Cerita bersambung
*LDR*
Hari-hari pertama di asrama dilalui Tia tanpa mengalami rintangan dan hambatan yang berarti.
Tia memiliki daya adaptasi yang baik dengan teman-temannya. Mereka menyukainya, karena ia rendah hati, baik dan tidak sombong. Kecantikannya sangat menonjol, membuat ia mudah dikenali. Di sekolah, ia sudah populer sejak hari-hari pertama, meski muridnya perempuan semua.
Dia juga memiliki kharisma, sesuatu yang membuat orang senang berada didekatnya.
Kesedihannya tidak tampak, kesepian karena ditinggal Abak dan Adrian ia simpan rapat-rapat. Ia senantiasa ceria, menampilkan air muka yang jernih pada siapapun, membuatnya selalu disenangi.
Latar belakang sebagai orang susah sejak lahir dan berasal dari pelosok pula, membuatnya tidak sulit mengikuti berbagai peraturan asrama. Ia bangun paling pagi tanpa perlu dibangunkan, sudah menjemur pakaian di saat teman-temannya yang lain masih sibuk mencuci bahkan mengantri di depan kamar mandi. Lidah dan perut Tia tidak pernah protes dengan menu sederhana kantin asrama. Dia makan dengan tenang, meski teman di sebelahnya mengeluhkan ikan yang kotorannya tidak dibuang sempurna, toge yang dimasak dengan akar-akarnya, batang kangkung yang terlalu liat, atau seekor ulat daun yang mengapung di dalam mangkok sayur bayam. Alih-alih ribut dan berhenti makan, dia membuang ulat itu dengan kalem, lalu meneruskan makannya.
"Lu tampang internasional selera tradisional lu!" temannya terkagum-kagum.
"Gue gak mau kalah sama ulat," balas Tia cuek, ikut ber elu ber gue seperti mayoritas teman-temannya. "Masalahnya gue laper, kasian cacing gue dong!"
Tidak seorang pun yang percaya saat Tia mengatakan asal usulnya. Ia tersenyum saja. Tidak percaya ya sudah.
"Trus dari mana kiriman lu tiap bulan?"
"Warisan."
Tia menghadapi masalah dengan materi pelajaran yang diajarkan. Meski dirinya mantan murid terpintar se Kabupaten, tapi itu di Kabupatennya sana! Di sini, Tia bukan siapa-siapa, banyak murid yang lebih pintar dari dirinya. Kualitas pelajaran di daerah dengan di sini juga tidak sama. Nilai midsemesternya hanya berada di peringkat belasan, dan itu mimpi buruk baginya. Memalukan sekali jika sampai diketahui Kak Ryan, pikirnya panik. Maka ia berusaha lebih tekun, mengulang pelajaran setiap awal pagi meski sebentar, dan mempelajari bab baru yang akan dipelajari di kelas hari itu. Dengan demikian dirinya satu langkah lebih maju di banding teman-temannya.
Saat hasil ujian semester cukup memuaskan dan Tia duduk di posisi sepuluh besar, ia terus meningkatkan metoda belajarnya.
Tia sangat berambisi untuk menguasai bahasa Inggris, membayangkan suatu hari Adrian membawanya ke negeri itu, namun peraturan tidak memperbolehkan siswi mereka keluar asrama meski dengan alasan mengikuti kursus. Tak kehabisan akal, Tia mendekati Tiwi, teman seasrama yang lancar berbahasa Inggris dan menjalin hubungan akrab. Mereka menggunakan Bahasa Inggris dalam berinteraksi, tak peduli dengan satu dua cibiran yang datang.
"Lidah kampung lu!" kata temannya, entah menghina entah bercanda.
"Makanya gue belajar, biar keren kaya Tiwi, nih!" balas Tia.
Semua ini adalah bagian dari perjuangan hidup.
"Tidak ada masalah, sejauh kamu tidak mempermasalahkan," begitu kata Adrian ketika mereka akan berpisah.
Saat musim liburan hampir tiba dan semua siswi sibuk mempersiapkan perpulangan, disitu Tia merasa galau. Dia berharap Adrian menelpon dan menjemput. Namun sudah enam bulan, tak ada satu pun telepon dari pria itu. Akhirnya, Tia ikut salah satu temannya. Demikian juga saat libur lebaran, selalu saja ada teman asrama yang antusias mengajaknya pulang. Mereka mengetahui Tia sudah yatim piatu, dan merasa simpati atas keadaan itu.
Pandro menelpon dua kali. Telepon pertama saat Tia baru dua bulan di asrama.
"Omakmu bagai orang kesetanan, teriak-teriak datang ke rumahku! Sama Asih diusir suruh pulang!"
"Rasain!"
"Juragan Miskun juga datang menemuiku sambil marah-marah! Dia membatalkan transaksi dengan Pak Adrian!"
"Batal?" Tia terkejut, meski dia sudah menduga. "Kasihan Kak Ryan."
"Tidak jadi batal!"
"Lho, kok bisa?"
"Gara-garanya si Ranto salah langkah! Dia sok paten, ngumpulin preman dan menyerang kami! Kami dikeroyok! Kami hanya berdua sedangkan mereka banyak!"
"Sebentar, Bang! Maksudnya Kak Ryan kembali ke Malam Kolam?" Tia merinding.
"Begini, sesuai intruksi Pak Adrian, selama kalian di Jakarta aku mengerahkan kaki tangan untuk mencari informasi tentang lahan yang bisa dibeli, sebagai pengganti lahan yang batal itu. Aku berhasil mendapatkan lahan serupa di Desa Teluk Rambai. Setelah mengantarmu ke asrama, Pak Adrian datang lagi untuk melihat sendiri lahan itu dan mulai bernegosiasi dengan pemiliknya. Nah, ternyata kabar itu sampai ke telinga Ranto. Dia membawa beberapa preman dan menyerang mobil kami. Aku dan Pak Adrian melawan sebisanya. Kami cukup babak belur karena mereka begitu banyak."
"Ya Alloh!" Tia mencengkeram gagang telepon erat-erat. "Jadi bagaimana keadaan Kak Ryan?"
"Lengannya sempat terluka kena sabetan parang si Ranto. Memang tujuan mereka mau membunuh Pak Adrian! Aku sendiri diringkus, tak bisa bergerak! Beruntung dua mobil karyawan pabrik lewat, mereka yang bantu kami. Pak Adrian membuat laporan polisi, dan Ranto beserta komplotannya ditangkap hari itu juga!"
"Syukurlah!"
"Belum selesai, Tia! Juragan Miskun mencoba bermain, menyuap oknum Polisi yang dia kenal agar Ranto tidak perlu ditahan, tetapi Pak Ryan sendiri kan tidak bodoh. Akhirnya Juragan Miskun mengemis-ngemis datang ke pabrik minta Pak Adrian mencabut laporan Polisi. Omak si Ranto sampai nangis-nangis menemuiku, agar aku membujuk Pak Adrian. Sampai-sampai Juragan Miskun setuju melepas lahannya asalkan Ranto bebas. Akhirnya Pak Adrian cabut laporan dan mendapatkan lahan itu."
"Kasihan Kak Ryan, Bang!" ujar Tia penuh sesal. Matanya mulai berair membayangkan penderitaan Adrian. Wajar saja Juragan Miskun kecewa, namun ia tidak menyangka begitu besar akibat yang harus ditanggung Adrian demi dirinya.
"Sekarang Kak Ryan dimana, Bang?"
"Sudah balik ke London."
"Apakah dia akan datang lagi ke Pabrik?"
"Entahlah. Karena sekarang misinya sudah sukses. Kalau pun datang paling-paling meninjau satu dua hari."
"Sebaiknya dia tidak datang, Bang! Aku takut Ranto macam-macam lagi!"
"Tenang saja! Pak Adrian itu tidak bodoh! Kalau dia mau, Ranto sudah busuk di penjara! Karena itu kau harus belajar dengan serius, Tia! Jangan kecewakan Pak Adrian! Dia tulus padamu! Dia memberiku nomor telepon sekolahmu, tapi melarang memberikannya pada teman-temanmu karena kuatir diketahui Ranto nantinya."
Telepon kedua datang beberapa bulan setelah itu. Pandro mengabarkan Omak meninggal karena tidak kuasa menanggung beban. Juragan Miskun menyita rumah mereka sebagai alat pembayar hutang, sehingga Omak terpaksa angkat kaki dan hidup menumpang pada keponakan yang membencinya. Tidak lama setelah itu Omak meninggal setelah menderita demam selama satu minggu.
Adrian tidak pernah menelpon meskipun satu kali. Namun Tia percaya Adrian selalu menepati janji. Suatu hari dia akan kembali untuk menjemput Tia, dan mereka akan hidup bersama, merenda kehidupan yang bahagia.
Setiap bulan Adrian rutin mengirim uang ke rekening Tia. Untuk biaya sekolah dan asrama, juga pengeluaran pribadi. Kecuali membeli kosmetik perawatan kecantikan, ia nyaris tidak punya kebutuhan yang berarti. Ia tidak pernah kemana-mana. Dengan demikian uang tabungannya senantiasa bertambah.
Meski masih muda, Tia tidak pernah melupakan perawatan. Membersihkan wajah dengan teratur, luluran, menggunakan pelembab kulit yang tepat, semua ia lakukan.
"Saat pembagian wajah cantik, lu kan udah bediri paling depan, jadi lu udah borong semua! Masih aja repot perawatan!"
"Rajin amat luluran, kulit udah bening gitu!"
"Ngapain tu lidah buaya pake dioles-oles di kulit kepala, rambut lu kan udah lebat!"
"Daun sirih di belakang asrama diembat si Tia buat cebok!"
Tia membalas semua komentar itu dengan santai. Dia terus merawat diri juga mengasah otaknya. Semua ini untuk Adrian.
Dengan perjuangan dan kerja keras, Tia melewati tahun pertama di Sekolah berasrama itu dengan nilai baik dan bertekad akan terus meningkatkan pencapaian.
Tia ingin berbagi berita gembira itu pada Adrian, tetapi tidak tau harus menelpon kemana. Sedangkan Adrian tidak pernah menelpon meski satu kali pun. Tidak ada komunikasi, tidak ada kabar berita. Berpikir positif membantunya tetap tabah.
Tia melanjutkan tahun kedua di asrama. Nilainya selalu baik dan ia kerap berprestasi dalam ekskul. Kerinduan pada Adrian sangat menggigit, tapi tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menunggu. Ia percaya Adrian tetap menjaga dan memantau perkembangannya. Keyakinannya, Adrian memiliki orang dalam yang selalu memberi laporan. Tetapi, mengapa Adrian tidak pernah menelpon?
Ia menunggu dan terus menunggu.
Pada suatu hari, mereka mendapat kabar Yayasan akan kedatangan seorang donatur. Serangkaian persiapan dilakukan. Tia dipercaya untuk mengalungkan bunga pada donatur itu.
Ketika rombongan itu tiba, mereka semua bersiap menyambut. Ibu kepala sekolah tergopoh-gopoh, menarik Tia agar tetap berdiri didekatnya.
"Jangan jauh-jauh kamu!"
"Ya, bu!"
Tia tersenyum renyah. Entah mengapa hari ini dia senang sekali. Bahkan tadi sempat berdandan sedikit. Dia memakai parfum dan lipsglos, membuat bibirnya bertambah merah.
"Woi, donaturnya bu ibu, bukan cowok ganteng! Biasa aja kali!" ledek temannya saat Tia berkaca sekali lagi. Tia senyum-senyum.
"Biarin, paling tidak gue kan bakal kejepret kamera! Harus keren dong!" balas Tia.
"Betul!" sambung temannya yang lain. "Gue numpang ya, bediri disamping lo!"
"Di belakang aja, biar ketutup lo sama Tia si menara!"
Mereka berdiri berkerumun di halaman, menanti-nanti kedatangan tamu istimewa.
"Siapa sih donatur kita, Bu?" bisik Tia setengah menunduk pada Bu Inayah, guru Bahasa Inggris yang tingginya hanya di bawah bahu Tia. "Melihat kesibukan yang tercipta demi menyambut mereka, sepertinya bukan orang sembarangan."
"Bu Diana. Dia akan menyumbang seratus unit komputer baru untuk sekolah kita. Juga menambah dua puluh kamar mandi asrama. Kalian gak repot lagi ngantri lama."
"Dia kaya ya, Bu."
"Ya. Pengusaha."
Sebuah mobil berhenti di depan pagar sekolah. Seorang pria berkemeja hitam keluar, dengan sopan membuka pintu di belakangnya. Dari dalam mobil, muncul seorang wanita separuh baya, diikuti seorang pria yang nampaknya berusia sama. Kepala yayasan dan Ibu Kepala Sekolah bergegas menyambut mereka, saling menyentuhkan pipi dengan wajah gembira.
Tia sudah siap dengan kalung bunga di tangan. Senyumnya lebar merekah. Ia mengedipkan mata pada beberapa teman yang berdiri di belakang para guru.
Namun yang mengejutkan bukanlah kedua donatur itu, melainkan orang ketiga yang keluar setelah mereka. Dari pintu supir, Tia melihat Adrian Heinzh!
Ia terpaku. Senyum lebarnya lenyap seketika. Benarkah itu Adrian Heinzh? Kak Ryan nya?
Sesaat, Tia melupakan kalung bunga yang ia pegang. Di sana, beberapa meter darinya, Adrian juga sedang memandang pada Tia. Ia membuka kaca mata hitamnya. Mata mereka bertemu, saling menatap. Seulas senyum samar membayang diwajahnya yang tampan.
Rasanya Tia ingin melempar bunga ini dan berlari mengejar Adrian!
"Tia, bunganya!" Bu Inayah mencolek lengannya. Tia gelagapan.
Diana --Murdiana Hartati Heinzh--, sudah berdiri di depan Tia. Jadi, ini ibunya Kak Ryan! Cantik dan anggun sekali. Nampak sangat terawat. Aristokrat. Elegan. Pintar. Entah apa lagi. Takut-takut, Tia memandang dan mengalungkan bunga. Dia tersenyum biasa lalu meninggalkan Tia.
Kemudian ia mengalungkan bunga pada Bapak separuh baya yang memandangnya dua detik lebih lama. Selanjutnya, Adrian Heinzh.
Tia tidak peduli jepretan mata lensa mengarah pada mereka berdua. Untuk sedetik yang bagaikan selamanya, pandang mereka kembali bertemu. Ia terhipnotis. Saat Adrian menundukkan kepala dan Tia mengalungkan bunga, sengaja ia menyentuhkan ibu jari pada leher Adrian, mengelus, merasakan hangat kulit pria itu di jarinya, untuk memastikan bahwa dirinya tidak bermimpi!
Pertemuan singkat yang mengejutkan itu tidak bisa hilang dari pikiran selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan setelah itu. Tia ingat benar, betapa tegang dirinya menunggu menit-menit berikutnya setelah itu, berharap Adrian menemuinya.
Tapi tidak ada pertemuan kedua. Tidak lebih dari setengah jam saat rombongan kecil donatur itu meninggalkan sekolah mereka. Tia bergegas, tapi sudah terlambat. Dia hanya sempat melihat belakang mobil Adrian.
Gumpalan kekecewaan pecah menjadi air mata. Mengapa? Apa susahnya bagi Adrian untuk menemuinya meski lima menit saja? Mereka sudah begitu dekat, bukan lagi Jakarta-London, bahkan kulit mereka sempat bersentuhan, aroma parfum sempat tercium, namun Adrian hanya memberi satu senyum samar!
"Mungkin Kak Ryan sudah melupakanku!" batinnya sedih. "Mungkin dia sudah memiliki kekasih, seorang gadis bermata biru yang cantik, cerdas, jelas latar belakangnya! Yang bisa di bawa ke depan Ibunya yang bangsawan itu! Bukan aku, gadis kampung yang setiap bulan harus dikirimi uang!"
Pikiran-pikiran jahat itu menggerogoti perlahan-lahan. Ia mulai kehilangan harapan pada Adrian. Meski kiriman untuknya selalu tepat waktu.
"Bisakah sepasang kekasih mempertahankan kesetiaan saat berpisah bertahun-tahun, tanpa ada komunikasi satu kali pun?" ia bertanya-tanya pada diri sendiri, gelisah di tengah malam karena pikiran tentang Adrian terasa amat mengganggu.
Lalu sebuah kesadaran berkelebat, sesuatu yang menjadi sebab ketidakpedulian Adrian padanya. Sesuatu yang menjadi alasan kewajaran tidak pernahnya Adrian menelpon atau menjenguk meski sudah dua tahun mereka berjauhan. Apakah mereka memang sepasang kekasih? Apakah Adrian memang kekasihnya? Atau pertanyaan yang lebih tepat adalah, apakah bagi Adrian, Tia Ariana adalah kekasihnya?
Tia tidak punya jawaban untuk berbagai pertanyaan itu.
==========
*Sebuah Pelukan*
Inilah hari yang ditunggu-tunggu Tia dan para sahabatnya setelah tiga tahun di asrama. Hari kelulusan!
Mulai hari ini, Tia bukan lagi murid SMA. Ia sudah lulus!
Airmata haru bercampur bahagia mengalir dari sudut mata. Hari ini, impian tiga tahun yang lalu telah menjadi kenyataan. Ia meninggalkan kampung halaman demi sebuah impian akan masa depan, meraih pendidikan untuk menjadi sesuatu, seseorang. Sekarang, ia sudah lebih maju satu langkah.
Tia sangat antusias mengayun langkah keluar dari asrama, melihat dunia yang sudah tiga tahun ia lupakan. Bersama beberapa orang teman, mereka mendaftar di sebuah perguruan tinggi. Tia memutuskan mengambil jurusan ekonomi.
Ia membeli ponsel dan meninggalkan nomor kontaknya pada Ibu kepala sekolah dan ibu asrama, masih berharap suatu hari Adrian akan menelpon dan datang mencarinya.
Meski sempat sedih dan kehilangan harapan, hati kecilnya membisikkan, Adrian tidak melupakannya begitu saja.
Tia menelpon Pandro, mengabarkan kelulusannya.
"Sekarang aku akan kuliah, Bang. Aku tidak tinggal di asrama lagi, tapi indekost dekat kampus."
"Bagus sekali, Tia. Aku senang mendengarnya. Pak Adrian juga pasti gembira."
"Abang pernah bertemu Kak Ryan lagi?"
"Sudah dua tahun ini dia tidak pernah lagi meninjau pabrik. Menurutnya, dia melanjutkan S2 di London. Mungkin dia fokus di sana."
Jadi Kak Ryan belum kembali. Tia menghapus bening yang tiba-tiba saja menggenangi kedua matanya. Betapa ia merindukan pria itu.
Ia mengingat suatu pagi di air terjun. Lalu nasi goreng. Seamplop duit. Apartemen. Kemeja. Ayam rica-rica. Penerbangan di pesawat. Bersandar di punggungnya membelah malam kota Jakarta. Semua itu elemen-elemen penting dan berharga.
Entah kapan mereka akan bertemu kembali. Mungkin Adrian tidak melupakannya, tapi mungkin juga ia sudah memiliki gadis lain. Bagaimana pun, hidup di negeri orang itu tidak mudah. Sendiri, sepi. Pria muda tampan seperti Adrian tidak pernah kehilangan penggemar.
Tia menatap layar ponsel, berharap sebuah nomor tak dikenal muncul di sana. Nomor ponsel Adrian.
Ia bisa saja meminta nomor Adrian dari Pandro, tapi tidak ada gunanya. Adrian sudah pasti tidak suka Tia menelpon duluan. Sejak awal, Adrian sudah berpesan agar Tia fokus pada pelajaran.
"Patuhlah pada apapun yang dia katakan! Kau tidak tau betapa besar pengorbanan Pak Adrian untukmu!" ucapan Pandro terngiang kembali.
Maka Tia bersabar dan bertahan, berpegang pada prasangka baik terhadap Adrian.
Tia sangat menyukai kamar kosnya. Tidak besar, hanya berukuran dua setengah kali tiga, tapi bangunannya baru dan bersih, lengkap dengan kamar mandi di dalam. Dindingnya dicat baby pink, terdapat kombinasi pink terang di beberapa bagian.
Bersama teman-temannya, Tia membeli beberapa pasang pakaian baru untuk persiapan kuliah. Sesampainya di kos, ia menyusun pakaian-pakaian itu di dalam lemari, sekaligus membongkar kopor yang ia bawa dari asrama.
Kemeja Adrian terlipat didalamnya. Tia memandang sekali lagi sebelum menyimpannya di dalam lemari.
Ponsel Tia bergetar. Sebuah pesan dari nomor asing. Tia malas-malasan. Sejak pertama menginjakkan kaki di kampus, berpuluh-puluh nomor asing masuk setiap hari, hampir semua dari laki-laki yang minta berkenalan, menawarkan makan malam, mengajak berkencan.
Tia membaca pesan yang tertulis di sana.
"Selamat atas kelulusanmu, Gadis Air Terjun. Selamat duduk di Perguruan Tinggi. Gadis hebat! Tetap semangat, oke!"
Tia membaca pesan itu dengan senyum lebar dan air mata di pipi. Ia membacanya berkali-kali, merasa semakin melayang setiap kalinya. Hanya empat kalimat singkat, namun itu bagaikan oase di padang pasir. Kalimat-kalimat yang mampu menyihirnya, memberikan adrenalin yang mengguncang jiwa.
Adrian tidak melupakan janji! Dia tidak pernah melupakan Tia! Ia ingin Tia tetap berjuang, sama seperti dirinya yang juga sedang berjuang, hingga kedua kaki mereka kokoh menapak di bumi. Saat itulah mereka akan bersatu kembali.
Tia mengatur jadwal dengan sebaik dan secermat mungkin. Jadwal kuliah yang padat, juga sederet kursus dan kelas bimbingan. Dua jam perhari setiap hari untuk kursus bahasa Inggris, kelas pengembangan diri, berbagai seminar, pelatihan, juga kelas-kelas memasak dan les menyetir pada liburan semester.
Semua temannya terheran-heran dengan berbagai kesibukan Tia yang tak ada habisnya.
"Kau terlalu serius dengan hidupmu, Tia! Santailah sedikit!"
Tia memikirkan ucapan Ratih, teman sebelah kamarnya. Mereka sudah bersama sejak dari asrama dan menjadi teman dekat. Ratih melihat obsesi terpendam dalam diri Tia akan sesuatu yang tidak seorangpun mengetahuinya.
Entah dengan cara apa, Tia yakin Adrian mengetahui semua sepak terjang Tia. Bahkan, mungkin itulah yang dikehendakinya. Terbukti dari uang transferan yang meningkat drastis, hingga Tia bisa mengikuti serangkaian kursus yang tidak murah itu.
Meski tidak pernah ada komunikasi, mereka berdua saling menmahami apa yang mereka inginkan, serta bagaimana cara mendapatkannya.
Waktu berlalu. Sekarang Tia sudah berada di tingkat dua. Ia masih menjalani hari-hari dengan cara lama, yakni kuliah dan serangkaian kursus.
Kecantikan Tia menjadi magnet bagi sebagian besar mahasiswa, juga satu dua dosen pria. Mereka mencoba mendekatinya dengan berbagai cara. Bosan menghindar, Tia mengaku sudah bertunangan. Cara itu cukup ampuh untuk mengusir sebagian, tapi bagi mereka yang memiliki mental pejuang, pengakuan Tia bukanlah halangan, malah merupakan tantangan.
"Selagi belum ada janur melambai, kesempatan masih terbuka bagi siapapun!" tegas Roland, kakak tingkat yang sudah mengejar Tia dari tahun pertama.
Ada juga Anton, salah satu teman paling baik yang Tia kenal. Ketika Tia dirawat karena typus, pria itu setia berjaga di rumah sakit. Tidak peduli pada ancaman Roland, tutup telinga meski Tia menyuruhnya pulang.
"Aku tidak percaya kamu sudah tunangan. Kau tidak pernah terlihat bersama siapa-siapa," kata Anton. "Jadi aku punya hak menjagamu di sini."
Lalu ada Nico, pria blasteran yang menjadi tenaga pengajar di tempat Tia kursus. Dia tidak main-main, langsung menyodorkan cincin lamaran. Tia tidak enak menolak, tapi sudah pasti tidak mungkin menerima.
"Aku mencari istri, Tia. Setelah menikah, kita bisa bersama-sama mengejar karier. Jika kamu ingin kuliah dulu, aku bersedia menunggu."
"Nico, aku sudah berjanji pada seseorang. Maafkan aku."
Teman-temannya yang terdekat menyayangkan keputusan Tia.
"Masa mudamu terbuang sia-sia, Tia. Kecantikanmu juga! Hidup ini indah, nikmatilah! Jangan hidup dalam target terus!"
Kadang-kadang Tia merasa mereka benar. Hidupnya terlalu kaku. Tidak ada tawa dan kegembiraan yang sejati. Ia tertawa bersama sederet teman dan sahabat, tapi di dalam hati selalu sepi karena merindukan Adrian. Andai saja Adrian mau menunjukkan dirinya meski sekali saja.
Ide itu berasal dari teman-teman satu kos, lalu mereka membawanya ke kampus. Di kampus, beberapa teman juga melontarkan ide yang sama.
"Apa salahnya mencoba. Anggap saja mencari pengalaman. Syukur-syukur bisa menang," kata Ratih.
"Kami akan mendukungmu, Tia. Pasti!" ujar Anton.
Yang lain-lain berkata,
"Ayolah, Tia, ikut saja! Kami siap mendukungmu!"
Beberapa hari sebelumnya, di papan informasi ditempel pengumuman tentang Pemilihan Putri Kampus. Berbekal dukungan teman-temannya, akhirnya Tia mendaftarkan diri.
Tia lulus seleksi awal dan berhak maju ke babak berikut. Ia sukses mencapai final dan akhirnya keluar sebagai pemenang. Tia membuat akun media sosial pertamanya dan mengunggah foto kemenangan.
Berbekal kemenangan di kampus, pihak kampus mengutus Tia mengikuti Pemilihan Putri Kampus se-DKI. Tia keluar sebagai pemenang dan naik ke tingkat Nasional. Di tingkat Nasional, ia tetap keluar sebagai pemenang.
Saat penyematan selempang pemenang, Tia meneteskan air mata yang tak mampu ia tahan. Tia berharap, Adrian tau apa yang sudah ia lakukan. Bahwa untuk sampai ke tahap ini, ia sudah berjuang sangat keras dalam tahun-tahun yang panjang.
Akun media sosialnya penuh dengan ucapan selamat. Jumlah followernya meningkat tajam. Ia menjadi sosok yang sangat dikenal di kampus, menjadi teman favorit sebagian besar orang. Tapi ucapan selamat yang paling ia tunggu-tunggu tidak kunjung tiba.
Hari berganti dengan cepat. Kesibukan Tia semakin padat seiring popularitasnya yang meningkat. Tawaran sebagai model acapkali mampir. Ada yang diambil, namun tidak sedikit yang ia tolak. Pendidikan baik di kampus maupun lembaga kursus tetap prioritas utama baginya.
Tia menyadari, menjadi selebriti bukanlah prestasi di mata Adrian. Lain halnya jika ia sukses secara akademis. Adrian tidak pernah mengapresiasi kemenangan Tia pada lomba putri-putrian itu, tapi ia mengirim ucapan selamat syarat makna saat Tia lulus SMA.
"Dimana Kak Ryan sekarang?" ia bertanya-tanya sendiri.
Sekian tahun berpisah, hanya satu kali berkirim pesan. Entah dimana Kak Ryan berada saat ini. Besar kemungkinan dia sudah menyelesaikan S2 dan bekerja.
Tia membayangkan Adrian duduk di belakang meja memimpin rapat perusahaan. Mungkin sesekali melakukan perjalanan bisnis meninjau pabrik dan perkebunan, seperti beberapa tahun yang lalu. Tia penasaran, apakah rambut Adrian masih setengah gondrong seperti waktu itu. Masih memakai celana jeans dan kaos yang dibungkus kemeja, ataukah sudah berganti jas dan dasi? Setia dengan kaca mata hitam atau menukarnya dengan kaca mata tipis khas pekerja kantoran? Masihkah supel dan bergaul dengan siapa saja ataukah menjadi pribadi kalem berwibawa di balik jas hitam?
Jika Adrian memang melindungi Tia dari jauh sebagaimana janjinya, sudah pasti dia tau benar dimana Tia berada dan apa yang telah ia capai selama ini. Kiriman uangnya rutin dengan nominal yang terus meningkat, menyesuaikan dengan kebutuhan Tia saat ini. Tia mencari Adrian di media sosial, begitu rindu ingin melihatnya meski melalui gambar saja, tapi puas ia mencari akun Adrian tetap tidak ia temukan.
Entah kapan Adrian akan kembali.
Kemenangan di ajang Putri Kampus mengantarkan Tia ke ajang yang lebih besar dan bergengsi. Pemilihan Nona Indonesia.
Dibantu teman dan pihak kampus, Tia antusias mempersiapkan diri. Tia bahagia melihat dukungan berbagai pihak pada dirinya. Mereka mempercayai kemampuannya! Keyakinan bahwa Adrian terus mengikuti perkembangannya menjadi penyemangat yang utama.
Tia sudah menang di tingkat Propinsi, dan sekarang ia mempersiapkan diri untuk maju di tingkat Nasional. Beruntung sejak awal perkuliahan Tia telah mengikuti serangkaian kursus dan pelatihan. Setidaknya ia memiliki bekal lumayan untuk bersaing.
Berbagai kontes telah ia ikuti, namun baru sekali ini Tia begitu berharap untuk menang.
Setiap babak ia ikuti dengan baik. Awalnya ia sedikit minder melihat para kontestan. Mereka cantik, pintar dan berbakat. Tapi dirinya pun cantik, pintar dan berbakat. Dia hanya perlu menampilkan kualitas diri yang terbaik.
Malam puncak penyelenggaraan Pemilihan Nona Indonesia pun tiba. Acara diselenggarakan di ballroom hotel bintang lima, disiarkan langsung oleh sebuah stasiun televisi swasta.
Penonton memadati ruangan. Sebagian dari mereka adalah suporter para kontestan, terdiri atas rekan dan keluarga. Tia tidak memiliki keluarga, namun rekan-rekan dan para dosen telah menjadi keluarga baginya. Mereka begitu solid dan setia mendukung Tia. Tia juga mengundang Ibu Kepala Sekolah dan Ibu Asrama masa SMA untuk hadir memberi dukungan.
Tia menelpon Pandro, mengabarkan keikutsertaannya pada kompetisi prestisius itu.
"Aku bangga padamu, Tia! Malam Kolam bangga padamu!" suara Pandro bergetar.
"Aku belum menang, Bang!"
"Kau tidak perlu mahkota untuk menjadi pemenang, Tia! Kau sudah pemenang sekarang!"
"Bang ...,"
"Malam Kolam akan mengadakan acara nonton bersama di depan balai desa. Kami mendoakanmu!"
Mereka berdua bertangisan.
Tia berdiri di depan kaca, mengamati pantulan dirinya secara utuh. Senyum mengembang dari bibirnya yang tampak sempurna. Ia merasa cantik, bahagia, dan akan bertarung tanpa beban.
Seperti yang dikatakan Pandro, bukan mahkota yang menjadikannya pemenang.
Tia berharap, walau entah dimana, Adrian menyaksikannya saat ini.
Perjalanannya mulus melewati babak penjurian. Dari tiga puluh tujuh kontestan, mengkerucut tajam menjadi lima, dan Tia adalah salah satunya.
Pertanyaan utama babak lima besar pun di mulai. Sepuluh orang juri duduk berderet di depan panggung, siap mengajukan pertanyaan yang nampak remeh tapi menjatuhkan.
Tia mendapat giliran terakhir.
Ia maju dengan tenang. Bibirnya tersenyum, memandang para juri dengan mata berbinar. Dengan halus, Tia mengedarkan pandangan, berharap menemukan kekasihnya di antara para penonton.
"Menurut anda, apa yang terpenting dalam hidup ini?"
Tia berpikir sedetik. Lalu, tanpa ragu, ia menjawab dengan tenang, jawaban yang berasal dari hati, yang telah dibuktikan kebenarannya oleh dirinya sendiri.
"Menurut saya, memiliki cinta dan hati yang baik adalah hal terpenting dalam hidup. Dengan memiliki cinta, anda memiliki segalanya. Dan sekeping hati yang baik dapat menyelamatkan bukan hanya dirimu, tapi juga orang lain, bahkan menyelamatkan dunia."
Sebagaimana para peserta lain, tepuk tangan membahana saat Tia menyelesaikan jawabannya. Para juri tersenyum dan mengangguk-angguk. Mereka berunding untuk menentukan pemenang.
Meski bibir senantiasa menyunggingkan senyum, dalam hati berdebar-debar. Tia yakin bukan hanya dirinya yang merasakan.
Ketika namanya diumumkan sebagai pemenang, Tia nyaris tidak percaya. Senyum mendadak hilang dari bibirnya, telapak tangan menutup mulut yang setengah terbuka. Benarkah semua ini? Tiara Ariana, si gadis yatim piatu dari desa terpencil menjadi pemenang kontes kecantikan Nasional?
Entah bagaimana, tiba-tiba mata dan hidungnya memanas. Kilatan blits dan sorot kamera tertuju padanya, memperlihatkan dua bulir bening yang ia biarkan mengalir.
Selempang bertuliskan Nona Indonesia dipasang menyilang pada tubuhnya, berikut mahkota yang bertengger indah di kepala. Tia berjalan mengitari panggung dan melambai dengan anggun, merayakan kemenangannya, mencari-cari dimana Adrian berada.
Selain pada Tuhan, pada Abak dan Omak, pada Adrian lah ia ingin berterimakasih.
Akhirnya, Tia kembali ke kamar hotel yang sudah dipersiapkan untuknya. Tia belum pernah menginap di kamar semewah ini. Kamar yang sangat luas dan lega, memiliki ruang tamu kecil, ruang makan dan dua kamar tidur, dipenuhi buket-buket bunga penuh ucapan selamat. Tia membaca berbagai nama di sana. Pengusaha ini, pengusaha itu, biro iklan ini, rumah produksi itu.
Cepat sekali sampainya, pikir Tia. Bahkan belum dua jam sejak namanya diumumkan sebagai pemenang.
Tia baru akan menanggalkan mahkota saat terdengar ketukan di pintu. Resy, seseorang yang dikirim panitia penyelenggara untuk menjadi asisten sementara, bergegas ke depan dan membuka pintu.
"Ada tamu untukmu."
"Jam segini?"
Resy mengangkat bahu. "Temui saja dulu. Aku ke bawah. Telepon aku kalau sudah."
Tia penasaran. Hari sudah cukup larut dan ia begitu gatal ingin menanggalkan mahkota dan pakaian kebesaran ini, lalu berbaring telentang di tengah ranjang yang indah menggoda, meluruskan punggung dan pinggang. Entah siapa orangnya yang begitu pemaksa, hingga tidak mau menunggu besok.
Akhirnya ia keluar juga dari kamarnya. Di depan pintu kamar, langkah Tia tertahan. Ia menajamkan pandangan, kuatir air mata yang ia keluarkan tadi sudah merusak ketepatan matanya dalam mengenali orang. Tapi tidak, ia tidak salah lihat. Tia tau siapa di sana!
Meski hanya melihat punggungnya karena sosok itu berdiri membelakang dan melihat berbagai buket bunga, Tia mampu mengenalinya. Dia Adrian Heinzh!
Sesaat Tia tidak menegurnya. Ia membiarkan dirinya puas memandang sosok yang bertahun-tahun ia rindukan. Enam tahun yang panjang dan lama, yang bagai tanpa ujung. Sekarang Adrian berdiri hanya beberapa meter darinya, nyata dan bernyawa, bukan hanya hidup dalam kenangan dan harapan!
Ia menunggu Adrian berbalik. Detik-detik yang sangat lama dan mendebarkan.
Hening.
Perlahan, Adrian merasakan tatap mata seseorang sedang ditujukan pada dirinya. Ia berbalik, dan melihat Tia di sana.
Mereka berdiri mematung. Tatap mereka lekat satu sama lain. Bibir begitu kelu.
Alangkah lamanya waktu telah memisahkan. Betapa banyak peristiwa yang akhirnya mengubah jalan takdir.
Tia. Empat belas tahun. Lugu. Takut. Pemalu.
Adrian. Dua puluh tahun. Begitu muda, namun dipaksa dewasa sebelum waktunya demi menyelamatkan hidup seorang gadis desa.
Hari ini mereka bertemu kembali dalam keadaan yang jauh berbeda. Tia, mahasiswi berprestasi, sang putri kecantikan. Adrian, pengusaha muda yang tampan dan berkuasa.
"Apa kabar, Tia?" bahkan untuk mengeluarkan suara saja terasa berat.
Tia melangkah pelan, lebih cepat, setengah berlari, lalu menghambur begitu saja ke dalam pelukan Adrian. Ia membuang rasa malu, bahkan seandainya pria ini sendiri yang memintanya melepaskan diri. Ketakutan, kesedihan, kesepian, semua itu ia simpan rapat-rapat untuk hari ini. Sekarang ia telah sampai dibatas penantian.
Tidak seorangpun yang bersuara. Hingga kemudian mahkota Tia nyaris lepas.
"Maaf, Kak!" Tia melepaskan diri dari pelukan Adrian dan menundukkan kepala dalam-dalam karena wajahnya panas oleh rasa malu yang baru muncul belakangan, sambil sebelah tangan menahan mahkota agar tidak jatuh.
Sambil membenahi mahkota Tia, Adrian terus memandang kekasihnya. Bibirnya tidak bisa berhenti tersenyum. Momen ini sangat membahagiakan.
Mereka duduk berdampingan di sofa, canggung dan malu-malu.
"Apa kabar, Tia?" Adrian mengulanginya sekali lagi.
"Baik, Kak. Kakak bagaimana?"
"Seperti yang kau lihat," ia tersenyum hangat.
"Aku tidak menyangka Kakak akan datang."
"Bukankah aku sudah berjanji bahwa kita akan bertemu lagi?" Adrian setengah berbisik. "Kamu sudah lupa?"
Tidak satu hari pun Tia melupakannya!
"Kupikir Kakak yang lupa," terlanjur, Tia ingin menarik kalimat yang seperti sindiran itu, tetapi mustahil.
"Kamu pikir begitu?"
"Entahlah." Tia tidak hendak mengatakan bahwa suatu waktu dulu hal itu pernah terpikir olehnya. "Kupikir Kakak sudah melupakanku karena kehadiran seorang gadis bermata biru."
Alarm kesadaran Tia berbunyi nyaring, memperingatkan dirinya sendiri. Alangkah bodoh dirinya, dalam pertemuan pertama seperti ini saja sudah mengeluarkan serangkaian sindiran! Entah bagaimana ceritanya dengan kualitas akal dan emosi serendah ini ia bisa menjadi pemenang kontes kecantikan!
Adrian tidak marah. Ia justru merasa lega.
Tia ...
Satu hari pun ia tidak pernah melupakan gadis ini. Entah dimana mulanya saat simpati itu berubah menjadi cinta. Mata coklat yang mulanya berbinar ceria itu menjadi redup karena sedih dan takut. Ia membawa Tia dengan mengambil resiko yang tidak mudah. Bukan soal uang yang ia keluarkan, tapi desas-desus yang sampai ke telinga Mama perihal gagalnya transaksi tanah dengan Juragan Miskun.
"Mama dengar kamu melarikan calon menantunya!" Mama menelpon dari London.
Murdiana Hartati, Ibunya, seorang wanita berdarah biru dari Solo yang menikah dengan Edward Heinzh, seorang Pria Swiss kelahiran Inggris. Sepeninggal Papa, Mama tampil mengurus perusahaan. Mama begitu cerdas dan cakap, hingga berhasil membawa perusahaan menengah mereka menjadi salah satu yang terbesar di negeri ini. Ia sendiri, sejak usia dua belas tahun telah dididik untuk mengenal bisnis dan liku-likunya. Dengan uang tabungan, ia membeli selembar saham Heinzh Holding, waktu itu masih bernama Heinzh Palm karena hanya bergerak di sektor perkebunan dan industri bubur sawit. Dengan demikian, sejak kecil dirinya telah terbiasa dengan bisnis, uang dan kerja keras.
"Itu berita bohong, Ma"
"Lalu bagaimana sampai muncul kabar begitu?"
"Entahlah!"
Mama kelihatan cukup puas. Kelihatannya. Tapi Adrian yakin sebenarnya tidak demikian. Mama pasti menyelidiki. Untuk mengalih perhatian, juga karena naluri bisnisnya, Adrian meminta Pandro mencari lahan lain sebagai pengganti. Lalu Ranto membuat kesalahan fatal, hingga Juragan Miskun terpaksa melepaskan lahannya kepada Adrian.
Keberhasilannya mendapatkan lahan itu cukup membuat Mama tidak bertanya-tanya lagi. Ia hanya shock melihat lengan Adrian yang diperban, namun Adrian mengatakan kecelakaan kecil saat survey lahan perkebunan.
Namun persoalan tidaklah berhenti sampai di sana. Seseorang mengatakan pernah melihat Adrian di bandara bersama seorang gadis, satu bulan sebelumnya. Adrian berbohong lagi, mengemukakan sebuah jawaban.
Adrian tau naluri Mama terlalu tajam untuk percaya begitu saja.
Mama bahkan sudah hampir menyentuh Tia. Ketika Mama mengatakan akan menjadi donatur sebuah Boarding School di Bogor, Adrian yang saat itu akan berangkat ke London demi melanjutkan S2 terpaksa menunda keberangkatannya. Ia ikut ke sekolah Tia demi berjaga-jaga. Entah tindakan amal Mama itu ada hubungannya dengan Tia entah tidak, namun Adrian tidak hendak mengambil resiko.
Kerinduannya pada Tia memuncak saat mereka bertemu. Kekagetan tak tersembunyikan dalam sorot mata gadis itu, binar matanya yang merindu, sentuhan jarinya, juga aroma parfumnya yang lembut. Tia nampak jauh lebih cantik, juga semakin tinggi. Namun Adrian tidak dapat berbuat apa-apa, selain menjaga agar semua tampak 'normal'.
Adrian mengikuti dengan cermat semua perkembangan Tia. Bahwa dia mendapat nilai lima puluh lima untuk pelajaran Bahasa Inggris pada midsemester pertama. Saat libur semester ikut pulang ke rumah Tiwi. Atau dimana Tia kos, dan kursus-kursus yang ia ikuti. Adrian resah bukan kepalang saat Tia dirawat karena typus, cemburu setengah mati pada pria bernama Anton yang berusaha menarik perhatian Tia. Ia mengetahui semuanya melalui orang-orang suruhan yang bekerja untuknya.
Bertahun Adrian memutus kontak dengan Tia demi menjaga kecurigaan Mama, juga demi membangun ketabahan dan melecut semangat Tia. Dalam kesepiannya hidup sendiri di negeri orang, --- meski London adalah kampung halaman Ayahnya ---, Adrian bertahan untuk tetap setia. Satu dua orang gadis pirang, juga gadis bermata hitam dari Asia bermaksud mendekat, namun Adrian Heinzh bukanlah pria yang suka coba-coba.
Tidak ada ucapan cinta yang menjadi penanda hubungan mereka, namun saat dirinya melarikan Tia dari kampung halaman, Adrian berjanji akan menggenggam tangan itu selamanya!
Adrian menghabiskan dua tahun untuk menyelesaikan Magisternya, kemudian menjadi pegawai magang pada sebuah perusahaan besar di London. Ia belum ingin kembali, karena semakin dekat dengan Tia, semakin besar pula rindu itu. Mama berkali-kali meminta Adrian pulang demi mengurus perusahaan, tapi ia beralasan ingin mencari pengalaman. Ia diterima di perusahaan itu sebagai karyawan.
Dua tahun lebih ia di sana, sampai akhirnya memutuskan sudah saatnya ia kembali. Keluhan jantung Mama semakin sering muncul. Sebagai anak satu-satunya, sudah semestinya ia menjaga Mama.
Akhirnya malam ini mereka bersatu kembali.
"Kakak tidak pernah menelponku. Tidak pernah berkirim kabar." Ada nada merajuk dalam suara itu.
"Tidak berarti aku melupakanmu. Kau sendiri, mengapa tidak pernah menelpon? Aku mengirim pesan, sampai hari ini tidak ada balasan," Adrian mencoba bercanda.
Tapi alih-alih tersenyum, Tia malah menunduk dengan wajah sayu. "Aku tidak berani. Takut mengganggu"
"Tia, dengarkan aku! Aku sudah kembali dan tidak akan pergi lagi. Kau akan melihatku sesering yang kau mau."
Mata coklat itu berbinar. "Sungguh?"
"Ya."
"Aku kuatir seseorang akan terganggu," sindirnya kembali.
"Maksudmu, gadis bermata biru?" Adrian tergelak.
Tia mengangguk cepat.
"Kau tenang saja, sejak enam tahun yang lalu aku sudah dimiliki oleh seorang gadis bermata coklat!"
Bagaikan terbang, Tia Ariana memeluk Adrian Heinzh, demikian eratnya, hingga tak peduli pada mahkotanya yang jatuh terpental.
Bersambung #4
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel