Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 17 Mei 2021

Binar Jingga Mentari Senja #11

Cerita Bersambung
*KEMBALI KE JAKARTA*
"Tia, ada tamu untukmu." Adrian muncul di tengah dapur.
Diam-diam Tia menghembus nafas, merasakan geleyar kelegaan. Siapapun dia, pasti bukan Kevin!
Mrs. Sommerset menyusul ke dapur. "Nona, Miss Hannah Miller sedang menunggu anda."
"Ya!" kata Tia tanpa menunggu. Cepat-cepat ia menyusul ke depan.

Adrian berjalan ke pantri. Melihat pada segelas kopi buatan Tia dan puding coklat yang terhidang di meja. Ingatannya melayang pada hari-hari yang mereka habiskan bersama di apartemen.
Tia senantiasa memanjakan dirinya dengan makanan-makanan lezat yang ia buat sendiri. Tia bahkan sudah bersiap-siap sebelum Adrian datang.

Tia pintar membuat pria betah disisinya. Sayangnya, ia bukan wanita setia. Adrian terluka mengingat mudahnya Tia membuka diri pada Kevin yang saat itu baru dikenalnya, padahal di depan Adrian dia sangat pemalu. Sekarang, Tia bahkan hidup bersama tanpa menikah dengan aktor itu.

Adrian menyesap kopi. Rasanya masih persis sama. Ia mencoba puding coklatnya. Nikmat yang juga sama.
Ia tersengat oleh kenangan. Tia, betapa sulitnya melupakanmu! Kau tidak pernah berubah saat di depanku, tapi kau berubah banyak ketika dibelakangku! Kau benar-benar artis peran yang baik!

Di ambang dapur, air mata Tia mengambang menatap punggung Adrian. Dia urung melangkah, membiarkan Adrian menikmati hidangannya.

"Apakah Kak Ryan masih mengingat bahwa suatu masa dulu aku pernah membuat kopi dan puding yang sama? Kopi dengan takaran yang persis sama. Suhu air yang sama. Lama pengadukan yang juga sama. Apakah Kak Ryan masih ingat aku suka minum sisanya dari sisi gelas yang sama? Apakah dia masih ingat pada suatu malam dia pernah berkata, 'Kata Pak Ustad, suami akan sulit berpaling kalau istri mampu memenuhi tiga aspek penting dalam diri suami. Penuhi hasrat matanya, penuhi kebutuhan perutnya, dan terakhir penuhi kebutuhan syahwatnya. Kau sudah memenuhi dua yang pertama, Tia.'
'Benarkah?'
'Ya. Kau sudah memenuhi dua yang pertama. Yang belum hanya yang ke tiga, yakni kebutuhan syahwat. Bagaimana kalau kita curi start malam ini?'
'Genit!'

Dan aku mencubit perut Kakak. Kakak akan tertawa lepas sambil mengacak-acak rambutku, merangkulku penuh kasih sayang. Masihkah Kakak ingat semua itu?"
Adrian merasakan seseorang menatap punggungnya. Ia berbalik, melihat Tia di pintu. Mata coklat gadis itu berkaca-kaca, berdiri dengan tangan memegang pintu. Kening Adrian berkerut. Untuk apa dia menangis?
Tia mengusap air matanya. Dengan kaku duduk di samping Adrian. Tak sengaja, mata Adrian melihat kilau berlian di jari manis Tia. Apakah itu cincin pertunangan?
Tia menyadari mata Adrian terarah ke jarinya. Ia menimpakan tangan kanan ke atas tangan kiri, tidak ingin Adrian melihatnya.

Adrian tersenyum mengejek. Tia, kau polos ataukah bodoh? Atau kau pikir, aku bodoh?
Mereka sama-sama diam. Adrian menyesap kopinya sekali lagi. Entah mengapa, rasanya semakin berat untuk menyampaikan pesan Mama, terlebih setelah melihat cincin di jari Tia.

"Kau sendiri saja?" tanya Adrian.
"Aku? Tidak. Kevin akan pulang sebentar lagi," Tia tergagap, spontan memberi jawaban yang langsung ia sesali. Ya Tuhan, mengapalah karena grogi dirinya jadi sebodoh ini?
Adrian mengangguk. Jadi benar, mereka telah hidup bersama. Tia bahkan tidak menutupi sama sekali. Ia menelan pil pahit yang kesekian.

"Maksudku, Kevin akan datang dari California," ralat Tia.
Rahang Adrian mengeras, menahan geram. Ia berdiri.
"Baiklah. Aku permisi. Jangan lupa kirimi aku undangan pernikahan kalian."
"Undangan pernikahan?"
"Ya. Jangan hidup seperti ini, hidup bersama tanpa menikah!"

Tia tersentak. Jantungnya berdetak kencang. Ia tau semua orang menganggapnya dan Kevin hidup bersama. Itu lumrah di negeri ini, sama sekali bukanlah aib. Tapi ketika hal yang sama keluar dari mulut pria yang paling ia hormati dalam hidupnya, paling ia cintai, paling ia harapkan kehadirannya, tuduhan itu bagaikan menikam jantung. Ia merasa penghinaan luar biasa sedang ditimpakan pada dirinya!

"Kak!" Tia menyentak tangan Adrian. Ia menatap mata Adrian, mencoba meyakinkan. "Aku tidak hidup bersama dengan Kevin! Tidak pernah!"
Adrian melepas tangan Tia dari lengannya.
"Terserah kau saja!" katanya datar.

Ia berlalu begitu saja. Meninggalkan Tia yang terpaku.
***

Adrian meninggalkan halaman rumah Tia. Ia masuk ke dalam mobil dan duduk di dalamnya. Bertahan. Memikirkan Tia dan pesan Mama.

"Kembali ke hotel, Sir?" tanya Juan Ma.
"Sebentar." Kembali dirinya didera keraguan.
"Sir, Kevin McFadden," Juan Ma memberi tanda pada sebuah mobil yang melambat dan akhirnya membelok ke halaman rumah Tia.

Adrian melihat aktor bertubuh tinggi ramping itu turun dari mobilnya dengan ransel di pundak. Aktor itu mengetuk pintu, dan sesaat kemudian pintu terbuka dan dia masuk sambil menutup pintu.
Apa yang sedang mereka lakukan di balik pintu itu? Melepas rindu?
Ya Tuhan, cemburu ini akan membunuhnya!

Tiba-tiba, Adrian melihat pintu terbuka dan Tia keluar dari dalam rumah. Dia memandang ke jalan, ke arah mobil Adrian. Adrian menurunkan kaca, membiarkan Tia melihat dirinya. Membiarkan mata mereka bertemu, meski sesaat.

"Jalan!" perintahnya kemudian.
***

Di dalam rumah, Tia mengharu biru. Ia berjalan kembali ke pantri, duduk di kursi yang baru ditinggalkan Adrian. Tatapnya turun pada gelas yang isinya tinggal setengah. Perlahan, Tia meraih gelas itu, meminum isinya dari sisi bibir gelas yang sama. Menikmati tiap tetes yang tersisa. Air matanya jatuh mengalir ke dalam gelas. Untuk apa Adrian datang jika hanya menambah luka? Dalam dua pertemuan terakhir mereka, Adrian terus saja menghina.

Bel berdentang kembali. Mungkin itu Kevin. Tia menarik nafas, menghapus jejak air mata di pipi. Ia membuka pintu dan melihat Kevin di sana.

"Sayang!" Kevin merangkulnya begitu saja, spontan memberi ciuman yang bertubi-tubi di rambut dan wajah Tia. "Aku rindu sekali padamu!"
Tia membalas sekedarnya.
"Mandilah, Kev! Lalu kita makan bersama. Aku sudah masak."
"Kau seperti Ibu dan istri yang setia. Padahal kau bukan keduanya." Kevin masih membelai-belai rambut Tia. "Aku tidak bisa jauh darimu, Tia."
Tia diam saja.
"Tia, selamat pulang, ya."
"Pulang?"
"Selama satu bulan ini, aku merasa kau pergi dariku. Tia, ini adalah satu bulan yang amat panjang dan menyiksa. Sekarang, aku berharap kita bisa menjalani hubungan ini seperti biasa. Anggap saja aku tidak pernah melamarmu."
Tia merenggangkan pelukan Kevin.
"Aku bau ya?" senyum Kevin.
"Tidak. Tapi kau berantakan."
"Baik, aku mandi dulu." Kevin berlalu ke kamar mandi.

Dengan cepat, Tia berjalan ke teras, mencari dengan matanya. Di seberang jalan, tepat di depan rumah tetangganya, ia melihat sebuah mobil. Perlahan, kaca mobil itu turun, memperlihatkan seraut wajah yang amat familiar. Tia menelan ludah. Sekarang, keyakinan Adrian bahwa mereka hidup satu rumah semakin besar.

Mobil yang membawa Adrian perlahan bergerak, diiring tatap perih Tia.
Apa lagi yang harus aku lakukan? Selalu saja terjadi kesalahpahaman. Semua menjadi kacau! Semakin kacau!
Namun, sekalipun terjadi keajaiban dan Kak Ryan kembali, aku tetap tidak mungkin meninggalkan Kevin begitu saja. Aku tidak bisa melakukan itu!
Karena ada kalanya, cinta bukanlah segalanya.
***

Tia kembali ke pantri, menemukan Kevin di sana. Rambutnya lembab dan wajahnya segar. Seperti biasa, Kevin amat rupawan. Seharusnya tidak sulit untuk mencintai pria seperti ini.

Kevin sedang mempermainkan gelas kopi Adrian yang sudah kosong. Juga potongan puding di piring.
"Apakah baru ada tamu?"
Ragu, Tia mengangguk.
"Siapa?"
"Hannah," lidah terasa kelu. "Kev, aku bikinkan kopi untukmu, ya."
"Ya."

Kevin mengamati Tia. Wanita ini semakin pendiam. Dia sama sekali tidak lepas. Wajahnya penuh beban.

"Tia, boleh aku menginap di sini? Aku tanggung jika harus pulang ke apartemen. Karena besok pagi aku sudah harus kembali ke California."
"Ya. Aku akan minta Mrs. Sommerset membersihkan kamar untukmu."

Tia menghidangkan segelas kopi dan potongan puding coklat ke depan Kevin. Dia hanya menjawab sepotong-sepotong saat Kevin mengajaknya bicara. Kening Kevin berkerut semakin dalam. Apakah persoalan diantara mereka belum selesai?
Kevin merasa dirinya seorang diri di ruangan itu. Ia melihat cincin berkilauan di jemari Tia. Ia meraih jari itu, membawanya ke pangkuan.

"Sayang, ada apa? Apakah cincin ini membebanimu?"
"Cincin ini sangat indah, Kev. Pastinya sangat mahal."
"Tia, untukmu tidak ada yang mahal. Di sisi lain, untukmu semuanya mahal. Sehelai rambutmu bahkan tidak ternilai."
"Kev, aku tidak layak untuk cinta yang sebesar ini!" ia menunduk dalam-dalam. Mengeluhkan diri sendiri.
"Tia, berusahalah sedikit lebih keras untuk menerimaku. Aku tidak memaksa. Aku meminta! Hei, kau menangis?" Kevin melihat bekas tangis di mata Tia. "Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa, Kev."
"Kau bohong! Apakah Hannah membuatmu menangis?"
"Tidak, Kev. Aku hanya sensitif oleh siklus bulanan."
Kevin menatap Tia lamat-lamat. Dari sorot matanya, Tia menyadari Kevin tidak percaya begitu saja.

Setelah makan malam, mereka duduk di sofa dan mengobrol. Kevin menceritakan proses syutingnya di California. Tia menimpali, tapi pikirannya tak lepas dari Adrian.

Dulu, mereka selalu seperti ini. Saat Adrian datang, mereka acap mengobrol. Adrian tidak banyak bicara, tapi kadang-kadang dia mau juga bercerita. Mereka makan bersama, nonton berbagai film, termasuk film yang dibintangi Kevin, atau turun ke bawah untuk ngejim. Bagi mereka berdua, hal-hal seperti itu terasa istimewa.

Sekarang, semua hanya menjadi kenangan yang harus dikubur selamanya. Telah ada Kevin di sini.
"Ada apa, Tia?" wajah Kevin berubah serius. "Kau bahkan tidak mendengarku."
"Ngg?"
"Tia, kau tidak siap kembali bersama? Karena waktu itu?"

Tia dapat merasakan Kevin mulai tersinggung, dan itu dapat dimaklumi. Mereka sudah berpisah selama satu bulan oleh pekerjaan dan perselisihan, sekarang mereka bertemu kembali namun hati Tia tidak di sini!

"Kita sudah sepakat, bukan? Saat kita memutuskan jalan bersama, kita telah sepakat untuk melupakan masa lalu. Apa yang salah dari sebuah lamaran, Tia? Mengapa kau sangat mempersoalkannya?! Mengapa sebuah permohonan dari hati begitu memukul perasaanmu?" cecar Kevin.
"Aku ---, maafkan aku, Kev. Aku tidak bermaksud ---," Tia tidak mengerti bagaimana menjelaskannya.
"Kau butuh waktu, Tia?"
"Apa maksudmu, Kevin?" Tia mulai resah.
"Aku berkejar dari California demi menemuimu! Tapi nampaknya kau tidak siap bertemu denganku. Aku tidak tau apa dan mengapa. Tadinya kupikir semua telah kembali normal."
Kevin bangkit.
"Kau mau kemana, Kev?" Tia menahan lengan Kevin.
"Kau butuh sendiri, Tia!" Kevin melepas pegangan Tia dari lengannya.
Kevin masuk ke kamarnya, sekejap keluar dengan membawa ransel.
"Aku kembali ke California." Ia meninggalkan Tia.
Tia menjejeri langkah Kevin sambil meraih lengannya.
"Kev, maafkan aku!" suara Tia berat oleh sesal dan sedih, "tolong, jangan pergi dalam keadaan begini!"
Langkah Kevin tertahan.
"Aku tidak bisa membiarkan kau pergi seperti ini," matanya penuh harap. "Tidak bisa."

Kejengkelan Kevin luruh melihat mata Tia mulai berair. Ia meletakkan ranselnya begitu saja. Berjuta tanda tanya bermain di kepala.
Mereka kembali ke dapur. Kevin membuat dua gelas kopi untuk mereka berdua.

"Hidupku di mulai sejak aku berusia empat belas tahun, Kev. Aku sebatang kara. Keberuntunganlah yang membawaku ke negara ini."
"Apa hubungannya dengan hubungan kita, Tia?"

Tia menarik nafas, merasakan beban yang menghimpit sanubarinya. Alangkah sulitnya berterus terang tanpa harus menyakiti Kevin.
"Tia, katakan padaku! Bagaimana aku bisa memahamimu kalau kau terus menutup diri? Apa selamanya kita akan seperti ini?"
"Aku mencintai orang lain."

Kalimat singkat itu menghujam ke jantung. Kevin memejamkan mata, mendongak, mencari sebanyak-banyaknya udara. Mendadak, ruangan ini membuatnya sesak. Ia membuka jendela dapur, berdiri mematung di sana.
Tia berjalan ke sisi Kevin. Mereka berdampingan melihat kegelapan.

"Siapa dia, Tia?"
"Dia yang telah membimbing tanganku di saat aku sendirian. Dia membawaku pergi jauh dari tempat tanpa harapan. Dia menjagaku, melindungiku, mengantarkanku pada kesuksesan hari ini. Kami membina hubungan suci selama hampir sepuluh tahun, hingga takdir memisahkan. Selama dua tahun ini aku berjuang melupakannya." Tia mengesat air matanya.
Tia melanjutkan, "Kev, kau hadir dalam hidupku di saat aku berada di titik nadir, tidak berbeda saat dulu dia menemukanku. Aku menyadari bahwa episode kami sudah usai, dan sekarang aku bersamamu. Aku hanya butuh waktu, Kev. Serta sedikit kesabaran darimu untuk menungguku."

Tia menyentuh lengan Kevin, menatap wajahnya, berucap dengan bersungguh-sungguh,
"Kevin McFadden, maukah kau menungguku?"

Matanya menatap penuh harap. Kevin melihat wajah yang sayu itu, penuh beban kesedihan. Kevin menyadari Tia tidak mencintainya, tapi dirinya berikut semua orang yang mengenal mereka, dapat melihat usaha Tia untuk membuat kekasihnya bahagia.

Tia tidak bersalah, karena tidak ada seorang pun yang bisa memaksa hati.
"Aku akan menunggumu, Tia, meski seumur hidup ini."

Tia meraih Kevin, merangkulnya erat penuh perasaan. Ia mencintai Adrian Heinzh, hanya pria itu, tapi Adrian tidak mencintainya. Jika Adrian mencintainya, setidaknya ia memberinya kesempatan bicara. Setidaknya ia mengatakan apa kesalahan Tia. Hingga hari ini, Tia bahkan tidak tau penyebab dirinya dibuang begitu saja. Tidak ada penjelasan. Hanya ada penghinaan. Hanya ada sumpah serapah! Tia tidak berharga dimatanya. Tidak memiliki hak bertanya, tidak pantas untuk menjelaskan apa-apa!
Karena bagi Adrian Heinzh, Tia Ariana hanyalah properti yang paling berharga! Properti yang ia pungut dari dasar tanah, ia rawat, lalu ia kuasai secara mutlak!

Adrian tidak mencintai Tia sebagaimana Tia mencintainya, karena cinta yang selalu memberi air mata bukanlah cinta.
***

Hubungan mereka berjalan normal kembali. Kevin dan Tia disibukkan oleh kegiatan masing-masing, namun saat kembali ke rumah, segala atribut sebagai bintang itu lepas. Kevin dan Tia menjalani hubungan mereka dengan santai tanpa beban. Saat mereka akhirnya bertemu setelah berpisah berminggu dan berbulan, mereka mencari kesenangan dengan berkeliling kota, berburu kuliner, nonton, ke taman hiburan, ngegym, bersepeda atau serangkaian kegiatan lainnya.

Kevin hanya mengambil dua judul film terpilih dalam satu tahun, dan setelah selesai satu film ia memberi jeda beberapa waktu sebelum memulai proyek berikutnya, sehingga dia memiliki banyak waktu untuk kehidupan pribadi dan melakukan hobi. Sedangkan Tia sangat sibuk, sehingga Kevin selalu menjadi pihak yang menunggu. Saat ia merindukan Tia, ia datang ke rumah kekasihnya meski sudah tau Tia tidak di rumah. Sambil menunggu, ia iseng memasak atau mengutak-atik sepeda motornya. Berkali-kali Kevin mendampingi Tia bekerja. Ia duduk paling depan dalam berbagai peragaan busana yang Tia ikuti dan memberikan applause atas keberhasilan kekasihnya di atas catwalk. Di balik kaca mata hitamnya, tatapnya penuh kagum pada Tia yang berada dalam bidik kamera fotografer.

"Kita terus menerus diliput," Kevin menunjukkan koran bergambar mereka, "kau keberatan, Tia?"
"Biarkan saja mereka," ujar Tia.
***

Di hari-hari tertentu Tia mengunjungi Ny. Anne. Kadang ia menginap di sana, meski Kevin tidak di rumah. Mereka melakukan berbagai kegiatan bersama, dan itu sangat menyenangkan.

Kevin adalah orang yang paling bahagia dengan kedekatan hubungan kedua orang itu. Ia semakin memanjakan Tia, di sisi lain semakin memanjakan Ibunya. Kadang kebahagiaan membuatnya bertingkah konyol, misalnya membacakan berita keras-keras.

"Toby Brenigan dan Millie Adams akhirnya bercerai. Diyakini, hal ini terjadi karena campur tangan Ibu Toby dalam rumah tangga anaknya. Sejak awal, Ibu Toby memang tidak menyetujui pernikahan Toby dengan Millie."
"Apa? Toby dan Millie bercerai?" Ny. Anne kaget sekali, buru-buru duduk di depan Kevin. Tak jauh dari mereka, Tia mendengarkan saja sambil membuat salad buah.
"Mereka memperebutkan hak asuh anak." Kevin meletakkan androidnya. "Toby sendiri yang bilang padaku."
"Ya Tuhan!" Ny. Anne menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Kasihan si kembar Jeanna dan Jeanny! Mereka jadi korban pertikaian orangtuanya."
Jika dulu aku menikah dengan Kak Ryan, mungkin kami akan mengalami nasib yang sama, pikir Tia. Mengerikan sekali.

Sambil memutar-mutar cincin pemberian Kevin dijarinya, ia teringat lamaran-lamaran Kevin yang telah ia tolak. Tia selalu memakai cincin itu, kecuali dia harus melepasnya karena tuntutan pekerjaan. Belakangan, ia semakin membutuhkan  kehadiran Kevin disisinya.

Pada peringatan dua tahun kebersamaan mereka, Tia mengakui, "Kev, aku bahagia bersamamu."
"Cintai aku, Tia, dan berusahalah lebih keras!"
Tia mengangguk, membuat Kevin menyunggingkan senyumnya yang menawan.
***

Tia uring-uringan dalam perjalanan pulang. Tubuhnya lelah dengan perut lapar, juga sedikit beban pikiran karena Kevin tidak mengangkat telepon. Sebelumnya, Kevin menelpon beberapa kali yang tidak terangkat oleh Tia karena sedang bekerja.

"Kemana sih dia?" pikir Tia. "Di telepon balik malah tidak angkat."
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Tanpa melihat, Tia menekan tombol on.
"Ya, Kev? Kau kemana saja? Aku bolak-balik menelponmu! Aku lapar, lelah, asam lambungku naik. Aku PMS. Perutku sakit! Aku tidak ikut acara nanti malam, biar saja Hannah marah-marah! Dia tidak pengertian, memaksaku ikut peragaan dalam kondisi seperti ini, seperti dia bukan wanita saja! Aku mau pulang, makan, mandi air hangat lalu tidur. Oh ya, maaf tadi aku tidak mengangkat telepon, aku sibuk sekali. Kau dimana? Kev? Kevin?"
"Tia."

Tia menekan pedal rem saking kagetnya, membuat pengendara di belakang nyaris menabrak belakang mobil Tia. Saat pengendara itu akhirnya memotong, dia mengacungkan jari tengah karena marah.
Itu suara Adrian Heinzh!

"Kakak?!"
"Maaf, mengganggumu." suaranya datar dan tenang.
"Iya. Eh, maksudku tidak!" Tia tergagap. Sial!
Tia langsung menepi.
"Kau dimana?"
"Aku di jalan pulang, Kak."
"Menyetir sendiri?"
"Iya, tapi sekarang aku sudah berhenti dan menepi."
Dada Tia berdebar-debar.
"Tia."
"Ya, Kak."
"Bisa kita bicara?"
Seandainya Kevin yang bertanya, Tia akan menjawab, "Ya, bicaralah!" Tapi terhadap Adrian, Tia menjawab, "ya, Kak. Tentu."
"Aku butuh pertolonganmu. Bisakah kau datang ke Jakarta?"
"Jakarta?"
"Mama sakit. Dia ingin bertemu denganmu. Tia, anggaplah ini permintaan terakhir wanita tua yang sekarat."
Sekarat?

Tia mengingat Ny. Diana Heinzh. Dia cantik, anggun, cerdas, kaya dan berkuasa. Juga sombong! Sekarang dia sekarat dan meminta kehadiran Tia. Sejumput enggan menyusup perasaan, tapi bayangan Abak yang jatuh terkulai dan Adrian yang mengendarai mobil dalam kecepatan tinggi demi mencapai rumah sakit, kembali melintas.

"Tia?"
"Ya, Kak, aku akan segera datang."
***

Setelah hampir empat tahun, akhirnya Tia menginjakkan kakinya kembali ke Tanah Air. Ia menghirup nafas dalam-dalam, merasakan kelegaan karena akhirnya ia kembali. Bertahun-tahun di negeri asing, ia merindukan tanah airnya. Namun, mengingat tanah air sama dengan mengingat Adrian dan kenangan mereka. Hingga ia memilih untuk melupakan.

Di bandara, seseorang telah menunggu Tia dan membawanya pada Adrian.
Dari jarak beberapa meter, Tia melihat pria itu. Punggungnya! Dia berdiri membelakang, sedang bicara dalam bahasa Jerman, tidak menyadari Tia sudah berada di dekatnya.

Tia diam saja, menikmati pemandangan indah yang kembali menerbitkan debar di dada. Ia memperhatikan rambut hitam Adrian, pundaknya yang lebar dan kokoh, tubuhnya yang tinggi dan gagah. Kak Ryan sangat tampan, tidak kalah dengan para aktor dan model di Hollywood. Dan dia memiliki hal lain yang amat menarik, yakni kharisma. Kewibawaan. Kekuasaan. Kekayaan. Kecerdasan. Dia memiliki...

"Tia,"
Lamunan Tia buyar seketika. Adrian sedang memandangnya.
"Kak."
"Apa kabar, Tia?" suaranya datar sekali, wajahnya kaku tanpa ekspresi.
"Baik. Kakak sendiri?"
"Seperti yang kau lihat. Masuklah."

Tia mengikuti Adrian menuju ranjang Ibunya. Ny. Diana sedang tidur. Tia mengamatinya, membandingkannya dengan empat tahun yang lalu, saat wanita ini datang ke apartemen Tia.
Dia tua, kurus dan layu. Rasanya tidak percaya dia sudah berubah sejauh ini.

Adrian menyentuh lengan Ibunya. Wanita itu membuka mata. Ia melihat pada Tia, tersenyum padanya. Lalu melirik pada Adrian, memberi isyarat agar keluar.
Adrian mengangguk patuh, lalu meninggalkan keduanya.

Ny. Diana mulai bicara.
"Ambillah sebuah kursi dan duduklah di sini," katanya pelan.
Tia menarik kursi dan membawanya ke dekat Ny. Diana. Ia duduk, diam-diam merasa kikuk.

"Kamu sudah menikah?" tanyanya.
Tia menggeleng, "belum, Nyonya."
"Ryan juga belum menikah," suaranya parau. Ia menghela nafas yang bagai berbeban, nampak kepayahan, "seandainya aku tidak merusak hubungan kalian, mungkin kalian sudah menikah dan memiliki anak."
Sedikitpun Tia tidak menyangka akan mendengar ucapan seperti ini keluar dari bibir wanita itu.

"Aku minta maaf pada kalian berdua, terutama kepadamu. Ryan sangat mencintaimu. Dia hanya mencintai kamu saja. Tidak pernah ada yang lain. Dia sangat menderita dan kesepian. Aku takut meninggalkannya dalam keadaan seperti ini," dia mulai terengah-engah. Tia ingin memintanya berhenti, namun ia memberi tanda agar Tia mendengarnya saja. "Kembalilah kepadanya. Temani putraku. Agar kesedihannya sepeninggalku tidak terlalu menyakitkan."
Ny. Diana memejamkan mata. Tia menyangka dia tidur, tapi ternyata tidak. "Kau mau, bukan?"

Tia tidak tau harus menjawab apa. Wanita itu mengulurkan tangannya pada Tia, ragu-ragu Tia menyambut tangan itu. Ny. Diana menggenggam tangan Tia, bibirnya menyunggingkan senyum samar dan matanya mulai terpejam.

Tia termangu-mangu. Semua ini bagai mimpi. Ny. Diana Heinzh, pemilik pabrik kelapa sawit yang namanya begitu disegani penduduk Malam Kolam, termasuk Abak, sekarang sedang menggenggam tangan Tia, memohon belas kasih padanya.
Memohon cinta untuk putranya yang berharga. Keajaiban apa ini?
"Bagaimana pun Mama adalah seorang Ibu. Aku percaya suatu saat ia akan merestui kita."

Kalimat Adrian pada suatu malam di rumah leluhurnya di Bern, terngiang kembali.
Mata Tia menghangat. Hatinya basah. Ia mengingat hari-hari indah yang mereka lewati bersama. Ia dan Adrian begitu saling mencintai, melewati banyak tahun dalam suka duka, penantian panjang, cinta, kebersamaan, lalu badai datang silih berganti dan mereka pun terpental jauh, terpisah satu sama lain.

Adrian masuk dan berdiri di sisi Tia. Ia melihat kepada Ibunya, lalu berkata tanpa menoleh, "ayo, aku akan mengantarmu ke hotel."
Hotel?

Bertahun-tahun yang lalu, Adrian selalu membawanya ke apartemen. Apartemen mereka. Sekarang Adrian akan mengantar Tia ke hotel.

"Yan," suara Ny. Diana lemah memanggil putranya.
"Ya, Ma."
"Bawa Tia ke rumah. Rumah kita. Berikan kamar depan."

Adrian diam saja, lalu berkata, "baik, Ma."
***

Mereka berdua di dalam mobil, hening tanpa bicara. Menyusuri kepadatan kota Jakarta, terjebak macet di beberapa titik, sebelum akhirnya memasuki sebuah daerah perumahan. Rumah-rumah besar dan megah terpisah jauh satu sama lain, di kelilingi tembok-tembok tinggi sebagai pembatas.
Mereka berhenti di depan sebuah gerbang tinggi berukir. Satpam tergopoh-gopoh membuka gerbang dan memberi hormat.

"Jadi ini rumah Kak Ryan?" katanya dalam hati. Tia melihat bangunan besar dan mewah berpekarangan luas, dengan taman indah yang ditumbuhi tanaman-tanaman mahal di satu sisi, dan parkir yang dipenuhi beberapa mobil berjejer di sisi yang lain. Air mancur setinggi tiga meter menjadi sentral halaman depan.

Adrian membuka pintu untuk Tia.
"Ayo, masuklah."

Kakinya gemetar menginjak lantai. Tia melewati pintu besar, memasuki ruangan yang mirip aula, dengan langit-langit yang tinggi dan lampu-lampu hias bergantungan. Sofa-sofa beludru, lemari-lemari yang dipenuhi barang antik dan mahal. Horden-horden yang amat indah. Dinding dengan lukisan-lukisan, dan sebuah foto keluarga berukuran raksasa di dinding. Tia melihatnya. Adrian remaja berdiri di sisi kiri Ibunya, dan Ayahnya, lelaki Inggris berperawakan tinggi berdiri di sisi kanan. Mereka berdua memakai beskap, sedangkan Ny. Diana duduk di kursi memakai sanggul dan kebaya.

Tia mengingat dirinya. Semua perbedaan ini yang membuat Ny. Diana tidak menginginkan Tia. Kasta. Harta. Tahta. Sekarang dia berdamai dengan keadaan, terpaksa menerima Tia, karena sudah tidak memiliki pilihan.

Adrian membawa Tia ke kamar depan, sesuai keinginan Mama.
"Istirahatlah. Aku akan minta pelayan menyiapkan makanan untukmu." Adrian meletakkan tas Tia di sofa. Ia melihat pada Tia, lalu berkata, "Aku harus ke kantor sebentar, dari situ langsung ke rumah sakit."
Tia mengangguk. Adrian meninggalkannya tanpa banyak bicara. Wajahnya begitu dingin.

Tia mandi dan merebahkan diri di kasur. Pandangnya menyapu langit-langit, menerawang mengingat masa lalu.
Dengan kesuksesannya menaklukan dunia, Tia telah menikmati berbagai fasilitas dan kemewahan. Pernah menginjakkan kaki di rumah yang jauh lebih mewah dibanding rumah ini. Tapi tidak ada yang membuatnya begitu terharu sebagaimana sekarang.

Tia mengingat Abak. Apakah yang dirasakan Abak saat mengetahui Tia sudah menginjakkan kaki di rumah keluarga Heinzh yang begitu dikaguminya?

Ponsel Tia berbunyi. Itu Kevin.
"Ya, Kev."
"Sayang, sudah sampai?"
"Ya, baru saja."
"Kau baik-baik saja, bukan? Bagaimana keadaan Bibimu?"
"Dia..., dia hmm..., dia parah."
"Sayang, perlukah aku menyusul?"
"Tidak! Tidak."

Kevin terdiam. Tia terlalu cepat menjawab pertanyaannya. Sebuah spontanitas, sesuatu yang berasal dari hati.
"Baik. Istirahatlah, salam buat keluargamu."

Klik.

Kevin mengerutkan kening. Bibi? Keluarga? Bukankah Tia sebatang kara, bahkan tanpa keluarga besar dan sanak saudara terjauh sekali pun?

==========

* DIBALIK DUKA*

Ketukan di pintu mengembalikan Tia dari alam mimpi. Ia mengucek mata, melihat jam di pergelangan tangan. Sudah pukul lima sore. Ternyata ia tertidur cukup lama.

Sejak Adrian meminta Tia datang ke Jakarta beberapa hari yang lalu, dia menjadi susah tidur.
"Tia,"  Adrian muncul di pintu dengan wajah kusut. Ia masuk lalu duduk di sofa. "Kau sudah makan?"
"Belum, Kak, aku ketiduran."
"Tidur?" tiba-tiba senyum kecil muncul di wajah Adrian. "Sleeping Beauty, kau selalu saja tidur."

Dada Tia kembang kempis menahan gembira melihat senyum di sudut bibir Adrian. Tak sengaja, mata mereka bertemu. Tia cepat-cepat menunduk, malu karena tertangkap basah! Pipinya panas bagai terbakar! Dalam hati dia menyumpahi diri sendiri, yang selalu lapar mata melihat Adrian!
Di depannya, Adrian terus mengamati Tia. Senyum sudah hilang dari bibirnya. Mengapa, Tia? Kau masih begitu pemalu setiap didekatku. Pipimu senantiasa merona merah, menggambarkan jiwamu yang bening belum ternoda. Padahal, hanya Tuhan yang tau apa yang sudah kau lakukan bersama aktor itu!

Senyum malu-malu gadis inilah yang begitu ia rindukan selama bertahun-tahun hidup di London. Kecanggungannya yang kentara. Keluguannya. Juga kejujurannya. Senyum yang hingga hari ini belum mampu ia lupakan!

"Tidur baik untuk membunuh kesepian, Kak," katanya suatu waktu dulu. Apakah sekarang Tia kesepian di rumah ini?
"Jika kau ingin pergi jalan-jalan, pergilah! Aku akan minta supir mengantarmu," kata Adrian. "Tidak perlu di kamar saja."
"Tidak, Kak. Aku tidak ingin kemana-mana."
"Kalau begitu keluarlah. Kau bisa berkebun, Mama punya kebun anggrek di belakang. Kau juga bisa berenang. Juga ada ruang ngegym di atas. Nanti pelayan akan menunjukkannya padamu."
"Aku, ngg... Aku ingin memasak."

Adrian melihat Tia menunduk saat mengucapkan kalimat itu. Tiba-tiba, dadanya berdesir.
Tia, aku tidak pernah melupakan apapun sajian yang kau hidangkan. Bahkan, sepotong ayam rica-rica yang terhidang di meja makan selalu membawa ribuan potong kenangan. Aku hidup bersama kenangan-kenangan itu, Tia!

"Ayo," Adrian bangkit memberi isyarat agar Tia mengikutinya.
"Sebentar, Kak!" Tia cepat-cepat membuka tas, mengeluarkan penjepit rambut dari dalamnya. Ia menjepit rambutnya sembarang.

Tak urung, Adrian terkesima.
Kau cantik, Tia. Bahkan dengan wajah bangun tidur dan rambut berantakan seperti ini!
"Ayo, Kak." Tia berdiri di depan Adrian. "Kakak?!"
Adrian gelagapan. "Ayo!"

Adrian membawa Tia ke dapur. Mereka melewati ruang tengah yang luas dengan berset set sofa, lalu selasar yang lebar dan panjang, bertemu dengan ruang makan yang bagaikan aula, sebuah dapur bersih dan sebuah dapur kotor di belakangnya. Untuk sebuah rumah mewah, dapurnya tergolong sederhana. Nampaknya keberadaan sebuah dapur tidaklah terlalu penting di mata Ny. Diana.

Seorang wanita tua berpenampilan anggun berkebaya menghampiri mereka berdua.
"Cah bagus, siapa ini?" senyumnya lebar melihat Tia.
Tia sedikit kikuk, juga heran. Ternyata penghuni rumah ini tidak semuanya sombong dan kaku sebagaimana pemiliknya.

"Tia, Bik. Tia, ini kenalkan, Bik Ayumi."
Tia mengulurkan tangan dan memberi anggukan santun. Bik Yumi terus melihat padanya.
"Oalah, Nduk, ayunya!" dia menatap Tia penuh kagum, lalu dengan wajah puas melihat pada Adrian.
"Bik, Tia ingin memasak. Tolong dibantu, ya." Adrian beralih pada Tia. "Tia, aku ke dalam dulu."
Tia mengangguk saja, mengiring Adrian dengan matanya. Tiba-tiba dia teringat sesuatu,

"Kak!" ia cepat-cepat mengejar Adrian, "Kak!"
Adrian berhenti. "Iya?"
"Kakak mau ke rumah sakit?"
"Nanti malam. Kenapa?"
"Tidak apa-apa!" Tia cepat-cepat kembali ke dapur, diiring tatap heran Adrian. Ada apa dengannya?
"Mau masak apa, Cah Ayu?" tanya Bik Ayumi.
"Ayam rica-rica, Bik. Lalap. Sambel. Jus jeruk." Sempurna!

Tia mulai memasak. Ia mencuci ayam, membuat bumbu, menyiapkan lalapan, mengulek sambal. Ia mencolek sambal di cobek dengan ujung jari, lalu mencicipi, merasa-rasa.
Ia membelah beberapa buah jeruk manis, meremas untuk mendapatkan sari patinya. Lalu memberi sedikit gula dan air.

Diam-diam Ayumi memperhatikan Tia bekerja. Dia sudah kagum pada gadis ini di detik pertama melihatnya, tapi sekarang kekaguman itu berlipat-lipat. Gadis ini begitu menguasai dapur, tidak ada keraguan sedikitpun terhadap apa yang ia kerjakan.
Mengapa Mbak Diana tidak menyukai gadis seperti ini? Hanya karena tidak sederajat dengannya. Hanya karena dari kampung.
Bertahun-tahun dia uring-uringan mengetahui hubungan Den Iyan dengan Tia. Padahal, diam-diam Ayumi sendiri mengagumi Tia Ariana. Cantik dan prestasinya membanggakan.
Ayumi mengikuti berita-beritanya, termasuk hubungannya dengan aktor ganteng itu. Sayang sekali Den Iyan sampai putus dengannya.
Dan sedihnya, sampai sekarang Den Iyan hidup sendiri. Semakin pendiam, semakin jarang senyum. Dunianya hanya kerja dan kerja saja.

Ayumi sudah ikut Ny. Diana sejak suaminya meninggal puluhan tahun yang lalu. Ia merawat Adrian sejak masih bayi, dan sampai hari ini hubungan mereka sangat dekat. Terlebih, Ibu kandungnya sangat sibuk. Sekarang, Ayumi menjadi kepala rumah tangga di rumah ini, membawahi belasan pembantu dan beberapa tenaga keamanan.

Hari sudah senja ketika Tia selesai. Ia menghidangkan menu itu di meja makan. Ayumi meminta Titik, pembantu bagian dapur untuk membantu Tia menata meja.

"Silahkan dicoba, Bik," Tia memberikan dua potong ayam dalam sebuah piring pada Bik Ayumi.
"Wah, ini pasti enak." Ayumi mencicipi. "Benar, enak! Wah, Den Ayu sangat pintar memasak!"
"Biasa saja, Bik," senyum Tia.
"Den Iyan sangat beruntung," kata Ayumi sejujurnya.

Tia tersenyum saja dan bergegas kembali ke kamar untuk bersiap-siap. Setelah bertahun-tahun, bisa jadi malam ini akan menjadi makan malam pertamanya bersama Adrian.
Ia berdandan sedikit. Hanya sapuan bedak, lipstik tipis dan blush on. Sedikit parfum di beberapa titik tubuh. Rambutnya dikuncir, memperlihatkan leher jenjangnya yang menurut Adrian, indah.

Tia berdiri di dasar tangga, bermaksud memanggil Adrian untuk makan bersama. Tapi dia tidak tau kamarnya.

"Mencari apa, Cah Ayu?"
Tia menoleh. Bik Ayumi sudah ada disampingnya.
"Kak Ryan, Bik."
"Den Iyan baru saja pergi."
"Pergi?"
"Ke rumah sakit. Tiap malam Den Iyan tidur di sana menjaga Mamanya. Balik ke rumah sehabis subuh, siap-siap pergi ke kantor. Kadang dari rumah sakit langsung ke kantor."
Tia kembali ke kamar. Kecewa. Rasanya ingin menangis. Kak Ryan tega sekali.

Ponsel Tia berbunyi. Siapapun itu, ia enggan mengangkatnya. Dia duduk di lantai dan memeluk lutut. Perutnya lapar karena dari siang belum makan. Ia ingat ayam rica-rica untuk Adrian. Lebih baik makanan itu dibuang saja!
Ia naik ke tempat tidur. Bosan. Sedih. Ia menonton tv, tapi tidak menikmati tontonannya, hingga remote itu ia lempar begitu saja ke tempat tidur, lalu berjalan mondar mandir. Kak Ryan memang keterlaluan! Tia sampai menangis karena jengkel.

Pintu kamarnya diketuk. Tia menghapus jejak air mata, lalu berdiri dan membuka pintu. Bik Ayumi berdiri di depan Tia.
"Cah Ayu, Den Iyan menunggu untuk makan malam," wajah Bik Ayumi nampak gembira.
"Kak Ryan? Bukannya sudah pergi, Bik?"
"Sepertinya balik lagi. Ayo cepat turun!"

Tia menyunggingkan senyum terima kasih dan bergegas ke ruang makan. Ia melihat pria itu di sana, sedang menikmati jus jeruk buatannya. Saat melihat Tia, dia berkata,

"Tia, makanlah! Dari siang kau belum makan, bukan?"
Tia mengangguk. Lega.

Sebagaimana bertahun-tahun yang lalu, kali ini pun Tia mengambilkan nasi dan lauk untuk Adrian. Adrian melihat saja, lalu makan tanpa banyak bicara.

"Agak asin," kata Tia, bermaksud memancing reaksi Adrian. "Ayamnya."
Tidak ada tanggapan. Adrian terus makan. Saat nasinya hampir habis, Tia bertanya,
"Tambah nasinya, Kak?"
"Tidak, ayamnya saja."

Dada Tia bagai meledak oleh kebahagiaan. Dengan tangan gemetar, ia menambahkan sepotong ayam ke piring Adrian. Pria itu makan tanpa bersuara. Tapi bagi Tia, itu tidak penting. Sikap Adrian sudah menjelaskan semuanya.
***

Ny. Murdiana Heinzh meninggal dunia subuh hari berikutnya. Dia mengalami serangan jantung ke tiga dan tidak tertolong lagi.
Adrian membawa jenazah Ibunya pulang ke rumah. Para pelayat berdatangan dan karangan bunga berjejer panjang sejauh mata memandang. Beberapa wartawan menunggu di halaman.

Tia menemui Adrian di kamarnya. Pria itu sedang berdiri di sisi jendela. Dia memakai baju koko putih dan songkok putih. Kesedihan tergambar jelas di wajahnya.

"Kak, aku ikut berduka," Tia berdiri di belakang Adrian.
"Sudah ajal, Tia. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan."
"Semua orang menunggu Kakak di bawah."
"Ya," Adrian membenarkan Tia. Mereka beranjak. Tia bermaksud kembali ke kamarnya. Dia tidak tau harus menjawab apa jika nanti ada yang bertanya tentang kehadirannya.
"Tidak perlu. Ikutlah denganku," kata Adrian.

Seperti yang sudah diduga, kehadiran Tia di rumah duka menyebar dengan cepat. Entah siapa yang membocorkan pertama kali, namun dalam sekejap mata para pewarta berkerumun di halaman depan. Kehadiran Tia di sisi Pengusaha Muda itu menimbulkan tanda tanya yang besar. Berita duka itu sendiri kalah viral dibanding keingintahuan media dibalik alasan kehadiran Tia. Seribu pertanyaan muncul. Apa hubungan mantan Miss Internasional itu dengan Adrian Heinzh? Mengapa ia muncul tiba-tiba, mendampingi Pengusaha Muda itu padahal selama ini tidak ada petunjuk sedikitpun tentang hubungan mereka? Bahkan seluruh dunia mengetahui dia adalah kekasih Kevin McFadden!

Semua di ulas tetapi tak tuntas. Semua orang di pemakaman melirik pada Tia Ariana. Wartawan menyemut. Foto-foto Tia yang berdiri di sisi Adrian Heinzh saat pemakaman, bertebaran di media. Namun secuil informasi pun tidak mereka dapatkan. Hanya Nadine dan Daniel Arman yang mengetahui hubungan Adrian Heinzh dengan Supermodel itu. Mereka tutup mulut saat wartawan bertanya tentang Tia Ariana dan hubungannya dengan Adrian Heinzh.

"Daniel, Nadine, ini Tia Ariana," Adrian memperkenalkan mereka saat mulai meninggalkan area pemakaman. "Tia, ini Daniel Arman, dan ini adiknya, Nadine."
Mereka bersalaman.

Tia memandang satu detik lebih lama pada Nadine. Jadi ini perempuan yang di foto itu? Cantik sekali dan nampak berkelas. Tipe menantu idaman keluarga kalangan atas seperti Keluarga Heinzh.

Tiba-tiba kecemburuan itu datang lagi. Di dalam mobil, Tia tidak mampu mengusir cemburunya, dia nekat bertanya pada Adrian meski menyadari ini bukanlah waktu yang tepat.

"Kak, apakah Nadine perempuan yang di foto itu?"
Di sisinya, Adrian sedang melamun.
"Kak?!"
Adrian tersadar, menoleh pada Tia.
"Nadine. Apakah dia wanita yang di foto itu?"
"Foto yang mana?"
"Yang kakak akui sebagai foto ulang tahun, yang sudah membuat kita putus waktu itu!"
Meski enggan, Adrian mencoba mengingat. "Ya," katanya kemudian.
Tia ingin bertanya lagi, tapi wajah dingin Adrian menyurutkannya.

Dalam diam, Tia terus menduga-duga. Berarti Adrian masih berhubungan baik dengan Nadine! Bahkan memiliki hubungan dekat dengan keluarganya! Lihat saja, Daniel bahkan ikut masuk ke dalam liang kubur bersama Adrian untuk menyambut jenazah Ny. Diana. Seorang wanita pirang berusia separuh baya menepuk-nepuk bahu Adrian. Melihat kemiripannya, mungkin dia Ibu Nadine. Dan Tia ingat siapa pria parlente yang terus berdiri di sisi wanita bule itu. Dia pria yang waktu itu datang bersama Adrian dan Ny. Diana ke sekolah Tia untuk memberi sumbangan.

Jadi mereka sahabat Keluarga Heinzh? Pantas saja Ny. Diana begitu ngotot menentang hubungan kami, pikir Tia. Tapi itu dulu. Sekarang Ny. Diana sudah menyerah dan menyerahkan Adrian untuk Tia.

Di rumah, Adrian disibukkan oleh pelayat yang masih terus berdatangan. Adrian tidak mengadakan tahlilan, tapi dia mengundang seorang ustadz untuk memberi tausiah pada seluruh tamu yang hadir. Tia duduk disamping Bik Ayumi, menyimak dengan tekun. Dia menyadari berpuluh-puluh pasang mata sedang memperhatikannya. Mereka terus menerus memfoto dan merekam kehadirannya.

"Kamu lelah, Cah Ayu? Kembalilah ke kamar untuk istirahat," kata Bik Ayumi seusai acara.
"Sebentar lagi, Bik."

Tia melihat Adrian masih bicara dengan Daniel. Mereka bersalaman dan berangkulan, saling menepuk bahu. Lalu Nadine yang juga melakukan hal yang sama. Lalu kedua orangtua mereka. Mereka semua akrab sekali.

"Bik, siapa mereka?"
Ayumi mengikuti arah pandang Tia.
"Oh, mereka Keluarga Arman Prawiro, sahabat keluarga ini. Bahkan masih ada hubungan keluarga dengan Mbak Diana Almarhum, meski sudah jauh."
"Nadine itu...," Tia teragak-agak ingin bertanya.

Bik Ayumi tersenyum memberi pengertian. Dia menepuk lembut lengan Tia, "jangan kuatir. Den Iyan tidak punya hubungan apa-apa dengan Non Nadine. Mereka sudah berteman sejak kecil, tetapi hanya sebatas itu saja. Non Nadine sudah bertunangan, sekarang sedang dalam persiapan menikah."

Kenangan pahit itu hadir kembali disertai sesal yang dalam. Hubungan mereka berantakan selama satu tahun karena dirinya tidak mempercayai Adrian. Tidak memberi kesempatan bicara. Tenggelam dalam prasangka. Sekarang hal yang sama terulang kembali, meski pelakunya berbeda.
***

Sarah dan Tommy tiba di hari kedua meninggalnya Ny. Diana. Adrian turun menyambut sepupunya itu.

"Kejutan, Tia, aku tidak percaya melihatmu disini!" Sarah memeluk Tia. Mereka mengasingkan diri ke salah satu sofa di selasar dan bicara.
"Apa yang terjadi antara kau dengan Ryan? Aku membaca beritamu di koran-koran," tanyanya tanpa basa basi.
Tia menggeleng lemah, "entahlah. Kak Ryan memutuskan hubungan begitu saja, kemudian aku menjalin hubungan dengan Kevin."
"Tapi kau di sini sekarang! Tandanya Adrian masih mencintaimu!"
"Bukan dia yang memintaku datang, tapi Ny. Diana."
"Benarkah?"
"Ya. Aku pun sama bingungnya denganmu."
"Sekarang bagaimana?"
"Entahlah! Aku tidak tau harus apa dan bagaimana. Sepupumu itu membingungkan. Pendiam. Sombong!"
"Dia memang begitu!" Sarah mengangguk setuju. "Tapi dia laki-laki setia. Kau sabarlah sedikit lagi, Adrian tidak akan melepaskanmu begitu saja! Percayalah padaku! Kau sendiri bagaimana?"
"Bagaimana apanya?"
"Perasaanmu? Kau masih mencintai Adrian, bukan?"

Tia memandang Sarah, lalu mengangguk pelan. Melihat itu, senyum Sarah melebar lalu spontan menggenggam tangan Tia.
***

Di lantai atas, Adrian bersama Tommy bermain billiard. Tommy tidak tahan setiap melihat meja billiard, maka meski lesu, Adrian menemaninya juga.
Mereka bermain sambil bicara.

"Jadi kalian bersatu kembali."
"Tidak."
"Karena aktor itu?"
"Sebagiannya iya."
"Jangan mudah menyerah, Yan! Perjuangkan cintamu. Gadis itu mencintaimu, kau juga mencintainya! Restu sudah didapat! Apalagi!"

Adrian diam saja. Mama, Bik Yumi, Daniel, semua orang memintanya kembali dengan Tia. Andai saja mereka tau apa yang terjadi!
***

Kedua sepupu Adrian itu hanya satu malam di Jakarta. Setelah berziarah ke makam Ny. Diana, mereka kembali ke Bern. Adrian meminta pilot pesawat pribadinya mengantar ke dua sepupunya itu ke Bern.

Di tangga pesawat, Sarah memeluk Tia dan Adrian bergantian. Pada Tia, dia berbisik, "mata Ryan menggelegak oleh rasa rindu padamu! Berusahalah lebih keras untuk meraihnya kembali."
***

Kevin dan Ny. Anne menelpon memberi support. Tia membalas sekadarnya. Kevin bertanya apakah Tia akan langsung pulang ke LA, tapi Tia mengatakan dirinya masih perlu beberapa hari.
Hannah dan Audrey menelpon, tapi Tia mengabaikan mereka.

Sesungguhnya dia tidak tau apa yang bisa dilakukannya di sini, dan sebagai apa dirinya bertahan di rumah ini. Adrian terus berada di kamarnya, kadang-kadang turun untuk menemui pelayat yang masih berdatangan hingga hari ke tiga. Tia memasak untuknya, mereka makan siang dan malam bersama, tetapi Adrian tetap tidak banyak bicara. Dia hanya bicara yang perlu-perlu saja.

Di hari ke empat, dia sudah kembali ke kantor. Tia terlambat mengejarnya. Mobil Adrian sudah melewati gerbang ketika Tia sampai di pintu. Tia menimbang apakah akan langsung kembali ke LA atau bertahan di sini beberapa hari lagi. Tetapi, untuk apa bertahan? Adrian bahkan tidak peduli!

Akhirnya, Tia mengirim pesan pada Adrian.
[Kak, aku pamit kembali ke LA]

Pesan itu baru dibaca satu jam kemudian. Dan hingga tengah hari tak ada balasan. Tia mengemasi pakaian dengan hati mendongkol.

Ayumi tidak dapat menyembunyikan kekagetannya saat Tia pamit. Cepat-cepat dia menelpon Adrian.
"Cah Bagus, kamu dimana?"
"Kantor, Bik. Ada apa?"
"Ini Non Tia pamit, mau balik ke Amerika."
Hening di seberang.
"Suruh tunggu saya pulang, Bik!"
"Baik, akan Bibik sampaikan. Den Iyan cepat pulang, ya!"

Lega, Ayumi menutup telepon. Den Iyan ada-ada saja! Bertahun-tahun seperti orang linglung karena diam-diam merindukan perempuan yang dicintai, giliran orangnya sudah didepan mata malah diabaikan! Bertahun-tahun pula berjuang meraih restu, setelah restu didapat malah menghindar! Dan selama belasan tahun menjalin hubungan rahasia, sekarang semua orang sudah tau hubungan mereka, tapi Den Iyan malah membiarkan Tia pergi begitu saja! Dasar orang aneh!

Selama beberapa hari ini Ayumi mengamati Tia. Gadis itu sudah sangat sabar menghadapi Adrian yang keras dan kaku. Pagi-pagi dia sudah ke dapur menyiapkan sarapan, menunggu dengan resah sampai Adrian turun. Dia memasak untuk makan siang dan malam pria itu. Mereka makan bersama, tapi si bocah sombong itu berdiam bagai patung. Bisu. Ayumi gemas sekali!

"Kalau begini jangan menyesal kalau Non Tia balik ke bintang film itu!" Ayumi geregetan.

Di kamarnya, Tia menunggu dengan resah. Bik Ayumi menyampaikan pesan Adrian agar Tia menunggunya. Tapi sampai sore, bahkan sampai malam batang hidungnya pun belum kelihatan. Bik Ayumi sudah dua kali mengatakan Adrian akan segera pulang. Mana?

Tia memikirkan Adrian dan sikapnya. Tidak ada tanda-tanda pria itu ingin memperbaiki hubungan mereka. Tia mengerti Adrian berduka, tapi menunjukkan sedikit kepedulian tidak sulit, bukan? Perhatian yang dia tunjukkan di hari pertama kedatangan Tia, sekarang hilang entah dimana.

Baiklah Adrian Heinzh, waktumu sudah habis! Aku tidak akan mengemis padamu! Kau pikir kau siapa? Tadi, seandainya tadi siang kau datang, atau menelpon untuk mengajakku bicara, aku pasti akan menunggu walau seribu tahun! Tapi sekarang, maaf saja! Adios amigos!
***

Adrian duduk di sisi ranjang, mengamati Tia yang tertidur di sofa. Gadis ini pasti lelah menunggunya seharian. Ia berniat pulang lebih awal, namun kemudian menjadi ragu. Ia tidak tau harus apa dan bagaimana. Hatinya belum siap bersama Tia kembali. Kesalahan Tia terlalu besar, tidak dapat dilupakan begitu saja. Mama memang sudah menerima Tia, tapi Mama tidak tau apa-apa.
Namun saat melihatnya terbaring nyenyak begini, setitik iba menyusup ke relung hati.

Apa yang salah dari hubungan kita, Tia? Mengapa kau mengkhianati aku? Aku begitu mencintaimu. Kau bajingan!
Dengan jengkel Adrian bangkit. Tia terbangun oleh decit kasur dan langkah kaki.

"Kakak!" buru-buru Tia bangkit dan mencapai Adrian. Kejengkelannya langsung menguap entah kemana. Ia gembira, karena meskipun terlambat tapi Adrian kembali. Bahkan menjenguk ke kamarnya.

"Kakak sudah pulang? Maaf, aku ketiduran!" Tia memegang lengan Adrian, memandangnya. Pria itu juga memandang Tia, terus melihat ia bicara. "Kakak sudah makan? Aku siapkan, ya!"
Adrian mengangguk pelan.
Tia senang sekali, rasanya bagai ingin melompat memeluk Adrian!
Ponsel Tia berbunyi. Ia mengabaikannya. Itu Kevin!

"Tia, ponselmu."
Tia diam saja. Gundah. Serba salah.

Adrian mengambil ponsel yang tergeletak di tempat tidur dan melihat nama penelpon. Ia meraih tangan Tia, menjejalkan ponsel itu ke tangannya.

"Kekasihmu!" kejengkelan itu tidak dapat disembunyikan.
Ragu-ragu, Tia mengangkat telepon.
"Ya, Kev."
"Bagaimana keadaanmu, Sayang? Masih sedih?"
"Tidak."
"Aku rindu padamu. Aku jemput, ya?"
"Tidak usah."
"Kalau begitu kapan kau kembali? Segeralah pulang, Tia, di sini sepi sekali!"
"Secepatnya."
"Sayang, kau kenapa? Kau sakit?"
"Nanti aku telepon kembali."
"Baik. Istirahatlah. I love you, Tia."
"Ya."

Klik.

Ryan terus memandang Tia, mengamati perubahan wajahnya saat bicara dengan pria itu, pasangan hidup bersamanya. Seketika dirinya merasa mual. Hidup bersama sebelum menikah adalah sesuatu yang membuatnya bergidik. Meski ia menghabiskan hampir separuh umurnya di London dan banyak teman-temannya hidup dengan cara yang sama, tapi tetaplah itu terasa ganjil baginya.

Adrian mengingat Mama dan restu yang ia berikan untuk mereka. Seandainya Mama tau bagaimana Tia sekarang, pasti Mama akan menarik restunya kembali.
Adrian masuk kembali dan duduk di sofa

"Tia, duduklah, aku mau bicara!"
Tia patuh, duduk di depan Adrian.
"Apa yang Mama katakan padamu?" Adrian memandangnya.
"Mama memintaku mendampingi Kakak," Tia membalas tatap Adrian.
"Lalu, bagaimana kau menjawab Mama?"
"Aku tidak menjawab apa-apa, Kak."
"Bagus. Kau sudah melakukan hal yang tepat."
Tia menunduk. Kecewa.
"Kau kekasih orang, Tia. Sedangkan aku, aku bukan perebut kekasih orang! Tidak seperti kekasihmu itu!" Ia menjadi geram. Bertahun-tahun mengharap restu dari Mama, sekarang restu itu sudah tidak berguna.
"Kevin tidak merebutku. Kami berpacaran jauh setelah hubungan kita berakhir," duduk Tia menjadi tegak.

Duduk Adrian maju, mencondongkan tubuhnya ke arah Tia. Tatapnya tajam menusuk dengan wajah sedingin es.

"Kau pembohong!" desisnya.
"Aku tidak bohong, Kak!"

Adrian tersenyum sinis sekali, lalu ia bangkit dan meninggalkan Tia. Tia mengejarnya, menahan lengan Adrian dengan kedua tangannya.

"Kak, aku tidak bohong! Aku bersumpah!"
"Buang sumpahmu ke dasar laut, Tia!"
"Kak, aku bicara jujur! Hubungan kami baru dimulai setelah Kakak pergi. Aku mengakui aku melakukan adegan mesra dengan Kevin, tapi semua itu terpaksa! Di skrip yang diberikan padaku tidak ada adegan demikian, tapi satu jam sebelum syuting sutradara memaksaku melakukannya! Aku menyesal, Kak! Aku tidak pernah mau main film lagi sesudah itu!"
Adrian bergeming.
"Kak, aku tidak mengkhianati Kakak. Hanya sebuah ciuman di depan semua orang! Apakah karena itu Kakak pikir aku mengkhianati Kakak?"
"Berhenti berbohong!" bentak Adrian dalam murka. "Kau benar-benar telah menjadi pemain sandiwara rupanya! Aku melihat teman kumpul kebomu itu keluar dari kamarmu hanya memakai handuk, pada saat yang sama kau juga hanya memakai handuk! Kau menyambutku dengan rambut dan tubuh yang basah! Apa namanya itu!?! Kalian bahkan memulainya dari sebuah perselingkuhan!"
"Cukup, Kak!" balas Tia. Wajahnya merah dengan mata nyalang. Rasa takut dan hormatnya pada Adrian lenyap sudah. Ia memukul dada pria itu penuh kemarahan tak tertahankan. Betapa hina Adrian menilainya! "Cukup sudah merendahkanku seperti ini! Kakak selalu menghina, menuduhku macam-macam! Kak, aku memang murahan! Hanya perempuan murahan yang mau-mau saja lari dengan pria yang baru dia kenal beberapa hari! Tapi saat itu aku tidak punya pilihan! Pilihanku hanya satu, yakni mati! Dari pada aku membiarkan diriku disentuh Ranto bajingan keparat itu, lebih baik aku menerjunkan diri dari atas tebing! Menyusul Omak dan Abak! Aku sudah memikirkannya sejak aku melihat Abak ditimbun tanah hari itu! Lalu Kakak datang dan mengulurkan tangan padaku! Apa aku murahan karena menyambut uluran tangan Kakak?"

Kemarahannya membara, nafasnya naik turun. Dia memaksa diri terus bicara, "Kakak memandangku begitu rendah! Mencampakkanku begitu saja! Aku tidak tau apa salahku! Tidak ada kesempatan bagiku untuk bicara, karena Kakak tidak perlu penjelasan apa-apa! Penjelasan seorang perempuan murahan sepertiku tidak ada artinya!"

Matanya mulai basah. Ia terus menatap Adrian yang terpaku. Bibirnya bergetar. "Kak, selamanya aku berterima kasih atas semua yang Kakak lakukan untukku! Biar Alloh saja yang membalas semua kebaikan Kakak, aku tidak akan mampu."
Ia mengusap air matanya, "Kak, lupakan aku! Aku tidak pantas untuk Kakak. Aku berdoa agar Kakak selalu bahagia. Aku yakin, doa seorang wanita yang Kakak pikir penzina sepertiku pun bisa diijabah Alloh."

Tia berbalik, berjalan ke pintu. Ia menarik nafas, mengatur suaranya senormal mungkin, lalu berkata, "Kak, keluarlah! Tidak baik berlama-lama di kamar kekasih orang lain."
***

Di kamarnya, Adrian berjalan mondar-mandir. Ia begitu resah. Ledakan emosi Tia menyentaknya. Kemarahan gadis itu adalah sesuatu yang tidak dibuat-buat.

Apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah hubungan antara Tia dan Kevin terjalin setelah ia dan Tia putus?
Tetapi, jika pun benar demikian, apa gunanya lagi semua itu sekarang?
***

Adrian tidak bisa memejamkan mata. Hatinya semakin resah. Ia turun ke bawah, ingin mencari sesuatu di dapur. Malam ini ia belum makan apa-apa sama sekali.

Dari tangga, ia melihat lampu kamar Tia masih menyala. Sinarnya menembus dari bawah pintu. Tia belum tidur. Mungkin sedang menelpon Kevin. Atau, bisa saja sedang menangis.

Setelah menyingkirkan keraguan yang sempat muncul, akhirnya Adrian mengetuk pintu kamar Tia. Setelah ketukan ke dua, gadis itu muncul dari balik pintu. Wajahnya sembab, mata dan hidungnya merah bekas menangis.

"Ada apa, Kak?" suaranya selembut biasa.
Adrian tidak tau untuk apa dirinya di sini. "Kau belum tidur, Tia?"
Tia menggeleng pelan.
"Bagaimana kalau kita makan sesuatu?" kata Adrian.
"Kakak lapar?"
"Ya. Aku belum makan sama sekali."
Tia mengangguk. "Baiklah, aku siapkan. Sebentar."

Ia masuk ke kamar mandi, mencuci mukanya yang dari tadi dipenuhi air mata. Ia mengeringkan wajah dan menyisir rambut, lalu menyusul Adrian. Pria itu masih berdiri di depan kamar.
Tia memanaskan ikan bakar yang siang tadi ia buat untuk Adrian. Ia menghidangkannya bersama nasi berikut sambal.

"Cukup, Kak?" Tia menyendokkan nasi ke piring Adrian.
"Kebanyakan. Kurangi nasinya. Ikannya saja yang ditambah."

Tia mencuci tangan. Lalu memisahkan ikan itu dari tulang-tulangnya sebelum memindahkan ke piring Adrian.

"Kau tidak makan, Tia?"
Tia lupa malam ini dia juga belum makan. "Iya, Kak."

Ia mengambil sedikit nasi untuk dirinya, lalu makan menggunakan tangan. Adrian melihat piring Tia yang hanya berlaukkan sambal dan lalap, karena semua lauk sudah pindah ke piring Adrian. Ia mengambil sebagian dan memindahkannya ke piring Tia.

"Makanlah," katanya.
Mereka makan tanpa bicara.
Selesai makan, Adrian berkata, "Tia, tolong buatkan kopi, ya. Dua."
"Dua?"
Adrian mengangguk. Ia pindah ke pantri dan menunggu Tia di sana.

Tia menghidangkan kopi ke depan Adrian lalu duduk di samping pria itu. Adrian menggeser segelas kopi untuk Tia.
Sekarang di depan mereka terhidang dua gelas kopi, dan mereka sendiri adalah sepasang anak manusia patah hati yang duduk bersisian.

"Besok pagi aku akan kembali ke LA, Kak."
Ryan mengangguk pelan.
"Jaga dirimu, Tia."
"Kakak juga. Jangan terlalu sibuk bekerja."
"Tia, bisa aku berpesan? Tapi tolong jangan marah atau menangis lagi."
"Bicara saja."
"Selama ini kau selalu memanggilku Kakak. Karena itu aku akan bicara sebagai seorang Kakak laki-laki pada Adik perempuannya."

Hati Tia sayu mendengarnya. Hubungan kasih antara mereka telah berakhir, sekarang mereka masih berhubungan tetapi dalam bentuk hubungan yang lain.

"Tia, aku sedih melihatmu menjalani hidup seperti ini. Aku melihat kau bahagia bersama Kevin. Jika benar ia mencintaimu, maka menikahlah!"

Ia menarik nafas yang terasa begitu penuh beban, "Kau bukan, gadis seperti itu, Tia. Hiduplah dengan benar seperti dirimu yang dulu! Menikah dengan sah! Setidaknya jika kau hamil, anakmu akan memiliki perlindungan hukum, orang juga tidak akan menghujatnya."
"Kak, aku tidak akan hamil," desis Tia pelan. Ia menatap Adrian dalam-dalam.
"Bagaimana kau bisa yakin?" mata Adrian menyipit, wajahnya nampak khawatir. "Kau sakit?"
"Karena aku tidak pernah memberikan diriku pada siapa-siapa."
"Apa?" Adrian menatapnya lekat.
"Aku masih suci, Kak. Kevin sangat menghormatiku, ia menjagaku dengan baik. Kami juga tidak tinggal bersama seperti anggapan orang. Hubungan kami adalah hubungan yang sehat."
Adrian terus menatap Tia. "Kami sangat dekat. Kevin selalu menginap di rumahku, aku juga pernah menginap di apartementnya, juga tinggal lama dirumah Ibunya. Tapi kami tidak pernah melakukan hal-hal sebagaimana anggapan orang. Tidak satu kalipun!"
Adrian tersenyum hambar, "sukar dipercaya."
"Memang," Tia menunduk. "Kakak yang mengenalku dari kecil saja tidak percaya padaku, apalagi orang lain. Biar saja. Tapi aku bersumpah atas nama Omak dan Abak yang telah tiada, juga semua orang di Malam Kolam yang telah berbuat baik padaku, aku mengatakan yang sebenarnya."

Suara Tia bergetar mengucapkan kalimat terakhir. Matanya menghangat kembali, dengan cepat bergulir menjadi tetes bening di pipinya. Ia mengesat dengan punggung tangan.

"Kakak mengatakan melihat Kevin keluar memakai handuk dari kamarku. Tapi aku bersumpah, aku bahkan tidak tau dia masuk ke kamarku! Waktu aku ke kamar mandi, Hannah di kamar sedang menelpon. Aku mendengar suara bel, karena bel berbunyi terus aku keluar untuk melihat. Tidak ada Hannah di sana. Kupikir Hannah yang datang, maka walaupun hanya memakai handuk, aku tetap membuka pintu."
Tia memejamkan mata, mengingat semua kejadian itu.
"Aku takut sekali melihat kemarahan Kakak. Aku tidak bisa melupakannya hingga hari ini. Kakak adalah pelita dalam hidupku, tanpa Kakak duniaku menjadi gelap. Tiga bulan aku depresi. Malam menjadi siang, begitu juga sebaliknya. Aku lebih suka mati saja, namun mereka membawaku ke rumah sakit. Ny. Anne, Ibu Kevin membawaku ke rumahnya, dia menjagaku dengan baik, persis seperti Omak menjagaku. Aku..." suaranya tertelan oleh tangis, hingga bahunya berguncang dan tubuhnya bergetar. "Aku kehilangan semuanya..."
"Tia, sudahlah, jangan teruskan lagi," Adrian bangkit dan memegang kepala Tia. Matanya basah oleh air mata, "sudah, jangan teruskan!"
"Aku kehilangan Kakak. Rasanya sakit sekali. Sampai hari ini, rasanya..." ia merintih, "Aku melakukan segala cara untuk menghubungi Kakak, namun Kakak menutup semua pintu! Aku tidak tau apa kesalahanku hingga aku dibuang begitu saja oleh satu-satunya pria yang aku cintai di dunia ini!"
"Sayang, sudah!" dengan cepat Adrian menarik Tia ke dalam pelukannya, mencengkeram rambutnya, ikut menangis bersamanya. Bibirnya terus berucap penuh penyesalan, "betapa bodohnya aku! Betapa bodohnya aku! Seharusnya aku mendengarmu!"

Ia menangkupkan kedua tangan di Pipi Tia, menatap wajah cantik yang nampak lelah itu, "meski tidak pantas, tapi aku mohon maafkan aku! Aku mencintaimu, Tia! Aku tidak pernah berhenti mencintaimu! Bahkan jika aku ingin, aku tetap tidak mampu!"
"Aku hanya mencintai Kakak saja."

Adrian mencium kening Tia, kedua matanya, hidungnya, bibirnya, semua bagian wajah yang basah oleh air mata itu. Ia menatap Tia saat berucap, "Kembalilah padaku! Kita menikah! Kau mau menikahiku, Tia?"
Tanpa berpikir lagi, dengan mata berbinar Tia menjawab, "ya, Kak! Aku mau!"

Bersambung #12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER