Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 16 Mei 2021

Binar Jingga Mentari Senja #10

Cerita Bersambung
*PENYESALAN NY. DIANA*
Di dalam pesawat yang membawanya kembali ke Tanah Air, Adrian terus memikirkan pertemuan tak disengaja dengan Tia. Kekagetan di mata gadis itu, kerinduan, kesedihan, pengharapan, permohonan maaf. Juga sentakan emosi tertahan.

Satu tahun enam bulan empat belas hari. Tia telah menghitungnya setiap hari.
Apa yang sebenarnya telah terjadi? Nyata Tia masih mencintainya. Perasaan gadis itu tidak berubah, meskipun sekarang dia menjalin hubungan dengan aktor itu.

Sekarang Tia jauh lebih cantik dan berisi. Dia nampak bahagia berdampingan dengan Kevin. Meski menyakitkan, setidaknya Adrian lega aktor itu sudah menjaga Tia dengan baik. Tia menjalani hidup dengan normal meski tanpa Adrian. Jangan seperti dirinya yang melarikan kekecewaan ke dalam tumpukan pekerjaan. Seperti kata Daniel dulu, Adrian telah berhenti menjadi manusia.

Selain pada pekerjaan, Adrian melarikan dirinya ke sirkuit balap. Dia membutuhkan pelampiasan.

"Kau betul-betul membingungkan! Tahun lalu kau kalah melulu. Tahun ini, kau tidak memberiku peluang satu kalipun untuk menang!"
"Aku hanya sedang beruntung saja." Adrian meraih botol air mineral, lalu duduk di samping Daniel.

Diam-diam, Daniel mengamati Adrian.
"Ryan, apa yang terjadi?" Daniel penuh simpati.
"Apa yang terjadi? Tidak ada apa-apa!"

Mereka sudah bersahabat sejak lahir. Bahkan sejak masih sama-sama di dalam kandungan. Adrian, Daniel dan Tommy Heinzh adalah tiga sahabat, terutama di lintasan balap dan  trek kuda. Daniel mengenal benar karakter Adrian. Dia tertutup, tidak pernah menunjukkan sisi hatinya. Meski demikian Daniel mengenalnya dengan baik. Pencapaian demi pencapaian bisnis Adrian beberapa tahun belakangan ini hanyalah akibat dari bongkahan kemarahan yang tak terlampiaskan.

Daniel mengerti, Adrian sedang marah. Dia mencintai gadis itu, menjalin hubungan serius dengannya selama sepuluh tahun, tapi tidak ada seorangpun yang mengetahui. Semua orang justru memuja-muja hubungan Tia Ariana dengan Kevin McFadden sang superstar. Berita mereka berdua terus dimuat di berbagai media. Seolah Adrian hanya kekasih simpanan. Miris sekali.

"Ayo, beberapa putaran lagi!" Adrian berdiri dan meraih helmnya.
Daniel geleng-geleng tak percaya.
"Dasar stress!" umpatnya diam-diam, seraya mengekor Adrian dari belakang.

Beberapa bulan yang lalu Tommy menelpon Adrian. Dalam obrolan ringan dengan sepupunya itu, Tommy iseng menanyakan kapan Adrian akan mengirimkan undangan.

"Kami sudah putus, Tom."
Tommy mengerutkan dahi. Putus? Bagaimana bisa?

Di Bern, Sarah terburu-buru menunjukkan halaman depan sebuah koran harian ke depan Tommy. Sebuah berita yang memancing kehebohan. "Kevin McFadden mencium Tia Ariana di tengah pesta Keluarga Kenyon".

Alex Kenyon adalah konglomerat pemilik Kenyon Group, perusahaan ritel terbesar di AS. Tiap tahun, pesta yang diselenggarakannya menjadi salah satu pesta yang paling  ditunggu-tunggu dan menyita perhatian. Semua orang penasaran, tahun ini siapa orang-orang hebat yang diundang Alex Kenyon. Setiap tahun, dia hanya menyebar seratus undangan. Hanya mereka yang terbaik dibidangnya yang berkesempatan hadir di pesta mewah itu. Selebritis, olahragawan, politikus, pengacara dan pengusaha. Para undangan datang berpasangan, dan satu dua wartawan beruntung dari media terpilih akan diperkenankan masuk.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Kevin McFadden adalah satu dari sedikit selebriti yang diundang. Bisa dibilang, Kevin adalah undangan tetap, walau sudah beberapa kali dia absen. Tahun ini, Kevin menggandeng kekasihnya, sang supermodel itu.Tapi pesta mewah akhir tahun yang diselenggarakan Alex Kenyon  kali ini justru tertelan berita sensasi yang diakibatkan perbuatan Kevin. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja aktor tampan itu mencium kekasihnya sang model jelita Tia Ariana di depan orang banyak. Gadis bergaun merah menyala itu nampak malu-malu, sedangkan Kevin santai saja, tidak peduli kilatan blitz menerpa mereka. Wartawan kehilangan fokus, tidak lagi tertarik meliput Keluarga Kenyon sebagai sasaran utama. Mereka memburu Kevin yang melenggang bersama Tia Ariana ke dalam mobil mewah yang sudah menunggu. Wajah aktor tampan itu begitu cerah, menggandeng kekasihnya penuh percaya diri, sedangkan Tia Ariana lebih banyak menunduk.

Dalam hitungan menit, kejadian itu naik media. Pers berpesta pora. Ini baru berita! Kevin McFadden belum pernah bicara soal wanita, apalagi sampai memproklamirkannya pada dunia! Ia sengaja menggunakan moment ini untuk menunjukkan pada semua orang tentang hubungannya dengan Tia Ariana.

"Apa yang terjadi? Mengapa bisa begini?" Sarah menatap koran itu dengan prihatin. Ia ingin menelpon Adrian, namun Tommy mencegahnya.
"Jangan, beri dia waktu!"

Semua berita itu sampai juga ke depan Adrian. Dia tidak mencari tau, tapi nyaris semua majalah dan koran di Tanah Air selalu menyelipkan kisah Tia Ariana dalam salah satu halamannya. Bagi masyarakat negeri ini, Tia Ariana dianggap salah satu inspirasi terbesar. From zero to hero. Cantik, cerdas, berprestasi, dan sekarang menjalin hubungan dengan aktor nomor satu. Gadis impian.

Adrian mengenang gadis muda polos yang ia bawa dari pedalaman Malam Kolam sebelas tahun silam. Tidak seorangpun pernah menduga gadis desa itu berhasil meraih puncak dunia seperti sekarang. Sebuah perjalanan panjang, yang akhirnya mengubah prinsip-prinsip hidupnya.
***

Hari ini usia Tia dua puluh lima tahun. Ia sudah menjelma menjadi model yang paling mahal dan terkenal. Wajahnya muncul paling banyak di berbagai sampul majalah. Tia model tetap rumah mode Alexxe, favorit banyak designer ternama, model ekslusif kosmetik Amor, di mana Tia memperpanjang kontraknya tiga tahun ke depan, juga yang terbaru sukses menjadi model iklan jam tangan prestisius, Crown.

"Dapatkan produk-produk ekslusif untukku, Audrey, dan aku akan memberimu lebih banyak," kata Tia pada Audrey Smith.

Pundi-pundi keuangannya membengkak, dan Tia menyimpan semuanya. Suatu hari nanti, saat ia sudah tidak laku lagi, ia akan membuka bisnisnya sendiri. Mungkin restoran. Sesuai passionnya yang gemar memasak.

Hubungan Tia dengan Kevin terus menerus diperbincangkan. Mereka acap tampil bersama, dan tidak pernah menutupi apa-apa. Kevin sendiri jarang datang, karena jadwal syutingnya pun padat. Belakangan seiring kesibukan Tia yang menggila, Kevin hanya mengambil maksimal dua judul film dalam satu tahun, demi memiliki waktu pribadi bersama Tia dan keluarganya.

"Aku sendiri tidak tau pasti berapa banyak uangku, Tia. Jadi untuk apa terlalu mengejarnya. Lebih baik aku mengejarmu."
Tapi Tia sedang mengejar uang, meski tidak membabi buta. Karena ia hanya mengumpulkan modal.
"Lima tahun dari sekarang aku akan mendirikan restoran, Kev. Ariana Resto. Aku akan membuka cabang di banyak kota. Bagaimana menurutmu? Hebat, bukan?"
"Luar biasa! Aku setuju. Aku akan mengantri membeli di restoranmu."
"Tidak, kau tidak perlu antri. Karena kau istimewa."

Tia menyayangi Kevin. Dia adalah orang yang paling ikhlas yang pernah hadir dalam hidupnya. Meski menyadari Tia tidak mencintainya, dia tidak berkecil hati. Tetap setia mendampingi Tia, selalu ada untuknya, menjadi pendengar yang baik, menjadi pelindung nomor satu. Tidak ada yang berani macam-macam dengannya, karena Tia adalah kekasih Kevin McFadden, sang superstar. Gadis mahal, begitu mereka menyebutnya.

"Kau melakukan semua untukku Kev. Kau baik sekali." Tia terharu.
"Asal kau bahagia, Tia."
***

Ny. Anne adalah orang yang paling bahagia dengan hubungan Kevin dengan Tia. Ia tidak henti-hentinya bersyukur dan berdoa, semoga kali ini hubungan putranya langgeng dan bisa membina keluarga. Kevin anak yang baik, ia berhak untuk hidup bahagia.

Ia berharap hubungan ini berakhir di pernikahan, agar ia bisa memiliki cucu, karena Alice tidak mungkin hamil. Tia adalah gadis dengan pemikiran sederhana, sudah pasti tidak mau punya anak tanpa menikah. Bagi Ny. Anne, perbedaan keyakinan antara Kevin dengan Tia bukanlah persoalan, karena Tia cukup religius, sedangkan Kevin nyaris menjadi seorang atheis. Dengan bimbingan Tia, tidak sulit untuk membawa Kevin kembali.

Suatu hari, Ny. Anne membicarakan perihal ini pada Kevin.
"Tidakkah sebaiknya kalian menikah, Kev? Membina keluarga?"

Kevin diam saja, mendengarkan Ibunya terus bicara. Hal ini bukan tidak pernah terpikir olehnya. Dalam usia tiga puluh tujuh tahun, ia mendambakan ketenangan hidup berkeluarga. Ia sudah sangat kaya dalam karier yang mapan. Uang sama sekali bukan persoalan.

Maka sekali lagi Kevin membicarakan perihal pernikahan pada Tia. Jawaban gadis itu persis seperti satu tahun sebelumnya.
"Untuk apa menikah, Kev? Begini pun kita sudah bahagia," jawab Tia, ringan dan datar.
Sikap Tia sudah diduga. Benar mereka bahagia, tapi tidak sempurna. Dulu, berada didekat Tia sudah cukup baginya. Tapi setelah sekian lama bersama, semua ini tidak cukup lagi. Ia menginginkan semuanya.
***

Munchen.

Ini sudah yang kesekian kali Adrian menginjakkan kaki di kota ini demi membawa Ibunya berobat. Mama semakin lemah karena jantungnya, juga penyakit lambung parah yang diidap Mama. Pengobatannya semakin sulit dari hari ke hari, namun Adrian tidak ingin menyerah begitu saja. Meski hampir mustahil membuat Mama sembuh seperti sedia kala, namun setidaknya bisa bertahan.

"Mama lelah di pesawat, Yan," keluh Ny. Diana, berharap pengobatan di Indonesia saja.

Tidak kehilangan akal, Adrian mengubah interior jet pribadinya agar Ibunya bisa nyaman beristirahat selama mereka di udara.

Kota Munchen sejuk tapi sibuk. Kota ini adalah satu dari beberapa kota besar utama di Benua Eropa. Kotanya amat teratur dan tertib, dengan jalan-jalan mulus dan lebar.

Tiba-tiba tangan Ny. Diana menunjuk sesuatu pada kejauhan. Adrian mengikuti arah yang ditunjuk Ibunya. Seketika matanya menatap tak berkedip.

Papan iklan raksasa jam tangan mewah. Crown. Dengan wajah Tia sebagai modelnya. Tatapnya tajam, dengan mata coklat bening yang begitu indah. Sekejap, Adrian terpesona. Tapi cepat ia mengalihkan pandang.
Gerak-gerik Adrian tidak lepas dari pengamatan Ny. Diana. Namun ia tidak berkata apa-apa.

Pengobatan itu berjalan lebih lama dari perkiraan semula. Keadaan Ny. Diana tidak bertambah baik, namun alih-alih mengeluhkan dirinya, ia justru mengkuatirkan Adrian.

"Kamu kelihatan lelah, Yan. Jangan terlalu memaksakan diri,"
Ny. Diana mengingatkan Adrian.

Hati tua Ny. Diana gundah melihat sepak terjang putranya yang bagai tak pernah habis. Adrian sudah tiga puluh tahun lebih, namun tidak ada tanda-tanda akan menikah. Ia seperti mesin yang terus berproduksi, menghasilkan prestasi kerja yang luar biasa. Sebuah majalah bisnis terkemuka mengadakan polling, dan Adrian Heinzh berada di urutan teratas pengusaha muda Tanah Air yang paling sukses di bawah usia empat puluh tahun. Di tangannya perusahaan mereka menggurita. Belum lagi ide-ide prestisius yang telah ia canangkan untuk tahun-tahun ke depan. Ny. Diana mengagumi semangat dan ambisi putranya, namun nalurinya membisikkan, putranya sedang sakit.

Dimana perempuan itu sekarang? Adrian tidak pernah lagi bepergian ke Amerika atau Eropa, tempat ia biasa menemui perempuan itu.

Dulu, beberapa kali Ny. Diana melihat Adrian tersenyum saat menelpon, kadang lama sekali sambil berjalan mondar-mandir di sisi kolam renang, sebelah tangannya dimasukkan ke saku celana. Kadang menelpon di taman, sebelah tangannya memetik-metik anggrek, sesuatu yang mengundang kesal Ny. Diana karena anggrek mahalnya menjadi rusak. Atau senantiasa menggunakan headset saat masuk mobil agar bisa mengobrol sambil menyetir. Putranya bagai remaja yang jatuh cinta, kharisma diri yang terbungkus dalam jas mahal itu hilang berganti pemuda biasa kekanakan karena dimabuk asmara.

Kini, hampir dua tahun belakangan ini, semua itu tidak pernah terlihat lagi.
***

"Nadine akan bertunangan."
Adrian menoleh. Ibunya sedang bicara dengannya. Adrian menutup laptop.

"Siapa pria beruntung itu, Ma?"
"Orang Malaysia, pengusaha juga."
Adrian mengangguk-angguk. Itu kabar baik. Akhirnya Nadine menemukan pelabuhan hatinya.
"Yan, bagaimana denganmu?" tanya Ny. Diana hati-hati.

Adrian membuang pandang jauh ke halaman. Melompati jalan, melewati pekarangan seberang, semakin jauh, jauh, nun melintasi benua.

"Dimana gadis itu?"
Suara Mama belum pernah selunak ini saat bicara tentang Tia.
"Siapa yang Mama maksud?"
"Ratu cantik itu, Tia Ariana."

Setelah bertahun-tahun, akhirnya Mama menyebut nama itu. Nyata baginya, Mama sudah mengalah. Sayangnya, semua sudah terlambat.

"Bawalah dia ke sini. Mama merestui kalian."

Adrian menoleh pada Ibunya, memandang wajah tuanya yang cantik namun layu. Rasa sesal datang kembali, teringat dulu dirinya menentang Mama demi seorang perempuan bernama Tia.

Adrian meraih tangan Ibunya, lalu berkata dengan lembut, "hubungan kami sudah berakhir, Ma."

==========

*DI DALAM BALUTAN MUKENA*

Kevin dan Tia terus menghadiri satu dua pesta terpilih. Sederet award, selebrasi, pesta pernikahan, pesta akhir tahun. Kevin McFadden berada dalam daftar urut teratas pesohor yang paling dinantikan kehadirannya. Dia bukanlah penggila pesta, tapi setelah bersama Tia, Kevin acap menghadiri pesta-pesta itu, terutama pesta pernikahan, sesuatu yang dulu amat jarang dia lakukan.

Tia mengerti harapan Kevin tentang pernikahan. Tapi pernikahan adalah bab kehidupan yang sudah lama terhapus dari dalam rencana hidupnya.

"Ini," Kevin memasangkan sebuah cincin ke jari manis Tia.
"Apa ini, Kev?"
"Cincin."
"Benar, ini cincin. Tapi, ini cincin apa?"
Sepasang mata biru Kevin menatap Tia, hati-hati dia berujar,
"Cincin ini sangat indah, aku berharap bisa melamarmu dengan ini. Aku tau kau akan menolak, namun aku sangat berharap melihatmu memakainya."
"Maafkan aku, Kev. Tapi ini berlebihan! Kau sedang melamarku, bukan?"
"Tidak."
"Kevin, bukankah sudah kukatakan, jangan berharap banyak padaku, nanti kau kecewa!" Tia membuka cincinnya dan meletakkannya begitu saja. Ia melangkah ke dalam kamar.
"Tia, sebentar!" Kevin menjejari Tia, "Mengapa Tia, mengapa kau menjauh setiap kali aku melamarmu?"

Tia mendorong Kevin pelan, bermaksud menghindar, namun Kevin menahan pinggangnya. "Aku sangat menyayangimu, Tia. Hatiku menggelegak oleh kasih yang membara. Aku ingin memberikan segalanya padamu. Apakah itu salah?"
Tia bergeming. Wajahnya kaku memandang ke arah lain.
"Kau bukan perempuan-perempuan itu, perempuan yang bebas kusentuh kapan aku ingin! Aku mencintaimu, itu bedanya!" Ia menyentuh pipi Tia, "Sayang, menikahlah denganku, agar semua ini menjadi halal."

Demi mendengar kalimat terakhir itu, hati Tia bergetar. Dari mana Kevin mendapatkannya? Apa yang dia ketahui?
Tia menoleh, memandang ke wajah tampan yang memancarkan permohonan. Tangan Tia terulur, mengelus pipi Kevin dengan lembut, lalu meninggalkannya begitu saja.

Kevin duduk seorang diri selama berjam-jam, berpikir dan merenung. Tia tidak keluar kamar hingga hari mulai gelap, hingga akhirnya Kevin beranjak ke dapur. Bagaimanapun, Tia harus makan. Ia melihat Mrs. Sommerset, pembantu baru Tia, sedang mengeluarkan bahan makanan dari lemari pendingin.

"Biar saya saja," kata Kevin.

Ia memasak spageti untuk makan malam. Setelah selesai, ia ke kamar Tia untuk memanggilnya makan. Meski kembali dikecewakan, dirinya tidak ingin bertengkar. Ia mengetuk dan menunggu, namun Tia tidak membuka pintu. Kevin mengetuk lagi, menunggu, dan tetap sama. Akhirnya ia membuka pintu.

Di sudut kamar, ia melihat Tia sedang sujud dalam balutan kostum putih lebar dan panjang. Kevin tidak tau kostum apa itu namanya. Tia meletakkan kostum yang sama di kamar di rumah ibunya, hingga dia bisa menggunakannya kapan pun dia datang untuk menginap. Beberapa kali ke Turki dan Maroko, Kevin melihat kaum perempuan di sana menggunakan kostum yang sama setiap beribadah, kadang berbeda corak dan warnanya.

Ia pernah melihat Tia beberapa kali dalam kostum putih panjang tanpa model itu. Herannya, kostum itu memancarkan pesona lain dari dalam diri Tia, pesona yang tidak pernah ia lihat saat Tia mengenakan busana-busana mahal buatan para designer terkenal. Pesona yang juga tidak pernah terlihat pada diri perempuan-perempuan lain sebelum Tia. Tia terlihat bagai peri. Wajahnya sedikit lembab karena basah, polos tanpa makeup, tapi begitu sejuk menenangkan. Herannya, dalam balutan kostum itu, Tia menolak disentuh.

"Stop!" katanya suatu waktu, ketika melihat Kevin mendekat. Saat itu dia memakai kostum yang sama.
"Enam minggu aku tidak melihatmu, Tia! Apa memeluk saja tidak boleh?" Kevin mengangkat tangan, kebingungan menghadapi sikap Tia.
"Pokoknya stop! Tunggu disitu dan jangan kemana-mana!" dia masuk ke dalam kamar dan baru keluar setengah jam kemudian.
"Tadi aku beribadah, Kev," katanya kemudian.
"Ibadah? Perlukah semua itu, Tia?"
"Mutlak! Tanpa meyakini itu, mungkin aku sudah mati bunuh diri."
"Apa?" Kevin tertegun. "Bunuh diri?"
"Sudahlah! Ayo, katanya tadi mau peluk aku!" Tia merangkulnya hangat. "Enam minggu tidak bertemu, kau bawa cerita apa saja? Ayo, ceritakan padaku!"

Sejak itu, Kevin tidak berani mendekati Tia setiap dia memakai kostum itu. Dia akan menunggu sampai Tia selesai dan keluar dari kamar dengan poninya yang lembab.

Sekarang, Kevin melihat apa yang dilakukan Tia dalam kostum putih itu. Tia berdiri, lalu membungkuk, lalu berdiri lagi, lalu bersujud. Pelan, Kevin menutup pintu. Ia menunggu Tia di ruang duduk. Memikirkan apa yang baru saja dia lihat
Mereka makan malam bersama, hening tanpa bicara. Kevin melihat mata Tia merah bekas menangis. Ia pamit dan Tia mengantarnya ke depan pintu. Tak ada senyum hangat dan sapaan mesra seperti biasa. Kevin melangkah membawa kecewa.

Mengapa, Tia? Mengapa kau berubah menjadi asing setiap aku melamarmu? Kau menjauh seketika, menciptakan benteng yang tinggi dan kokoh untuk menghindariku. Aku harus berjuang sekeras mungkin untuk meraih senyummu kembali.
Tiara, kau tidak tau betapa sejati perasaan ini. Kau satu-satunya cinta dalam hidupku yang gersang. Aku tidak pernah jatuh cinta selain padamu. Itu sebabnya aku ingin menikahimu, agar kita bisa bersama selamanya. Aku ingin menjagamu, Tia. Seumur hidup ini! Membina keluarga, membagi suka dan duka, dengan anak-anak yang banyak di dalamnya. Aku mencintaimu, Tia. Sayang kau tidak mengerti.
***

Kejadian itu merenggangkan mereka.

Sudah seminggu lebih mereka tidak bertemu. Dalam masa itu, Kevin hanya menelfon satu kali, yang tidak terangkat oleh Tia. Ketika ia menyadari ada telepon dari Kevin, Tia menelpon kembali, namun ponsel pria itu tidak aktif.

Tia akan ke Milan untuk beberapa hari, dilanjutkan ke Paris, Roma dan New York. Sebuah perjalanan panjang berminggu-minggu. Tia ingin bertemu Kevin sebelum berangkat.
Ia menelfon Kevin, nomor pria itu masih tidak aktif. Tia menggigit bibir, merasa kecewa.

Satu hari sebelum berangkat, Tia mengirim pesan pada Kevin.
"Kev, aku akan ke Eropa selama dua minggu, bisa jadi lebih lama. Aku ingin bertemu denganmu."
Pesan itu baru dibaca setelah Tia berada di bandara. Kevin langsung menelpon Tia saat itu juga.
"Sayang, maaf, selama beberapa hari ini aku sibuk sekali, aku tidak memperhatikan ponsel sama sekali. Kau dimana sekarang?"
"Aku di bandara, Kev. Pesawatku setengah jam lagi."
"Ah!" suara itu terdengar kesal. "Aku pun ingin bertemu denganmu!"

Tia dapat merasakan haru yang membuncah. Kasih sayang dan perhatian Kevin luar biasa, dan kini saat hubungan mereka renggang, ia kehilangan.

"Tia, kau masih di situ?"
"Ya, Kev."
"Aku, maaf, aku tidak bisa menyusulmu. Sudah tidak sempat lagi. Kabari aku kalau sudah mendarat. Aku akan memperhatikan ponselku."
"Baik. Bye, Kevin."
"Bye, Tia. I love you."
Klik.

Tia menggenggam ponselnya lebih erat. Andai ia bisa mencintai Kevin. Andai saja.
***

Sesampainya di Milan, Tia menelpon Kevin.
"Aku sudah di hotel, Kev."
"Aku di rumahmu, Tia."
"Di rumahku?"
"Sejujurnya, aku sedang memikirkanmu. Aku memikirkan hubungan kita."
"Kevin, maafkan aku."
"Tia, kalau kau belum mau menikah, ya sudah. Kita jalani saja seperti biasa. Apapun, asal bersama."

Tia memejamkan mata, membawa ponselnya ke dada. Dia tidak tega mengakhiri hubungan mereka. Kevin sudah sangat mengalah.
Tia tau rasanya ditinggalkan. Ia tidak mau Kevin merasakan hal yang sama dengannya.

"Kita akan bersama, Kev," Tia mengusap titik air di sudut matanya. Ia mengenggam cincin pemberian Kevin, yang kemaren ditinggalkan pria itu begitu saja. "Tunggu aku, ya."
***

Kevin sudah terlanjur berangkat ke California saat Tia kembali ke LA. Tapi dia minta libur satu hari demi dapat bertemu Tia.

"Bikinkan aku puding coklat ya," pesannya di telepon. "Puding coklatmu, apalagi dingin, tidak ada yang menandinginya!"

Tia telah menyiapkan puding coklat pesanan Kevin saat suara bel di pintu. Bergegas ia ke depan. Sebelum membuka pintu, Tia merapikan dirinya. Mereka akan bertemu setelah satu bulan berpisah.
Tia sudah memakai cincin itu di jarinya. Ia memejamkan mata, membayangkan Kevin akan senang melihat Tia memakai cincin pemberiannya. Meski lamarannya tidak kunjung diterima.
Tia membuka pintu. Adrian Heinzh berdiri di sana.

Seketika, Tia tersentak. Ia mematung, merasakan kejutan yang luar biasa. Jarinya memutih mencengkeram daun pintu.

"Apa kabar, Tia?"
Butuh beberapa detik sebelum Tia mampu menjawab.
"Baik, Kak."
"Boleh aku masuk?"
Tia ragu sesaat, "ya, tentu."

Adrian melangkah melewati Tia. Tia menutup pintu, mengikuti Adrian dari belakang. Pandang Adrian menyapu sebagian ruangan, kemudian terhenti pada sebingkai potret Tia dan Kevin di atas perapian.

"Bertemu lagi, Tia." Adrian menoleh padanya.
"Ya, Kak." Tia menunduk, mengendalikan perasaan yang semakin bergejolak. Mengapa pria ini selalu berhasil menguasai perasaannya? Membuatnya resah, gelisah, karena rasa rindu yang menyala? Kapanpun mengingat nama Adrian, hatinya bergetar. Terlebih bisa melihatnya.

"Kakak tau aku di sini?"
"Ya."
Tia tidak perlu heran, Adrian selalu punya cara.
"Kau sudah pindah dari apartemen itu."

Di telinga Tia, itu bukanlah pertanyaan, melainkan pernyataan. Mengapa Adrian tidak bertanya saja? 'Mengapa kau pindah dari apartemen itu, Tia?'

"Ya, Kak."
"Mengapa?"
"Aku ...," Tia tergagap, "aku lebih suka rumah."

Adrian mengangguk. Tia berbohong. Mengapa tidak jujur saja, Tia? Mengapa tidak jujur saja bahwa kau juga sedang berusaha melupakan aku?
Dari Juan Ma, Adrian mendengar Tia sudah lama pindah. Ia terpaksa menelpon Juan Ma kembali untuk mengetahui alamat Tia.
Dia melakukannya demi Mama.

"Mama ingin bertemu dengan Tia Ariana, Yan," gumam Mama lemah.
"Hubungan kami sudah berakhir, Ma. Kami memang tidak berjodoh."
"Mama hanya ingin minta maaf padanya."

Sesungguhnya dalam bulan-bulan belakangan ini, penyesalan Ny. Diana semakin besar. Dia sadar tidak memiliki banyak waktu lagi, dan ia pasrah pada kehendak Yang Maha Kuasa. Namun dia tidak rela meninggalkan putranya seorang diri dalam kesedihan dan kesepian sepeninggal dirinya kelak. Adrian adalah anak yang amat patuh dan tabah. Air mata Ny. Diana berlinang mengingat kasih sayang dan tanggung jawab yang telah ditunaikan Adrian padanya dan perusahaan peninggalan almarhum ayahnya. Tidak pernah mengeluh, selalu menelan dukanya seorang diri. Putranya hanya sekali jatuh cinta, yakni pada gadis dari desa Malam Kolam itu, dan sampai kini tidak pernah berganti.
Pengakuan Adrian bahwa hubungannya dengan gadis itu telah berakhir semakin menambah penyesalan.

"Bawalah dia kemari," kata Ny. Diana.
Mama selalu memerintah. Namun kali ini, lebih terdengar bagai permohonan.

Lama Adrian tertegun. Ia pergi ke taman, duduk di bangku panjang, memikirkan kembali permintaan Ibunya. Sudikah Tia datang, setelah semua yang telah terjadi antara dirinya dan Mama? Adrian tidak pernah mendengar kabar Tia lagi. Dia tidak mau tau, tidak ambil peduli. Sakitnya masih sama, bahkan semakin dalam seiring kesepian yang dia rasakan. Bertahun mereka berpisah, nyatanya ia tidak mampu melupakan gadis air terjun itu. Kerinduan datang beriring kepedihan. Cintanya tak pudar, begitu pun bencinya.

Pada akhirnya, Adrian menelpon Juan Ma. Dari pria bermata sipit itu pula Adrian mendapat kabar tidak mengenakkan.
"Nona Tia berpacaran dan hidup bersama Kevin McFadden, Sir."
Adrian sudah mengetahuinya. Apapun bisa terjadi di Hollywood. Tia bukan gadis lugunya lagi.

"Kak!" suara Tia memecah lamunannya.
"Ya."
"Silahkan duduk dulu. Aku akan buatkan minum. Kopi?"
Adrian memandang Tia. Gadis ini masih ingat kegemarannya.
"Ya, kopi."

Diiring pandang Adrian, Tia bergegas ke dapur dan membuat kopi. Puding coklat untuk Kevin menarik perhatiannya. Adrian amat menyukai puding coklat buatan Tia, terlebih dingin seperti ini.

Dulu, saat Adrian tekun di depan laptopnya, Tia akan meletakkan segelas kopi dan sepiring puding coklat, potongan buah, atau cemilan apa saja untuk menemani Adrian bekerja. Dari balik dinding, diam-diam Tia mengintip, tidak berani mendekat karena kuatir kehadirannya mengganggu kosentrasi pria itu. Tia menikmati kekaguman saat melihat dahi Adrian yang berkerut, matanya tajam menatap deret angka dari balik kaca mata tipis, saat-saat Adrian mendesah resah karena ada laporan yang tidak tepat, begitu juga tatkala ia memberi perintah-perintah penting melalui telepon. Adrian begitu berkuasa dan berwibawa. Kekaguman Tia bagaikan tidak pernah habis, dan bolak balik bersyukur akan kehadiran pria sehebat ini dalam hidupnya. Dirinya siapa? Hanya gadis desa yang kebetulan cantik dan beruntung.
Meski ada rasa bersalah karena makanan ini ia buat untuk Kevin, Tia tetap memotong puding dan menatanya dalam sebuah piring. Dari depan, terdengar suara bel. Gemuruh di dada Tia sudah bagaikan genderang perang. Bagaimana jika Kevin yang datang?

Setelah satu bulan berpisah, Tia sudah dapat membayangkan reaksi Kevin saat nanti melihat Tia. Sudah pasti dia akan merangkul atau mencium, tanpa menyadari ada Adrian di sana. Atau menyadari namun tidak peduli. Bukankah karakternya memang begitu? Lihat saja apa yang dilakukannya di tengah pesta Keluarga Kenyon itu! Benar-benar memalukan!

Di depan, Adrian menunggu Tia untuk membuka pintu. Namun sampai bel ke tiga berdentang, Tia tak muncul.
Akhirnya Adrian bangkit dan berjalan ke pintu. Siapa yang datang? Apakah aktor itu? Jika benar, maka mereka akan bertatap muka untuk pertama kali. Adrian berhenti sesaat, memantaskan diri.

Adrian membuka pintu.
Di dapur, Tia bersiap menanti dengan resah luar biasa. Kali ini, badai berikutnya sudah berada di depan mata.

Bersambung #11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER