Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 10 Mei 2021

Binar Jingga Mentari Senja #4

Cerita bersambung

*ANTARA DUA WANITA*
Kemanapun matanya memadang, Tia melihat pendar-pendar indah beraneka warna. Dirinya melayang, dunia dipenuhi bintang-bintang. Tia mabuk oleh kebahagiaan tak terkata. Acap kali ia tersenyum sendiri, membuat Ratih, asistennya terheran-heran.

"Kita akan menjaga hubungan ini, Tia. Sebagaimana yang sudah kita lakukan selama enam tahun ini," kata Adrian, di malam penobatan Tia dua minggu yang lalu.

Sejak malam itu mereka belum pernah bertemu lagi. Adrian disibukkan dengan pekerjaannya di Heinzh Holding, perusahaan keluarga yang awalnya bernama Heinzh Palm saja. Seiring perkembangnya yang menggurita di berbagai sektor, bersama Mama, Adrian mendirikan Heinzh Holding sebagai perusahaan induk, dan Heinzh Palm adalah anak perusahaan yang utama. Langkah besar itu menuntut tanggungjawab dan konsentrasi luarbiasa. Adrian menjadi sangat sibuk.

Demikian juga dengan Tia. Segera setelah penobatan sebagai Nona Indonesia, sederet jadwal sudah menunggu. Ia akan mengunjungi berbagai propinsi di negara ini, mengikuti berbagai acara dan seminar, wawancara, kegiatan-kegiatan amal dan pertemuan-pertemuan dengan berbagai orang penting. Misi itu akan diemban selama satu tahun, hingga ia menyerahkan mahkotanya pada pemenang Nona Indonesia tahun depan.

Langkah pertama yang harus ia tempuh adalah mengambil cuti kuliah.
Tia menelpon Adrian untuk meminta pertimbangan.

"Rasanya berat, Kak. Aku berharap bisa lulus tepat waktu."
"Memang harus ada yang dikorbankan sementara, Tia. Karena kamu tidak mungkin menjalani keduanya sekaligus."
"Tiga, satunya lagi pacaran."

Mereka bicara setiap hari di telepon. Tia mengeluhkan hubungan mereka.

"Rasanya kita berdua ini tidak normal, Kak. Pacaran melalui telepon melulu."
"Benar juga. Kapan kamu ada waktu? Kita harus bertemu."

Tia menatap rangkaian jadwal kegiatannya. Mengincar sedikit waktu luang yang bisa dimanfaatkan untuk bertemu Adrian. Tapi hampir tidak ada waktu. Peraturan yang diberlakukan Manajemen Yayasan Nona Indonesia sangat padat, terdiri atas berentetan kegiatan yang terprogram, juga disiplin yang tidak sembarangan. Diantaranya, dilarang keras menerima tamu laki-laki di apartement.

Saat Tia memiliki waktu kosong, Adrian pula yang tidak di tempat. Ia selalu bepergian ke berbagai daerah atau Luar Negeri. Jika tidak, turun ke lapangan meninjau lokasi proyek. Tia mengerti kekasihnya seorang pekerja keras, namun kadang-kadang ia jengkel sendiri.

Tia menjadi bingung. Moodnya rusak. Dia sangat ingin bertemu Adrian, sebagaimana pria itu juga ingin bertemu dengannya. Beruntung Adrian sangat sabar dan pengertian.

"Kita sudah menahan diri selama bertahun-tahun, bersabar sedikit lagi tidak ada salahnya," demikian Adrian. "Toh, cuma satu tahun ini. Tahun depan kau bebas."

Tia menggigit bibir. Adrian tidak tau bahwa menjadi pemenang tingkat Nasional bukan merupakan akhir dari kompetisi, namun masih ada kompetisi lanjutan. Puncak kompetisi. Pemilihan Miss International.

Semua pemenang dari berbagai negara akan dikumpulkan dan bersaing untuk mendapatkan mahkota Miss International. Tahun ini, perhelatan dilakukan di Cape Town, Afrika Selatan.
Memiliki mahkota Miss International adalah impian semua wanita di dunia. Namun impian Tia hanyalah bersama Adrian.

"Apa artinya mahkota?" keluhnya dalam hati.

Mereka berdua memiliki segalanya, kecuali waktu untuk bersama. Tia mendambakan kehidupan seperti teman-temannya. Mereka memiliki banyak waktu bersama orang-orang terkasih. Bisa bertemu kapan saja, tidak seperti dirinya dan Adrian, yang selama enam tahun lebih menjalin hubungan, hanya bertemu selama setengah jam. Menyedihkan sekali.

Akhirnya, di bulan ke tiga masa baktinya sebagai Nona Indonesia, Tia mendapat libur dua hari. Dua hari yang menjadi istimewa, karena Adrian juga berada di Jakarta.

"Aku mengosongkan jadwalku. Datanglah ke apartemen kita," kata Adrian.
***

Desir-desir kebahagiaan itu semakin menimbulkan riuh di dada tatkala hari yang dinantikan itu akhirnya tiba. Tia sudah tidak bisa tidur sejak malam harinya. Memusingkan dandanan dan pakaian yang akan ia kenakan saat nanti bertemu Adrian.

Semua orang melihat dirinya sebagai gadis yang beruntung. Cantik, pintar, cerdas, memiliki popularitas, mahkota yang demikian indah di kepala, juga pintu karier yang terbuka lebar. Namun ketika mengingat Adrian, Tia tidak pernah memandang dirinya demikian. Ia selalu minder, merasa kecil dan remeh. Tanpa Adrian, hari ini mungkin Tia Ariana bukan siapa-siapa, hanya gadis desa yang bodoh dan miskin, tidak memiliki harapan dan masa depan.
Sedangkan Adrian, dia sudah kaya dan berkuasa sejak lahir. Pria dengan dunia dalam genggaman. Bisa mendapatkan wanita mana saja melebihi Tia.

Tia mencintai Adrian, juga amat memujanya. Apapun yang dikatakan Adrian terasa hebat, penuh kebenaran, tidak pernah salah.

Setelah ibadah subuh, Tia duduk termenung di sisi tempat tidur. Ia memikirkan sesuatu. Seulas senyum tiba-tiba saja bermain di bibir.
Liburnya baru akan dimulai pukul empat sore. Sebelum itu, masih ada beberapa jadwal yang harus dipenuhi

"Ayam, serai, cabe merah, bawang merah, bawang putih." Ratih, sahabat yang kini menjadi asisten Tia, membaca list yang disodorkan padanya. "Untuk apa semua ini?"

Tia senyum saja, membuat Ratih mengerutkan dahi.

"Kalau aku belum kembali, masukkan dalam lemari pendingin. Aku akan memasaknya nanti sore."
Ratih mengangguk-angguk. Tia memang kerap memasak, meski sebenarnya itu tidak perlu karena semua keperluan mereka sudah disiapkan.

Pukul setengah empat sore, mereka kembali ke apartement. Tia membuka mahkota dan pakaian, menggantinya dengan pakaian rumah dan celemek. Sekaranglah saatnya menunjukkan hasil kursus memasak yang ia ikuti sekian lama.

Satu jam kemudian, Tia memandang meja makan dengan mata berbinar. Ayam rica-rica untuk Kak Ryan!
***

Perjalanan menuju apartement itu memakan waktu enam tahun kenangan plus dua puluh menit waktu dunia nyata. Tia mengenang dirinya enam tahun silam, dalam sebuah mobil menuju apartement Adrian. Waktu itu dia hanya duduk dengan kaku di samping pria berkaca mata hitam itu, memandang dengan sedih bercampur kagum setiap sisi kota yang mereka lewati. Dia tidak berani bersuara, apalagi bertanya. Bahkan tidak berani menoleh pada Adrian. Di sisinya, Adrian juga tidak bicara. Pandangnya lurus ke depan, sekali waktu mengangkat telepon masuk, berucap datar sepatah dua kata, lalu menutup telepon.

Adrian begitu kalem. Tia sangat segan padanya. Sekarang, dalam mobil yang membawanya ke apartement yang sama, rasa itu masih sama. Walaupun sekarang mereka sudah menjadi sepasang kekasih.

Tia melirik kotak makanan yang ia bawa. Nasi, acar, dan ayam rica-rica. Semoga Kak Ryan suka. Semoga Kak Ryan suka.
Jarinya kaku menekan bel. Rasanya antara ingin bertemu dan ingin pergi. Ini adalah kencan pertama. Begitu indah dan mendebarkan.

Adrian membuka pintu, berdiri di depan Tia dengan senyum simpatik. Matanya menyapu wajah Tia, lalu pada kantong berisi kotak makanan di tangannya. Ia memberi tanda agar Tia masuk. Dengan langkah kaku, Tia berjalan melewati ambang pintu.

Adrian membawanya ke tengah ruang. Berdiri berhadapan. Berpandangan. Tangan Adrian telulur, meminta bungkusan di tangan Tia.

"Apa ini?" tanyanya memecah kekakuan.
"Ayam rica-rica."
"Ayam rica-rica?"
Tia mengangguk.
"Aku bermaksud mengajakmu makan malam. Tapi karena kamu sudah memasak, kita makan di sini saja."

Di bawah tatap Adrian, Tia memindahkan makanan itu ke dalam piring dan menghidangkannya di meja makan.

"Kamu pintar memasak, Tia." Adrian mencicipi makanannya. "Lesnya berhasil, ya."
Tia tersenyum malu-malu.

Melihat pipi yang memerah itu, darah Adrian berdesir. Setitik haru muncul seketika. Kemahsyuran, harta dan mahkota tidak mengubah Tia Ariana. Dia masih seorang gadis yang pemalu. Jiwanya sebening air terjun yang mempertemukan mereka pertama kali.
Ia tidak menyesal melarikan Tia dan menerima banyak akibat. Tia wanita yang tepat untuk diperjuangkan.
Sisi nakal Adrian membisikkan godaan. Akan semerah apa pipi Tia saat nanti dia menciumnya? Adrian penasaran.
Dia laki-laki normal. Tia didekatinya dengan perasaan kasih, bukan nafsu. Tapi kasih dan nafsu itu kadang berjalan beriringan. Apalagi Tia juga bersalah, memasang wajah semanis itu di depan dirinya.

"Memikirkan apa, Kak?"
"Bibir."
"Apa?"
Sialan, Adrian memaki dirinya sendiri! Ia keceplosan! Alangkah memalukan!
Adrian merasa hawa panas menyapu wajahnya! Ia berbalik, ingin mengambil ponsel, gelas, atau kembali mencicipi ayam rica-rica itu. Apa saja, demi menutupi malu!

Tiba-tiba ia merasakan lengannya disentuh. Ia urung beranjak, merasakan Tia mulai merapat padanya.
"Aku tidak bilang tidak boleh," ucap Tia lembut, nyaris tak terdengar. Wajahnya menunduk.

Adrian tersenyum. Rasanya lega luar biasa, karena meski memalukan, Tia juga menginginkan hal yang sama. Ia mendekatkan wajah mereka berdua, mencium bibir Tia dengan lembut. Menikmati hangatnya delima merekah.

Sesaat hasratnya meronta, meminta lebih banyak dan lebih lama. Apalagi Tia sangat pasrah dan penuh penerimaan.

Tetapi Adrian adalah lelaki dengan pertahanan diri. Ia memiliki akal sehat dan menggunakannya. Tia miliknya, tidak ada gunanya terburu-buru. Jika nanti saatnya tiba, ia tidak akan menunda meski sedetik saja.

Ia merasakan dorongan lembut jari Tia di dadanya. Adrian mengerti.
"Cukup, Kak." desis Tia kemudian.
"Belum."
"Nakal."
"Memang."

Mereka berpandangan, saling melempar senyum. Adrian merangkul Tia, mengelus-elus rambutnya. Tia diam saja, menikmati damai yang merundung jiwanya.
Tanpa ia inginkan, matanya menghangat. Ia terharu karena sudah berhasil mewujudkan mimpinya selama ini. Ia telah meraih Adrian, benar-benar memilikinya!

Mereka makan malam bersama. Sesekali, Tia menatap Adrian, mengamati ekspresinya saat menunduk memandang makanan, menyuap, mengunyah, menelan. Adrian makan tanpa banyak bicara, namun wajahnya begitu cerah.

Khayalan Tia melayang, berandai mereka menjadi sepasang suami istri. Ia akan memasak seperti ini setiap hari.

Adrian membawa Tia duduk di sofa. Tia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
"Baju siapa ini?" tanya Adrian.
"Kemeja Kakak."
Adrian mengamati, mengingat-ingat kapan ia memiliki kemeja itu.
"Aku mengambilnya dari lemari Kakak di malam kita berpisah enam tahun yang lalu. Aku memakainya saat aku sangat merindukan Kakak. Sekarang Kakak sudah di sini. Aku tidak membutuhkannya lagi."
Sekali lagi Adrian merasa terharu.
"Kau seorang pencuri," gumamnya. "Pencuri hati! Kau juga curang! Kau memiliki sesuatu untuk mengobati rindumu, tapi aku tidak memiliki apa-apa."
"Aku tidak tau Kakak merindukanku," lidah Tia kelu. "Bagaimana aku tau, karena selama bertahun-tahun Kakak tidak pernah menelpon, apalagi menjenguk."
"Tia, dengarlah!" Adrian meraih jari Tia, "sulit bagiku untuk menjelaskan situasinya padamu. Tapi perlu kau ketahui, aku mencintaimu! Hanya itu yang bisa kukatakan."

Adrian masuk ke kamar, lalu keluar dengan membawa kotak kecil di tangannya. Ia membuka kotak itu, memperlihatkan sebuah gelang emas beralaskan beludru berwarna pucat.

"Aku membelinya saat masih menjadi Mahasiswa di London. Saat itu ada pameran perhiasan, dan aku sedang memikirkanmu. Aku selalu memikirkanmu, Tia."
Ia meraih jari Tia, memasangkan gelang itu di pergelangan tangannya.
"Bagiku, kau calon istriku. Mengerti?" tatapnya.
"Bagaimana dengan Ibu Diana, Mama Kakak?"
Pertanyaan itu membungkam Adrian.

Kapan saja, jika sudah berkaitan dengan Mama, Adrian akan semakin berhati-hati dengan langkah dan tujuannya. Mereka berbeda dalam banyak hal, dan itu sudah berlangsung sekian lama.

Adrian ingin menjadi pengacara, namun Mama menekannya pada bisnis, bahkan saat ia masih terlalu kecil untuk mengetahui apa itu bisnis. Ia menyukai berbagai olahraga outdoor, namun Mama melakukan serangkaian pembatasan yang keterlaluan.

Sejak kecil, Adrian hanya diperkenankan bergaul dengan kalangan terpilih, dilarang berbaur dengan orang sembarangan, meski keluarga dari pelayan rumah tangga mereka. Ia menuntut ilmu di Sekolah Dasar International dan dikirim ke SMP dan SMA berasrama di kota London.

Ia kembali ke Jakarta setiap musim liburan, mengikuti kelas-kelas Agama dengan bimbingan seorang Ustadz, karena di London tidak ada pelajaran demikian. Setelah ia lebih besar, Mama dan Papa mulai melibatkannya dalam bisnis secara langsung.

"Semua ini akan menjadi milikmu, Adrian." Papanya, Edward Heinzh berkata suatu waktu dulu. "Belajarlah dari sekarang."
"Itu sebabnya kamu berbeda, karena kamu akan menanggung beban tanggungjawab yang jauh lebih besar dibandingkan orang lain," sambung Mama kemudian.
"Bibit, bebet dan bobot merupakan salah satu yang terpenting dalam bergaul, apalagi dalam memilih pasangan," berulangkali Adrian mendengar ucapan itu keluar dari bibir Mama. Bisa dikatakan, Mama mengucapkannya sepanjang waktu.

Entah apa tanggapan Mama saat mengetahui hubungannya dengan Tia kelak, terlebih jika Adrian sampai menikahinya.

Tia menyadari keheningan yang mendadak saat pertanyaan itu terucap.
"Kak," ia menyentuh wajah tampan yang seperti termenung itu, "aku minta maaf. Mungkin sebaiknya tidak kutanyakan."

Adrian tidak mengatakan apa-apa, tapi Tia mulai mengerti. Diam Adrian sudah menjelaskan segalanya. Mendadak, ada perih di sudut hati.

Selama berbulan-bulan kemudian, mereka bertemu beberapa kali. Selalu di tempat yang sama, apartement Adrian. Mereka tidak pernah kemana-mana, kecuali beberapa kali berkeliling Jakarta di malam hari. Di atas sepeda motor yang terus melaju membelah pekat malam kota Jakarta, Adrian membiarkan Tia bersandar padanya.

Hati laki-lakinya resah memikirkan hubungan asmara ini. Cinta mereka suci, tidak bercampur dengan hal-hal kotor sebagaimana hubungan cinta sebagian orang, namun keadaan membuat Adrian harus menyembunyikan hubungan ini dari semua orang. Menjaga, agar jangan sampai ke telinga Mama, lalu beliau melakukan sesuatu yang dapat menyakiti Tia. Jika Mama sampai mengetahui, maka itu haruslah dari bibir Adrian sendiri, bukan dari orang lain.

Ia berniat membawa Tia kepada Mama, sebelum Tia berangkat ke Cape Town untuk mengikuti kontes Internasional itu.
Tia mendapat libur lebaran selama empat hari, dan ia memilih menghabiskannya seorang diri di apartement Adrian.

"Aku tidak bisa menemanimu pada lebaran hari pertama, Tia."
"Tidak apa, Kak."
"Mama mengadakan openhouse lebaran hari kedua."
"Tidak apa. Kapan sempat saja ke sini."
Nada suaranya terdengar normal, tapi Adrian tau Tia sedang menahan sedih.

Tia datang ke apartemen itu pada hari puasa terakhir, bersama sekantung bahan makanan. Ia sibuk memasak, mempersiapkan menu berbuka puasa, sementara Adrian sibuk di depan laptopnya, sesekali melihat Tia bekerja. Mereka berbuka bersama, mendirikan sholat bersama.

Adrian terpaku melihat Tia di belakangnya, mengenakan mukena putih yang membungkus wajah yang begitu indah. Tia wanita sederhana yang patuh, tidak neko-neko. Adrian bertekad sesegera mungkin menjadikan Tia halal baginya, tentunya dengan restu Mama.

Mereka berkeliling Jakarta menikmati malam takbiran dengan sepeda motor, melihat pesta kembang api, berbagai ornamen lampu hias dan Tia bahagia sekali.
"Aku belum pernah sebahagia ini, Kak." Ia merangkul manja pinggang Adrian, merasa sangat senang.

Melihat tawa yang lebar merekah itu, kebahagiaan Adrian membuncah. Tia tidak pernah sebahagia ini sebelumnya.

Malam lebaran kedua, Adrian datang lagi. Mereka pergi nonton di sebuah bioskop kecil di sudut kota Depok, tempat yang tidak mungkin didatangi para kenalannya dan kolega Mama.

Lebaran hari ke tiga, Adrian membuat alasan pergi ke Puncak bersama teman-temannya, padahal ia hanya pergi berdua Tia saja. Ia telah memesan vila, enggan menginap di vila keluarga.
Mereka singgah menikmati segarnya udara Puncak Pass, duduk bersandar satu sama lain di atas rumput, memandang perkebunan teh yang menghijau sejauh mata memandang dengan jari saling berkait.

Mereka baru saja akan melanjutkan perjalanan saat sebuah telepon mengabarkan Mama terkena serangan jantung. Adrian mengajak Tia kembali ke Jakarta saat itu juga, mengantar Tia ke apartemen lalu bergegas ke rumah sakit.

"Sayang, maaf! Aku harus ke rumah sakit. Tunggulah di sini, aku akan berusaha kembali secepatnya." Wajah Adrian masgul, memikirkan dua orang wanita sekaligus.

Tia mengangguk, menyembunyikan hati yang terluka. Sikap Adrian selama ini sudah menjelaskan segalanya. Tia tidak masuk dalam kriteria menantu idaman Ny. Diana, bahkan mungkin jauh dari harapan. Adrian tidak pernah melibatkan Tia dalam hubungan dengan Ibunya, karena menyadari Tia tidak memiliki 'tempat' disitu.

Meski luka, Tia cukup tau diri. Sudah wajar Ny. Diana tidak menginginkan wanita sembarangan menjadi pendamping putra semata wayangnya. Tia sebatang kara, tidak jelas latar belakang dan asal usulnya. Kedudukan Tia dengan Adrian berbeda jauh bagaikan bumi dengan langit.

Memikirkan hubungan yang tidak direstui, membuatnya sedih. Adrian lelaki yang berpegang pada komitmen dan tanggungjawab. Jika pada Tia saja, yang bukan siapa-siapa, yang tidak pernah memberi kontribusi apapun dalam perjalanan hidupnya, ia bisa berkorban begitu besar, apalagi terhadap Ibu kandungnya. Adrian pasti sangat mencintai ibunya.

Adrian menyibak rambut yang menutupi wajah Tia. Wanita ini tertidur di sofa, mungkin lelah menunggu dirinya. Sudah hampir tiga puluh jam Adrian meninggalkan Tia sendirian dan fokus menjaga Mama di rumah sakit.

Mama terkena serangan jantung ringan. Mungkin karena kesibukan menerima berbagai tamu saat lebaran begini. Setitik rasa bersalah menekan hati, karena tidak semestinya ia meninggalkan Mama sendirian. Sebagai anak, laki-laki, satu-satunya pula, sudah semestinya ia senantiasa berdiri di samping Mama. Tapi ia selalu memikirkan Tia, yang sedang menunggunya di apartemen mereka.

Tia seorang diri merayakan lebaran. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Meski dia memiliki banyak teman dan sahabat yang selalu bersedia mendampingi, tapi Tia berkeras menanti Adrian.

Adrian menatap Tia yang tertidur. Gadisnya. Gadisnya yang manja dan lemah lembut. Adrian begitu mencintai Tia. Satu-satunya nama yang mengakar di dalam jiwa sejak pertama ia melihat Tia di air terjun. Entah apa yang begitu istimewa dari wanita ini hingga Tia bisa merenggut perhatiannya begitu rupa. Sebagai lelaki yang telah melanglang buana, bertemu wanita cantik bukanlah hal baru baginya. Yang kaya dan pintar juga banyak. Yang memiliki ketiganya pun pernah ia temukan.

Seperti Nadine, putri Om Arman. Juga Virzha, putri Om Handoko, sang Dubes. Tapi hati Adrian tidak tertambat pada mereka.

Tapi dengan Tia semua berbeda. Adrian sabar menunggu hingga Tia dewasa, sambil ia juga mendewasakan dirinya. Sekarang ia dan Tia sudah dewasa, mestinya ia sudah bisa membawa Tia pada Mama. Tapi perihal bibit bebet bobot ini selalu saja didengung-dengungkan.

Standar Mama dan dirinya berbeda.
Mengapa Mama tidak memahami hati anaknya? Tidak mengerti hasratnya? Tidak peduli pada keinginan-keinginannya?

Mengingat Mama, hatinya pilu. Ia menyayangi dan menghormati Mama, tidak hendak mengecewakannya sedikitpun. Terlebih Mama sedang sakit. Tapi ia membutuhkan Tia. Semakin lama jiwanya semakin terikat dengan wanita ini. Sehari tidak mendengar suaranya membuat Adrian tidak nyaman. Hanya karena ia lelaki yang pandai menyimpan perasaan maka kesedihan ini tidak ia perlihatkan. Ia tau Tia telah menyadari segalanya, dan wanita ini sedang terluka.

"Tia, bangunlah!" Adrian menepuk-nepuk pipi Tia.
Tia membuka mata. Dia cepat-cepat duduk saat melihat Adrian.
"Kakak sudah pulang? Bagaimana keadaan Mama Kakak?"
"Sudah pulang ke rumah."

Tia mengangguk-angguk. Dia melirik jam dinding. Ternyata sudah pukul enam sore. Tia harus kembali ke apartement yang disediakan untuknya, karena malam ini masa liburnya sudah berakhir.

"Maaf, Kak. Aku ketiduran."
"Aku akan memanggilmu Sleeping Beauty, karena kau suka sekali tidur," senyum Adrian.
"Tidur baik untuk membunuh kesepian, Kak. Mencegahku berpikiran macam-macam."

Kalimat itu adalah sebuah sindiran. Adrian memandang Tia,  penuh rasa bersalah.

==========

*Antara Tia dan Nadine*

Adrian sengaja meletakkan koran pagi yang memajang wajah Tia di atas meja. Seperti biasa, Ny. Diana memulai aktifitas hariannya dengan membaca koran pagi. Ia meraih koran itu, membacanya sekilas.

"Oh, jadi Indonesia sudah punya Miss International, ya," katanya datar, nampak tak peduli lalu membalik halaman berikut.

Kedatangan Tia di bandara Internasional Soekarno-Hatta disambut bak pahlawan perang. Barisan penggemar dan pewarta berkumpul, berebut perhatiannya. Sejak penobatannya beberapa hari yang lalu, nama Tia menjadi begitu terkenal. Berita tentangnya menghiasi pemberitaan Internasional. Semua orang dibuat penasaran akan sosok Tia Ariana. Apapun yang Tia kenakan, ucapkan, bahkan makanan kesukaannya, semua masuk berita.

Tia hanya satu minggu di Indonesia, karena ia harus kembali ke New York dan menetap selama satu tahun di bawah naungan management Yayasan Miss International.

"Selamat, Sayang." Adrian merangkul Tia, mencium keningnya penuh kasih sayang.
"Kakak senang?"
"Tentu saja."
"Tapi aku khawatir. Jakarta-New York itu sangat jauh."
"Aku akan mengunjungimu di sana. Atau dimanapun kamu berada nantinya."

Salah satu tugas yang diemban seorang Miss International adalah melakukan serangkaian kegiatan amal dan perjalanan ke berbagai negara di seluruh penjuru dunia.

Di hari pertama ia melakukan tugasnya sebagai Miss International, Tia mengingat ucapan Abak bertahun-tahun yang lalu. Untaian kalimat yang diucapkan penuh dorongan beserta keyakinan.

"Kau akan melihat dunia, Nak. Kau hanya perlu menjadi pintar."
Ucapan Abak telah menjadi kenyataan.

Selama team kecantikan bekerja menanganinya, Tia menatap dirinya di cermin, lalu mengingat sosok Abak dan Omak. Juga mengingat semua orang di Malam Kolam. Mengapa dirinya begitu berbeda dengan mereka semua? Mereka berkulit coklat dengan tinggi tubuh yang rata-rata hanya setinggi bahu Tia, sebagian kecil dari mereka mencapai tinggi sebatas telinga Tia, sedangkan kaum wanitanya lebih rendah lagi. Begitu pun ciri-ciri fisik yang lain. Berambut hitam, bola mata hitam, mata berukuran sedang yang tidak besar juga tidak sipit, demikian juga hidung mereka yang tidak mancung bahkan cenderung pesek.

Tidak seorangpun yang melihat Tia akan menduga dirinya berasal dari Indonesia. Wajahnya menyerupai wanita Eropa dengan kulit yang begitu terang, tubuh langsing dan tinggi semampai. Berambut lebat, coklat dan ikal bergelombang. Dua tahun belakangan, dirinya terlihat semakin mengagumkan dengan perawatan yang rutin dan mahal.

Siapa dirinya sebenarnya? Benarkah Tia bukan anak kandung Abah dan Omak?

Dari apartemennya di New York, Tia menelpon Adrian. Telepon pertama tidak diangkat. Telepon ke dua juga demikian. Akhirnya ia mengirim pesan.

[Kak, aku akan ke Indonesia minggu depan]
Pesan itu baru dibaca satu jam kemudian. Adrian langsung menghubungi Tia kembali.
"Aku akan datang ke hotel tempatmu menginap. Tidak di larang, bukan?"
"Dilarang keras, Kakak! Kalau mau bertemu, palingan hanya satu jam. Di ruangan terbuka, bukan di area pribadi seperti kamar. Juga harus dengan alasan yang bisa diterima."
"Aku akan booking kamar di sebelah kamarmu. Seperti kemaren waktu di Tokyo."
"Mau ketemuan saja harus mengeluarkan ongkos demikian mahal!" gerutu Tia. "Tapi aku kangen."
"Ya sudah resiko. Kabari aku di hotel mana kamu menginap. Beserta nomor kamarnya."

Rasanya menyenangkan sekali dirinya akan bertemu Adrian kembali. Meski hanya setengah jam, dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
***

Dua bulan yang lalu, Tia melakukan kunjungan ke Tokyo, dan Adrian menyusul ke sana. Entah dengan cara apa, pria itu berhasil mendapatkan kamar tepat di sebelah kamar Tia. Tengah malam, saat asisten dan team managementnya sudah tidur, Tia nekad menyelinap keluar kamar demi menemui Adrian. Ia menempuh resiko dikenai sanksi kalau sampai ketahuan.

"Seperti backstreet saja!" keluh Tia.
"Sabar saja."
"Kak, aku sudah mendapat beberapa tawaran sebagai model dan bintang tamu di beberapa serial televisi, walaupun baru sebatas tawaran pribadi. Karena selama masih berstatus Miss, dilarang menerima kontrak apapun dengan pihak lain."
"Kamu menerima?"
"Tidak. Aku mau pulang ke Jakarta. Melanjutkan kuliah."

Adrian mengerti, menjadi bintang bukanlah tujuan Tia. Wanita sesederhana Tia hanya mendambakan hidup bahagia bersama orang yang dia cintai, yaitu dirinya.

Salah satu agenda kegiatan Tia di Jakarta adalah bertemu dengan wanita kalangan enterpreneur. Untuk pertama kali setelah bertahun-tahun, Tia bertemu kembali dengan Ny. Diana.
Tia tidak mengatakan dirinya adalah gadis yang mengalungkan bunga waktu itu. Ny. Diana sudah pasti tidak mengingat hal-hal sedemikian.

Rombongan itu berfoto bersama dengan Tia berdiri di tengah-tengah. Ny. Diana berdiri tepat di samping Tia. Dia hanya bicara sebatasnya saja, tidak menunjukkan ketertarikan yang berlebihan terhadap kehadiran seorang Ratu Kecantikan dunia.

Tia mengirim fotonya bersama Ny. Diana kepada Adrian.

"Apa yang dirasakan Mama saat bertemu dengan seorang Miss International! Bangga? Apa yang dipikirkan Mama tentang seorang wanita yang memenangi kompetisi kecantikan tingkat dunia? Kagum?" berbagai pertanyaan muncul di kepala Adrian.

Dia sedang memandang foto-foto yang dikirim Tia saat kemudian Tia menelpon.
"Kak, aku diberi kelonggaran waktu satu jam untuk menerima tamu pribadi. Kakak bisa datang?"
"Kapan?"
"Nanti sore, jam enam hingga jam tujuh. Karena setelah itu aku ada acara lain."
Jam tujuh nanti malam dia harus menemani Mama ke rumah Om Arman. Adrian memijit kening.

"Kak ... "
"Sayang, maaf. Aku terlanjur janji menemani Mama ke suatu acara."
Tia menelan kecewa.
"Tia."
"Ya, aku mengerti."
"Sayang, maaf."
"Tidak apa-apa, Kak."
"Tia... "
"Kak, sudah dulu, ya! Aku sudah dipanggil."
Tia memutuskan telepon.

Di ruang kerjanya, Adrian termangu-mangu menatap ponselnya. Tia memutus teleponnya begitu saja. Sesuatu yang belum pernah terjadi.

"Mandilah, Yan, kita akan segera ke rumah Om Arman." Ny. Diana melihat Adrian masih saja memandang koran bergambarkan wajah Miss International Tiara Ariana, wanita yang ia temui tadi pagi.

"Ma, bisakah aku tidak ikut?"
"Jangan dong! Om Arman dan Tante Daniella akan kecewa. Tahun kemaren kamu juga absen di pesta ulangtahun Nadine."
"Aku agak lelah, Ma. Sudah beberapa hari ini sibuk sekali, kurang tidur." Adrian memandang Mama, berharap pemakluman.
"Adrian, Mama tidak enak dengan mereka. Temani Mama sebentar saja. Kita tidak perlu berlama-lama di sana."

Adrian meletakkan koran tepat di depan Mama.
"Ma, cantik, ya." Adrian melirik gambar Tia.
"Tadi pagi Mama ketemu."
"Oh ya? Bagaimana orangnya, Ma?"
"Ya, secantik Miss International tahun kemaren, yang dari Venezuela itu. Entah karena make up."
"Biasanya mereka cerdas, Ma."
"Nampaknya cukup cerdas."

Adrian meraih koran sekali lagi, memandang gambar Tia penuh minat.

"Kamu naksir?"
"Siapa sih yang tidak suka wanita seperti ini, Ma?" cengir Adrian. "Ma, kenalin dong!"
"Ngaco kamu!"
"Memangnya kenapa? Siapa tau aja ada respon dan Mama bisa punya menantu secantik ini."
"Ah, Mama gak mau! Udah, mandi sana! Mama tunggu."

Langkah pertamanya sudah gagal. Sambil berjalan meninggalkan Mama, Adrian berpikir keras cara membawa Tia kepada Mama.
Ia mendorong Tia meraih kemenangan di Cape Town, demi harapannya meraih simpati Mama.

"Raihlah mahkota itu, Sayang! Raihlah untuk kita berdua."

Tia, gadisnya yang patuh, mengangguk dan memberikan senyum termanisnya pada Adrian. Dia memenuhi permintaan kekasihnya, pulang dengan membawa mahkota kemenangan.
Tia telah melalui perjuangan yang tidak mudah. Tapi malam ini, Adrian bahkan tidak mampu memenuhi permintaan kecil Tia. Hanya satu jam saja.

Pesta keluarga Arman Prawiro mewah dan elegan sebagaimana biasanya. Dipenuhi tamu-tamu penting dari kalangan pengusaha dan pejabat, serta sedikit pekerja seni dari kelas model dan penyanyi.

Setelah berbasa-basi yang membosankan, Adrian menepi, menyelinap melewati pintu samping dan duduk seorang diri di taman.

Tia mungkin sedang menghadiri sebuah acara sekarang, beramah-tamah dan memamerkan senyumnya yang indah sementara hati terluka.

Adrian melihat foto yang dikirim Tia tadi siang. Tia begitu cantik dan baik. Adrian ingin kabur dari pesta ini dan menemui Tia, tapi Mama adalah ibunya, orang yang telah melahirkan dirinya ke dunia ini.

"Adrian."
Itu suara Nadine.
Adrian sudah mengenal Nadine dengan baik sejak kecil. Ayah Nadine, Arman Prawiro adalah teman dekat Mama, bahkan jika dirunut ke atas mereka masih memiliki hubungan darah dari pihak Kakeknya Mama. Mama dan Om Arman sama-sama kuliah di London, bahkan Om Arman yang memperkenalkan Mama dengan Papa. Sedangkan Om Arman menikah dengan Daniella, wanita Irlandia teman baik Edward Heinzh, Papa Adrian.

Arman dan Daniella memiliki dua putra, Daniel dan Nadine. Sama halnya dengan Adrian, Daniel dan Nadine juga menuntut ilmu di London.
Memiliki orangtua dari lingkup pergaulan yang sama telah mendekatkan mereka bertiga sejak kecil. Terutama Adrian dan Daniel. Mereka sama-sama anggota klub berkuda dan memiliki minat luar biasa pada dunia balap. Meski berteman, Adrian dan Daniel adalah rival abadi dalam dua bidang itu. Kadang-kadang Adrian unggul, tapi tak jarang Daniel meninggalkannya di belakang.

Nadine adalah calon menantu ideal dalam pandangan Mama. Dia memiliki kecantikan, kecerdasan dan kekayaan, tiga hal utama yang diharapkan ada dalam diri seorang wanita. Dia juga memiliki garis keturunan bangsawan dari pihak Ayahnya.

Nadine gadis yang terbuka. Dia tidak menutup-nutupi ketertarikannya pada Adrian dan terus mendekatinya. Menghadapi gadis seperti ini, Adrian membuat batas. Ia memberi bermacam-macam alasan saat Nadine mengajak keluar bersama, terlebih setelah dirinya mengenal Tia.

Berkali-kali Mama menyebut-nyebut nama Nadine. Membuat Adrian jemu.

"Apa yang kurang dari, Nadine? Cantik dan dari keluarga baik-baik, kalian juga sudah saling kenal sejak kecil."
"Kami hanya teman, Ma."
"Lalu, si Virzha?" kejar Mama. "Adrian, kamu dengar Mama?"
"Iya, Ma. Virzha mana?"
"Virzha Handoko, anak Om Doko yang Dubes itu. Kalian dekat sekali, bukan?"
"Hanya pernah keluar beberapa kali waktu baru kuliah dulu. Dia sudah punya pacar, Ma."
"Dia sudah putus. Tante Inge sendiri yang bilang."
"Virzha itu juga teman, Ma."

Pembicaraan tentang Nadine dan Virzha adalah dua topik yang sudah lama dihindari Adrian. Dia menunjukkan kesungguhan dalam pekerjaan, hingga cukup lama Mama tidak pernah menyebut-nyebut nama mereka. Namun sejak Mama masuk rumah sakit kemaren, nama Nadine muncul lagi. Itu karena Nadine setia menjenguk Mama, beberapa kali datang ke rumah dan menemani Mama ngobrol, membawa buah tangan, bersikap sebagai calon menantu yang baik.

"Usia Nadine sudah pantas menikah, Yan. Mama berharap sekali dia menjadi menantu Mama. Kamu sendiri juga sudah pantas. Mama ingin menimang cucu."

Siapa yang tidak ingin menikah? Adrian sudah bermimpi menikahi Tia sejak dulu. Apa salahnya menikah muda! Adrian yakin bisa menghidupi keluarganya dengan baik meski tanpa bantuan uang Mama. Namun Mama tidak akan menerima Tia dalam keadaan itu.
Bahkan hari ini, saat seorang ratu dunia hadir di depan Mama, tidak ada kekaguman apa pun dari Mama.
Bagi orang yang sangat sukses seperti Mama, bahkan pemenang kontes kecantikan dunia saja hanya satu tingkat di atas pekerja.
Ada sesuatu yang selalu mengganjal di hati Ny. Murdiana Heinzh. Diana, begitu para sahabat menyapa dirinya. Bu Diana , sapaan oleh koleganya, dan Mrs. Heinzh, saat dirinya di luar negeri. Ganjalan tentang sesuatu yang tidak tampak, namun dirasakan keberadaannya. Dan semakin lama semakin membuat penasaran.
Ini tentang putra semata wayangnya, Adrian Heinzh. Adrian tidak pernah terlibat dengan perempuan manapun, namun berkali-kali menolak perjodohan dengan Nadine dan Virzha. Apakah dia sudah memiliki pacar rahasia? Kalau benar, siapa dan seperti apa perempuan itu?

Setau Ny. Diana, satu-satunya perempuan yang pernah dikait-kaitkan dengan Adrian hanyalah Rosa, putri Prof. Haryanto yang pernah menjadi pacarnya semasa SMA. Itu pun hanya bertemu tiap Adrian kembali ke Jakarta. Tapi hubungan itu tidak berlanjut, karena di tengah hubungan jarak jauh dengan Adrian, Rosa malah menikah dengan lelaki lain dan ikut suaminya ke Belgia.
Setelah itu tidak ada kabar lagi tentang kedekatan Adrian dengan perempuan mana pun.

Pandang Ny. Diana jatuh pada sampul depan majalah wanita bergambar Tiara Ariana, Miss International dari Indonesia. Sudah lama Ny. Diana merasa nama itu tidak asing. Entah kapan dan dimana, dirinya pernah mendengar nama itu sebelumnya, sebelum berbagai majalah terbitan dalam dan luar negeri bersampul depan Tia Ariana menjadi penghuni tetap kamar tidur Adrian sebagaimana sekarang.

Tidak ingin mengabaikan naluri yang selalu benar, Ny. Diana memutuskan untuk bertanya langsung pada putranya. Namun Adrian masih di Amerika Serikat. Entah untuk apa putranya bolak balik ke Luar Negeri. Tahun ini saja sudah dua kali ke New York. Satu kali ke Tokyo. Satu kali ke Munchen.

Sesuai permintaan Adrian dan nasehat dokter, Ny. Diana sudah tidak aktif lagi di perusahaan. Tapi dirinya cukup menyadari keberangkatan Adrian ke berbagai negara itu tidak ada kaitannya dengan pekerjaan.

Ny. Diana menelpon Fera, sekretaris Adrian.
"Tolong kirimkan pada saya daftar perjalanan ke Luar Negeri Adrian Heinzh selama satu tahun terakhir."
"Baik Bu."

Dia menelpon Amelia Bishop, teman sosialitanya yang bermukim di New York. Amelia Bishop memiliki anak perempuan yang bekerja pada David Harris, pengusaha pemegang Lisensi Miss Internasional.

"Bisakah kau membantuku mendapatkan daftar negara-negara yang dikunjungi Tiara Ariana, Miss International tahun ini? Berikut tanggalnya."
"Dia dari negaramu, bukan?
"Benar sekali."
"Tentu, itu mudah sekali, aku akan minta listnya pada Anna. Tapi boleh tau, untuk apa semua itu?"
"Tia Ariana adalah sumber inspirasi para wanita muda di sini. Dia wanita pertama dari negara kami yang beruntung menjadi Miss International. Aku ingin melakukan sesuatu untuknya, sebagai tanda terimakasih."

Meski jawabannya janggal, Amelia berjanji akan membantu Ny. Diana.

Beberapa hari sebelumnya, Tia mengatakan kepada Adrian bahwa Miss International yang baru sudah terpilih, dan masa jabatan Tia resmi berakhir. Ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan Adrian menawarkan diri menjemput Tia ke New York.

"Kita bisa jalan-jalan sebelum pulang," kata Adrian. "Ada beberapa tempat menarik yang pernah aku datangi, dan aku ingin membawamu ke sana."

Di Bandara, ponsel Tia berdering. Dia mendapat telepon dari Audrey Smith, agen periklanan terkenal di New York.

"Amor sangat tertarik padamu, Tia. Pertimbangkanlah! Tidak sembarang orang bisa menjadi model kosmetik ini. Selama lima puluh tahun, baru kali ini mereka menyasar mantan ratu kecantikan yang benar-benar belum berpengalaman sepertimu. Mereka menginginkan wajah baru yang fresh dan polos, sesuai imej mereka. Model yang belum dikenal, belum memiliki imej apapun, sehingga bisa dibentuk sesuai keinginan. Jadikan aku agenmu, aku akan mendapatkan nilai kontrak yang mahal untukmu! Wajahmu akan terpampang di papan iklan raksasa di berbagai kota besar seluruh dunia. Jangan sia-siakan kesempatan ini! Kau tidak tau betapa banyaknya gadis model yang bahkan rela membayar dengan tubuh mereka demi bisa tampil di bisnis ini."

Tia duduk di ruang tunggu keberangkatan bersama Adrian, mendengarkan penuturan panjang Audrey melalui ponselnya. Segera ia menceritakannya pada Adrian.

Adrian menatap Tia antara kagum dan tidak percaya. Ia tau benar betapa berkelasnya produk kosmetik Amor. Papan iklannya bergambar model internasional dari Amerika Serikat, terpampang dalam ukuran raksasa, tepat menghadap jendela kantor Adrian. Kapanpun Adrian menoleh, mata biru gadis model itu bagai menatap dan mengikutinya. Iklan yang sungguh prestisius.

"Audrey sudah mendekatiku selama satu bulan ini, Kak. Aku belum menjawab. Sejujurnya, aku tidak terlalu berminat."

Adrian mengerti alasannya. Tia melepas semuanya demi selalu berada di sisi Adrian.

"Aku pulang!!" Tia setengah berteriak membuka pintu kaca menuju balkon dan membiarkan udara dan cahaya menerangi apartemen mereka.

Dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana, Adrian berjalan di belakang Tia, berdiri bersisian di balkon.

"Aku senang sekali masa tugasku sebagai Miss Internasional berakhir, Kak! Sekarang aku bisa melanjutkan kuliah."
Adrian tersenyum. "Tidak menyesal? Kau menolak banyak tawaran menarik."
Tia menggeleng.
"Kakak sendiri bagamana, menyesali keputusanku?" Tia menatapnya.
"Aku tidak pernah merasa bangga padamu melebihi sekarang ini, Tia."
"Aku akan membeli apartemen, Kak. Aku tidak mungkin tinggal di sini terus."
"Tinggallah di sini. Apartemen ini lebih sering kosong karena aku hampir tidak pernah menempatinya. Atau kau menginginkan apartemen yang lebih besar? Kita akan mencari sesuai keinginanmu."
"Aku khawatir dianggap memoroti Kakak."
Mata Adrian menyipit.
"Darimana pikiran konyol itu, Tia? Siapa yang mengatakan semua ini padamu?"
"Hanya terpikir begitu saja olehku. Sekarang, sedikitnya aku memiliki penghasilan. Aku tidak ingin memberatkan Kakak terus."
"Tia, tidak ada yang terberatkan di sini! Sampai hari ini aku membiayaimu dengan penghasilanku sendiri, tidak memakai uang siapa-siapa! Aku senang melakukannya!"

Adrian menunjukkan ekspresi kesal. Tia menggigit bibir.

"Sudah, jangan dibahas lagi! Istirahatlah, aku pulang dulu."
"Kak!" Tia meraih lengan Adrian. "Maaf."
Adrian mengangguk, lalu meninggalkan Tia. Meski sempat jengkel, dia bertekad membawa Tia menemui Mama. Mungkin Mama akan kecewa, tapi Tia harus menjadi Ny. Adrian Heinzh.

Ny. Diana menatap list yang dikirim Amelia padanya, membandingkan dengan list yang berasal dari Fera. Semuanya cocok.

Jadi, pada hari dan tanggal yang sama, Adrian mengunjungi kota yang sama dengan yang dikunjungi Tia Ariana sebagai Miss International. Bahkan, di Tokyo, mereka menginap di hotel yang sama.

Sebuah pesan kembali masuk. Riwayat hidup Tia Ariana. Ny. Diana membacanya, lalu mengangguk-angguk.
Sekarang dia mengerti segalanya.
Memutuskan kembali menjadi mahasiswi tidak membuat nama Tia dilupakan begitu saja. Di hari pertama sekembalinya dari New York, Tia menerima banyak sekali tawaran.

Ratih datang ke apartement Adrian, yang sekarang ditempati Tia.

"Acara penyambutan di kampus. Wawancara tv. Undangan sebagai pembicara. Berbagai acara yang diselenggarakan oleh Yayasan Nona Indonesia." Ratih duduk di sofa, menerima minum yang disodorkan Tia. "Kau tidak akan bisa belajar dengan tenang selama satu tahun ini. Namamu masih begitu harum. Aku menerima banyak sekali tawaran main sinetron untukmu."
"Jika hanya menjadi model ekslusif satu produk, aku bersedia. Karena tidak akan menguras waktu. Honornya juga besar."
"Kau bodoh sekali meninggalkan New York. Semua orang bermimpi ingin ke sana."

Tia senyum saja. Apa yang lebih membahagiakan dari pada bergandengan tangan bersama Adrian?

Tia sedang bersiap-siap. Ia akan ke kampus pagi ini untuk pertama kalinya setelah cuti kuliah selama dua tahun.

Tadi malam sepulang kantor Adrian mampir untuk melihat Tia. Kedatangannya yang tidak biasa itu sedikit mengejutkan, karena di pagi harinya Adrian juga mampir. Selama bertahun-tahun membina hubungan, mereka belum pernah bertemu dua kali dalam satu hari, terlebih di jam-jam sibuk Adrian.

Yang membuatnya bagaikan terbang adalah Adrian menawarkan diri mengantar Tia ke kampus.

"Kak, akan ada penyambutan kecil-kecilan dari pihak kampus."  Tia merangkan situasi yang akan dihadapi Adrian jika mereka nekat muncul bersama. "Kehadiran Kakak akan menjadi berita. Selama ini aku tidak pernah muncul bersama laki-laki."

Tia menunggu reaksi Adrian, menatap penuh harap.

"Aku akan mengandeng tanganmu di depan semua orang, Tia. Kita tidak perlu menyembunyikan hubungan kita."

Kalimat itu bagaikan mantra yang menyihir mereka berdua. Mereka saling menatap. Adrian memberikan seulas senyum samar beserta anggukan tipis. Memastikan hubungan mereka maju satu langkah lagi.
Dan yang lebih istimewa, ia membiasakan diri mengecup ubun-ubun Tia setiap akan berpisah. Sikapnya semakin melindungi, membuat Tia larut dalam haru.

Suara bel di pintu. Tia mengoleskan lipstick tipis-tipis, lalu cepat-cepat menyambar tas dan berlari ke depan. Kak Ryan sudah datang.

Hari ini, semua orang akan mengetahui Tia adalah kekasih Adrian Heinzh. Atau, Adrian Heinzh adalah kekasih Tia Ariana.

Tia membuka pintu dan menyunggingkan senyum terindah yang ia miliki. Tatkala melihat sosok yang berdiri di depan pintu, senyum Tia lenyap. Jantungnya berdetak lebih cepat, bagaikan hendak jatuh ke rongga perut.
Yang berdiri di depannya adalah Ny. Murdiana Heinzh.

"Boleh saya masuk?" suara itu datar, tanpa nada menuduh dan merendahkan.
Tia tergagap. "Silahkan."

Wanita itu melangkah dengan tenang, menatap sekeliling.

"Silahkan duduk, Nyonya." Bahkan untuk mengucapkan kalimat sesingkat itu terasa sulit.
"Kamu masih ingat saya, bukan?"
Tia mengangguk.
"Saya tau kamu pacaran dengan Adrian, putra saya." Suaranya terdengar berat. "Saya akan berterus terang. Adrian putra saya satu-satunya. Dia harapan saya dan keluarga Papanya. Demi masa depannya, sejak kecil kami sudah memberi yang terbaik. Kami bersyukur Adrian memilih calon istri yang tepat."

Ny. Diana mengeluarkan selembar foto dari dalam tas mahalnya. Ia memberikan foto itu pada Tia. Ragu-ragu, Tia menerimanya, menatap wajah demi wajah dalam gambar.

Dalam foto itu, Adrian berdiri di samping seorang gadis bergaun merah menyala. Gadis yang cantik sekali. Dia menggandeng lengan Adrian dengan mesra, merapatkan diri hingga dadanya yang terbuka sebagian itu menyentuh lengan Adrian. Di samping Adrian berdiri Ny. Diana, dan di samping wanita muda itu berdiri seorang pria separuh baya dan perempuan bule. Tia ingat, pria separuh baya itu adalah pria yang dulu datang ke SMA Tia bersama Ny. Diana dan Adrian.

"Itu foto Adrian dan Nadine saat bertunangan beberapa bulan yang lalu. Sekarang kedua keluarga sedang mempersiapkan pernikahan mereka."
Tia tersentak.
"Saya sudah tua dan sakit. Saya tidak akan sanggup menghadapi semua ini jika pernikahan Adrian dan Nadine rusak karena skandal."
"Nyonya," untuk pertama kalinya Tia mampu bersuara. "Adrian mencintai saya."
"Ia bilang mencintai kamu tetapi merencanakan pernikahan dengan wanita lain?" Ny. Diana tersenyum datar. "Kami tidak memaksa, Adrianlah yang memutuskan. Mereka berdua sudah mengenal dari kecil dan nyaman bersama. Saya merestui mereka."

Ny. Diana berdiri, tatapnya menghujam Tia. "Kamu wanita cerdas dan berbakat. Jangan permalukan dirimu dengan menjadi wanita ke tiga dalam hubungan orang lain. Dan ingatlah, Adrian tidak akan melangkah tanpa restu Ibunya."

Ny. Diana berlalu begitu saja. Meninggalkan Tia yang mematung. Tubuhnya melemas. Ia mencengkeram lengan sofa dengan tangan gemetar dan mata memanas.

Langkah Adrian lebar-lebar menuju apartemen Tia. Baru saja ia melihat mobil Mama keluar dari gedung apartemen ini. Perasaannya sontak gelisah.

Pintu apartemen Tia terbuka lebar. Adrian menghambur masuk. Tatapnya terpaku pada Tia yang diam mematung dengan air mata di pipinya, juga selembar foto di meja. Adrian meraihnya, meremas dan melemparnya dengan geram.
Jadi Mama sudah mengetahui hubungan mereka, datang ke sini dan menghancurkannya?
Ia mengeleng-gelengkan kepala, bagai seseorang yang dipukul petinju.

"Tia!" Ia menghambur ke sisi Tia, memeluknya dengan lembut. "Sayang, apapun yang dikatakan Mama itu tidak benar. Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Nadine!"

Tia sama sekali tidak menoleh pada Adrian. Ia menghapus air mata, jarinya nampak gemetar.

"Tia, katakan sesuatu."
Namun Tia tidak berkata apa-apa. Ketika akhirnya bicara, ia hanya berkata, "pergilah dari sini."

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER