Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 11 Mei 2021

Binar Jingga Mentari Senja #5

Cerita bersambung

*AIR MATA ADRIAN HEINZH*
Adrian kembali dari perjalanan bisnis di Malaysia. Dengan tubuh lelah, ia tetap masuk kantor seperti biasa. Hari ini ia akan memimpin rapat dewan direksi.

Ryan menggeser pintu kaca menuju balkon, berdiri sesaat untuk menghirup udara pagi. Ia memejamkan mata, sejenak menenangkan lelah dan beban pikiran. Sekejap lagi ia akan sangat sibuk.
Matanya terpandang sesuatu. Tiara Ariana. Dia ada di seberang sana, dalam bentuk gambar di papan iklan raksasa yang terpampang menghadap Adrian sepenuhnya.
Dia menatap Adrian dengan kecantikannya yang luar biasa, tersenyum abadi, membeku oleh waktu.
Hati lelaki Adrian beriak. Pilu. Saat Papa wafat, dirinya tidak menangis. Laki-laki tidak boleh menangis, kata Mama. Tapi sekarang ia ingin menangis. Sayangnya tidak bisa.

Ia bekerja siang dan malam sepanjang bulan, mengunjungi satu lokasi proyek ke lokasi proyek lainnya. Ia menumpahkan emosi dan lukanya ke dalam pekerjaan, membuka banyak perusahaan cabang hingga ia begitu sibuk. Ia hanya berhenti bergerak dan berpikir saat mata terlelap oleh letih yang amat sangat. Ia memilih bekerja meski hari libur, tidak pernah mengunjungi klub berkudanya lagi, melupakan lintasan balapnya, bahkan menarik diri dari pergaulan sosial.

"Berkuda dan membalap sudah kehilangan pesona bagiku, karena aku tidak menemukan lawan tanding seimbang sepertimu," keluh Daniel pada Adrian.

Adrian memberi senyum tipis di sudut bibirnya.

"Ada apa denganmu, Ryan?" Daniel memberi tatap prihatin.
"Aku hanya sibuk saja. Kau tau, aku akan membuka industri galangan kapal di pesisir Sumatra, di suatu kota pelabuhan di Riau sana. Aku mulai menjajaki kerjasama dengan perusahaan-perusahaan jasa perkapalan, agar mereka menggunakan pelabuhanku kelak. Memang akan memakan waktu tidak sebentar, bertahun-tahun, tapi jika itu terwujud, aku akan menjadi salah satu yang terbesar!"
"Aku bicara tentangmu, Adrian! Bukan tentang bisnis!"
Adrian terdiam.
"Aku tidak tau apa yang terjadi denganmu, tapi dimataku kau sudah berhenti jadi manusia!"

Perpisahan dengan Tia merobeknya. Ia tercerai berai. Namun Adrian memaksa untuk menghadapi dan melewati dalam diam, sambil berharap suatu hari, entah kapan, kebekuan Tia mencair dan mereka bersama kembali.

"Lepaskan aku, Kak!" itu yang dikatakan Tia saat Adrian mencegah keberangkatannya ke Los Angeles. Tia tidak memberi ampun atas sesuatu yang dianggapnya pengkhianatan. Dia juga tidak bisa menerima penghinaan yang berikan Ny. Diana.

Ryan tidak mampu mencegah kepergiannya. Ia memburu Tia hingga ke bandara, mencekal pergelangan tangannya, menahan agar dia jangan pergi. Tapi Tia bergeming. Adrian memaksa memeluk Tia, menahannya selama mungkin agar gadis itu ketinggalan pesawat, tidak peduli pada berpasang-pasang mata yang memandang mereka!

"Jangan pergi, Tia! Tolong jangan pergi!" Adrian berbisik padanya, membenamkan Tia erat-erat dalam pelukannya. Ia mencengkeram rambut Tia, bibirnya bergetar, wajahnya menyusup dalam rambut coklat yang harum itu.

"Aku akan membuktikan segalanya! Kita menikah hari ini juga! Atau, kita pergi bersama! Kemana saja!" Adrian menggumamkan sederet permohonan.
Tapi Tia bergeming.
"Lepaskan aku, Kak! Tolong jangan buat aku mengatakan sesuatu yang kelak tidak bisa Kakak lupakan!"

Perlahan, rengkuhan Adrian mengendor. Ia melepaskan Tia. Air mata mengalir di pipi gadis itu, dia berlalu begitu saja, tanpa sedikitpun memandang Adrian.
Adrian menatap kepergiannya. Hampa.

Nyaris setahun mereka berpisah. Telepon Adrian tidak pernah diangkat, pesan pun tidak pernah dibalas. Adrian meminta seseorang menemukan alamat Tia, namun dia tidak pernah ditempat.

Sekarang wajahnya terpampang di depan Adrian. Memberi tatap yang menghipnotis. Indah, namun melukai perasaan.

"Sayang," tanpa sadar bibirnya berucap. Ia mencengkeram pagar balkon, merasakan sakitnya perpisahan.
***

Tia telah meninggalkan Indonesia dan semua yang terkait didalamnya.

Hari ini, Tia adalah seorang gadis model yang sedang naik daun. Para designer senang memakai jasanya. Walau model baru, bakatnya luar biasa. Di bawah bidik kamera fotographer, dia bisa menampilkan wajah lugu seorang gadis. Pada kesempatan lain menjelma menjadi wanita matang yang mempesona. Dia memiliki disiplin tinggi, selalu ramah meski tidak banyak bicara dan rendah hati.
Mereka yang pernah bekerjasama dengannya, selalu kembali untuk kerjasama berikutnya. Tia yang pekerja keras telah melupakan makna lelah. Ia menerima tawaran Audrey, dan setuju menjalin kerjasama dengannya. Walaupun komisi untuk Audrey tergolong tinggi --- paling tinggi di banding agen-agen lainnya---, namun Audrey adalah negosiator ulung yang lihai mencari job. Tia tampil dalam sampul depan majalah international, mendapat berbagai tawaran iklan yang tidak semua ia terima, juga tawaran bermain dengan peran kecil dalam serial tv.

"Aku tidak hendak berakting, Audrey. Aku jadi model saja," kata Tia.

Dia mendapatkan tawaran menjadi model lingerie. Tapi Tia menolak, meskipun lingerie itu tidak terlalu sexy karena dikhususkan untuk wanita Asia.
Puncaknya adalah saat ia mendaparkan kontrak ekslusif untuk Amor edisi Asia. Iklan itu akan diluncurkan di berbagai negara Asia, termasuk Indonesia.

"Kau di kontrak untuk tiga tahun, Tia. Selama masa itu, kau tidak boleh menerima iklan lain yang sejenis, juga tidak boleh menikah."

Menikah. Tia tersenyum hambar. Tidak ada yang mau menikah di sini.
Tanpa pikir panjang, ia langsung menandatangani kontrak.
***

Nadine Arman Prawiro berjalan melenggang menuju ruangan Adrian Heinzh. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu pelan-pelan. Setengah menjulurkan kepala, Nadine melihat Adrian sedang tekun di depan meja kerja. Pria itu sama sekali tidak menyadari kehadiran orang lain di sana.

Nadine masuk. Adrian mengangkat kepala.

"Maaf, aku tidak mengetuk sebelumnya."
"Masuklah." Adrian bangkit, mengajak Nadine duduk di sofa.
"Aku kebetulan ada urusan di lantai tiga. Lalu aku ingat sekarang sudah jam makan siang."

Adrian sedang sibuk, sama sekali tidak memikirkan makan siang. Terlebih makan siang bersama Nadine. Ini sudah kesekian kalinya ia datang ke kantor Adrian, mengemukakan bermacam alasan. Kadang menyambangi ke rumah, hingga Adrian harus menolak dengan sedikit kejam. Kalau sudah demikian, Adrian akan menjadi sasaran kejengkelan Mama.

Nadine gadis yang baik. Sampai hari ini dia tidak pernah membina hubungan dengan pria manapun, setia menunggu Adrian. Ia dengan senang hati menerima perjodohan mereka, walau ia tau Adrian tidak mencintainya. Namun Adrian sendiri tidak punya pacar, hingga Nadine merasa kesempatan untuknya terbuka lebar.
Semua ini harus disudahi, pikir Adrian. Ia sudah bosan dengan sederet masalah yang menghancurkan hidupnya.

"Nadine, aku tidak lapar." Adrian berterus terang. "Kau makanlah."

Nadine memandang kecewa. Lagi-lagi Adrian menolaknya, dan sekali ini tanpa basa-basi.

"Kenapa kamu selalu seperti ini, Ryan?"

Adrian mencondongkan tubuhnya ke depan, lengannya bertumpu di kedua paha dengan jari saling berkait.

"Aku mencintai orang lain."
Ruangan itu mendadak hening.
"Aku sudah menduga," suara itu sendu sekali. "Siapa dia?"

Adrian berdiri, memberi tanda agar Nadine mengikutinya ke balkon.

"Itu dia," jari Adrian teracung, menunjuk pada papan iklan raksasa di seberang gedung.

"Dia? Bukankah dia Miss International itu?" bibir Nadine menyunggingkan senyum tak percaya. "Bagaimana mungkin?"
"Kami sudah saling mengenal sejak sembilan tahun yang silam. Dan saling mencintai."
"Aku tidak percaya."

Adrian mengeluarkan ponsel dari saku jas dan membuka file video.

"Ini, lihatlah!" Adrian menyodorkan ponsel pada Nadine.
Nadine menerimanya dengan ragu-ragu. Ia mulai menonton video itu. Wajah seorang gadis yang sedang tidur terekam dengan baik. Nadine meneliti wajah polos tanpa make up itu. Dia memang Tia Ariana.

"Sayang... Bangun..."

Itu suara Adrian. Begitu mesra dan lembut, menimbulkan sakit yang amat sangat di hati Nadine.

"Sleeping beauty ..."

Gadis itu bergerak-gerak. Dia mengucek matanya, menatap sedikit bingung ke arah kamera. Wajah bantalnya terekam jelas, memperlihatkan kecantikan alami yang memukau.

"Aku mandi dulu, Kak," dia bangkit, berjalan cepat ke kamar mandi.
"Aku ikut!"
"Coba saja kalau berani!"

Sebelum menghilang dibalik pintu kamar mandi, gadis itu masih sempat memberikan senyum manis pada Adrian yang terus merekam dirinya.

"Sudah, cukup," tangan Adrian terulur meminta Nadine menyerahkan ponselnya. Ia kuatir Nadine melihat video berikutnya, karena akan semakin menyakiti hati gadis itu
Tapi Nadine enggan memberikannya. Ia terus menatap layar ponsel Adrian.

Rekaman berganti. Memperlihatkan Adrian yang sedang bekerja di depan laptop, tidak menyadari dirinya direkam.
Tiba-tiba dengan sebelah tangan masih memegang tongsis, gadis itu memeluk Adrian dari belakang, mencium pipinya, memberi tanda pada Adrian bahwa mereka sedang direkam. Adrian tersenyum memandang kamera, lalu mendongak, dan seolah sudah mengetahui maksud Adrian, gadis itu mencium kening kekasihnya dalam-dalam. Rambut panjangnya jatuh tergerai menutup wajah Adrian, hingga tidak terlihat apa lagi yang mereka lakukan dibalik rambut itu. Kemudian gadis itu mengangkat kepalanya, dan mereka tertawa bersama, nampak begitu bahagia. Tidak terlihat sama sekali bahwa mereka adalah pasangan mahal seorang pengusaha muda kaya raya dengan Ratu kecantikan dunia. Gadis itu hanya mengenakan pakaian sederhana berupa kaos longgar, dan Adrian mengenakan kemeja polos.

"Sudah, Nadine!" tangan Adrian terulur kembali. Nadine menyerahkan ponsel Adrian. Kecewa yang mendalam tergambar jelas pada wajah blasteran itu.

"Tia Ariana sudah seperti istri bagiku. Percayalah!"
"Apa?" Nadine tersentak.
"Tidak secara fisik, karena kami menjaga kesucian cinta ini. Tapi aku sudah menjaga dan melindunginya sejak ia berusia empat belas tahun. Aku memberikan semua kasih sayangku hanya kepadanya."
"Gadis yang beruntung," suara Nadine bergetar. Adrian melihat kabut pada kedua bola matanya.

"Gadis yang malang. Mama membuatnya pergi, tapi aku akan membawanya kembali."
"Lalu bagaimana dengan rencana perjodohan kita?"
"Jangan menungguku. Karena aku sedang menunggu orang lain. Lupakan aku, Nadine! Percayalah, di luar sana banyak yang lebih baik dariku."
***

Pesawat yang membawa Adrian mendarat di Bern. Ia ke kota ini untuk menghadiri pernikahan Sarah, sepupunya. Lucio, Ayah Sarah adalah adik Ayahnya. Edward dan Lucio dua kakak beradik berdarah Swiss, meski mereka berdua lahir di London. Setelah lulus kuliah, Lucio kembali ke kampung halaman leluhurnya di Swiss dan menjadi pengusaha di sana, sedangkan Edward Heinzh pindah ke Indonesia.

Sarah merangkul Adrian dengan hangat.

"Ini Philip Templerhauss, calon suamiku. Pip, ini Adrian Heinzh." Sarah memperkenalkan Adrian dengan calon suaminya.

Adrian ingin tinggal di hotel, karena hiruk pikuk kesibukan menyambut pernikahan Sarah membuatnya pusing. Meski pestanya sendiri dilangsungkan di hotel, tapi selalu saja ada orang yang lalu lalang di rumah ini. Sejak putus dengan Tia, Adrian semakin membenci keramaian.

"Kau kapan lagi, Ryan?" Sarah selalu memanggil Adrian dengan nama kecilnya.
"Apanya?"
"Menikah."

Pertanyaan seperti ini selalu menjentik batin. Adrian menjawab simpel, "Doakan saja."
"Berdoa saja tidak cukup. Kau harus berusaha. Tante Diana bilang kau tidak punya pacar."

Pernah punya, sebelum Mama menghancurkannya.

"Tidak ada yang mau denganku," jawab Adrian asal saja.
"Tante Diana juga bilang kau yang terlalu pemilih."
"Sudah, lupakan Ibuku!"
Mereka berdua tergelak.
"Sebenarnya aku ingin ngobrol denganmu, tapi aku harus mempersiapkan diri untuk besok. Aku tinggal dulu, ya."

Adrian menjatuhkan diri di sofa. Rumah Om Lucio begitu nyaman dan indah. Apalagi dengan udara yang sejuk segar seperti ini. Adrian memejamkan mata, terusik oleh pertanyaan Sarah sebentar tadi. Seandainya ia dengan Tia tidak putus, apakah mereka sudah menikah sekarang?"

Hubungan Adrian dengan Mama semakin merenggang sejak kejadian itu, namun ia tetap menunjukkan bakti sebagai anak. Ia tidak pernah menyebut-nyebut nama Tia di depan Mama, juga tidak pernah mengungkit-ungkit kekejaman Mama terhadap mereka berdua.
Tapi saat lagi-lagi Mama menjodohkannya dengan Nadine, Adrian berterus terang tentang perasaannya.

"Aku tidak bisa, Ma," ucapnya.
"Karena gadis kampung itu? Ryan, sadarlah! Mana mungkin gadis yang tidak jelas asal usulnya menjadi menantu di keluarga kita? Mana Ayah Ibunya? Siapa keluarganya? Meski ia Ratu kecantikan sekalipun, Mama tidak bisa menerima!"
"Ma, Ryan mencintai Tia." Ia menatap Mama, memohon pengertiannya. Alangkah ironis. Mama sudah tua dan sakit, tetapi keangkuhan itu tidak berkurang.

"Kamu laki-laki, Ryan! Mengapa lembek begini? Tegaslah, jangan mengatasnamakan cinta untuk semua hal!"

Benarkah ia lemah dan lembek? Ia telah membuat Heinzh Holding jauh lebih besar dibanding beberapa tahun yang lalu, dalam kondisi tak menentu hubungannya dengan Tia, di samping masih membaktikan diri merawat Mama.

Adrian duduk diam, mendengarkan keberatan Mama. Ia ingin pergi karena kalimat demi kalimat itu membuat batinnya semakin sakit, tapi meninggalkan orangtua yang sedang bicara tidak pernah ia lakukan.

"Hei! Adrian Heinzh si pembalap!" bahu Adrian ditepuk kasar.

Adrian tersentak. Ia menoleh. Thomas Heinzh berdiri di depannya. Wajah Adrian mendadak cerah.
Mereka berdua berangkulan, saling menepuk bahu.

"Apa kabar, Ryan? Aku senang melihatmu! Kupikir kau tidak akan datang!"
"Demi Sarah, aku pasti datang!"
"Kau sendiri saja? Mana pasanganmu?"
"Tommy, tolong aku! Sarah sudah menyiksaku dengan sederet pertanyaan seperti ini, sekarang kau pula!" cengir Adrian.

Mereka berdua pergi ke teras samping, menikmati kopi hangat sambil melihat Bradley, putra Tommy yang sedang belajar berjalan di atas rumput dengan bantuan Ibunya.

Anna, istri Tommy melambai pada Adrian. Adrian membalas sambil melempar senyum.
Adrian selalu senang saat bersama Tommy dan Sarah. Meski usia Tommy lima tahun di atasnya, tapi mereka sangat dekat. Terlebih Adrian tidak memiliki saudara kandung.

"Aku mendengar kabar kurang baik tentang dirimu, Ryan. Maaf, aku tidak bermaksud ikut campur, tapi aku prihatin." Ia melihat Adrian jauh lebih kurus dibanding setahun yang lalu. "Dimana gadis itu?"
"Kami sudah putus."

Tommy melihat kilat nyeri pada mata Adrian. Tanpa bertanya, ia mengerti segalanya. Adrian pasti sangat mencintai gadis itu, gadis yang belum pernah Tommy lihat sebelumnya. Adrian pernah mengatakan dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang, tanpa mengatakan siapa orangnya.

Pesta pernikahan Sarah dengan Philip diselenggarakan di aula sebuah hotel di pusat kota Bern. Status Lucio Heinzh yang cukup dikenal dan Sarah sendiri seorang designer perhiasan, membuat pesta pernikahan itu dihadiri banyak tokoh-tokoh penting dan para cantik tampan dunia model.

Sarah menahan Adrian agar tetap berdiri disampingnya.

"Jangan pergi dulu!"
"Ada apa?"
"Buka matamu, banyak gadis-gadis cantik di sini! Pilih salah satunya!"

Dia sangat cerewet. Adrian hanya senyum sambil geleng-geleng kepala.

"Ini Claudia, ini Kate," Sarah memperkenalkan Adrian dengan dua orang gadis muda. Tiba-tiba ia berseru, "dan bintang kita, itu dia!"

Adrian berbalik, mengikuti arah pandang Sarah. Sesaat menyangka dirinya telah salah lihat, tapi kemudian sadar ia tidak salah mengenali orang. Tia sedang melangkah anggun ke arah mereka! Saat melihat Adrian, senyum yang mengembang di wajah cantik itu lenyap berganti pias, sekejap nampak ragu. Kemudian ia tersenyum kembali, namun nyata dipaksakan.

"Tia, kenalkan sepupuku dari Jakarta. Adrian Heinzh. Adrian, ini Tia Ariana. Kau tentu tau dia, karena dia juga berasal dari negaramu."
"Kami sudah kenal lama," Adrian merasa keberuntungan sedang jatuh padanya. Hatinya bergolak gembira.

"Sungguh?" mata biru Sarah membulat. "Jangan bilang kalian sempat berkencan!"
"Kami berkencan selama dua tahun! Tiga, jika dihitung dengan sekarang," ujar Adrian kalem, menikmati wajah Tia yang mendadak kaku.
"Suprise! Kau memang jago membuat kejutan, dan seperti biasa, selalu luar biasa!" Sarah menepuk-nepuk lengan Adrian, lalu memandang pada Tia, menggeleng-gelengkan kepala penuh kegembiraan.

Ia meninggalkan mereka berdua, mendampingi Philip menerima tamu-tamu yang terus berdatangan.
Mereka hanya berdua di tengah keramaian. Tia ingin meninggalkan Adrian, tapi musik mengalun dan Adrian dengan cepat menarik pinggang Tia ke tengah aula.

Tak jauh darinya, Tommy melihat Adrian, dan ia mengerutkan dahi melihat sepupunya yang pendiam dan kalem itu menjadi yang pertama turun ke lantai dansa. Sumpah demi apapun, ini belum pernah terjadi!

"Siapa dia? Kau mengenalnya?" ia bertanya pada Sarah yang kebetulan melenggang bersama Philip, siap untuk berdansa. Matanya terus melihat pada Adrian dan gadis yang bersamanya.

"Mantan Miss International, pacar Adrian selama tiga tahun ini!"

Jadi dia orangnya? Selera adik sepupunya ini ternyata tidak main-main! Tommy tersenyum puas. Ia menarik Anna ke tengah lantai dansa, mengambil tempat tak jauh dari Adrian. Saat bahu mereka nyaris bersenggolan, Tommy merogoh sakunya, mengambil kunci mobil lalu menyusupkan begitu saja ke dalam saku jas Adrian.

"Kau pikir kau bisa lari dariku?" Adrian berbisik untuk pertama kali.

Tia diam saja, mengendalikan riuh yang bergelora di dada. Ia enggan mengangkat wajah, semakin terdesak oleh dekapan erat Adrian dipunggungnya.

Satu tahun berpisah, Adrian semakin liar, pikirnya. Tapi entah mengapa, ia suka.

"Aku mencarimu kemana-mana," ujat Adrian lagi.
"Tidak usah mencariku!" Akhirnya Tia bicara. Adrian sungguh lega.
"Aku kangen, Tia. Angkatlah wajahmu sedikit dan lihat aku."
"Lihat Nadine saja."

Adrian tersenyum. Mendengar jawaban penuh cemburu itu, ia merasa bulan kembali jatuh ke pangkuannya. Tia masih sangat mencintainya.

"Nadine sudah menjadi kekasih orang lain."
"Jadi dia meninggalkan Kakak dan Kakak membutuhkan aku kembali?"
"Sayang, kau salah paham." Adrian setengah mengeluh. "Kita memang harus bicara."

Sapaan sayang itu membuat Tia geram. Adrian bersikap seolah mereka tidak pernah mengalami masalah apa-apa. Enak saja!

Air mata Tia tumpah bergayung-gayung gara-gara pengkhianatan Adrian. Satu bulan pertama di New York ia habiskan dengan menangis menyesali keadaan. Lalu ia bertekad untuk melupakan Adrian dan enggan menoleh ke belakang.

"Aku sudah punya kekasih."
"Apa?" pandang Adrian menyipit.
"Aku sudah punya kekasih!" tegas Tia.

Musik terus mengalun, demikian juga genderang perang di dada Adrian. Tia sudah punya kekasih? Tidak mungkin!

Sebelum musik berakhir, Adrian menarik Tia meninggalkan ruangan, tak peduli pada penolakan kecil gadis itu. Ia membawa Tia ke tempat parkir, menekan remote untuk melihat posisi mobil Tommy, lalu mendorong Tia ke dalamnya.
Mereka berputar-putar tanpa tujuan.

Tia memandang lurus ke depan. Diam-diam, airmatanya mengalir. Ia membuang muka, tidak hendak membiarkan Adrian melihat ait matanya.
Entah kemana Adrian akan membawanya.

Kota Bern makin jauh di belakang. Pada sebuah jalan bercabang, Adrian memilih jalan lapis ke dua, terus mengendarai hingga mereka tiba di halaman sebuah rumah besar bergaya Tudor.

Adrian membuka pintu untuk Tia. "Turunlah!"
"Aku tidak mau!"
"Jangan kuatir, aku tidak akan memperkosamu!"
Tia tetap enggan.
"Barangkali kau lebih suka di gendong." Adrian bersiap menggendong Tia.
"Aku bisa sendiri!"

Adrian mengetuk pintu dua kali. Tak lama, terdengar langkah-langkah kaki dari dalam, suara orang berbicara dalam nada rendah, dan akhirnya pintu itu terbuka. Seorang pria berumur sekitar enam puluhan berdiri di depan mereka.

"Mr. Heinzh!" seru laki-laki itu.

Pembicaraan selanjutnya dalam bahasa Jerman yang sama sekali tidak Tia mengerti.

Adrian membawa Tia masuk. Melintasi ruang tamu yang klasik, langsung ke ruang duduk. Laki-laki tua tadi menyalakan perapian, membuat ruangan itu terasa hangat.

Seorang wanita tua masuk menghidangkan teh.

"Ini rumah Opa Heinzh. Lebih tepatnya, rumah Papanya Opa."
"Untuk apa Kakak membawaku ke sini?"
Adrian duduk disamping Tia. "Karena kita harus bicara."
"Sebaiknya Kakak antar aku pulang."
"Kita akan menginap di sini malam ini!"
"Kak!" suara Tia meninggi. "Aku tidak mau merendahkan diriku dengan menjadi orang ketiga dalam hubungan Kakak dengan orang lain!"
"Tidak ada orang ketiga diantara kita, Tia! Tidak pernah ada! Nadine bukan siapa-siapa, hanya teman masa kecil!"
"Pembohong!" Tia bangkit, berjalan cepat meninggalkan Adrian.

Adrian meraih lengan Tia, bermaksud menahannya.

"Aku mau pulang!"
"Tia, dengar dulu!"
"Tidak!!" Tia menolak Adrian sekuat tenaga, membuat Adrian terjejer mundur. Pria itu menatap Tia penuh kecewa.

Sadar dirinya sudah keterlaluan, Tia beringsut. Air mata mengalir tanpa dapat ia cegah. Sesaat ragu menahannya untuk tetap tinggal, tapi bayangan Ny. Diana kembali hadir.

Tia memaksakan diri melangkah mencapai pintu. Adrian berjalan pasrah dibelakangnya, tidak berdaya menahan Tia. Ia membiarkan tangan Tia terulur hendak membuka pintu.
Tapi langkah gadis itu justru tertahan. Ia mencengkeram handel pintu erat, mematung disana. Tak lama kemudian, bahunya berguncang oleh isakan lirih.

Tangisnya terdengar pilu. Penuh kesedihan yang menyayat hati. Adrian berdiri mematung di belakang Tia, membiarkan gadis itu menangis.

Perlahan, ia merangkul Tia dari belakang.

"Sayang, jangan pergi! Jangan pergi sebelum kau mendengar semuanya!"

Ia berbisik di kepala Tia, membenamkan wajahnya di sana. "Aku mencintaimu, Tia. Aku bersumpah tidak ada pertunangan, apalagi pernikahan! Itu hanya pesta ulang tahun."

Adrian menunggu tangis itu berhenti. Ia melepas pelukan saat Tia berbalik dan memandang dirinya.
Tia sungguh cantik, meski wajahnya sembab seperti ini. Adrian setengah mati merindukannya.

"Tapi Ny. Diana membenciku."
"Tia, aku sedang berjuang meraih restu Mama saat semua ini terjadi. Sejujurnya, itu tidak mudah. Tapi aku membutuhkan dukunganmu untuk mewujudkan mimpi kita," ia menatap penuh harap. "Tia, apa kau percaya padaku?"

Mata mereka bertemu. Perlahan, Tia mengangguk.
Adrian merasakan geleyar lega mengguncang jiwanya. Ia mendongak, tersenyum lebar. Saat ia menunduk kembali, Tia melihat mata Adrian berkaca-kaca. Pria ini menangis!

"Itu cukup bagiku! Tia, tidak seorang pun bisa memilih antara Ibu dengan kekasih. Termasuk aku. Tapi aku percaya, seburuk apapun seorang ibu, dia tetap seorang Ibu. Suatu hari Mama pasti menerima hubungan kita. Maukah kau percaya sebagaimana aku percaya?"

Mereka duduk di depan perapian, bersandar saling merapatkan diri. Jari berpegangan, tak seorang pun yang bicara, namun keyakinan mereka telah menjadi satu. Cepat atau lambat, cinta suci pasti akan menemukan muara yang bahagia. 

==========

*KEVIN Mc'FADDEN*

Tia bangun pagi dengan perasaan bahagia. Kapan terakhir kali ia tidur senyenyak ini? Sebahagia ini?
Pintu kamarnya diketuk. Adrian masuk, lalu duduk di sisi ranjang dengan wajah masgul.

"Tia, aku tidak menemukan sesuatu yang bisa digunakan sebagai mukena. Tadi malam kau juga melewatkan Isya, bukan?"
"Aku lagi dapet, Kak. Memang tidak sholat."
"Oh, syukurlah."
"Tapi, bagaimana ya ...," Tia teragak-agak untuk mengatakannya.
"Apa?"
"Itu, hmm ...," suara Tia terjeda, merasa tidak nyaman.
"Ada apa, Tia?" Adrian mendekat, menyentuh lengan Tia. Gadis itu menarik selimut semakin tinggi menutup bawah dadanya.

"Anu ..., aku butuh pembalut," pipi Tia bersemu merah.

Sekarang gantian Adrian yang tidak nyaman. Tapi tak urung dia tersenyum juga.

"Ya sudah, aku akan keluar membelinya. Ukuran apa?"
"Pembalut tidak pakai ukuran, Kak."
"Baik. Tunggu, ya."

Tia mengangguk.

Dari jendela kamarnya, Tia melihat mobil Adrian keluar halaman. Ia bangkit dan melihat dirinya di cermin, memikirkan kekasihnya. Apa yang tidak dilakukan pria itu untuknya? Adrian telah melakukan segalanya. Dia melindungi dan menghidupi Tia, bahkan ketika hubungan mereka putus selama satu tahun terakhir, kiriman uangnya tidak ikut berakhir. Adrian rutin membiayai Tia, dalam nominal yang layak untuk standar hidup seorang model International seperti dirinya. Adrian begitu pemurah. Pagi ini, dia bahkan turun tangan mengurus urusan pembalut! Tia bergidik, membayangkan tanggapan Ny. Diana jika sampai mengetahuinya. Mungkin dia akan membunuhku, pikir Tia.

Mereka berdua telah sepakat untuk melanjutkan hubungan ini. Tia tidak berpikir dua kali untuk menerima Adrian kembali. Selama ini pun, putusnya hubungan mereka hanya di sisi Tia saja, bagi Adrian tidak. Sekarang, meski Ny. Diana akan memaksa meninggalkan Adrian, Tia tetap akan berada di sisi pria itu. Selama Adrian masih menginginkannya, Tia akan tetap bertahan disisinya.

Tia melihat beberapa foto lama di dinding. Semuanya penuh wajah-wajah asing. Kecuali sebuah foto Adrian remaja, bertiga bersama Sarah dan seorang pria yang tidak Tia kenal. Dalam foto itu, mereka bertiga berbocengan di atas sepeda motor, Sarah di tengah dan Adrian di belakang, bersempit-sempit, tertawa lebar menghadap kamera.

Terdengar suara pintu mobil dibuka dan ditutup. Adrian kembali membawa sekantong kebutuhan pribadi berupa peralatan mandi, juga sebuah handuk.

"Mandilah. Atau, kumandikan, ya," godanya.
"Enak saja."
"Ayolah!" ia mulai memepet, membuat Tia melangkah mundur dan merapat ke dinding.

"Nakal!" Tia menolak Adrian.
"Tunjukkan padaku bagaimana caranya memakai pembalut. Aku sudah jauh-jauh membelinya, anggap saja balas saja. Bagaimana, cukup adil, bukan?"

Meski tau Adrian hanya menggoda, tak ayal Tia berdesir juga. Ia memeluk pinggang Adrian, menyentuhkan wajahnya di dada pria itu.

"Kakak, terima kasih untuk segalanya," bibir Tia bergetar. "Kakak sudah melakukan segalanya untukku. Apapun yang terjadi, aku tidak akan pergi lagi."

Ia merasakan dekapan Adrian di punggungnya. Jari pria itu mengelus punggungnya, memberi kenyamanan luar biasa.

Mereka kembali ke kota Bern. Adrian mengantarkan Tia ke hotel karena gadis itu ingin berganti pakaian. Adrian akan membawa Tia ke rumah Om Lucio hari ini. Ia memulai langkah awal, memperkenalkan Tia kepada keluarga Heinzh.
Ia menelpon Tommy, mengutarakan rencananya.

"Bagus sekali, Adrian! Bawalah kekasihmu makan siang di rumah. Kita akan berkenalan."
"Baik, terimakasih Tom. Rasanya aku lega sekali."

Mereka bertemu di rumah Om Lucio. Saat melihat Adrian, Tommy mengedipkan mata. Sementara Sarah ngobrol asyik dengan Tia di sisi lain ruang tengah yang mewah itu.

"Bagaimana malamnya?" goda Tommy.
"Apanya?"
"Reuniannya."
"Jangan berpikir macam-macam! Aku membawa Tia ke rumah Opa."
"Kenapa malah ke rumah Opa? Payah kau!"
Adrian nyengir saja.

Mereka makan bersama di ruang makan luas kediaman Om Lucio. Pria paruh baya itu mengangguk-angguk penuh persetujuan saat melihat Tia, terlebih setelah Sarah begitu antusias menimbrungi pembicaraan itu.

"Tia ini mantan Miss International, Pa! Dia juga menjadi model perhiasanku. Hebat, bukan?"
"Benarkah? Luar biasa!"
"Adrian sekalinya punya pacar tidak main-main. Bukankah demikian, Yan?" katanya lagi.

Adrian sungguh lega. Sekarang tinggal 'menaklukkan' Mama.

Mereka menghabiskan waktu beberapa hari di Swiss. Adrian membawa Tia berkeliling berbagai tempat indah di sana. Mereka bergandengan tangan menyusuri Bern's old town, naik trem melintasi Altstadr, melihat pemandangan dari tepi Sungai Aare, mengunjungi kebun bunga Rosengarten dan beberapa tempat menarik lainnya

Adrian menggandeng tangan Tia, menyusuri berbagai sudut kota, memegang kopi hangat di tangan sambil duduk di taman terbuka menyaksikan orang yang lalu lalang. Tia tersentak oleh kebahagiaan.

"Ini baru hidup yang normal, Kak."
"Sesuai impianmu?"
"Sesuai impianku."

Ny. Diana sudah dua kali menelpon Adrian. Sedangkan Tia memilih mematikan ponsel demi menikmati ketenangan selama di Bern.

Di hari ke empat, Adrian mengantar Tia kembali ke LA.

Turun dari pesawat, ponsel Adrian berbunyi. Ia melihatnya sekilas. Mama lagi. Tak mau jadi masalah, Adrian mengabaikan. Tapi Tia malah jadi curiga. Terlebih karena kemudian ponsel Adrian berdering kembali. Adrian melihat nama pemanggil. Fera.

"Ya." Adrian mengangkat. Lalu berkata, "baik. Baik. Ya. Oke."
"Siapa, Kak?" selidik Tia.

Adrian memperlihatkan register. Tia mengangguk-angguk dengan wajah tanpa dosa. Dia tidak menyadari telah menjadi pencemburu setelah mereka berbaikan.

"Apakah semua perempuan pencemburu dan curigaan seperti mu?" Adrian terheran-heran. Kalau seorang perempuan tercantik dunia saja begini, bagaimana yang tidak cantik? Alangkah beratnya menjadi lelaki.

Di sisi lain, Adrian tidak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya. Setelah bersatu dengan Tia kembali, hasrat ingin menyentuh gadis itu terasa makin besar setiap waktu. Kadang-kadang, ingin saja dia mencium Tia saat melihat gadis itu bicara. Imajinasinya kemana-mana saat Tia lewat didepannya. Kalau sudah begini, Adrian kuatir malam pertama mereka akan terjadi sebelum waktunya. Padahal, restu Mama nampaknya masih sangat jauh. Adrian mulai menyumpahi otak kotornya.

Mengapa Mama tidak mau mengerti dirinya? Sebagai lelaki normal, tidak mudah bagi Adrian menahan diri setiap berdekatan dengan Tia. Apalagi gadisnya begitu manja dan menggoda. Melihat senyumnya saja, iman Adrian nyaris rontok. Belum lagi, Tia selalu pasrah saja tiap disentuh Adrian, percaya Adrian tidak akan melewati batas. Dia tidak tau betapa beratnya Adrian berperang dengan diri sendiri.

Ah, Tia!

Dan Mama, mengapa membuat anakmu berdosa terus sepanjang waktu? Adrian mengeluh. Kata Ustadz Ali, penceramah tetap mesjid dekat kantor yang kajiannya kadang dihadiri Adrian saat emosinya sangat lelah, menikah itu ibadah yang luar biasa nilai pahalanya. Menyentuh istri saja jadi ibadah. Menciumnya ibadah, seterusnya juga bernilai ibadah, mendapatkan pahala luar biasa di sisi Alloh. Berbeda dengan sekarang. Memandang saja sudah dilarang!

Alangkah indahnya jika ia bisa menikahi Tia. Bisa bersamanya setiap hari, bebas menyentuhnya, mendapatkan pahala pula.
Tapi mengapa hanya karena persoalan bibit bebet bobot ini semua harapan dan keinginannya menjadi kacau balau?

Melalui Ustadz yang sama pula, Adrian mendapat pencerahan tentang keutamaan seorang Ibu dan pahala berbakti kepadanya. Bahwa seorang anak laki-laki adalah milik Ibunya.

Semua ini menekannya!
***

Tiga hari bersama Tia di Bern, sehari di LA, akhirnya Adrian kembali ke Jakarta.

Mama sudah menunggu, memandang Adrian dengan mata tajam dan wajah masam.

"Kamu bersama perempuan itu, bukan?" suara itu pedas sekali.
"Namanya Tia, Ma."
"Dan kalian bersama lagi! Kamu bahkan membawanya ke rumah Lucio!"

Adrian diam saja, bersiap menerima serangan.

"Mama tidak akan pernah setuju kau menikahinya! Tidak selama Mama masih hidup!"

Adrian mengangkat wajah, memandang Mama. "Mengapa Mama sangat membencinya? Bukan salah Tia jika lahir dari keluarga biasa."
"Salah karena dia tidak tau diri! Semestinya dia mencari laki-laki yang setaraf sederajat dengannya! Jangan pikir dengan gelar ratu cantiknya itu dia bisa mendapatkan laki-laki mana saja yang dia inginkan!"
"Kami sudah bersama jauh sebelum itu, Ma."
"Itu salah satu keberatan Mama! Perempuan tidak punya etika, tidak tau malu! Masih kecil sudah berani lari dengan laki-laki yang baru dia kenal! Menguras isi dompetmu untuk biaya hidupnya selama bertahun-tahun! Mempengaruhimu untuk berbohong pada Mama! Membuatmu melakukan sesuatu yang hampir saja merugikan perusahaan peninggalan Papamu! Sekarang pikir, bagaimana perempuan seperti itu bisa menjadi istri yang baik bagimu! Menjadi ibu yang benar bagi anak-anakmu kelak!!"

Amarah Adrian bangkit mendengar tuduhan demi tuduhan itu, namun ia menjaga suaranya tetap rendah. Entah harus mulai dari mana untuk membuat Mama bisa mengerti.

"Itu sama sekali tidak benar, Ma."
"Kalian keliling dunia bersama! Bulan madu, tapi kapan menikahnya? Perempuan apa yang mau-mau saja pergi bersama laki-laki kalau bukan perempuan murahan!"

Urat di kening Adrian menegang demi mendengar kalimat yang terakhir. Wajahnya merah menahan marah. Ia bangkit, berjalan cepat meninggalkan Mama. Di belakang, masih sempat ia mendengar Mama memanggil namanya.

"Prang!!" Adrian meninju cermin. Darah segar mengalir deras membasahi jari-jari yang koyak, namun perih itu bahkan tidak terasa, tenggelam oleh perih hati yang luka. Bagaimana bisa Mama memandang serendah itu pada Tia, orang yang sama sekali tidak Mama kenal?

Adrian pergi ke apartemennya tanpa pamit pada Mama. Jika Tia sedang di Jakarta, apartemen ini menjadi satu-satunya tempat kencan mereka.

Sambil berbaring telentang di sofa, Adrian mengingat kembali kehadiran Tia dalam hidupnya. Ia melihat Tia di air terjun, begitu cantiknya hingga Adrian menyangka dia seorang peri. Lalu serangkaian musibah menimpa, dan Adrian menerima uluran tangan gadis yang ketakutan itu. Hingga detik ini, Adrian tidak bisa melupakan air mata yang mengalir di pipi Tia di suatu senja di air terjun. Tia seorang diri. Benar-benar sendirian. Menjadi calon mangsa bagi lelaki lapar yang sudah mengincarnya sejak lama. Tia masih saja ketakutan hingga kakinya sudah menginjak apartemen ini. Juga ketakutan yang sama saat Adrian menitipkannya di sekolah berasrama.

Taukah Mama, betapa menderitanya gadis itu? Dan betapa gigih semangatnya untuk bangkit? Dia hanya gadis miskin sebatang kara dari desa, dan Adrian hanya mendanai saja, tapi Tia lah yang berjuang tanpa kenal lelah untuk mengantarkan dirinya ke puncak dunia seperti sekarang!

Tiara Ariana adalah seorang pejuang. Dan Adrian Heinzh mencintai dia, tidak peduli apa!
***

Audrey tergopoh-gopoh menemui Tia di apartemen dan siap menyemburkan serangkaian keberatan.

"Kau mengacaukan banyak jadwal kerja selama tiga hari ini, Tia!! Kau matikan ponselmu, membuat aku kalang kabut! Aku telpon Sarah Heinzh, bukan, sekarang Sarah Templehauss, dia bilang kau sedang keluar! Claudia dan Kate kembali, tapi kau baru pulang berhari-hari kemudian!"

Sementara Audrey marah-marah, Tia sedang melayang memikirkan Adrian. Tangannya menyentuh bibir, mengingat tiga hari terindah yang mereka habiskan bersama di Bern. Adrian telah membawa Tia ke banyak tempat di sana, dan yang paling penting, membawa Tia pada keluarga Mendiang Papanya. Mereka menerimanya dengan tangan terbuka, sesuatu yang benar-benar tidak pernah terpikirkan oleh Tia sebelumnya.

Saat akan berpisah, Adrian berkata,
"Aku cuma minta satu hal darimu, sabar. Kita sudah sejauh ini, jangan pernah berpikir untuk berpisah. Kita akan bersama, Tia. Kita pasti akan bersama."

Kita akan bersama, Kak. Kita pasti akan bersama.

"Tia! Tia!!" Audrey terheran-heran melihat ekspresi Tia. "Aku bicara padamu!"
"Maaf. Apa tadi?"
"Aku sudah menjadwal ulang kegiatanmu. Ada yang sudah terlanjur batal, seperti Alexxe Fashion Week itu! Sangat disayangkan!"
"Oke, maaf."
"Lalu mengenai tawaran film itu. Sebaiknya kau terima saja."
"Aku tidak bisa berakting, Audrey!"
"Saat kau menjadi model, bukankah kau berakting sesuai pesan yang ingin disampaikan? Bahkan akting seperti itu lebih sulit karena kau dituntut menyampaikan pesan melalui ekspresi wajah. Tapi berakting di film dilengkapi suara, latar belakang dan banyak faktor pendukung lain.

"Kalaupun aku berakting, aku tidak mau peran numpang lewat. Kalau cameo oke lah."
"Yang ingin kusodorkan untukmu bukanlah cameo atau peran kecil, Tia. Tapi peran besar! Ini, kau baca dulu!"

Hollywood mencoba menjamah Tia. Sesuai intruksi Audrey, team management melakukan berbagai seleksi ketat. Tia sudah memiliki nama yang cukup baik di bidang model, imej itu tidak boleh rusak karena bermain di film yang salah.

Satu minggu kemudian, Tia menelpon Audrey. "Aku setuju."
"Jadi kau akan main film, Tia?"
"Ya, Kak."
"Seperti apa jalan ceritanya?"
"Tentang persaingan politik meraih kursi presiden. Aku sebagai putri sang calon presiden."
"Siapa lawan mainmu?"
"Aku belum diberi tau. Tapi sepertinya aktor terkenal."

Dahi Adrian berkerut. Sepanjang pengetahuannya, film Hollywood selalu dibumbui adegan sex. Setidaknya adegan berciuman. Apakah Tia tidak mempertimbangkan hal itu? Ryan tidak bisa membayangkan ada laki-laki lain yang menyentuh bibir kekasihnya.
Belum lagi kalau sampai Mama melihat film itu nanti. Semakin kacau semuanya.

"Sayang, aku khawatir dengan adegan dewasa di film ini."
"Tidak ada adegan demikian, Kak. Aku sudah baca skripnya."
"Kau yakin?"
"Iya."
"Oke, terserah kau saja. Sayang ...," Adrian memberi kalimat menggantung, "jangan terlalu larut, oke!"
"Ya, Kak. I love you."
"I love you, Tia."

Meski demikian, resah itu tak mau pergi.
Tia tidak tau siapa lawan mainnya. Dia sudah mendengar selentingan kabar tentang beberapa nama besar. Alan Hudson, Robert Parker, Eric Williams. Tapi kabar yang santer beredar, pihak studio mengejar Kevin McFadden, salah satu aktor paling laris selama satu dekade ini. Beberapa tahun belakangan, film-filmnya selalu box office, bahkan film futuristiknya lima tahun yang lalu menjadi film terlaris yang belum terpecahkan hingga hari ini.

"Berdoa saja semoga McFadden bersedia main di sini. Ini akan menjadi publikasi besar-besaran untukmu, Tia!"

Tentu saja Tia tau siapa Kevin McFadden. Siapa tidak kenal dia? Namanya begitu tersohor, tampan luar biasa hingga sebuah majalah pernah memasukkan namanya dalam daftar tiga aktor paling tampan dunia. Lajang, kaya raya dengan tarif dua puluh juta dolar per filmnya. Belum lagi bonus yang dia terima dari berbagai film yang box office itu.

Tia tidak punya tujuan apa-apa dalam menerima peran ini, baik uang maupun popularitas. Segera setelah ia menjadi Ny. Adrian Heinzh, ia akan kembali ke Indonesia dan meninggalkan semua  gemerlap panggung selebritis. Di banding kebahagiaan bersama Adrian, semua ini tidak ada apa-apanya.
Tapi ia tidak menyadari, takdir sedang menggiringnya ke arah tak terduga.

Kevin Mc Fadden sudah terlibat dengan Hollywood sejak ia berusia tiga belas tahun. Ia tidak menamatkan pendidikan SMU karena ketidakmampuannya mengikuti pelajaran sekolah, juga karena bakat dan minatnya di tempat lain.

Dengan izin serta dukungan ibunya yang memiliki usaha katering pemasok nasi kotak di setiap kegiatan syuting, ia berhasil mendapatkan berbagai peran-peran kecil di puluhan film. Pada usia dua puluh tahun, Kevin membintangi film-film kelas dua berbudjet rendah, namun dengan kemampuan dan aura bintang yang secara natural muncul dari dalam dirinya, Kevin mengantarkan film-film itu menjadi film laris di bioskop. Perlahan namanya menanjak. Dia meraih status kebintangan pada usia dua puluh dua tahun, dan tiga tahun kemudian menjadi superstar berkat sederet film box office. Selama satu dekade terakhir, Kevin menguasai Hollywood.

Uang dalam jumlah besar mengejarnya. Dia mendapatkan kekuasaan di seluruh dunia, dan Hollywood adalah pusat kekuasaan itu berada. Nama Kevin disebut dimana-mana di seluruh penjuru dunia, dikagumi dan disanjung puja. Para produser mengejarnya, para aktris berebut ingin bermain dengannya, apakah bermain film atau bermain di atas ranjang. Kevin McFadden muda, sangat tampan dan superstar. Dia adalah bintang segala bintang.

Ia menerima banyak judul film yang hampir semuanya sukses. Kesuksesan itu juga mendongkrak nama pemain-pemain baru yang bekerjasama dengannya.

Suatu hari, agen Kevin menyodorkan sebuah peran baru.

"Drama?"
"Setengahnya. Setengahnya lagi aksi. Aku sudah membaca skripnya. Kau baca saja dulu."

Kevin baru membaca skrip itu satu bulan kemudian. Berkisah tentang seorang pengawal pribadi putri seorang calon presiden, di tengah berbagai intrik politik perebutan kekuasaan tertinggi sebagai Kepala Negara. Kisah yang lumayan.

"Kau akan bermain dengan George Hammond dan Exel Flockhart. Aku yakin ini akan jadi film yang hebat."

Dia sama sekali tidak bertanya tentang pemeran putri sang calon presiden.

Kevin sedang berada di ruangan Sebastian Hunter, sang produser. Hunter menunggu sang superstar sudah beberapa hari untuk mempertemukannya dengan aktris yang akan menjadi lawan mainnya, juga membicarakan kemungkinan Kevin bergabung sebagai produser film-film selanjutnya.

"Aku senang kau menerima peran ini, Fadden. Tadinya kupikir kau akan menolak."

Pintu diketuk. Suzy Monahan, sekretaris Hunter melenggang masuk dengan baju ketat dan rok super pendeknya.

"Mereka ada di sini."
"Suruh masuk."

Sebelum keluar, Suzy melirik Kevin dan memberi seulas senyum mengundang. Kevin diam saja. Bosan.

"Siapa?" tanya Kevin asal saja.
"Audrey Smith dan artisnya, calon lawan mainmu di film ini."

Sebastian Hunter menyodorkan sebuah map, Kevin membacanya. Tiara Ariana Ahmadi alias Tia Ariana, pemenang Miss International dua tahun yang lalu.

Kevin mengangguk-angguk. Miss Internasional. Luar biasa. Ia penasaran akan kecantikan seorang Ratu kecantikan dunia. Apakah secantik Linda? Marie? Atau Helena, yang minggu lalu baru saja dinobatkan sebagai wanita tercantik abad ini?

Di mata Kevin, mereka semua nampak sama saja.
Kevin membalik halaman, menemukan foto sang Ratu di baliknya. Ia memandangnya sekilas. Oke, memang cantik. Kevin menutup map, lalu mendorongnya ke tengah meja.

Audrey Smith muncul di ruangan itu, disusul seorang wanita tinggi langsing berambut coklat bergelombang. Kevin menegakkan duduk, melempar senyum pada Audrey dan menoleh pada gadis bernama Tia Ariana. Mereka beradu pandang, dan Tia mengangguk kecil padanya, memberi sebuah senyum tipis.

"McFadden. Kevin McFadden!" Kevin tersenyum ramah seraya mengulurkan tangan. Sikapnya hangat bersahabat.

"Tia Ariana." Tia menyambut uluran tangan Kevin. Ia melihat Kevin sekilas, lalu mengalihkan perhatian pada Sebastian dan Audrey.

Saat mereka bubar, kembali Kevin mengulurkan tangan sebagai salam perpisahan, dan Tia menyambutnya dengan sikap wajar.
Terlalu wajar dan datar. Kevin mengerutkan dahi. Apakah gadis ini belum pernah mendengar nama Kevin McFadden? Belum pernah ada orang, siapapun, pria dan wanita, tanpa kecuali, yang mengalihkan pandangan darinya sebagaimana yang dilakukan model ini barusan!

Kevin menggeleng masam. Gadis ini terlalu kaku. Sepertinya mereka tidak akan bisa jadi partner yang baik dalam film. Sebaiknya Sebastian mencari aktris lain saja.

Ketika Kevin keluar studio, dia melihat Tia Ariana sedang bicara dengan seorang perempuan petugas cleaning service di pelataran. Dia membuka tas dan memberikan sejumlah uang pada perempuan itu, lalu cepat-cepat masuk ke dalam mobil, dimana Audrey sudah menunggu.

Kevin penasaran, segera menghampiri perempuan itu.
"Apa yang kau bicarakan dengannya?"
"Saya menerima telepon dari suami saya, tentang biaya pengobatan putra kami yang harus dibayarkan. Dia kebetulan lewat, lalu memberi saya sejumlah uang. Dia mengatakan akan menambahkan lain kali."
"Ooo." Kevin mengangguk-angguk, lalu merogoh dompet dan mengeluarkan sejumlah uang. "Untuk putramu."

Perempuan itu haru bukan kepalang.

"Dia sangat cantik, anda sangat tampan. Dan kalian berdua sama-sama baik. Aku berdoa semoga kalian berjodoh."

Ucapan spontan dalam suara yang sarat perasaan itu membuat Kevin tertegun.

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER