Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 12 Mei 2021

Binar Jingga Mentari Senja #6

Cerita bersambung

CINTA DALAM SEPOTONG SANDWICH
Pertemuan kedua terjadi satu minggu kemudian atas permintaan Sebastian Hunter. Dia ingin melakukan tes terhadap Tia, sekaligus melihat chemistry antara Tia dengan Kevin.
Tia datang bersama Hannah Miller, Managernya. Perempuan tomboy itu bercakap-cakap dengan Sebastian dan Kevin sedangkan Tia lebih banyak tenang mendengarkan.
Kembali sikapnya menarik perhatian Kevin.

Setelah pertemuan itu usai, Tia dan Hannah pamit, meninggalkan Kevin dan Sebastian berdua.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Sebastian.

Kevin menimbang-nimbang.
"Sejujurnya, selama dua kali pertemuan ini, aku mengamatinya, demi melihat kecocokan. Menurutku, dia terlalu kaku. Dan aktingnya juga tidak istimewa."
"Aku juga merasa demikian. Tapi aku terserah padamu, kalau kau cocok dengannya, kita pakai. Kalau tidak, aku bisa sodorkan kandidat lain."
Kevin mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya.
"Mungkin kita bisa coba artis lain," ujar Kevin sambil berdiri. "Aku pergi dulu."

Di pelataran, kembali dia menemukan kejadian yang sama dengan seminggu yang lalu. Tia Ariana sedang bicara dengan perempuan petugas cleaning service tempo hari. Bedanya kali ini gadis itu tersenyum lebar dan suaranya girang.

"Oh, syukurlah, Mrs. Vivian! Semoga setelah ini putra anda tidak akan pernah masuk rumah sakit lagi." Ia menyodorkan sejumlah uang pada perempuan itu. "Lanjutkan pengobatannya."
"Terimakasih, Miss. Anda sangat baik." Mrs. Vivian memegang lengan Tia, begitu terharu oleh pertolongannya.

Kevin mendekati mereka berdua.
"Bagaimana putra anda?" sapanya.
"Dia sudah keluar dari rumah sakit. Terimakasih atas bantuan anda berdua."
Senyum Tia merekah melihat kebahagiaan Mrs. Vivian. Tidak tau mengapa, dia iba saja melihat Ibu tua ini.

Di sampingnya, Kevin sedang melihat Tia. Ia tertarik pada ketulusannya, juga senyumnya yang memikat. Untuk pertama kalinya ia mengakui, gadis ini memang cantik.
Kabar yang diberikan Sebastian Hunter menghancurkan harapan Audrey Smith.

"Artismu tidak cocok untuk peran ini. Tapi dalam waktu dekat kami akan membuka audisi untuk beberapa peran, dia bisa mencoba lagi."

Sialan, artisku ekslusif, bukan kacang goreng yang harus dijajakan! Audrey jengkel bukan kepalang.
Tidak kehabisan akal, Audrey menelpon Kevin McFadden. Dalam beberapa hal, aktor itu lebih berkuasa dari pada pemilik studio perfilman.

"Tia Ariana menangis terus sepanjang malam. Dia sangat terpukul karena menginginkan peran itu. Sebenarnya peran sebagai Anastasia sangat pas untuknya. Tia pendiam, anggun walau sedikit kaku, cocok benar dengan karakter Anastasia dalam film itu."

Kevin mengerutkan dahi. Dua kali bertemu, Tia Ariana tidak terlihat seperti artis lain yang tergila-gila mengejar peran. Dia bahkan mengabaikan seorang Kevin McFadden! Apakah karakternya memang demikian, tenang dipermukaan namun bergejolak di dalam?

"Kupikir kita harus memberi peluang pada Tia Ariana." Kevin menelpon Sebastian Hunter.
"Lho, bukankah kau tidak menginginkan dia? Aku baru saja menghubungi Helena Alexander agar dia datang untuk casting."
"Casting dia untuk peran lain."
"Baiklah, apapun maumu."

Mulai hari itu mereka selalu bertemu dalam set di lokasi syuting. Di luar itu, Tia lebih senang menyendiri. Ia tidak nyaman jika terlalu berbaur.

Sesekali Kevin memperhatikan Tia. Dimatanya, Tia begitu santun dan anggun, berbeda sekali dengan kebanyakan artis wanita di industri ini. Beberapa kali Kevin melihatnya melamun, pandangnya jauh menembus dinding, tapi sikap itu hilang saat ponselnya berbunyi dan ia mengangkat dengan mata berbinar. Ia menjawab dalam bahasa yang tidak seorang pun mengerti, tapi meski demikian dia tetap menjauh ke sudut atau setidaknya menepi.

Sikapnya sesuai benar dengan peran yang ia mainkan.
Mereka melakoni tiap adegan dengan baik. Hingga kemudian, tiba pengambilan adegan terakhir, yang ironisnya menjadi bagian paling mematikan bagi gadis itu berikut semua orang yang berada di sana.
Ini adalah film dengan kisah happy ending. Sebagaimana umumnya kisah yang berakhir bahagia, diperlukan adegan berciuman untuk penegasan cerita di bagian penutup. Nah, gadis ini menolak melakukannya!

"Di script tidak dituliskan akan ada adegan berciuman! Aku juga tidak diberitahukan akan ada adegan demikian!" Kevin melihatnya berdebat dengan Hannah, managernya.

Sutradara marah-marah. Meski pendiam, gadis itu keras hati dan berani. Dia bergeming, enggan melakukan adegan itu.
Audrey datang untuk memujuk Tia.

"Tia, tolonglah!! Adegan ciuman adalah adegan biasa, sebagaimana kau berakting makan, tidur, berlari! Kau jangan begini!"
Semua orang menganggapnya arogan. Terlebih dia adalah artis baru, belum pernah main film sama sekali.
"Ya Tuhan, aku bisa gila!! Katakan padaku, dari planet mana dia berasal! Aku akan mengirimnya kembali ke sana!" Sutradara mencak-mencak.

Kevin terheran-heran. Siapa wanita yang mau menolak berciuman dengannya? Tidak ada!
Saat akhirnya Tia bersedia melakukannya, Kevin melihat dia menangis di sudut ruang.

"Action!"

Kevin menyentuh punggung Tia, meraih lehernya dan mulai menyentuh bibirnya. Ia mencurahkan segenap rasa demi mendapatkan hasil terbaik. Tapi jangankan membalas, ia malah merasakan bibir gadis ini bergetar, dan air matanya mengalir. Kevin jadi ragu.

"Cut!!"
Sutradara berteriak, marah-marah.
"Kita melakukan adegan berciuman! Bukan adegan di pemakaman!" dia mendekati Tia, "Kau pernah berciuman? Nah, lakukan seperti itu! Ya Tuhan!!"

Kevin mengerutkan kening. Ada apa dengan wanita ini? Mengapa sampai menangis hanya demi adegan seperti ini? Belum pernah ada artis yang menjadikan adegan berciuman dengannya sebagai beban yang menguras air mata!

"Beri kami waktu," kata Kevin pada Sutradara.
"Tolong ajari dia cara berciuman! Sampai dia menguasainya! Atau dia akan membuat semua sutradara jantungan! Aku benar-benar jengkel!"
"Ini." Kevin menyerahkan tisu. Dia duduk di depan Tia dan mengamatinya. Ia tidak bicara apa-apa.
"Maafkan saya," kata Tia kemudian.
Adegan itu diulang dua kali lagi, dan Sutradara tetap tidak puas. "Mengapa bibirnya harus bergetar begitu?"

Akhirnya Kevin mengajak Sutradara rapat kilat.

"Dia flu. Tolong tambahkan dialog untukku. Dialog yang menjelaskan bahwa ini memang ciuman pertama untuk sang Putri Presiden, sehingga wajar kalau dia kaku dan malu-malu. Penonton pasti akan paham. Ayolah, cuma itu caranya agar filmmu selamat!"

Akhirnya, adegan dilakukan sesuai permintaan Kevin. Tia bernafas lega.
"Terimakasih, Mr. McFadden," katanya.

Kevin mengangguk saja. Gadis itu berlalu bersama Hannah dan Audrey, namun Kevin masih sempat mendengarnya bicara dengan kesal, "Aku tidak akan pernah mau main film lagi!"

Suatu malam sehabis rapat di studio, Tia melihat Kevin sedang bicara dengan seorang artis pirang yang dadanya mengingatkan Tia pada bola basket. Namanya Cindy, dia artis pemeran pembantu dalam film mereka. Artis itu mencium Kevin dengan agresif, tangannya liar kemana-mana, hingga pria itu terdorong pasrah ke dinding.
Setengah kaget, heran bercampur malu, Tia malah terpaku melihat pemandangan itu. Kevin juga tengah melihatnya, serta merta mendorong si pirang seksi menjauh.

"Tia!" sapanya, wajahnya merah, menyiratkan malu orang yang tertangkap basah.
"Hei, mau kemana!" si Pirang menahan lengan Kevin, tapi aktor itu menepis dan menarik lengan Tia, bergegas menuju mobil. Mereka masuk dan Kevin mengunci pintu.
"Aahh," dia mendesah lega.
Tia menunduk sambil tersenyum kecil.
"Apa?" Kevin mempertanyakan senyum itu.
Tia mengangkat bahu.
"Kau jangan menduga macam-macam, aku tidak ada urusan apapun dengannya! Kami baru bertemu dua kali di syuting ini!"
"Mr. McFadden." Tia memandang Kevin, memberi tatap penegasan bahwa dirinya tidak peduli. Sambil tersenyum ia mengatakan, "Anda tidak perlu menerangkan apapun pada saya. Saya tidak ada urusan dengan kalian."
"Tapi dia itu ..., ah sudahlah!" kata Kevin akhirnya. Ia membuang pandangan keluar jendela dan mulai menjalankan mobil.
"Hei, mengapa aku di mobilmu, Mr. McFadden!?" Tia baru menyadari keberadaannya.
Mereka berpandangan, Kevin nyengir menyadari kekeliruan mereka. Tak urung Tia senyum sendiri.
"Karena sudah terlanjur, bagaimana kalau kau ikut aku sebentar?"
"Sudah tengah malam, saya harus pulang!"
"Ikut saja. Sebentar, kok."

Kevin membawa Tia ke sebuah bengkel besar. Beberapa orang menoleh melihat kehadiran mereka. Seseorang, nampaknya dia bos nya, menyalami Kevin.

"Kenalkan, ini Tia Ariana. Tia, ini rekanku, Louis Machintos."

Louis membawa mereka ke dalam. Bengkel raksasa itu adalah tempat perakitan sepeda motor. Beberapa orang sedang bekerja memasang onderdil dan Kevin berjongkok di dekat mereka, bicara dengan serius.
Kevin menyerahkan helm pada Tia, membawanya mencoba sebuah sepeda motor baru. Meski agak enggan, tapi Tia tidak enak menolak, juga tidak mau seorang diri menunggu Kevin di bengkel ini. Bengkel ini penuh laki-laki, dan sekarang sudah larut malam.

Akhirnya Tia naik ke boncengan, dan Kevin mengendarai sejauh beberapa kilometer. Mencoba berbagai kecepatan. Kadang agak lambat, lambat, cepat, lebih cepat dan sangat cepat. Tia merapatkan pegangan, merasa ngeri.
Mereka kembali ke bengkel. Louis dan teamnya sudah menunggu

"Aku tidak mencoba kecepatan maksimal, kuatir kau terbang," cengirnya, sambil membantu Tia membuka helm.
"Bagaimana, Kev?" tanya Louis.
Kevin bicara panjang lebar tentang sepeda motor itu.

Tia melihat kesibukan mereka. Yang dikatakan orang-orang tentang Kevin McFadden agaknya benar adanya. Pria ini baik, ramah, bersahabat dan sederhana. Jauh dari kata sombong, bergaul dan berteman dengan siapa saja. Dia seorang superstar, tapi itu hanya label yang diberikan media padanya.

"Aku sedang memproduksi sepeda motor sendiri. McFadden motorcycle." katanya saat mereka sudah di mobil. "Kuharap tahun depan sudah bisa dilepas ke pasaran."
"Keren!" puji Tia. Ia teringat Adrian yang memiliki kegemaran yang sama. Tia ingin membelikan sepeda motor buat pria itu, sebagai hadiah untuknya. "Mr. McFadden, buatlah sepeda motor yang keren. Yang terbaik! Saya akan menjadi pembeli pertama sepeda motor anda."

Kevin tersenyum, mengangguk-angguk.
Mereka berada di lampu merah ketika ponsel Kevin berbunyi. Ia mengangkatnya.

"Ya, Ma. Apa? Bagaimana mungkin?" wajahnya menegang. Tia menatap Kevin, penasaran. "Baiklah, baiklah!"
"Ada apa?" tanya Tia.
"Alice kecelakaan."
"Siapa Alice?"
"Adikku." Kevin menekan gas, "Maaf ya, kita sedikit ngebut."
"Mr. McFadden, saya tidak apa-apa, kita ke rumah sakit saja dulu. Dari sini apartemen saya masih jauh."
"Sungguh?"
"Ya."

Kevin membelok sembilan puluh derajat, dan menambah kecepatan. Mereka tiba di rumah sakit, dan pria itu melangkah terburu-buru. Langkahnya lebar hingga Tia setengah berlari untuk mengimbanginya.
Seorang wanita separuh baya menyambut Kevin dengan tangis. Mereka berangkulan.

Dari balik kaca, Tia melihat seorang gadis pirang terbaring tak sadarkan diri. Selang-selang memenuhi tubuhnya. Detak hidupnya ditandai oleh diagram di layar monitor.

Kevin bersandar di dinding dengan kepala mendongak dan mata terpejam. Wajahnya sungguh masgul. Tia berdiri tak jauh darinya. Sekilas, sambil mengusap tangis, Ny. Anne melirik Tia. Ia belum pernah melihat gadis ini sebelumnya. Apakah pacar baru putranya? Tapi Kevin tidak pernah membawa pacar ke rumah, apalagi ke rumah sakit dalam keadaan kacau balau seperti ini.

Tia menyadari Ny. Anne sedang memandangnya. Ia memberi senyum tulus dan pindah duduk ke sisi wanita paruh baya itu.

"Hai, Mom. Saya Tia." Tia mengulurkan tangan dengan sopan.
"Anne. Aku Ibunya Kevin." Ny. Anne mengulurkan tangan. Sebelah tangannya mengesat air mata.
Kevin membuka mata dan pindah ke dekat mereka berdua.
"Maaf, aku lupa memperkenalkan. Mama, ini Tia Ariana, kami bermain bersama dalam filmku yang baru." Dia menoleh pada Tia. "Tia, ini ibuku."
Kedua wanita itu berpandangan kembali.

Menit demi menit berjalan lambat. Kevin merasa tidak enak pada Tia. Gadis ini pasti lelah. Kevin melirik jam.

"Tia, ayo aku antar pulang."
"Mobilku ketinggalan di lokasi syuting tadi. Aku naik grab saja ke sana."
"Sekarang sudah pukul satu malam. Sebaiknya kau tidak pulang sendiri. Kau juga pasti mengantuk, bukan?"
"Sedikit. Tapi aku tidak apa-apa, sungguh. Anda temani saja Ny. Anne."
Kevin tertegun. Mata coklat gadis didepannya ini nampak lelah, tapi sikapnya tulus.
"Oh, Alice!" Ny. Anne menangis lagi. Ia menyentuh dinding kaca, berduka melihat keadaan putrinya di dalam sana.
"Tenanglah, Mam." Tia meraih bahu Ny. Anne, menenangkannya. "Alice masih muda, dia akan bertahan."
"Seharusnya aku melarangnya mengendarai. Tapi dia meyakinkanku, memohon agar aku mengizinkan. Tiba-tiba dia mengalami serangan jantung dan menabrak. Oh, bodohnya aku!" dia tidak habis-habisnya menyesali diri.

Air matanya berlinang. Tia mengeluarkan sapu tangan dari dalam tasnya, memberikan pada Ny. Anne. Ia membawa wanita itu duduk, terus menepuk bahunya. Melihat kesedihan itu, Tia ikut iba.
Mereka masih menunggu. Ny. Anne terkantuk-kantuk, tapi kadang menangis lagi karena putrinya belum sadarkan diri. Kevin duduk melantai, bersandar di dinding. Sekejap Tia lupa dia sedang berada di tengah keluarga seorang superstar.

"Kasihan dia." Tia memandang Alice yang terbaring. Tia tidak mengenalnya dan belum pernah bertemu. Tapi melihat kondisi yang penuh luka-luka itu, selain penyakit jantung yang menjadi idapan di usia muda, Tia begitu simpati. Terlebih melihat duka ke dua orang ini.

Tia resah. Gelisah. Ia pergi ke pojokan dan mulai berdoa.
"Kau sedang apa?" Kevin sudah berdiri disamping Tia.
Tia mengusap kedua telapak tangannya ke wajah. "Berdoa."
"Berdoa?"
"Ya."
"Kau percaya pada doa?"
"Sangat."
"Kau yakin padanya? Yakin Tuhan akan mengabulkan doa-doamu?"
"Tidak sekaligus. Kadang ditunda, atau diganti dengan hal lain yang lebih baik."
"Bagaimana kalau tidak dikabulkan?"
"Setidaknya aku lebih kuat menghadapinya."
"Aku tidak percaya doa. Seumur hidup aku berusaha sendiri, karena Tuhan sedang sibuk ditempat lain."
Meski tidak setuju, Tia diam saja.
"Boleh tau apa yang kau doakan?"
"Rahasia."
"Ayolah!"
"Hanya doa sederhana. Agar Alice segera pulih, Ny. Anne dan anda kuat menghadapi segalanya.
"Permintaan sebesar itu kau anggap sederhana?"
"Buat Tuhan, itu mudah sekali."
Kevin tertegun kembali. Lalu ia berkata, "ayo, kuantar pulang!"
Tia menimbang-nimbang. Di apartemen dia juga sendiri. Tidak ada salahnya berempati atas musibah seorang teman. "Tidak apa-apa, Mr. McFadden, saya di sini saja. Beberapa jam lagi sudah pagi, saya akan naik grab."

Langkah Kevin tertahan, ia melihat gadis itu sedang berjalan menghampiri Ibunya, mengajak bercakap-cakap.
Alice akhirnya sadar dan melewati masa kritis. Ny. Anne menangis dan memeluk Tia dengan hangat. Kevin tersenyum lega, ia merangkul Ibunya, dan tanpa dapat dicegah ia memeluk Tia.

"Oh, aku senang sekali!" ia berseru.
Tia memejamkan mata, menciutkan diri sebisanya. Ia tidak dapat menghindar, pasrah dalam pelukan Kevin.
"Jangan sampai Kak Ryan melihat ini," pikirnya resah.

Ny. Anne meminta Kevin mengantarkan Tia pulang, karena Alice sudah siuman. Tia mengatakan akan naik grab saja, tapi Ny. Anne menolak keras.

"Oh, tidak! Jangan sampai itu terjadi! Kau tidak tidur semalaman demi menemani kami di sini dan sekarang kau mau pulang sendiri?" Ia menoleh pada Kevin. "Kevin, antarkan Tia pulang, sampai di depan pintunya!"
Kevin mengangguk.

Langit sudah mulai terang saat mereka melangkah keluar rumah sakit. Beberapa pelari pagi melintas menyeberangi jalan. Keanu menyetir dalam kecepatan amat rendah sambil kepalanya terjulur melihat-lihat.

"Apa yang anda cari?"
"Seingatku di daerah sini ada cafe sarapan pagi. Rotinya enak. Aku teramat-sangat-lapar-sekali. Sebenarnya dari tadi malam. Nah, itu dia," mereka menepi, "sebentar ya."

Dari dalam mobil, Tia melihat pria bertubuh jangkung itu berjalan cepat ke depan cafe. Langkahnya berhenti di depan pintu, tertegun menatap, lalu menoleh ke arah Tia dan memberi jempol terbalik.

"Baru buka pukul tujuh. Sekarang masih pukul enam," katanya lesu.
"Satu jam lagi."
"Setengah jam lagi mungkin aku sudah di surga."

Tia maklum. Berjaga sepanjang malam membutuhkan energi yang tidak sedikit. Dia sendiri juga lapar dan mengantuk.

"Hari ini aku harus ke studio pukul sepuluh," kata Tia, tiba-tiba teringat mobilnya yang ketinggalan.
"Aku akan minta seorang kru menjemputmu nanti."

Mereka tiba di apartemen Tia, apartement yang baru sebulan ini diberikan Adrian untuknya.
"Terimakasih, Tia. Kau pasti lelah. Istirahatlah."
"Aku akan sarapan dulu," ucap Tia spontan. Tiba-tiba ia sadar Kevin juga sedang lapar, dan Ny. Anne pastinya juga demikian.
"Anda mau segelas kopi? Juga sepotong sandwich?"
Kevin menimbang sejenak, lalu berkata, "Kau menawarkan bantal pada orang yang sedang mengantuk, Nona! Baiklah, dengan senang hati."

Kevin mengikuti Tia sambil melihat-lihat. Apartemen ini tidak terlalu besar, tapi sungguh indah dan nyaman. Ditata dengan selera yang anggun. Anggun, seperti pemiliknya.

"Wah, dapurmu besar dan lengkap," Kevin kagum, segera teringat dapur Ibunya.
"Aku suka masak dan bereksperimen dengan resep," Tia membuka jendela, membiarkan udara pagi memenuhi dapur. Ia membuka sepatu dan blazer, lalu menjempit rambutnya sembarangan, mengenakan celemek dan mulai bekerja.

Kevin memperhatikannya, seketika merasa tertarik. Ia menikmati pemandangan indah, berupa seorang gadis model yang setiap menitnya nampak semakin cantik, dengan cekatan mendidihkan kopi dan membuat sarapan.
Aroma kopi memenuhi dapur, membuat Kevin semakin lapar.

Tia membuat sandwich banyak sekali. Ia menghidangkannya di depan Kevin.
"Kau tidak berdiet?" Kevin terheran-heran.
"Hanya mengatur kalori dengan seimbang. Saya tidak mau kelaparan hanya demi desainer-desainer itu."
Kembali Kevin dibuat terpukau. Gadis ini benar-benar menarik, baik dan cantik!
"Kopimu luar biasa. Boleh minta tambahan satu gelas lagi?"
"Ini kopi Gayo, dari Aceh. Salah satu negeri di Tanah Airku."
"Kupikir kopi Brazil sudah luar biasa, ternyata ada yang lebih nikmat."
"Saya punya banyak kalau anda mau."
"Tentu aku mau!" Kevin antusias sekali.

Kevin melihat Tia memasukkan sandwich-sandwich itu ke dalam kotak makanan, lalu menuang kopi ke dalam sebuah termos kecil. Tak lupa, ia menyertakan gelas-gelas kecil. Ia memasukkan ke tiga benda itu ke dalam sebuah tas kecil dan menyerahkannya pada Kevin.

"Ini, bawalah ke rumah sakit."
Kevin menerima dengan ragu-ragu.
"Terima saja, Mr. McFadden. Sampaikan salam saya pada Ny. Anne, juga Alice."

Di dalam mobil, Kevin menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Senyumnya lebar melirik bungkusan sandwich di kursi penumpang. Dia tidak mengerti mengapa hatinya begitu senang hanya karena beberapa porsi sandwich dan setermos kopi.

"Kopi gayo, sandwich." Ia menepuk-nepuk tas kecil itu.

==========

*MAMA OH MAMA*

Dua bulan sebelumnya ...

Tia sedang bicara dengan Adrian di telepon.
"Kak, aku mendapatkan peran itu!" suara Tia riang.
"Peran apa?"
"Peran kemaren! Main film!"
"Bukannya sudah gagal?"
"Entahlah. Aku juga tidak mengerti. Tadinya aku sudah tidak berharap, tiba-tiba saja Audrey memberi kabar aku diterima. Mungkin sudah rezeki, Kak."
Senyum lenyap dari bibir Adrian. Tapi meski tidak suka, ia tetap mengucapkan selamat pada Tia.

Tia larut semakin dalam di Hollywood, pikir Adrian kelu. Itu bukan sesuatu yang baik. Tapi bukan salah Tia. Itu salahku, salah Mama.

"Kak, aku kangen."
"Sayang, aku juga. Sabar sebentar ya, secepatnya aku ke sana."

Tia dan suaranya yang lembut itu senantiasa bermain di telinga Adrian, mengacaukan kosentrasi dalam bekerja. Malam hari tatkala memejamkan mata, gadis itu lalu lalang dibenaknya.
Akhirnya Adrian meminta Fera menjadwal ulang beberapa rapat dan janji temu, karena dirinya ingin ke LA menemui Tia.
Melepaskan rindu yang semakin hari semakin membuatnya gila. Meski sesampainya di sana hanya duduk ngobrol, makan bersama, nonton, berangkulan, sesekali bersentuhan bibir, lalu pulang ke Jakarta.

"Pacaran berat diongkos," demikian keluhan Tia sepanjang waktu.

Bukan hanya Tia, Adrian pun sudah bosan menjalani hubungan seperti ini. Ia ingin menikah, berkeluarga dan berketurunan.
Pencapaian bisnisnya luar biasa, lonjakan karier Tia juga demikian, mereka berdua sudah sangat sukses. Tetapi seperti yang dulu pernah dikatakan Tia, 'apa artinya mahkota?', Adrian juga merasakan hal serupa. Apa artinya memiliki banyak harta, tapi batin tersiksa?

Sementara keadaan semakin kacau tak terkendali. Hubungannya dengan Mama rusak parah. Mama senantiasa berwajah masam ketika Adrian pamit hendak ke LA. Tetap bermuram durja ketika Adrian kembali dari sana. Bahkan menolak diantar Adrian untuk kontrol ke dokter.
Jika ia pulang terlambat dari kantor, ia akan ke kamar Mama untuk menjenguknya, memastikan Mama baik-baik saja, atau sekedar melihat wajahnya, tapi Mama pura-pura tidur.

Merindukan Tia, merisaukan keberadaannya di Hollywood, merindukan restu dan hubungan harmonis dengan Mama seperti dulu, semua ini benar-benar membuat Adrian stress.
Ia kesepian dan tertekan.

"Ada apa denganmu, Adrian!! Kau kalah terus belakangan ini!" Daniel menegurnya. Mereka sudah mencoba dua putaran, dan Adrian tertinggal jauh di belakang.

Adrian meletakkan helm balap dengan jengkel. Ia menghempaskan diri di kursi, meraih botol air mineral dan menenggaknya dengan sikap tak peduli.

Daniel terus mengamati sahabatnya.
"Aku dengar kau pacaran dengan model itu," kata Daniel.
"Sudah hampir sepuluh tahun," pandang Adrian jauh menerawang.
"Wah! Luar biasa!" Daniel berdecak. Pantas saja Adrian tidak pernah meladeni Nadine, adiknya. "Kau hebat bisa menjalaninya sekian lama. Lalu, kapan kau akan membawanya ke pelaminan?"
"Entahlah."
"Karena Tante Diana?"
"Mama tidak bisa menerimanya. Aku tidak tau lagi harus bagaimana."
"Mudah saja! Menikahlah, lalu miliki anak segera. Banyak orang tua yang akhirnya menerima menantu mereka setelah lahirnya cucu. Asal kau bahagia, Tante Diana pasti akan merestui."

Ide itu terpikir hingga berhari-hari kemudian. Adrian mengatakannya pada Tia dalam percakapan harian mereka di telepon.

"Meski restu Ibu sangat penting, tapi aku bosan kita seperti ini terus. Kadang terpikir olehku untuk nekat menikah saja. Nanti kalau sudah punya anak baru bawa ke depan Mama."
"Aku juga bosan, Kak. Pernah juga kepikir sama."
"Jadi kamu setuju?"
"Kak, ada sesuatu yang belum kukatakan pada Kakak. Kakak perlu tau," suara Tia terdengar ragu.
"Apa? Katakan saja."
"Dalam salah satu butir kesepakatanku dengan Amor adalah, aku tidak boleh menikah selama menjadi modelnya. Itu berlaku selama tiga tahun."
"Apa??"

Kabar itu benar-benar mengejutkan Adrian! Dia mengetok meja berkali-kali. Bagaimana bisa Tia menandatangani perjanjian demikian!

"Artinya, kita harus menunggu dua tahunan lagi?" suara Adrian meninggi.
Tia takut-takut menjawab, "iya, Kak."
"Bagaimana bisa kau sekonyol ini, Tia! Mau-maunya menandatangani kontrak seperti itu! Kau lebih suka kita pacaran terus?"

Dada Tia berdebar takut. Adrian belum pernah marah sebelumnya.
"Kak, waktu itu kita sedang putus."
"Itulah kalau kau terlalu menurutkan perasaan! Bertengkar sedikit langsung mikirnya putus! Kapan aku setuju putus denganmu sampai kamu berani ambil keputusan sejauh itu?"

Adrian geram sekali. Tidak Mama, tidak Tia! Dasar perempuan, selalu saja berpikir menggunakan perasaan!
Di kamarnya, Tia menangis setelah dimarahi Adrian. Dia tidak berkata apa-apa lagi sampai telepon ditutup.
***

"Kamera, action!"

Tia duduk di kursi, sedang menerima kabar duka dari suara di telepon. Ayahnya, sang calon Presiden, tertembak. Sedangkan Kekasihnya juga terluka parah dalam upaya melindungi calon Kepala Negara. Tia menangis tersedu-sedu, bahunya berguncang. Ia berlari ke ranjang, menumpahkan tangis berikut semua penyesalan. Di luar set, puluhan pasang mata memperhatikan dengan seksama.

"Cut!"
Proses pengambilan gambar berlangsung sukses. Sutradara puas. Mengacungkan jempol.
"Bagus Tia! Bagus sekali!"

Tia mengusap air mata. Ia bukan sedang berakting, tapi benar-benar menangis karena bertengkar dengan Adrian.
Gara-gara Ny. Diana, dia jadi seteledor ini. Adrian juga sama egoisnya, tidak memikirkan posisi Tia waktu mengambil keputusan itu.

"Kau pengkhianat! Kau sudah berada di sisi Papa sejak awal, bagaimana bisa kau mengkhianati dia!" Tia menodongkan pistol pada Kevin, setengah membayangkan menodongkan pistol itu pada Adrian yang pemarah dan Ibunya yang sombong itu. "Kau hanya pura-pura tertembak saat melindungi Papaku!"
"Kau salah paham, Anastasia! Dengar dulu!" Kevin mencoba memberi pengertian. "Ayahmu masih hidup, kami hanya berpura-pura tewas demi melengahkan mereka. Setelah mereka pikir kami tewas, mereka pergi. Sekarang ayahmu bersembunyi di bunker."
"Cut!!"

Proses pengambilan gambar itu dianggap sukses. Sutradara puas, melenggang meninggalkan lokasi tanpa marah-marah seperti biasa.

"Artismu berbakat, Audrey," puji Kevin. "Dia lumayan."
"Audrey Smith hanya menangani yang terbaik," Audrey jumawa.
Tia Ariana mendekat pada mereka.
"Selamat, Tia. Kau hebat hari ini."
"Terima kasih, Mr. McFadden. Anda juga."

Malam harinya, sambil berbaring di ranjang, Tia mengenang aktingnya tadi siang. Bibirnya tersenyum, mengingat aksinya menodongkan pistol sambil membayangkan Adrian dan Ibunya sebagai sasaran tembak.

Sudah seminggu dirinya dengan Adrian tidak bicara. Tia tidak berani menelpon duluan, kuatir disembur lagi. Adrian tidak pernah marah, selalu bersikap lembut pada Tia. Sekarang untuk pertama kalinya dia marah. Dia kalau marah menyeramkan juga. Diam-diam Tia mengakui dirinya juga bersalah karena terlalu gegabah.
Dia menggenggam ponsel, maju mundur antara keinginan menelpon Adrian atau tidak.

Telepon.
Jangan!
Telepon saja!
Jangan!! Mereka yang salah, kok!
Ayo, Tia, minta maaf saja tidak perlu gengsi-gengsian!
Tidak akan!!

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Tia melihat layar, Kak Ryan!
"Kakak," Tia buru-buru mengangkat.
"Tia."

Suara Adrian kaku dan dingin. Tia menggigit bibir, menggenggam ponsel semakin erat di pipi.
"Kak, aku ...,"
"Kamu kenapa?"
"Aku ..., kangen! Maafkan aku," kata Tia cepat.
"Tia," suara Adrian gundah berbeban, "sudahlah. Sudah terjadi."
 "Aku yang salah, Kak. Terlalu rapuh waktu itu."
"Sekarang juga kau masih sama! Berhari-hari aku menunggu teleponmu."
"Aku takut Kakak marah lagi. Kakak sendiri, mengapa baru telfon sekarang?"
"Sejujurnya, aku kecewa padamu. Tia, bagaimana bisa kau percaya aku akan menikahi gadis lain? Kau pikir aku main-main denganmu?"
"Entahlah, aku sangat terpukul waktu itu."
"Bersabarlah sedikit menghadapi keadaan ini, Tia. Seandainya keadaan sangat buruk sekalipun, jangan pernah berpikir untuk menyerah dan berpisah lalu pergi dariku, karena kau pun tidak akan bahagia tanpaku," kata Adrian.

Airmata Tia merembes.
"Kak, bagaimana kalau kita menikah siri saja dulu? Hanya antara kita berdua, seorang penghulu dan dua saksi?"
Hati Adrian tersentuh. Kejengkelannya pada Tia menguap.
"Sayang, bukankah kau yang bilang doa restu Mama sangat penting? Dan menikah siri tidak ada dalam kamusku. Kau bukan simpanan, bukan pula perebut suami orang. Mengapa aku harus menikahimu secara siri?"
Mereka berdua betul-betul buntu.
"Sayang, beri aku waktu. Aku sedang berusaha."
"Kak, yang penting jangan marah-marah lagi. Aku tidak tahan."
"Baiklah. Maafkan aku kemaren, ya," suaranya melembut, "Ngomong-ngomong, bagaimana syutingnya?"
"Tadi aku akting menembak. Dan Kakak tau siapa yang kubayangkan untuk kutembak?"
"Jangan bilang kau membayangkanku."
"Memang Kakak, siapa lagi!"
Adrian tergelak.
Tiba-tiba hatinya yang gundah beberapa hari terakhir menjadi lapang.
"I love you, Tia! I love you, Sayangku! Tunggu ya, aku akan datang."
***

Tanpa mengindahkan keberatan Ibunya, Adrian terbang ke Los Angeles. Sudah tiga bulan lebih mereka berpisah, sejak Adrian mengantarkan Tia pulang dari Bern waktu pernikahan Sarah. Rindunya pada gadis lemah lembut dan manja itu bergelora. Rasanya benar-benar tidak sabar untuk bertemu.

"Kakak!" Tia melompat memeluk saat melihat Adrian di depan pintu. Ia membawa Adrian masuk dan mereka duduk di sofa.
"Ini apa?"Adrian menyentuh kantung kehitaman di bawah mata Tia. "Kamu kurang tidur, ya?"
"Agak sedikit sibuk, Kak. Kak, aku siapkan makanan dulu. Tidak lama, kok. Sudah ada semua di kulkas, tinggal mengolah saja."
"Nanti saja, kita ngobrol dulu. Kemarilah," Adrian menarik Tia duduk di sampingnya. Dia mengeluarkan ponsel lalu menunjukkan sesuatu pada Tia. "Ini, kamu suka?"
"Apartemen?" dahi Tia berkerut. "Kakak mau beli apartemen?"
"Bukan untukku, Tia. Untukmu."
"Ini cukup buatku, Kak."
"Tapi tidak cukup untuk kita berdua. Masa aku harus tidur di sofa terus tiap datang. Kecuali kau mengizinkanku tidur bersamamu."
Tia tersenyum malu. "Nanti, kalau sudah menikah!"
"Kita menikah masih lama. Gara-gara kamu salah teken kontrak."
"Kakak masih kesal soal itu?"
"Entahlah." Adrian nelangsa. Ia memeluk Tia dari belakang, merebahkan kepalanya di bahu gadis itu. "Sebenarnya bukan hanya itu, karena persoalan utamanya ada di Mama."

Hati Tia pilu setiap mengingat Ny. Diana. Menjalani hubungan yang tidak direstui itu sangat menyakitkan. Tia menyadari mustahil baginya untuk memenuhi harapan wanita itu. Dirinya tidak bisa memilih dari orangtua mana dia dilahirkan, dalam keluarga kaya atau miskin melarat, lahir di LA atau di Malam Kolam. Memiliki wajah seperti ini atau wajah umum seperti teman-temannya. Dia tidak memilih, sebagaimana orang lain juga tidak bisa memilih. Dia telah dipilihkan oleh Yang Maha Kuasa. Sebagai hamba, manusia hanya menjalani saja.

Lalu, karena takdir yang tidak mungkin diubah itu, apakah dirinya dan Adrian selamanya tidak akan bersatu?

Setetes air jatuh membasahi punggung tangan Adrian.
"Sayang, kenapa nangis?" ia membalik Tia menghadap padanya.
"Kak, aku tidak akan pernah bisa memenuhi harapan Ny. Diana." Airmata Tia bertambah deras.
"Jangan panggil Nyonya. Panggillah Mama."
"Dia tidak menerimaku, Kak."
"Tapi aku menerimamu, Tia! Hanya kau yang kuinginkan menjadi istriku. Meski aku belum bisa menikahimu, tapi aku tidak pernah berhenti berupaya."
"Sampai kapan, Kak?"
"Kita masih punya waktu, Sayang. Mudah-mudahan saat nanti kontrakmu dengan Amor berakhir, Mama sudah merestui kita."

Adrian mencium Tia, kemudian berkata, "Kita akan memiliki anak yang banyak. Laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki mewarisi wajahmu, yang perempuan juga mewarisi wajahmu."
"Lho, kok aku semua?"
"Karena kau idolaku, jadi aku berharap anak-anakku kelak semua mirip kamu."

Tangis Tia bercampur senyum. Ia semakin terisak karena ucapan Adrian sangat menyentuh hati, tapi kalimat itu juga terdengar lucu dan menyenangkan.

"Sudah, jangan menangis! Sekarang bersiap-siaplah, kita lihat apartemennya."
"Lho, memangnya sudah fix mau beli yang mana?"
"Sudah bayar, malah! Kamu tinggal pindah saja."
"Terus apartemen ini? Apa dijual?"
"Sebaiknya jangan, kecuali kamu butuh uang. Nilai investasi di sini baik sekali."
"Kak, aku tidak enak pada Nyonya Diana. Maksudku, Mama."
"Takut dianggap morotin lagi?"
Tia mengangguk.
"Sayang, pembenci akan selalu membenci, sebaik apapun dirimu! Jadi jangan pikirkan itu! Sekali lagi kutegaskan, aku tidak pernah menggunakan uang perusahaan satu rupiah pun untuk menghidupimu. Tidak pernah! Sebagai CEO, gaji dan bonusku lumayan. Penghasilan terbesarku justru dari saham di Heinzh Holding. Sebagian besar saham Papa juga jadi milikku, sebagian ke Mama. Jadi kau jangan kuatir lagi." Adrian menjentik hidung Tia.
"Kakak baik sekali."
"Kan, nangis lagi!"
"Habisnya aku terharu. Aku harus balas pakai apa?"
"Tia," Adrian menahan dagu Tia dengan ujung jari telunjuknya, menatap ke dalam mata coklat gadis itu, "setialah padaku, hanya itu!"
***

Minggu ini akan menjadi minggu terakhir syuting debut film Tia. Ia sudah menyelesaikan dua bulan yang berat, karena sebenarnya berakting merupakan sesuatu yang tidak mudah bagi artis tidak berbakat seperti dirinya. Tapi herannya, mereka bilang aktingnya baik. Entahlah, itu semua tidak terlalu penting. Lebih penting menyelesaikan syuting, lalu mengikuti promo ke beberapa negara dan semua ini berakhir.
Ia akan jadi model saja. Atau menjadi Ibu rumah tangga yang bekerja ---jika Kak Ryan mengizinkan--- saat sudah menikah kelak.
Tia membayangkan Adrian sebagai seorang suami.

"Kak Ryan sangat baik dan bertanggungjawab. Cuma kadang-kadang dia suka cemburu. Belakangan juga ketahuan bahwa dia bisa marah juga. Baiklah, karena dia sangat tegas, aku tidak usah melakukan apapun yang memancing kemarahan dan kecemburuannya. Lebih baik cari aman saja. Beres!" pikir Tia.

"Tia, skenariomu!" Hannah mengantarkan skenario Tia. "Baca dulu."
"Aku sudah tes di rumah."
"Baca ulang saja. Satu jam lagi kita syuting."

Sambil duduk di sofa empuk di sisi jendela lokasi syuting, Tia membaca skenarionya. Isinya lebih banyak dari pada script yang tempo hari diberikan padanya.

Kening Tia berkerut. Mengapa ada adegan ciuman segala?
"Hannah, ini apa?" Tia menyodorkan skenarionya. "Kenapa ada adegan cium di sini?"
"Tentu saja ada adegan berciuman, memangnya ada apa?" Hannah balik bertanya.

Tia menolak melakoninya. Semua orang marah-marah, tapi Tia tidak peduli. Kemarahan Adrian lah yang dia khawatirkan. Belum lagi malu yang dia tanggung karena melakukan hal begitu. Tidak terbayangkan dirinya berciuman dengan laki-laki selain Adrian. Bibir akan bertemu, air ludah akan menempel! Menjijikkan! Bulu kuduk Tia meremang.

Tapi akhirnya Tia terpaksa juga melakukannya. Berkali-kali adegan itu diulang. Beratus, beribu, berjuta kali! Tia menggigil.
Ia merasakan dekapan Kevin McFadden pada punggung dan sentuhan pada lehernya, lalu bibir pria itu yang mendarat dibibirnya. Tia mencoba membayangkan Adrian, tapi dia gagal. Pria ini bukan Adrian! Berapa kali dicoba pun hasilnya tetap sama.

Adrian menciumnya setelah enam tahun saling mengenal, saat hati dan perasaan mereka benar-benar sudah menyatu, dan tidak ada orang lain selain mereka berdua. Di suatu sore yang romantis di apartemen mereka di Jakarta.
Sekarang dia dipaksa merelakan bibirnya yang berharga ini dinikmati laki-laki asing, akan jadi tontonan jutaan pasang mata di dunia! Menyedihkan!

Bagaimana kalau sampai dilihat Kak Ryan? Sudah pasti Kak Ryan akan menjadi yang pertama menontonnya! Bisa-bisa dia akan berpikir Tia sudah berbohong.
Belum lagi kalau Ny. Diana juga ikut menonton! Padahal tadinya Tia sangat berharap Ny. Diana akan menonton film ini, supaya dia tau, meski tidak darah biru, tidak darah bule, meski dari pelosok, meski dulu melarat, sekarang Tia Ariana sudah sukses! Tapi lihat sekarang, apa yang terjadi!
Mungkin Ny. Diana akan berkata seperti ini pada putranya, "lihat perempuan ini! Melakukan segalanya demi uang, bahkan mau melakukan adegan begitu!"

Lalu Adrian akan terpengaruh, perlahan membenarkan Ibunya. Ah, menakutkan!

Beruntung Kevin McFadden sangat bijaksana. Dia tidak memaksa Tia membalas ciumannya, sementara Tia terpaksa pasrah saja Kevin berlama-lama memesrai bibirnya. Oh Kak Ryan ...
Tia sangat menderita. Sekarang ia tobat main film!
***

Beberapa kejadian setelah itu mendekatkan Tia dengan Kevin. Tanpa direncanakan, Tia menemani aktor itu menjaga adiknya yang mengalami kecelakaan. Peristiwa itu membuka pintu perkenalan antara Tia dengan Ibu Ny. Anne dan Alice.
Tia tidak pernah menyangka, bencana sedang menghampirinya.

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER