh tertidur.
Pagi-pagi pintu kamarnya sudah diketuk. Tia memasang telinga, mengenali suara di pintu.
Adrian muncul di depan pintu. Dengan wajah segar sehabis mandi, dia tersenyum saat melihat Tia.
"Tidur nyenyak?" dia tetap berdiri di pintu, tidak masuk ke kamar Tia.
Tia mengangguk. Pipinya memanas gara-gara disenyumi Adrian. Alangkah beruntung dirinya, pagi-pagi sudah dikunjungi pria setampan ini!
"Sudah mandi?"
Tia menggeleng.
"Kalau begitu mandilah! Aku tunggu di bawah. Jangan lupa bawa kuncinya turun."
"Anu ..., eenggg ...,"
"Ada apa?"
"Apakah peralatan mandi seperti sabun, odol dan handuk itu boleh dipakai?"
"Tentu! Pakai saja!" Adrian geli. Jadi itu sebabnya Tia belum mandi!
Tia mengangguk malu-malu. Merasa udik.
Saat Tia sampai di bawah, ia tidak melihat Adrian. Tia bertanya pada pria di resepsionis. Seperti halnya tadi malam, sekarang pun pria itu masih saja memandang-mandang Tia.
Adrian muncul sambil menelpon.
"Ya, saya setuju. Itu harga yang masuk akal. Pak Pandro atur saja!"
Sambil menelpon, ia melihat Tia dan menyodorkan tangan. Bibirnya berucap tanpa suara, Tia mengerti lalu menyerahkan kunci padanya.
Adrian menyerahkan kunci pada resepsionis, lalu memberi tanda pada Tia agar mengikutinya. Baru beberapa langkah, ia menutup telepon.
"Tadi aku memanaskan mobil," katanya tanpa ditanya. Tia tidak mengerti maksud kalimat itu. Naik mobil saja baru dua kali.
Mereka berhenti di sebuah rumah makan yang menjual aneka sarapan pagi. Adrian memesan dua piring nasi goreng beserta teh hangat.
"Ada kabar dari Bang Pandro?" Tia memberanikan diri bertanya.
"Alhamdulillah, Pak Ahmadi sudah sadar. Kata Pak Pandro, beliau sudah bicara dan menanyakanmu."
Tia lega sekali. Akhirnya Abak sadarkan diri.
"Makanlah, kita langsung ke sana!"
"Pak Ryan, terimakasih."
"Bapak? Apa aku setua itu?"
"Engg... Jadi harus memanggil apa?"
Ryan diam sejenak, berpikir. "Panggil Kakak saja. Bagaimana?"
"Kakak?" Tia ragu-ragu. "Baiklah. Kakak. Kakek."
"Apa?"
"Tidak."
Saat membayar, Adrian mengeluarkan lembaran seratus ribu dari dalam dompetnya. Ia menyodorkannya pada pria separuh baya di meja kasir, lalu menerima pecahan biru lima puluh ribu dan selembar pecahan sepuluh ribu. Diam-diam Tia memperhatikan dan menghitung-hitung harga makanan yang ia pesan. Juga harga makanan tadi malam. Ia menggigit bibir.
"Mahal sekali! Aku tidak punya uang untuk menggantinya!" katanya pada Adrian.
"Sudahlah! Hanya nasi goreng saja kok."
"Di kota apa-apa mahal, ya? Cuma sarapan segitu empat puluh ribu. Padahal rasanya biasa saja."
Adrian tersenyum. Tia menjadi banyak bicara setelah mendengar kabar baik tentang Ayahnya. Diam-diam Adrian berharap gadis ini terus bicara.
Adrian memakai kaca mata hitamnya. Lalu mengendarai dengan tenang. Ia membuka kaca jendela, membiarkan semilir udara pagi menerpa wajah. Rambut setengah gondrongnya berkibar-kibar.
Di sampingnya, Tia diam-diam melirik. Sebagai orang desa, ia selalu menganggap keren sebuah kaca mata hitam. Apalagi sekarang barang itu melekat di wajah tampan seorang pria. Tia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi.
"Ada apa?"
Dada Tia berdetak. Ia memejamkan mata, malu sudah tertangkap basah!
"Kenapa diam?"
"Tidak apa-apa."
"Katakan saja!"
"Sungguh, tidak ada apa-apa!"
Adrian membuka kaca mata hitamnya.
"Pakailah!" ia menyodorkan pada Tia, sementara sebelah tangannya yang lain mengendalikan stir.
"Ha?" Tia ragu-ragu. Tapi akhirnya ia memakainya juga.
"Lihatlah dirimu di kaca!"
Tia memandang kaca samping, melihat pantulan dirinya di sana. Bibirnya menyunggingkan senyum. Sesaat ia teringat pada sosok gadis-gadis kaya di dalam film.
"Nih!" Tia mengembalikan kaca mata itu pada Adrian. Pria itu kembali memakainya, dan Tia tidak mau melirik lagi.
Saat mereka tiba di rumah sakit, Tia terkejut melihat kondisi Abak. Abak nampak sangat sehat, bagai orang yang tidak pernah sakit. Mulutnya memang masih miring, tetapi suaranya jauh lebih jelas dan terang. Ia menyambut Tia dengan senyum terkembang. Saat melihat Adrian Heinzh, dia mengangguk penuh hormat.
"Pak Ahmadi, ini Pak Adrian Heinzh. Putra Ibu Murdiana Heinzh."
Mereka berjabat tangan. Adrian memberi senyuman beserta anggukan kecil, lalu menepuk-nepuk punggung tangan Ahmadi.
Sudah tentu Ahmadi mengenal benar nama itu. Selama bertahun-tahun ia bekerja di Heinzh Palm, perusahaan besar yang bergerak di sektor perkebunan dan pengolahan buah sawit. Lima belas tahun Ahmadi menjadi sekuriti pabrik CPO Heinzh Palm, menjadi saksi saat puluhan mobil truk dan colt diesel melewati posnya membawa buah kelapa sawit dari berbagai kebun. Juga berpuluh-puluh mobil tangki melewati gerbangnya membawa bubur sawit keluar dari pabrik CPO Heinzh Palm dan mengantarkannya ke tangki-tangki raksasa penimbunan bubur sawit di kota Dumai.
Suatu hari sepuluh tahun yang silam, Ahmadi berkesempatan melihat dari dekat sang pemilik perusahaan. Edward Heinzh, pria Inggris yang beristrikan Murdiana Hartati, seorang wanita berdarah biru dari Solo. Mereka membawa serta putra tunggal mereka yang saat itu masih anak-anak. Tidak lebih dari satu jam mereka di sana untuk meninjau pabrik. Waktu itu Heinzh Palm belum sebesar sekarang.
Itu adalah pertama dan terakhir kali Ahmadi melihat keluarga pemilik Heinzh Palm. Sekarang tak disangka-sangka ia bertemu dengan Adrian Heinzh.
"Terimakasih banyak, Pak, sudah menolong kami. Maaf sudah merepotkan." Ahmadi berucap penuh terimakasih.
"Tidak, sama sekali tidak merepotkan. Lekas sembuh, Pak! Tia sangat sedih." Adrian menoleh pada Tia.
Ahmadi mengangkat kepalanya, melihat pada Tia, lalu beralih pada Adrian. Merasakan sesuatu dalam nada suara dan sinar matanya.
Tia dan Adrian berbicara di selasar. Tak jauh dari mereka, Pandro sedang menerima telepon.
"Aku senang sekali Abak sudah sembuh," senyum Tia lebar terkembang. "Seperti tidak pernah sakit."
"Pak Ahmadi sebaiknya tetap di sini dulu menjalani perawatan. Jangan buru-buru pulang."
"Pak, terima kasih ya. Terima kasih untuk semuanya."
"Kakak!" ralat Adrian.
"Kakek," usil Tia. Mereka berdua tergelak.
Pandro menghampiri mereka berdua.
"Beres, Pak! Mereka sedang menunggu kita di Kantor Desa Malam Kolam."
Adrian mengangguk-angguk. Wajahnya nampak puas. "Bagus sekali!"
"Tia, kau tinggallah dulu di sini. Aku akan minta Ilham datang menemanimu. Bagaimana pun kau tak bisa sendiri," kata Pandro.
"Suruh Ilham bawa pakaianku dan Abak, Bang!"
"Sudah."
"Omak tidak ikut, kan?"
"Tidak, tenang saja!"
Ponsel Adrian berbunyi. Dia mengangkat dan meninggalkan mereka berdua.
"Bang, bagaimana aku akan membayar semua biaya ini?"
"Oh, iya, aku lupa!" Pandro merogoh sesuatu dari balik jaketnya. Sebuah amplop diserahkan pada Tia. "Ini!"
Tia melihat amplop itu, lalu mengintip isinya. Bibir dan matanya membulat.
"Banyak sekali, Bang! Bang, bagaimana aku menggantinya? Aku tidak enak pada Kak Asih."
"Itu bukan uangku! Aku mana punya uang sebanyak itu. Lagian semuaku udah di Asih."
"Terus?"
"Uang Pak Ryan."
"Ha?"
"Ambil saja! Dah, Abang pergi dulu. Kabari kalau ada apa-apa."
Tia melepas mereka dengan matanya. Adrian masih sibuk dengan ponsel, dia hanya memberi anggukan kecil dari jauh pada Tia.
"Dia sibuk sekali," pikir Tia. "Tapi masih bisa menyempatkan diri mengurus kami yang bukan siapa-siapa. Orang baik."
Pandro sedang memikirkan hal yang sama. Memikirkan Tia yang tinggal sendiri, Pak Ahmadi, juga Adrian Heinzh. Ia penasaran, untuk apa Putra pemilik Heinzh Palm ini bersusah payah menolong Tia? Simpati sebagai sesama manusia? Atau, ketertarikan pria terhadap wanita?
Pandro berharap keduanya. Alangkah indahnya jika Adrian memang menaruh hati pada Tia. Adrian laki-laki yang baik, sejauh Pandro mengenalnya. Usianya jauh di bawah Pandro yang sudah beranak dua, namun Adrian Heinzh adalah satu dari sedikit anak muda bertanggungjawab dan berdedikasi tinggi yang pernah ia kenal. Sebelum ini, Pandro sudah beberapa kali bertemu dengan Adrian, karena pria ini sudah terlibat dengan seluk beluk perusahaan orangtuanya sejak berusia belasan. Terlebih setelah Edward Heinzh wafat dua tahun yang lalu. Hampir setiap musim liburan Adrian Heinzh turun dari Jakarta untuk meninjau Heinzh Palm yang tersebar di beberapa propinsi di Pulau Sumatera ini.
Adrian fokus dari balik kemudi, melarikan ranger mereka dengan kecepatan tinggi.
"Bapak sangat terampil menyetir," puji Pandro. "Suka balap rupanya."
"Kadang-kadang."
"Pak, saya mewakili keluarga Pak Ahmadi mengucapkan terimakasih. Yang Bapak lakukan luar biasa."
"Biasa saja. Perusahaan punya alokasi dana kesehatan untuk karyawan. Walaupun Pak Ahmadi sudah bukan karyawan tapi saya pikir tidak ada salahnya."
"Tia sangat senang. Yah, setidaknya kesedihannya karena tidak melanjutkan pendidikan sedikit terobati."
"Kalau boleh tau alasannya, mengapa dia tidak sekolah? Kelihatannya Tia cukup cerdas."
"Dia sangat cerdas, Pak! Nilai ujiannya selalu tertinggi di Kabupaten ini. Tapi Ida, perempuan kecil kurus yang semalam, nah dia itu Ibu tirinya Tia. Dia yang melarang Tia sekolah lagi, bahkan bulan depan Tia akan dinikahkan dengan Ranto, putra Juragan Miskun."
"Juragan Miskun? Yang sekarang jadi rekan transaksi kita?"
"Ya, benar sekali, Pak!"
"Tapi menurut Tia dia baru empat belas tahun."
"Benar, Pak. Orangnya saja yang bongsor, umur masih kecil. Kasihan sekali."
"Tia bersedia?"
"Dia dan Pak Ahmadi menolak keras. Hanya perempuan bodoh yang mau jadi istri Ranto. Pemabuk, pemain perempuan, anak gadis atau istri orang tidak ada bedanya bagi dia! Malang sekali kalau Tia sampai jadi korban."
Adrian menekan gas lebih dalam. Dia menyalip, melaju, dan saat ada kesempatan memotong beberapa mobil sekaligus.
"Untung jalan mulus ya, Pak,"
Adrian hanya tersenyum. Dia mulai memikirkan Tia, gadis bermata coklat itu.
Ponsel Pandro berdering.
"Halo." Pandro terdiam. Wajahnya menegang. "Baik! baik!"
Ia menutup telepon dan menoleh pada Adrian. "Pak Ahmadi meninggal."
Tangis pilu Tia menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Sepanjang perjalanan dari rumah sakit hingga ke pemakaman, Tia tidak pernah mau jauh dari Abak. Saat jenazah Pak Ahmadi dimasukkan ke liang lahat, tubuhnya merosot jatuh ke tanah.
Adrian Heinzh berdiri di antara para pelayat. Menyaksikan semua duka Tia dari balik kaca mata hitam. Hatinya gerimis.
Pandro mendekati Adrian Heinzh. Kaki dan tangannya berlepotan tanah karena dirinya turun ke dalam makam untuk menyambut jenazah Pak Ahmadi.
"Kita pulang, Pak! Prosesi pemakaman sudah selesai."
Adrian mengangguk. Mereka bersiap meninggalkan area pekuburan saat suara nyaring terdengar.
"Ayo pulang! Pulang!" Ida menarik tangan Tia, memaksa ikut bersamanya.
"Aku tidak mau!" Tia menatap penuh kebencian pada Ida. Dia yang menjadi penyebab Abak jatuh sakit lalu meninggal. "Aku tidak mau pulang!"
"Sebentar, Pak!" Pandro cepat-cepat mengejar kedua perempuan itu.
Tia menarik lengan Pandro dan berlindung di belakangnya.
"Pokoknya pulang!"
"Tidak!! Omak sudah membuat Abak sakit lalu meninggal!"
"Apa?? Jangan asal tuduh!"
"Sudah!!" Pandro setengah menghardik. Ia melihat pada Ida. Di belakangnya, Tia terus memegang baju Pandro. "Bu Ida pulang dulu! Biar Tia di rumah saya sementara ini, nanti kalau dia sudah tenang pasti Tia akan pulang."
Ida melengos meninggalkan mereka berdua.
Akhirnya Pandro membawa Tia ke rumahnya. Gadis itu tidak berhenti menangis. Ranto datang beberapa kali, tapi Tia mengurung diri di kamar dan tidak mau menemuinya.
Sore hari berikutnya, Ranto berpapasan dengan Adrian. Ranto buang muka, terang-terangan menunjukkan sikap tidak senang.
"Siapa dia?" Adrian penasaran.
"Dia Ranto, putra Juragan Miskun," jawab Pandro.
"Dia nampak tidak senang."
Tentu saja Pandro mengetahui sebabnya. Setengah desa sudah mendengar gosip antara Tia dengan Adrian Heinzh, sejak heboh kisah mereka di air terjun beberapa hari yang lalu. Apalagi pria itu mendampingi Tia sejak dari rumah sakit hingga pemakaman.
"Maaf, Pak. Karena Tia urusan Bapak terkendala. Seharusnya transaksi kita bisa selesai lebih cepat."
"Tidak mengapa, Pak Pandro. Hanya saja saya penasaran dengan Keluarga Pak Ahmadi ini."
"Sebenarnya, Pak, Tia itu hanyalah anak angkat." Pandro menceritakan kisah Tia secara utuh. Lalu menambahkan, "Pak Ahmadi sudah lama berharap Tia bisa keluar dari desa ini. Bahkan kemaren di RS Almarhum meminta saya sedapatnya menggagalkan pernikahan Tia dengan Ranto, dan membawa Tia pergi jauh dari sini. Tapi saya bisa apa, Pak? Tidak mungkin saya melarikan Tia, bukan?"
Adrian mendengarkan saja, tidak memberi komentar apa-apa.
Hari sudah hampir senja saat Adrian sampai di air terjun. Ini kedua kalinya Adrian mendatangi tempat yang mempertemukannya dengan Tia itu. Asih mengatakan Tia keluar sejak siang, setengah yakin Tia ke air terjun karena hanya itu tempat yang mungkin ia datangi. Meski lelah setelah survey lahan perkebunan, Adrian tetap menyusul Tia.
Dia terus memikirkan gadis ini. Tidak bisa berhenti untuk khawatir.
Adrian menemukan Tia sedang menangis di bebatuan.
"Mbak Asih khawatir sekali, takut kau kenapa-napa."
"Apa lagi yang bisa terjadi?"
"Dia cemas. Ranto sudah dua kali datang ke rumah. Mbak Asih mengatakan kau sedang tidur, agar Ranto tidak mencarimu kemana-mana."
"Aku lebih baik mati dari pada membiarkan dia menyentuhku!" Tia bergidik. Airmatanya berlinang. "Mati jauh lebih baik! Tanpa Omak dan Abak, apa lagi artinya hidup ini?"
Matanya nanar menatap air terjun. Airmata terus mengalir, dia menangis tanpa suara.
Disisinya, Adrian terus memandang Tia Ariana. Melihat mata coklatnya yang basah, hidungnya yang merah karena terus menangis. Gadis itu menggigit bibir menahan sedu sedannya.
"Tia," Adrian menatap matanya, diam beberapa saat untuk mengumpulkan keberanian, "Kau mau ikut denganku?"
Tia menoleh, balas menatap wajah Adrian. Ia mencari kesungguhan di wajah itu. Tidak ada senyum dibibirnya, bahkan wajah Adrian muram bagai menanggung beban dunia, namun sorot matanya membuat Tia percaya.
"Ya, aku mau."
***
Pandro melirik Adrian sekilas. Sebagai sesama laki-laki, ia dapat menduga perasaan Adrian pada Tia. Adrian Heinzh adalah seorang pebisnis, meski keberadaannya di sini hanya mewakili perusahaan Ibunya, namun tanggungjawab yang ia emban tidak main-main. Pastinya dia memiliki sebab yang kuat hingga rela mengorbankan waktunya yang berharga demi seseorang yang baru dikenal. Ia mengambil resiko namanya tercemar karena dikait-kaitkan dengan calon istri orang lain.
Sekarang, putra keluarga Heinzh itu akan melarikan Tia Ariana!
Di mata Pandro, Adrian Heinzh sedang mempertaruhkan segalanya.
Bersambung #2
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
ceritanya sangat bagus
BalasHapus