Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 08 Mei 2021

Binar Jingga Mentari Senja #2

Cerita bersambung
*Pelarian*
Dengan diantar Ilham dan Asih, Tia kembali ke rumah Abak malam itu juga. Ida menyambutnya dengan wajah manis, lega karena Tia akhirnya pulang. Begitu Ilham dan Asih pamit, Tia segera masuk kamar, pura-pura mengantuk.

Tengah malam, terdengar ketukan samar di daun jendela kamarnya. Tia mematikan lampu, lalu pelan-pelan membuka jendela. Dalam gelap, ia melihat Ilham dan Asih sudah menunggu di luar. Tia menyodorkan tas sekolahnya pada Asih, dan Ilham membantunya melompati jendela.
Mengendap-endap mereka menyusuri jalan yang gelap gulita. Tak jauh dari sana, mobil ranger yang dikendarai Pandro sudah menunggu.

Mereka menyembunyikan Tia di rumah Iis, teman Tia yang rumahnya tepat di sebelah rumah Pak Rt. Itu adalah cara yang paling aman. Seandainya Ida menyadari Tia kabur, sudah tentu pikiran semua orang akan tertuju pada Pandro atau rumah Pak Rt. Tapi tidak akan ada yang menyangka Tia bersembunyi di rumah Iis.

"Kau sudah siap?" tanya Iis pada Tia.
"Aku takut."
"Takut apa?"
"Entahlah. Takut saja."
"Kau sudah membawa semuanya?"
"Aku membawa semua surat-surat surat penting. Raport, ijazah, foto Omak dan Abak, juga foto kita berempat. Kau, aku, Wati dan Ilham," mata Tia berkaca-kaca. "Entah kapan kita bertemu lagi."
Mereka berpelukan dalam haru.
"Aku yang paling muda di antara kalian. Dan kalian memanjakanku."
"Kau yang paling cantik. Paling baik. Juga paling cerdas. Kami yakin kau akan sukses, Tia, bersama Pak Adrian."
Tia memandang Asih, "Kalian yakin dia akan menjagaku?"
"Kami semua yakin dia menyukaimu! Omakku mendengar dari Bu RT, bahwa Pak Adrian itu akan menghadapi masalah besar dengan tindakannya membawamu pergi."
"Masalah besar?"
"Iya. Tapi Omak tidak bertanya masalah apa. Yang jelas, kami cemburu padamu, Tia! Aku dan Wati sampai mengkhayal andai saja Pak Adrian menaksir kami."
Mereka berdua tergelak.

Tiba-tiba pintu kamar diketuk dan terbuka. Wati muncul di depan pintu bersama Ilham.

Melihat sahabatnya, Tia menghambur dan menangis. Mereka bertiga berpelukan. Ilham memotret mereka, meletakkan Tia yang bertubuh tinggi langsing di tengah-tengah.

"Bagaimana bisa tengah malam begini kau ada di sini?" tanya Tia.
"Aku sudah tau sejak tadi, dari Bang Ilham. Aku ambil resiko digampar Abak karena kabur tengah malam dari jendela demi menemuimu. Oh, Tia! Rasanya aku sedih kau akan pergi!"
"Aku tidak tau Kak Ryan akan membawaku kemana."
"Pergilah kemana saja, itu lebih baik daripada kau jadi mangsa Ranto!" sambung Iis. "Tapi ngomong-ngomong, sapaanmu pada Pak Adrian mesra sekali!"
"Aku memanggilnya Kakak. Kakak lho ya!" senyum Tia.

Mereka bertiga menunggu hingga subuh. Omak Iis menyodorkan sepiring nasi dan teh hangat untuk Tia.

"Makanlah, Nak! Kau akan menempuh perjalanan panjang. Jangan sampai kau lapar di perjalanan," Omak Iis mengusap air matanya.
Tia menyuap nasi dengan bibir bergetar menahan tangis.

"Inur dan Ahmadi pasti lega kau pergi dari sini. Sudah lama mereka ingin kau pergi dari desa ini. Sekaranglah saatnya."

Tia diam saja. Dia teringat Omak dan Ayah. Sayang Tia tidak sempat lagi berziarah ke makam mereka.

"Cik, tolong lihat-lihatkan kubur Omak dan Abak. Kami tidak punya siapa-siapa di sini. Aku hanya bisa berharap pada kalian," kata Tia pada Omak Iis, yang biasa dipanggilnya Acik.

Abak Iis muncul di depan pintu, memberi tanda. Mereka semua keluar dan berkumpul di ruang tamu. Di luar, Pandro sudah menunggu dengan ranger yang siap berangkat.

Abak Iis dan Pak Rt mematikan lampu teras demi menghindari kecurigaan. Dalam gelap mereka mengantar Tia ke mobil. Tia ingin memeluk mereka semua, tapi Pak Rt menyuruh cepat-cepat masuk mobil.

Adrian keluar paling terakhir. Ia bersalaman dengan Pak Rt. Pak Rt mengucapkan sesuatu, lalu Adrian masuk mobil. Kali ini, dia membiarkan Pandro yang menyetir.

Tia hampir-hampir menahan nafas saat mobil yang membawanya mulai bergerak meninggalkan halaman rumah Iis. Dadanya berdebar-debar, keringat dingin mulai membasahi dahi hingga lehernya. Perasaan Tia sukar digambarkan. Takut bercampur sedih, disisi lain geleyar kegembiraan seiring jarak yang memisahkan mereka dengan Malam Kolam.

Hari mulai terang saat mereka melewati batas Kecamatan. Tia mengangkat duduknya lebih tegak, mengedarkan pandang berkeliling. Ini akan menjadi perjalanan terjauhnya yang pertama.

Satu jam kemudian, mereka tiba di sebuah pabrik kelapa sawit.  Deretan truk bermuatan buah kelapa sawit masuk satu persatu melewati sebuah gerbang raksasa. Setiap melewati pos di depan gerbang, supir truk itu akan turun dari mobil dan melapor pada petugas di pos pemeriksaan.

Pandro menurunkan kaca mobil saat melewati pos pemeriksaan. Beberapa sekuriti berseragam memberi hormat pada mereka. Pandro menutup kaca kembali.

Mereka berhenti di lingkungan pabrik. Tia melihat tangki-tangki raksasa dan pipa-pipa besar di depannya. Suara pabrik tidak ramah di telinga. Di sebuah plang raksasa, tertulis 'Heinzh Palm'.
Jadi ini pabrik yang selalu diperkatakan orang-orang di desa, pikir Tia. Yang menjadi tempat Abak, Bang Pandro, Ilham, Pak Rt dan sebagian pria di desa Malam Kolam mencari makan. Sungguh besar, lebih besar dari yang selama ini ada dalam bayangannya.

Tia memikirkan Ida. Jika dia tau siapa Adrian, akankah dia memusuhinya? Ranto bahkan tidak ada apa-apanya!
Bibirnya menyunggingkan senyum puas membayangkan ekspresi Ida saat menyadari Tia sudah kabur. Ia sengaja membiarkan jendela kamarnya tidak ditutup rapat, agar saat Ida bangun dia segera tau Tia kabur dari jendela. Kabur bersama pria yang 'dipeluknya'di air terjun tempo hari. Ah, rasanya puas sekali!

Juga membayangkan Ranto tatkala menyadari calon istrinya sudah hilang digondol orang. Sungguh kasihan.
Tapi, akankah pelariannya ini memberi masalah pada teman-temannya dan mereka yang sudah berbaik hati menolong? Juga pada Adrian Heinzh dan urusannya di desa Malam Kolam? Tia memikirkan mereka, merasa bersalah.

Adrian dan Pandro turun disambut dua orang berseragam. Mereka berempat bicara di depan mobil. Tia memperhatikan Adrian Heinzh. Pria berkaca mata hitam itu mengatakan sesuatu dan ketiga orang itu mendengarkan dengan seksama. Pria itu begitu mengagumkan dengan kewibawaan alami yang ia miliki.

Adrian bersama dua orang itu masuk ke dalam sebuah kantor. Sedangkan Pandro masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Tia.

"Tia, kita berpisah di sini. Pak Adrian akan membawamu ke Jakarta. Jaga dirimu baik-baik, beri aku kabar."
"Jakarta?"
"Benar. Perusahaan memiliki panti asuhan, mungkin Pak Adrian akan menempatkanmu di sana. Kau bisa terus sekolah."

Panti asuhan. Jadi sekarang ia akan hidup bersama para yatim piatu. Tetapi tidak mengapa. Tia rela menyerahkan hidupnya asal dapat keluar dari Malam Kolam.

Mata Tia menghangat mengenang Omak dan Abak. Mengingat Malam Kolam dan semua orang-orang baik hati yang akan ia tinggalkan. Mengingat air terjun. Mengingat semuanya.

"Jangan menangis. Sabarlah, semoga ini jalan yang baik," Pandro ikut terharu.
"Aku takut, Bang! Aku tidak kenal Pak Adrian dengan baik."
"Pak Adrian orang baik, Tia. Dia mendirikan sholat. Sopan. Rendah hati. Kau aman bersamanya."
"Abang yakin?"
"Insyaallah, inilah harapan yang paling masuk akal. Aku tidak melihat jalan lain untuk saat ini."
"Aku akan menjadi beban baginya, Bang. Lalu bagaimana aku membayarnya?"
"Tia, jangan berpikiran macam-macam! Pak Adrian tidak meminta imbalan!"

Sekarang Pandro meyakini perasaan Adrian Heinzh pada gadis empat belas tahun ini. Pria itu bergeming, tidak peduli dengan resiko yang akan menantinya. Yang jelas, transaksi dengan Juragan Miskun pasti berantakan.
Adrian Heinzh melakukannya demi Tia.

"Tia, patuhlah pada apapun yang dikatakan Pak Adrian! Kau tidak tau besarnya nilai pengorbanan yang dilakukannya untukmu."
"Benarkah?"
"Ya. Kau tidak perlu mengerti. Cukup lakukan saja! Dia akan membawamu pada dunia, sesuai keinginan Abakmu. Temukan dirimu di sana, Tia! Aku yakin kau akan sukses, meski semua tidak mudah."

Ucapan Pandro menyentuh hati, membuatnya menangis. Ia mencium tangan Pandro dengan santun, membiarkan pria itu mengusap ubun-ubunnya. Mereka sama-sama tercekat oleh tangis tertahan. Haru menggamit jiwa.

Pandro bersalaman dengan Adrian.
"Saya titip Tia, Pak. Tolong jaga dia dengan baik."

Adrian tidak memberi jawaban, namun membalas tatap mata Pandro. Dengan sorot matanya, ia telah menerangkan perasaannya yang terdalam, juga janji untuk selalu melindungi Tia Ariana.

Mereka tiba di Pekanbaru. Adrian membawanya ke sebuah toko perlengkapan wanita.

"Belilah beberapa. Kau akan membutuhkannya."

Tia mengedarkan pandangan. Semuanya ada di sini. Baju, celana, rok, gaun. Di bagian lain terdapat sepatu dan sandal, juga tas dan kosmetik.

Tia kagum pada deret baju yang berjejer. Tiap deret berbeda model dan terpisah atas beberapa warna. Ia menyentuh sehelai blus yang terdekat, segera terkagum-kagum akan lembut dan halusnya. Tia belum pernah melihat pakaian seperti ini, apa lagi memilikinya.

Tiba-tiba ia melihat pantulan dirinya di kaca. Mendadak ia malu pada apa yang ia kenakan. Adrian benar, Tia membutuhkan semua ini. Tanpa pakaian-pakaian ini, ia tidak pantas pergi bersama Adrian.

Seorang gadis muda bertubuh seksi melintas di depan Tia. Dia memakai celana jeans yang pendeknya nyaris sepangkal paha dan kemeja bermotif sebagai atasan. Tia tidak mengerti mengapa perempuan bisa berpakaian sependek itu. Tapi perempuan itu sangat harum. Baunya saja masih tertinggal di sini. Mungkin, gadis seperti itu yang cocok bersama Adrian.

Ragu-ragu, Tia memadang Adrian. Pria itu sedang duduk di sofa, dengan senyum memberi isyarat agar Tia memilih pakaiannya.

Perhatiannya membuat Tia terharu. Sekarang dia sebatang kara di dunia ini, tidak memiliki siapa-siapa kecuali Adrian disampingnya. Tia ngeri membayangkan andai pria itu tidak ada.
Dari tempatnya duduk, Adrian dapat melihat gerak-gerik Tia dengan jelas. Kecanggungannya begitu nyata. Adrian memanggil pramuniaga.

"Bantu dia mendapatkan beberapa pasang pakaian, sepatu, sendal, tas dan kosmetik yang cocok untuknya! Juga koper besar untuk menampung semua itu!"

Pramuniaga mendekati Tia yang tidak mengerti mode. Dengan bantuannya, Tia berhasil mendapatkan pakaian beserta perlengkapan yang menurut Tia sangat cantik sekali.

Adrian meminta Tia berganti pakaian. Ia mengangguk puas saat melihat penampilan baru Tia.

"Lihat dirimu!" Adrian menunjuk pada kaca. "Jujur Tia, kau cantik sekali. Sebenarnya, tadi dengan sekarang sama saja."

Pipi Tia merona karena malu. Ia menunduk dalam-dalam, sebisanya menyembunyikan wajahnya dari mata Adrian.

Mereka sudah di dalam pesawat. Tia memilih duduk dekat jendela, khas orang yang baru pertama naik pesawat. Rasanya bagai sedang bermimpi.

Di sampingnya, Adrian sedang menekur dengan wajah serius.
Ia memikirkan langkah apa yang harus ia tempuh saat kini Tia ada bersamanya.
Adrian tidak mungkin membawa Tia ke rumah. Sekali-kali tidak! Akan sangat berbahaya bagi gadis ini. Mama sudah tentu tidak tinggal diam.
Ia juga memikirkan kelangsungan transaksinya dengan Juragan Miskun. Besar kemungkinan transaksi jual beli lahan itu akan batal. Ia harus memikirkan jalan lain. Tia aman, tapi lahan perkebunan itu tetap dia dapatkan. Bisnis tidak boleh hancur hanya karena urusan wanita.

Ketika pesawat mulai mengudara, Tia ketakutan. Buku jarinya memutih mencengkeram tangan kursi. Penuh pengertian, Adrian memberikan lengannya, membiarkan gadis yang ketakutan itu merapatkan diri padanya.

==========

*IKRAR*

Sejak pertama kali menginjakkan kaki di kota Jakarta, ketergantungan Tia pada Adrian semakin menjadi-jadi.

Jakarta kota yang amat besar, penuh gedung-gedung bertingkat tinggi, mobil yang berseliweran, padat oleh manusia dari berbagai penjuru. Tia bukan siapa-siapa di sini, hanya seorang gadis remaja yatim piatu dari pelosok desa yang mempercayakan hidupnya pada Adrian Heinzh, laki-laki yang belum lama ia kenal.

Dengan ransel di pundak, koper di tangan kanan, Adrian membimbing Tia melewati kerumunan manusia. Kaca mata hitam tidak pernah lepas, wajahnya datar tanpa ekspresi. Setelah beberapa hari bersama, Tia mulai mengerti bahwa Adrian sedang memikirkan sesuatu.

Lepas pintu keluar, sebuah mobil sudah menunggu. Adrian membuka pintu, mempersilahkan Tia masuk lebih dulu. Dia tidak berkata apa-apa dan langsung duduk di samping Tia.

Adrian kembali memikirkan Mama. Mama sedang di London, menziarahi makam Papa. Meski demikian, Mama selalu tau apa yang terjadi di Tanah Air. Tidak ada yang luput dari pengamatan dan pengetahuannya. Mama sangat detil dalam semua hal. Tidak mengherankan Heinzh Palm berkembang pesat di bawah kendali beliau.

Entah tindakan apa akan yang dilakukan Mama seandainya mendengar kabar transaksi jual beli lahan yang sudah susah payah diperjuangkan gagal terlaksana karena Adrian melarikan seorang perempuan, calon menantu si pemilik lahan.

Adrian akan memikirkannya kembali. Sekarang, lebih baik menempatkan dulu Tia di tempat yang paling aman.

Adrian membawa Tia Ariana ke apartemennya. Apartemen kecil berkamar satu, yang tahun lalu ia beli dengan uangnya sendiri, keuntungan dari bermain saham di Heinzh Palm. Hanya untuk sementara Tia di sini, sampai Adrian mendapatkan sekolah yang cocok untuknya. Adrian membatalkan rencana awal menitipkan Tia ke panti asuhan binaan perusahaan. Selain tidak tega, akan terlalu mudah dilacak.

"Tinggallah di sini, sampai aku menemukan sekolah yang tepat untukmu." Adrian membawa Tia ke kamarnya. "Kau boleh gunakan kamar ini. Juga semua peralatan yang ada."

Adrian meninggalkan Tia dan kembali ke rumah Ibunya. Setiap hari dia datang untuk menjenguk Tia, namun tidak pernah lama. Bagaimana pun, tidak nyaman rasanya berdua-duaan dengan seorang perempuan. Pastinya Tia juga demikian. Gadis itu sangat pemalu. Belakangan, dia semakin pendiam dan ragu-ragu, berbeda jauh dengan sikapnya saat masih di Malam Kolam. Kesan ceria yang nampak saat mereka bertemu pertama kali, sudah lama hilang dari dirinya. Sering Adrian melihat matanya yang kosong dan hampa, hanya menjawab satu-satu saat Adrian mengajak bicara. Kadang terlihat juga bahwa dia ingin mengatakan sesuatu, namun dengan cepat dia urungkan.

"Tia, aku sudah mendapatkan sekolah yang cocok untukmu. Sebuah boarding school di Bogor," kata Adrian dua hari kemudian.

Tia menunduk, diam mendengarkan.
"Aku sudah mengatur segalanya. Kau akan tinggal di sana sampai lulus SMA. Tidak akan ada yang mengganggumu. Kau bisa belajar dengan tenang."
"Terimakasih, Kak Ryan." Suara Tia nyaris tertelan di tenggorokan. Susah payah ia berjuang menahan haru.

Adrian mengamati perubahan wajah Tia. Wajah yang selama seminggu terakhir begitu akrab dengannya. Saat tertawa, bersedih, saat termenung, pipi merahnya, kecanggungan dan sikapnya yang malu-malu, juga keluguan yang kadang menggelikan, semua itu selalu menari-nari dalam kepala Adrian.

Malam sebelum tidur, acapkali ia ingin menelpon, memastikan Tia baik-baik saja. Namun akhirnya ia urungkan, karena ia tidak tau untuk apa semua itu. Sudah tentu Tia baik-baik saja. Apartemennya berada di gedung dengan tingkat pengamanan terbaik di Jakarta, tidak ada yang perlu dikuatirkan. Di hari pertama kedatangan Tia, Adrian sudah menyuruh seseorang mengantarkan persediaan makanan sepenuh kulkas agar Tia tidak kekurangan.
Adrian sudah memikirkan segalanya, dan mengaturnya dengan demikian cermat.

Di apartemen Adrian, Tia duduk dengan gelisah. Perasaannya tak menentu. Setelah ditinggal Abak untuk selamanya, sekarang Adrian juga akan mengantarkannya jauh ke asrama.

Hari-hari terasa panjang dan membosankan. Adrian datang setiap hari, tapi sebentar-sebentar, juga bicara yang perlu-perlu saja. Tia menjadi semakin sungkan. Hatinya bertanya-tanya, mengapa sekarang Adrian jadi berbeda.

Tia lebih banyak mengabiskan waktu di dalam kamar, berbaring di tengah ranjang. Hatinya sedih setiap mengingat Abak, juga mengenangkan masa depannya yang serba tak pasti. Dalam tempo beberapa hari saja, dunianya jungkir balik karena kematian Abak. Lalu Adrian Heinzh menyelamatkannya, dan ia di sini sekarang.

Ia menatap lingkar hitam di bawah matanya, juga pipi yang mulai tirus. Tia jarang makan, kecuali saat ia benar-benar lapar. Seseorang, entah siapa dia, mengantarkan begitu banyak makanan, tapi Tia hanya mendadar telor setiap akan makan, hingga stok makanan di dapur utuh bagai tidak tersentuh.

Kadang pikiran nakalnya berkelana, membayangkan Adrian juga pernah tidur di ranjang yang sama. Ia membuka lemari pakaian, melihat pada beberapa helai kaos dan kemeja Adrian yang tersusun rapi. Tia mengambil sehelai kemeja dan memakainya, membayangkan Adrian dalam pakaian yang sama. Tia berbaring kembali, mencoba tidur dalam balutan kemeja Adrian.

Keesokan paginya, Tia menyimpan pakaian itu untuk dirinya sendiri.
Ia tidak mencuri. Ini hanya meminjam secara diam-diam, sebagai obat hati saat nanti dirinya merindukan Adrian. Tia membongkar kopor, menyembunyikan kemeja pria itu pada lipatan terbawah.

Kadang saat Tia tidak bisa tidur, ia menatap telepon di meja sudut, berharap Adrian menelpon. Tapi tidak ada telepon dari siapapun. Akhirnya Tia membuka pintu kaca menuju balkon, berdiri berlama-lama di sana, melihat Jakarta di waktu malam.
Pikirannya nelangsa mengingat Malam Kolam dan semua orang baik yang ada dalam hidupnya. Omak, Abak, teman-temannya, juga air terjun.

Ini akan jadi malam terakhir Tia di sini, karena besok pagi Adrian akan mengantarkannya ke asrama. Tia memuaskan mata memandang kota Jakarta dari balkon. Semoga suatu hari ia memiliki kesempatan menikmati keindahan kota ini bersama Adrian.

Seseorang menekan bel. Tia setengah menduga itu Adrian. Dia mengintip dari lubang kecil di tengah pintu. Benar saja, pria itu sedang berdiri di sana.

"Belum tidur?" katanya saat melihat Tia.
"Belum, Kak."

Adrian masuk. Pintu balkon yang terbuka menarik perhatiannya. Dia memandang Tia, segera menyadari alasan di balik tindakan gadis itu.
Dari bagian bawah sebuah lemari, Adrian mengeluarkan helm.

"Ayo," tangannya terulur pada Tia.
Ragu-ragu, Tia membalas uluran tangan Adrian. Dia tidak mengerti apa-apa, tapi seperti yang pernah dikatakan Bang Pandro, jangan banyak bertanya, cukup patuhi saja.
Adrian menarik tangan Tia, membawa gadis itu turun ke pelataran parkir.

"Sini." Adrian memakaikan helm di kepala gadis yang masih kebingungan itu, memasangnya dengan teliti. "Naiklah."

Tia naik ke boncengan Adrian. Adrian menarik tangan Tia, melingkarkannya pada perutnya. Tia setengah mati berusaha menciutkan diri, malu luar biasa karena sekarang tubuhnya menempel di punggung Adrian. Wajahnya pasti sudah semerah kepiting rebus. Belum lagi dia memakai rok selutut, membuat setengah pahanya kelihatan, menjadi tontonan siapa saja.
Adrian menepuk punggung tangan Tia, lalu mulai menghidupkan kendaraan dan melaju.
Tia tidak tau Adrian akan membawanya kemana. Ia memejamkan mata, mengetatkan pegangan saat Adrian melaju dan menikung.

Entah berapa lama mereka berputar-putar hingga akhirnya Tia mulai terbiasa. Ia mengendorkan pegangan, melihat berbagai gedung-gedung pencakar langit yang dipenuhi lampu-lampu.

Adrian membawa Tia melewati banyak bangunan penting di berbagai sudut kota.

"Ini baru sebagian kecilnya. Semoga suatu saat ada waktu, aku akan menunjukkan semuanya."

Sambil bersandar di punggung Adrian, Tia mengingat ucapan Abak. "Pergilah dari sini, Nak! Tempatmu bukan di sini. Seharusnya kamu melihat dunia."
Lalu kalimat Pandro, "Pak Adrian akan membawamu pada dunia."

Perlahan, ucapan mereka mulai menjadi kenyataan.
Tetapi bagi Tia, semua itu tidak penting. Saat-saat seperti inilah yang terpenting. Bisa bersama Adrian, melihatnya dari dekat, merasakan perlindungan dan kasih sayangnya.

Dirinya bukan kekasih Adrian, namun Tia merasakan besarnya perhatian pria ini padanya. Menyedihkan karena besok mereka akan berpisah. Tia akan masuk asrama, dan entah kapan mereka bertemu kembali. Bisa bulan depan, atau setelah berbulan-bulan.

Mereka berhenti di sebuah tempat yang menjadi pusat berkumpulnya para penjual makanan dan pedagang kaki lima. Adrian memarkirkan sepeda motor, lalu membawa Tia melihat-lihat berbagai makanan yang di jual dalam gerobak dorong ataupun warung lesehan.

Adrian memesan ayam rica-rica, menu favoritnya. Tia makan tanpa banyak bicara. Ia memikirkan menit-menit yang berlalu dengan begitu cepatnya. Beberapa jam dari sekarang, Adrian akan mengantarnya ke Bogor.

Tia mengingat tujuan awalnya meninggalkan Malam Kolam. Saat itu, ia hanya ingin pergi sejauh-jauhnya dari Ranto, syukur-syukur bisa sekolah. Sekarang dia mendapatkan keduanya, tapi ia tidak merasa lega. Ia menginginkan Adrian.

Mereka tiba di apartemen tepat saat jam berbentuk miniatur Big Ben menunjukkan jarum panjang dan jarum pendek yang berdempet searah ke Utara.

Adrian membawa Tia duduk berhadapan. Hatinya tidak tenang melihat kesedihan yang terus menerus membayangi gadis ini. Ia sudah berusaha membuat Tia gembira, membawanya jalan-jalan, namun wajah indah ini justru semakin tertutup mendung.

"Tia, besok pagi kita akan ke Bogor."
Tia mengangguk dan terus menunduk.

Adrian diam sejenak, menimbang-nimbang sebelum mengucapkan kalimat berikutnya.

"Masa perkuliahan sudah akan di mulai. Aku juga akan kembali ke kampus tak lama lagi."
"Ya, aku mengerti." Akhirnya Tia bersuara.
"Di ... London."
"London?" Tia tergagap. Dia tidak pernah tau Adrian kuliah di London.
"Ya. Aku akan kembali ke London, menyelesaikan kuliahku yang mungkin hanya setahun lagi."
"Jauh sekali!" bibir Tia mulai bergetar. Tiba-tiba ia menjadi kalut karena ketakutan yang mulai merayap. Ia memberanikan diri menatap Adrian, menunjukkan matanya yang mulai berair.

"Tia, jangan menangis." Tatap Adrian lembut menenangkan.
"Tidak." Air mata mulai membasahi pipi Tia. "Aku tidak berani. Aku tidak punya siapa-siapa di sini."
"Tia, ingatlah satu hal, aku sudah membawamu sejauh ini, aku tidak akan membiarkan kau lepas dari pengawasanku! Meskipun aku jauh, kau tidak sendiri!"
"Aku takut, Kak!"
"Tia, dengarkan aku!" Adrian pindah duduk disamping Tia. "Tia, angkat wajahmu dan lihat aku!"

Tia mengangkat wajahnya yang berurai airmata. Ia memandang Adrian, membalas tatapan Adrian pada matanya.

Batin Adrian bergejolak. Hatinya iba luarbiasa. Alangkah malangnya gadis ini. Dia begitu cantik mempesona, bahkan pada usia yang masih teramat muda seperti sekarang, tapi penderitaan yang ditanggungnya bahkan tidak terbayangkan. Yatim piatu, tidak pernah tau darimana dirinya berasal dan kemana ia akan kembali, tanpa pendidikan, tanpa uang serupiahpun. Tia tidak memiliki apa-apa sama sekali, kecuali harapan pada Adrian Heinzh.

Seandainya saja ia memiliki kemampuan, ia akan membawa Tia kemana pergi, tidak akan membiarkannya sendirian di sini. Ia akan menikahi Tia, dan mereka bisa hidup sederhana di London sana. Tapi itu akan menyakiti Mama. Biar bagaimana, ia tidak ingin menjadi anak durhaka.
Ia sudah cukup merasa bersalah atas kegagalan Heinzh Palm mendapatkan lahan Juragan Miskun.
Sekarang ia belum kuat menapak di atas kakinya sendiri, apalagi untuk memperjuangkan Tia.

"Tia, aku berjanji padamu, aku tidak akan melepaskanmu! Belajarlah dengan fokus! Raihlah prestasi! Jadilah seseorang! Aku sangat berharap padamu! Aku tau kau akan mampu! Aku juga akan berjuang dengan caraku! Suatu hari nanti, saat kedua kaki kita sudah sama-sama mampu menapak dengan kokoh, kita akan bertemu lagi. Aku berjanji, saat itu kita tidak akan berpisah lagi!"
Airmata Tia berurai.
"Jangan menangis,Tia. Tidak ada yang perlu ditakutkan, karena aku tetap menjagamu."

Tidak ada ucapan cinta penanda dimulainya sebuah hubungan. Namun Adrian Heinzh telah menyambut uluran tangan Tia Ariana, dan bertekad untuk menggenggamnya selamanya.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER