Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 18 Mei 2021

Binar Jingga Mentari Senja #12

Cerita bersambung
*SEKEPING HATI YANG TERBAGI*
Pagi-pagi pintu kamar Tia sudah diketuk. Terlalu mengantuk, Tia menyembunyikan kepalanya di bawah bantal. Tadi malam ia terlelap setelah lewat jam dua dinihari, bangun untuk sholat subuh lalu berniat menyambung tidur meski setengah jam saja. Siapapun itu, ia berharap orang itu berhenti mengetuk pintu.
Pintu terus diketuk. Malas-malasan, dengan mata setengah terpejam dan langkah diseret Tia beranjak dari kasur empuknya. Kantuknya lenyap begitu melihat Adrian di depan pintu.

"Masih mengantuk?" Adrian tersenyum simpul. Penampilannya mengagumkan dalam balutan jas hitam mahal yang dijahit amat rapi dan pas ditubuh tinggi menjulangnya. Dirinya sengaja memakai jas terbaik demi menemui Tia pagi ini.

Malu-malu, Tia mengangguk. "Aku tidur terlalu larut, Kak."
"Tak bisa tidur karena memikirkanku?"
"Kakak geer sekali!" Tia menunduk, berusaha menyembunyikan perasaannya.
"Jadi bukan karena memikirkanku?" Adrian mengangguk-angguk seolah maklum. "Tapi tadi malam aku tidak bisa tidur karena memikirkanmu!"

Pipi Tia merona. Dadanya kembali berdebar. Rasanya bahagia sekali, setelah hubungan mereka membaik Adrian kembali banyak bicara.

"Sayang, kemarilah." Adrian membawa Tia ke salah satu sofa di depan kamar.
"Kak, aku belum mandi, belum gosok gigi. Kusut dan berantakan. Sedangkan Kakak rapi sekali."
"Sudah, tidak apa-apa, begini juga sudah cantik," ia menggenggam jari Tia. Sebelah tangannya merapikan anak rambut di kening gadis itu.

Dua tahun lebih kehilangan kebersamaan dengan Adrian, sekarang rasanya seperti mimpi saja. Semalam hatinya porak poranda karena duka, sekarang juga masih porak poranda, tapi oleh badai kebahagiaan. Ajaib sekali!
Kekasihnya nampak semakin matang dan berwibawa. Kaca mata tipisnya, rambutnya yang tersisir rapi, wajahnya yang semakin bersih. Adrian lebih menarik dibanding dua tiga tahun yang lalu. Ya Tuhan, betapa dia mencintai laki-laki ini!

Adrian mulai bicara. Nampaknya penting karena wajahnya sangat serius.
"Sayang, aku ingin kau mengerti, hubungan kita adalah hal terpenting dalam hidupku. Aku tidak ingin ada masalah lagi. Kita berdua sudah sama-sama lelah. Semua ini terjadi karena kita terganjal restu, juga karena kita selalu berjauhan."

Adrian turun ke lantai, duduk bertelekan satu kaki sedangkan kaki yang lain menyangga tubuhnya. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku. Sebuah cincin. Ia menunjukkannya pada Tia, lalu berkata dengan lembut dan romantis, "Tia Sayang, kau mau menikah denganku?"
Jantung Tia nyaris melorot. Bibirnya setengah terbuka, hingga ia tidak mampu bicara.
"Kakak sedang melamarku?"
"Ya, aku melamarmu." Wajahnya mendongak penuh harap, sedangkan sebelah jarinya menyentuh lutut Tia. Ia bagai menghamba.

Tia memandang keadaan dirinya dan Adrian. Miris, sekaligus geli. Seorang pria tampan berjas mahal sedang melamar seorang gadis berpiyama yang rambutnya acak-acakan.

"Menikahlah denganku, Tiara Ariana Ahmadi."

Tia tidak mampu berkata-kata. Pori-porinya meremang, jari-jarinya terasa dingin. Ia membutuhkan waktu beberapa saat untuk meyakinkan mata dan telinganya.
Ia turun ke lantai, duduk di depan Adrian. Ia membalas tatap Adrian, meyakinkan diri bahwa ia akan membuat salah satu keputusan terpenting dalam hidupnya.
Perlahan, Tia mengangguk.

"Apakah itu berarti ya?" suara Adrian parau, menatap penuh harap.
Tia mengangguk sekali lagi.
"Oh, Sayang!" Adrian mendongak, perlahan meraih Tia ke dalam dekapannya. Ciumnya bertubi-tubi ke ubun-ubun kekasihnya, lalu meraih jari Tia.

"Ini adalah cincin Mama. Papa memberikannya waktu melamar Mama puluhan tahun yang lalu. Sekarang jadi milikmu," Adrian menyarungkan cincin itu ke jari Tia.
"Apakah kita bertunangan, Kak?"
"Iya. Sambil mengurus pernikahan kita."
Senyum Tia lebar merekah. Matanya sampai berkaca-kaca. "Aku tidak percaya sekarang aku sudah bertunangan! Rasanya bagai mimpi, membahagiakan sekali!"

Adrian mengangguk setuju. Bibirnya tersenyum, bahagia melihat kebahagiaan Tia. "Apakah bertunangan penting bagimu?"
"Sangat! Bertunangan itu suatu proses yang sangat romantis. Bukan sekedar pacar lagi, tetapi juga belum menjadi pasangan sah. Pokoknya, buatku bertunangan itu indah sekali!"
"Maaf jika aku tidak melamarmu dalam makan malam romantis dengan lilin dan bunga. Aku tidak mau menunggu sampai malam, bahkan tidak sabar menunggu sampai kau bangun! Aku kuatir kau berubah pikiran!"
"Ini sudah romantis, Kak!"
"Benarkah?"
"Ya. Seorang pangeran sedang melamar seorang putri tidur. Lihat penampilan kita! Cocok, kan? Selamanya, tidak akan ada lagi lamaran seromantis ini!"
"Kau menyindir?"
"Aku serius. Sungguh!" Tia membentuk huruf v dengan tangannya. "Kak, bagaimana pun cara Kakak melamarku, bagiku tetap romantis. Karena aku sudah menunggu sejak berusia empat belas tahun!"
"Jangan nangis lagi," Adrian mengusap titik bening di sudut mata Tia.
"Keluar sendiri air matanya," Tia tersenyum malu, "Kakak juga nangis. Ini apa?"

Tia memandang cincin di jari manisnya. Cincin pertunangan, warisan keluarga Heinzh. Air matanya kembali menetes. Seorang gadis miskin dari Malam Kolam akan menjadi istri Adrian Heinzh, pewaris tunggal Heinzh Holding, yang sebuah pabriknya saja mampu membuat seluruh warga Malam Kolam bertekuk lutut. Sebuah pabrik yang hanya merupakan salah satu dari segelintir aset Heinzh Holding yang tersebar di seluruh penjuru negeri ini.

Tia tidak peduli dengan semua ini. Dia mencintai Adrian. Itu saja. Tapi semua kekayaan dan kemewahan telah menambah nilai plus pada diri pria itu. Semua ini sudah menjadi satu kesatuan dalam dirinya. Tidak bisa dipisah.

Abak dan Omak pasti bahagia. Juga Pandro. Asih. Imran. Iis. Wati. Semua orang yang menyayanginya. Saat menikah nanti, ia akan mengundang mereka semua. Membawa mereka menginap di rumah ini. Agar mereka merasakan kesenangan dan memiliki kebanggaan karena menginjakkan kaki di rumah Ny. Murdiana Hartati Heinzh yang amat mereka kagumi.

Tia telah menaklukkan dunia. Tapi tidak ada kebahagiaan dan kebanggaan yang lebih besar baginya melebihi kebahagiaan ini.  Dia telah berjuang selama bertahun-tahun demi meraih Adrian, dan kini, satu langkah lagi, impiannya akan menjadi kenyataan.

Kevin menelponnya kembali. Tia mengunci pintu sebelum menjawab telepon Kevin.
"Sayang, aku merindukanmu. Kembalilah secepatnya." Suaranya sarat kerinduan.
Tia mencengkeram ponselnya lebih erat.
"Aku ingin ke sana, Tia. Aku ingin menjemputmu."
"Aku bisa pulang sendiri, Kev. Dan belum saatnya kau ke sini."
"Oke," ada nada getir disitu.

Kevin. Wajahnya yang tersenyum dan selalu mengalah berkelebat. Menimbulkan rasa nyeri di sudut hati ini. Andai mau jujur, Kevin telah membahagiakannya lebih dari kebahagiaan yang diberikan Adrian. Selama dua tahun bersama Kevin, dia membuat Tia gembira dan tertawa lebih banyak dibanding belasan tahun bersama Adrian. Bersama Adrian ia selalu menanti dan berharap, sedangkan Kevin selalu ada untuknya. Bersama Kevin ia bebas bicara, tetapi tidak halnya terhadap Adrian. Kevin supel dan humoris, sedangkan Adrian pendiam dan kaku, seperti menanggung beban dunia.
Tetapi, ia mencintai Adrian.

Tia ngilu, karena sekarang ia sedang mengkhianati Kevin!
***

Pagi itu Adrian tidak ke kantor. Ia sudah menukar jas dengan pakaian biasa. Tia pun sudah mandi dan berganti pakaian. Adrian membawa Tia ke lantai atas dan melihat-lihat seluruh bagian rumah.

"Rumah Kakak besar sekali. Kita harus membeli sebuah motor matic sebagai alat transportasi di dalam rumah, karena akan melelahkan kalau jalan kaki," kata Tia.
Guyonannya membuat Adrian tersenyum.
"Karena rumah ini besar, kita harus punya anak yang banyak. Agar seluruh ruangan ini bermanfaat," balas Adrian.
"Ya. Seperempat lusin."
"Tidak, Sayang. Setengah lusin!"

Adrian membawa Tia ke meja billiard, mengajari olah raga sodok bola itu padanya. Tapi sepertinya itu hanya modus saja agar bisa menyentuh Tia sebanyak mungkin. Kening Tia berkerut. Setelah lama berpisah, Adrian jadi mirip Kevin. Tangan dan bibirnya itu! Ringan saja, sedikit-sedikit main peluk dan cium.
Kalau melihat gelagatnya, sepertinya Adrian sudah tidak sabar ingin menikah. Tapi, siapa sih yang tidak ingin menikah!

"Pacaran lama-lama itu tidak baik," katanya.
"Memang. Kita sudah sebelas tahun, hampir dua belas tahun. Potong tiga setengah tahun karena putus."
"Karena kecemburuan yang salah sasaran," sesal Adrian. "Semestinya aku mendengar penjelasanmu, dan kau mendengar penjelasanku."
"Benar, Kak. Kita berdua sama-sama salah. Ya walaupun wajar saja kalau Kakak marah. Aku sendiri, kalau sampai aku melihat seorang perempuan hanya memakai handuk di kamar Kakak, aku pasti akan menghajar Kakak berikut wanita jalang itu habis-habisan!"
"Apa?"
"Benar! Aku tidak akan tinggal diam! Maka Kakak jangan coba-coba! Aku akan menjadi istri pencemburu kelak."

Adrian terus mendengarkan Tia dan mengamatinya. Sekarang Tia memiliki banyak istilah-istilah makian yang terdengar keren!  Wanita jalang! Ranto si bajingan keparat! Apalagi? Juga lebih ekspresif kalau bicara. Dulu, dua setengah tahun yang lalu dia tidak begini. Pendiam, cenderung kaku, elegan sepanjang waktu, gambaran sempurna seorang Ratu kecantikan. Sekarang, meski dia masih manja dan pemalu, namun dia menjadi lebih ekspresif. Adrian mengingat pertemuan mereka di Maryland waktu itu, dimana dia melihat Tia bicara dengan Kevin. Tia dan aktor itu bicara terus, kadang berbisik-bisik, saling senyum dan tertawa. Mereka nampak bahagia hingga Adrian terbakar cemburu.

Tia sudah berubah. Mungkin, aktor itu yang mengubahnya. Tidak mengapa, karena Adrian justru menyukainya. Ia suka melihat bibir dan mata Tia yang bergerak-gerak saat bicara.

"Kau bahagia, Tia?" Adrian memeluk Tia dari belakang.
"Ya, Kak."
"Aku ingin kita menikah secepatnya."
"Tapi Mama kan baru meninggal."
"Ini yang Mama inginkan."
"Tapi bagaimana ya," Tia melepaskan diri dari Adrian, membalikkan badan hingga mereka saling berhadapan, "Ada beberapa kontrak kerja yang melarangku menikah."
Mata Adrian menyipit. "Amor itu?"
"Crown. Alexxe."
"Kau selalu menandatangani kontrak dengan perjanjian serupa saat kita putus. Kenapa, Tia? Begitu yakin kita tidak akan bersama lagi?"
"Yang pertama dulu karena kebodohanku."
"Jadi tiga yang sekarang?"
"Karena kebodohan Kakak!"
Mau tak mau Adrian tertawa kecil.
"Jangan nyalahin aku terus dong, Kak! Aku..., mana aku menyangka kita akan balikan! Kalau ingat ekspresi Kakak waktu itu, sekarang ini bagai keajaiban."
"Maafkan aku, Tia." Adrian menyentuh pipinya, "Maafkan  dengan berjuta maaf. Aku yang salah."
Tia mengangguk. "Jadi sekarang bagaimana, Kak?"
"Aku akan berunding dengan pengacaraku. Biar mereka yang maju untuk berunding dengan ketiga brand itu."
"Memutus kontrak?"
"Kau maunya bagaimana? Masih ingin jadi model?"
"Aku ingin jadi istri Kakak," gumam Tia manja, matanya bagai menerawang jauh, "Kak, jika memungkinkan aku mundur dari mereka, aku lebih suka mundur. Balik ke sini. Sungguh! Tapi, aku terikat kontrak bukan hanya dengan mereka. Masih ada berbagai kontrak kerja lainnya. Jadwalku sudah penuh hingga setahun ke depan. Sudah terima uang muka juga. Aku juga  terikat perpanjangan kontrak dengan Management Audrey Smith selama lima tahun. Masih ada empat tahun lagi. Kakak tau Audrey Smith, kan?"
"Tidak, aku tidak tau."
"Ya, wajar. Tapi semua orang di industri hiburan tau siapa dia. Semua artis ingin bernaung dibawahnya."
"Ya, aku ingat! Yang mengejarmu sejak kau masih jadi Miss Internasional itu, kan?"
"Yap, benar sekali!" Tia menjadi lesu, "aku yakin Audrey tidak akan melepasku begitu saja."
"Sayang, tenanglah! Para Pengacaraku akan melakukannya untuk kita."

Ponsel Tia bergetar. Ia mengangkatnya. Hannah Miller.
"Ya, Hannah." Tia menekan speaker agar Adrian ikut mendengarnya.
"Kau kapan kembali? Syuting untuk iklan vitamin kulit itu tinggal menunggumu!" suara Hannah menderu.
"Bibiku baru meninggal, Hannah. Aku masih butuh waktu."
"Jadwalmu penuh, Tia! Kau sudah absen satu minggu! Audrey sudah marah-marah, karena klien mengajukan keberatan kau mangkir! Kau juga harus pemotretan untuk cover EZ terbitan mendatang! Mereka sudah bolak-balik telepon!"
"Aku akan menelponmu nanti." Tia memutuskan sambungan. Ia memandang Adrian dengan resah.

Adrian duduk di sofa, wajahnya nampak serius, tenggelam dalam lamunan. Dia sedang memikirkan sesuatu. Lalu dia mengangguk-angguk, bagai menemukan jalan keluar.

"Tia, apakah kau memiliki semua salinan kontrak yang telah kau sepakati?"
Tia mengangguk.
"Ada padamu atau pada Managermu?"
"Kami masing-masing pegang satu. Audrey juga memilikinya."
"Bagus. Aku minta semua daftar klienmu, draft kontrak dan jadwal kerja yang telah kau sepakati, berikut nilai kontrak dan jumlah uang yang sudah kau terima."
"Aku menyimpannya, Kak. Di rumah."
"Baik. Sesampainya di LA, kirim salinannya padaku, biar pengacaraku mempelajarinya."
"Kak," Tia pindah ke samping Adrian, "semua proses ini akan makan waktu, bukan?"
"Benar."
"Selama belum ada kesepakatan, kita belum bisa menikah. Aku tidak mau mendapat somasi dan ada ribut-ribut saat kita sedang berbulan madu."
Mereka sama-sama diam.
"Kak, bagaimana kalau kita menikah siri dulu?"
"Menikah siri?" Adrian tersentak, "Tidak! Menikah siri tidak ada dalam kamusku."
"Terus bagaimana?"
"Aku akan memikirkannya."
***

Saat makan malam, Tia berterus terang pada Adrian tentang kebimbangannya.

"Audrey menelponku, Kak. Karena Hannah sudah tidak mempan."

Adrian seorang pebisnis. Ia mengerti dampak yang harus dihadapi para klien akibat mangkirnya Tia. Ini bukan semata soal uang. Hanya orang bisnis saja yang paham hal-hal seperti ini.

"Tia, kembalilah dulu ke LA. Jalani saja dulu semua tanggungjawabmu, sementara para pengacaraku mempelajari kontrakmu dan bernegosiasi dengan mereka."
"Makasih, Kak. Aku lega Kakak mengerti. Aku tidak akan menerima kontrak baru, hanya menyelesaikan yang lama saja."
Adrian menyudahi makannya dan melihat sepenuhnya pada Tia.
"Tia, bagaimana dengan Kevin?" Adrian tidak bisa menahan dirinya lebih lama untuk menanyakan pria itu. Ia sudah memikirkannya sejak tadi pagi, setelah Tia menerima lamarannya.

Untuk sekejap kelebat ragu hinggap begitu saja di dada Tia. Ia kuatir pria pencemburu yang sebentar lagi menjadi suaminya ini tidak siap membicarakan ini.

"Beri aku waktu, Kak. Aku akan mengakhiri hubungan kami. Sejujurnya, aku tidak tau bagaimana cara yang paling tepat untuk mengatakannya pada Kevin."
"Kau begitu memikirkannya?" suara Adrian terdengar gusar.
"Kak, tolong mengerti sedikit. Selama ini hubungan kami baik-baik saja, sampai tadi malam aku masih kekasihnya. Bahkan, Kevin sudah melamarku beberapa kali. Sejujurnya, aku sudah memikirkannya juga."
Adrian membuang muka.
"Kak, Kevin sangat baik. Aku menghargai kebaikan dan ketulusannya. Sekarang aku sedang memikirkan cara mengakhiri hubungan kami dengan cara yang tidak terlalu menyakitkan baginya."
"Seorang pria terlatih seperti dia akan cepat menyesuaikan diri, Tia," dengus Adrian. Ia jengkel akan keterus terangan Tia, meski diam-diam dia mengakui Tia tidak salah.
"Memang, Kak, tapi,"
"Sebagaimana aku yang akhirnya terbiasa tanpa kehadiranmu, demikian juga dia kelak. Pada akhirnya, kita harus menerima kenyataan hidup dan melanjutkan kehidupan itu sendiri!"

Yang dikatakan Adrian memang benar. Tapi entah mengapa, rasanya sedih saat memikirkan Kevin.
"Kak, biarkan aku mengurus masalah Kevin, tapi beri aku waktu dan kepercayaan." Tia meremas jari Adrian, berharap pengertian.

Perlahan, akhirnya Adrian memberi anggukan persetujuan. Tia lega.

Membiarkan Tia kembali ke LA adalah hal yang tidak mudah bagi Adrian. Dia sudah dapat membayangkan pertemuan Tia dengan aktor itu. Mereka belum putus, bahkan hubungan mereka berjalan lancar. Diam-diam Adrian mengakui dirinyalah orang ketiga itu.

Namun sisi egoisnya tidak mau peduli. Ia bukan seniman yang acap bermain perasaan, melainkan pebisnis yang berlandaskan fakta. Kenyataannya, Tia mencintainya, dan itu yang terpenting!
Maka dengan berat hati ia melepas Tia.

"Aku pamit, Kak." Tia mencium punggung tangan Adrian, layaknya istri mencium punggung tangan suami. "Jangan lupa telepon aku setiap malam!"
"Pastinya!"
"Dan aktifkan kembali transferannya!"
"Apa?" Adrian tergelak, "Bukankah kau sudah kaya?"
"Memang. Tapi uang istri milik istri sendiri, uang suami juga milik istri sebagiannya. Jadi kirimi aku!" rajuknya.
"Mata duitan," Adrian geleng-geleng kepala sambil mengacak rambut Tia. "Tapi baiklah. Berikut tunggakan selama dua tahun ini. Aku akan merapelnya sekaligus. Bagaimana?"
"Benarkah?" mata coklat itu membulat, bagai ada bintang berpendar-pendar dari dalamnya. Senyumnya lebar merekah. Ia bergelayut di leher Adrian, mendesakkan tubuhnya bagai kucing minta dimanja.

"Lihat, betapa matrenya dirimu," goda Adrian kembali.
"Kakak tau tidak, aku sedih sekali saat Kakak menghentikan kiriman untukku. Di bulan ketiga, aku baru percaya bahwa Kakak benar-benar sudah tidak peduli. Aku mampu membiayai diriku, tapi bisa menikmati hasil kerja keras Kakak selalu membuatku terharu. Rasanya lain saja."
Adrian tersentuh melihat kepolosan Tia.

"Sayang, kau tau mengapa aku sayang padamu?"
"Mungkin, karena aku cantik?"
Adrian tersenyum dan menjentik hidung Tia. "Karena kau baik. Kau tidak pernah menyombongkan diri didepanku, selalu menunjukkan kebutuhanmu, meskipun sebenarnya kau mampu. Laki-laki suka dipuja, Tia, senang saat bisa melindungi wanita yang dia sayangi. Itu sudah karakter. Dan kau mengetahui itu dengan baik."
"Tetapi kalau dipuja, sebagian laki-laki jadi merendahkan perempuan."
"Hanya bagi laki-laki yang bodoh. Yang tidak memahami nilai kasih sayang. Uang bukan segalanya, Tia. Percayalah!"
"Aku percaya, Kak. Aku sangat percaya."
***

Kevin tidak menunggu sedetikpun saat menginjakkan kaki di rumah Tia. Langkahnya lebar, menapaki dua anak tangga sekaligus. Tia baru membuka pintu kamarnya saat Kevin tiba di sana. Senyum lebar dan tawa renyahnya menyambut Tia. Matanya berbinar melihat gadis itu.

"Aku kangen sekali, Tia," serta merta ia merangkul Tia. Tubuh langsing Tia bagai tenggelam dalam tubuh jangkung dan lebar aktor itu.
Kevin memuaskan rindunya dengan menatap wajah Tia. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatap saja dengan senyum di bibir.

Tia membawa Kevin ke dapur, tempat mereka biasa duduk mengobrol sambil menikmati berbagai kuliner. Sepiring risol isi ayam dan kentang wortel sudah menunggu.

"Wah, risol pesananku!" ia senang sekali. "Ayo, kita nikmati bersama. Kita sudah lama tidak makan bersama, kan?"
"Aku sudah makan tadi." Tia mengulurkan piring kecil berisi saos sambal.

Kevin makan dengan lahap. Ia sama sekali tidak mengangkat kepala. Ia mencocolkan risol itu pada saos sambal dan terus menikmatinya meski kepedasan. Keningnya mulai berembun oleh keringat.

"Entah makanannya memang enak ataukah karena kau yang membuatnya, tapi aku sungguh suka makanan ini," katanya.

Selama pria itu makan, Tia terus menerus memandangnya. Sebagaimana bola salju yang semakin menggelinding semakin besar, begitu juga rasa bersalah Tia terhadap Kevin.

Alangkah baiknya pria ini, bisik hatinya. Kevin sudah melakukan segalanya untukku. Ia hadir dalam hidupku dan membawaku keluar dari pusaran duka. Sebagaimana Kak Ryan juga telah melakukan hal yang sama bertahun-tahun yang lalu.

Tia marah pada dirinya sendiri karena ia harus melukai Kevin. Ia bahkan sudah memulainya dengan menerima lamaran Adrian.
Ia memberi Kevin makan, lalu menggiringnya ke ladang pembantaian, seperti hewan kurban yang dipelihara dengan baik agar cukup gemuk saat disembelih.

"Terkutuklah aku!" Tia memaki dirinya sendiri. Hidung mulai menghangat dan tenggorokan tercekat. Ia memijit pelipisnya yang tidak sakit. Ya Tuhan, mengapa harus sesakit ini rasanya? Ia tidak sanggup mengatakan apa-apa pada Kevin, tidak mampu melukai orang sebaik ini.

Kevin memiliki hati yang bening. Dia sabar dan mudah memaafkan. Dia tulus dan selalu ada untuk Tia.

"Sayang, kau sakit?" Kevin menghentikan makannya.
"Hanya lelah saja."
"Kau memikirkan bibimu?"
Tia menggeleng. "Tidak, bukan itu."
"Kau butuh istirahat? Ayo, kita ke sofa. Kau bisa berbaring, aku akan menjagamu!" Tanpa menunggu dia menggendong Tia, tanpa Tia sempat membantah.

Kevin membaringkan Tia di sofa, menjadikan pahanya sebagai bantal. Tia kebingungan, tidak tau harus bagaimana. Kevin diam saja, namun jarinya memijit pelipis Tia lembut, lebih menyerupai elusan.

Akhirnya, Tia memejamkan mata, berpikir dan mencari cara. Sungguh, ia buntu dan bagai beku.
"Kev," serunya kemudian, memulai pembicaraan. "Bagaimana kabarmu?"
"Biasa saja. Aku sedang tidak banyak kegiatan. Syuting filmnya masih dalam persiapan. Aku pasti sudah menyusulmu andai kau tidak melarang. Aku hanya ingin kau tau aku benar-benar serius padamu, Tia."

Sekarang kepala Tia benar-benar sakit. Ia menggigit bibir, berharap pembicaraan itu tidak dilanjutkan. Tapi Kevin terus saja bicara.

"Aku tidak pernah merasa begini kesepian. Kadang aku pikir apa aku sudah gila karena berlaku konyol. Aku berdiri di depan cermin, mengamati wajahku, dalam hati mengakui ketampananku. Namun mengapa gadis yang aku cintai setengah mati hanya mencintaiku setengah hati?"

Tia memijit pelipisnya. Tak sengaja jari mereka bersentuhan. Ia menahan jari Kevin, menggenggam dalam sebuah genggaman erat.

"Maafkan aku Tia, karena membebanimu dengan keluhan."
"Tidak, akulah yang minta maaf. Karena kau terlalu baik!" Tia berusaha menahan air mata, namun gagal setelah melihat Kevin yang menunduk menatap wajahnya. Akhirnya Tia duduk. "Kev, aku tidak mampu membahagiakanmu. Aku sudah mencoba. Maafkan aku!"
"Jangan menangis, please! Aku tidak tahan melihatmu menangis, Tia." Ia merangkul kepala Tia, mengelus rambut gadis itu. "Tidak mengapa jika kau belum mampu. Jangan memaksakan diri."

Isak Tia semakin pilu, hingga Kevin kebingungan.
"Ada apa, Tia? Ceritakan padaku!"

Tia menggeleng. Akhirnya Kevin diam, tangannya terus menggenggam tangan Tia, menunggu Tia siap untuk bicara.

Keheningan itu pecah oleh suara dering ponsel. Itu dari Adrian. Tia membiarkan hingga dering itu berhenti sendiri. Kemudian masuk sebuah pesan.
Sampai kapan hidupku kacau begini, keluh Tia.
Perilaku Tia tak lepas dari pengamatan Kevin.

"Apa kau tak nyaman aku disini?" tanya Kevin akhirnya.
"Aku hanya butuh sendiri, Kev."
"Baik." Kevin memberi tatap lembut, sama sekali tidak tersinggung atas perlakuan Tia. Dia mencium kening Tia, dan berkata, "Istirahat, ya. Dan jangan menangis! Tia, aku sayang padamu. Aku tidak ingin membebanimu dengan cinta ini, tapi aku hanya ingin kau tau, ini pertama kalinya hatiku disentuh sedemikian dalam."

Setelah Kevin pergi, tangis Tia pecah.

==========

*DIAMOND LAKE**

Meski sempat tertunda, pemotretan untuk majalah EZ berjalan lancar. Tia memberikan usaha terbaik, mengundang decak kagum fotografer dan seluruh team karena kemampuan Tia mengubah dirinya di depan kamera.

"Bagus sekali, Tia! Kau luar biasa!" David Jones sang photografer memberi jempol. "Tidak sia-sia menunggumu selama seminggu!"

Ketika Tia berganti pakaian, ponselnya berdering. Biasanya ia mengabaikan, karena dirinya tidak suka diganggu saat bekerja. Tapi ini telepon dari pria istimewa itu, Adrian Heinzh.

"Sudah lihat fotonya?" kata Adrian pertama kali.
"Foto apa, Kak?"
"Kalau begitu lihat dulu." Adrian mematikan telepon.

Tia membuka pesan masuk. Adrian mengirim foto dirinya yang sudah diedit sedemikian rupa. Bibirnya merah, telinga kelinci, memakai kumis dan jenggot, juga kaca mata doraemon. Lengkap dengan bintang-bintang disekelilingnya.
Tia tertawa geli. Kak Ryan bisa juga bercanda. Belakangan ini, sikapnya juga tidak seperti dulu. Dia lebih lepas, bicara lebih banyak, dan lebih agresif. Tia tersipu malu.

Adrian menelpon kembali.
"Bagaimana?"
"Keren!"
"Apanya?"
"Kumisnya!"
Adrian tergelak.
"Kakak sedang di pesawat ya?"
"Ya, siap-siap mau terbang. Aku ada pertemuan dengan kolega dari Florida, kami sepakat bertemu di Singapura."
"Menginap?"
"Tidak, setelah selesai langsung balik ke Jakarta. Kau sendiri? Bagaimana pemotretannya?"
"Lancar, Kak. Nanti aku kirim kalau sudah cetak."
"Tia Ariana, i love you," suaranya basah dan lembut.
Tia merapatkan ponselnya ke telinga. "I love you, Adrian Heinzh."

Dada Adrian buncah oleh bahagia dan haru. Ini pertama kali Tia menyebut namanya. Tia bukan lagi gadis kecilnya yang takut-takut dan canggung, tapi sudah menjelma menjadi wanita dewasa yang sukses dan percaya diri.

"Jangan terlalu capek, Tia."
"Kakak juga, jangan gila kerja."
"Nanti aku telepon lagi, ya."
"Kak ...,"
"Hmmm...,"
"Aku kangen."
"Manja!"
"Biarin!"
Adrian tergelak. "Sabar saja, nanti setelah menikah kita tidak akan berjauhan begini lagi."
"Iya, aku mengerti. Sudah dulu, Kak. Aku harus kerja lagi. Hannah sudah bolak-balik dua kali!"
"Oke."

Setelah itu, Tia menghadiri acara peluncuran produk dan peragaan busana. Tiga hari yang sibuk. Tia menolak menerima tawaran baru yang dikirim Audrey, membuat wanita itu berikut manajemennya mengerutkan dahi. Dia menelpon Hannah.

"Ada apa denganmu, kau menolak semua tawaran yang datang?" Hannah tidak menunggu, langsung menghubungi Tia.
"Datanglah ke rumahku, Hannah! Tidak nyaman bicara di telepon."
"Aku memang sudah di jalan ke rumahmu!"
Hannah tiba lima belas menit kemudian dan tanpa basa basi langsung menyerang Tia.
"Apa-apaan ini, Tia? Apa ini? Apa?" dia bagai orang kebakaran jenggot.
"Aku sudah memutuskan untuk cuti panjang atau berhenti dari modelling. Karena itu aku tidak ingin menerima tawaran baru," ujar Tia tenang.
"Apa?" Hannah seolah terlompat dari duduknya.
"Benar, aku akan kembali ke Indonesia."
"Dan kau akan melepas semua yang sudah kau peroleh dengan susah payah ini?" Hannah nyaris tidak mempercayai pendengarannya. "Ya Tuhan! Aku benar-benar tidak mengerti dirimu sedikitpun! Aku tidak bisa percaya semua ini! Tidak bisa!"

Perempuan tomboy bertubuh gemuk itu berjalan mondar-mandir, terus berusaha mempengaruhi Tia dan mengubah keputusannya.

"Kau tau, setiap detiknya jutaan gadis muda dari seluruh dunia memimpikan berada di sini, diposisimu sekarang! Mereka bersedia melakukan apa saja, membayar dengan diri dan hidupnya! Jadi budak, jadi simpanan para kuli studio demi memiliki akses kedalamnya! Jadi budak, Tia! Sedangkan kau, jalanmu begitu mulus! Tidak ada gelombang sama sekali! Kau cantik, menang kontes, beruntung karena dilirik Audrey! Bahkan dengan mudah kau menggaet Kevin, hingga namamu melambung ke angkasa! Apa yang kurang lagi? Jangan bodoh, Tia!!"
"Jangan menceramahiku!" Tia gusar. Dia meletakkan segelas kopi untuk Hannah. "Nih, minum dulu!"
Mereka duduk berhadapan di meja makan.
"Tia, pikirkan kembali! Saat ini kariermu mencapai puncak! Masa depanmu cerah terbentang! Kau masih bisa bertahan selama beberapa tahun lagi!"
"Aku sudah memutuskan." Tia menyesap kopinya.
"Tapi demi apa kau melakukannya? Ya Tuhan!!" dia merasa keberuntungan lepas dari genggamannya. "Dan bagaimana dengan Kevin?"
"Hannah, tolong! Tolong jangan banyak bertanya! Aku hanya ingin menegaskan bahwa aku hanya bertanggung jawab atas kontrak yang sudah terlanjur kuterima sebelum aku berangkat ke Indonesia kemarin! Aku tidak bertanggung jawab atas kontrak baru!"
"Tia...!"

Mereka terlibat perdebatan alot. Hannah tidak terima aset management mereka yang termahal ini berhenti menjadi mesin pencetak uang. Ia memberi pertimbangan begini dan begitu, mengutarakan serangkaian keberatan, juga menuntut penjelasan dibalik langkah mengejutkan Tia. Tetapi Tia sudah memutuskan. Ia memberi isyarat bahwa ia tidak mau membahasnya lagi.

"Oke, aku akan menghubungimu lagi nanti! Tapi kumohon, pikirkan kembali keputusan gilamu ini!" katanya sebelum pergi.

Sepeninggal Hannah, Tia memeluk lutut dan merenungkan diri. Tekadnya sudah bulat. Setelah menikah, mustahil baginya tetap bekerja di sini. Ia memiliki tanggungjawab terhadap pernikahannya. Kembali ke Indonesia adalah langkah terbaik.
Ia bahagia dengan keputusannya. Ia bahagia akan meninggalkan semua ini.

Hanya satu yang masih mengganjal, dan merupakan bagian yang paling berat. Kevin.
***

Kevin menutup telepon. Wajahnya sedingin es.
"Jadi begitu?" desisnya.

Ia dalam perjalanan menuju studio musik, hobi yang ia gemari sejak masa remaja. Dulu, puluhan tahun yang lalu, ia pernah mempunyai grup band dan mereka cukup dikenal. Keterlibatannya di grup ini pula yang membuat pendidikannya berantakan dan ia dikeluarkan dari sekolah akibat acap membolos. Ia seorang drummer yang cukup handal dan mereka mengisi pertunjukan di bar-bar dan sederet cafe-cafe kecil. Grup band itu bubar seiring kesibukan sang drummer di film, juga karena dasarnya mereka dikenal bukan karena kualitas bermusik, melainkan nama Kevin sebagai aktor. Show mereka selalu dipenuhi penonton, sebagian besar wanita, yang terus meneriakkan nama Kevin, bukan nama band mereka.

Kevin memutar stir seratus delapan puluh derajat, menginjak pedal gas dalam kecepatan maksimal. Dalam sepuluh menit ia sudah tiba di rumah Tia.
Mrs. Summerset membuka pintu dan Kevin masuk tanpa menunggu. Ia cukup yakin Tia berada di rumah.
Kekasihnya, model internasional berambut cokelat itu, sedang berdiri membelakang dan menerima telepon. Ia terlibat pembicaraan serius dengan Audrey dan tidak menyadari kehadiran Kevin dibelakangnya.

"Audrey, bukankah sudah kukatakan, aku tidak akan menerima tawaran lagi!"

Kevin memilih menunggu. Sedetik, dua detik yang terasa lama dan menjemukan. Berbagai pertanyaan mendesak dikepalanya.
Sesungguhnya Kevin sudah merasakan perubahan besar pada diri kekasihnya sejak wanita itu tiba-tiba pulang ke Indonesia. Alasan kepulangannya mencurigakan, karena Tia pernah mengatakan tidak memiliki keluarga lagi.

Selama di Jakarta, Kevin lah yang selalu menelpon Tia. Kadang diangkat, selalunya tidak. Ketika akhirnya diangkat, terlihat jelas dia ingin cepat-cepat menutup telepon.
Perlahan Tia menjauh darinya. Tidak, bukan hanya menjauh, namun lebih dari itu. Entahlah, ia tidak tau, namun dapat merasakannya.

"Kevin!" Tia tidak mampu menutupi keterkejutannya. Ia gelagapan, namun dengan cepat menutupi dengan senyum yang nyata hambar.
"Berita sampah apa yang kudengar ini, Tia?" aktor jangkung itu tidak berbasa-basi.

Butuh beberapa detik sampai Tia mampu menguasai diri.
"Hannah sudah mengatakannya?"
"Ya! Dan katakan padaku ada apa!"
Tia tertunduk.
"Aku butuh penjelasan, Tia!" ia mencekal lengan Tia, memberi tatap dingin menusuk.
Tia bagai menahan nafas. Ia tercekat, tidak tau bagaimana harus memulai.
"Tia!"
"Aku akan kembali ke Indonesia," gumamnya pelan.
"Demi Tuhan, tapi mengapa?" suaranya meninggi.
"Aku...," Tia mengatur suaranya setenang mungkin. Namun ia dapat mendengar suaranya bergetar saat mengucapkan kalimat berikutnya, "aku akan menikah."
***

Ada banyak wanita yang datang dan pergi dalam hidupnya. Ia tidak pernah menghitung jumlahnya, dan itu tidak penting. Mereka terlalu banyak. Namun diantara yang banyak itu, hanya dua nama yang tidak pernah ia lupakan. Catherine Simpson, yang telah pergi selamanya, dan yang akan pergi berikutnya, Tiara Ariana Ahmadi.
Tia Ariana...
Tia Ariana...
Tia Ariana...

Ia menyebut nama itu berulang-ulang dengan kilatan nyeri tak tertahankan.
"Aku akan menikah."

Kalimat itu bagai dikirim dari kejauhan. Tia tidak memandangnya waktu mengucapkan itu, juga setelahnya.
Selamanya, tiada yang lebih mengejutkan dibandingkan kalimat singkat itu. Juga tidak ada yang lebih menyakitkan!

"Dia laki-laki itu? Malaikat penyelamatmu?"
Tia menghela nafas. Lalu mengangguk.
"Aku tidak percaya ini! Bagaimana mungkin aku akan percaya!" ia tersenyum hambar dengan wajah merah menyiratkan kemarahan.
"Maafkan aku, Kev."
"Kau kekasihku! Kau tidak bisa, tidak mungkin melakukan ini padaku!" ia berjalan ke jendela, berdiri dengan menopang kedua tangannya di sisi jendela. "Hubungan kita sangat manis dan menyenangkan. Bagaimana bisa kau menghancurkannya?"
Tia tertunduk.
"Aku tidak akan melepaskanmu! Tidak akan!" Ia menggeleng-gelengkan kepala. Suaranya dalam, sarat kemarahan.
"Kevin..."
"Pertemukan aku dengannya!"
"Apa yang akan kau lakukan?" Tia terkejut.
"Urusan laki-laki dengan laki-laki!" Ia berlalu sambil membanting pintu.

Tia mengejar, namun langkah-langkah lebar pria jangkung itu tidak mampu ia imbangi. Kevin mencapai pintu mobil dan Tia mencegahnya.

"Kev! Kevin! Please!" Tia memelas.
"Kau tidak bisa menghancurkan hubungan ini dengan begitu mudahnya! Kau ...!! Sial!! Sial!!" ia menendang ban mobil berkali-kali. Tia menahannya dari belakang, namun pria itu bagai menggila.
"Dan dia, aku tidak peduli dia siapa! Tapi dia tidak bisa seenaknya merebut kekasih orang lain!"
"Aku mencintainya, Kev! Aku tidak bisa melupakannya!" Tia mulai menangis.
"Kau sudah melupakannya! Dia sudah pergi dari hidupmu bertahun yang lalu! Kini kau milikku!" ia menarik lengan Tia dan mendorongnya masuk ke dalam mobil, mengunci pintu lalu mengendarai dalam kecepatan tinggi.
"Kemana kau akan membawaku, Kev?"

Pertanyaan itu tidak dijawab. Kevin melarikan mobilnya dalam kecepatan tinggi, melaju meninggalkan kota LA. Tatapnya lurus ke depan dengan rahang mengeras dan wajah memancarkan emosi. Sia-sia Tia bertanya dan memintanya berhenti. Akhirnya  Tia diam dan bersandar, merasa lelah.

Satu jam kemudian mereka tiba di sebuah danau kecil. Tia tidak tau mereka ada dimana. Dia belum pernah ke sini sebelumnya. Hutan pinus terlihat sejauh mata memandang, memagari sisi danau sebelah sini, sedangkan di seberang sana di tumbuhi hutan kecil. Mobil menyusuri jalan tanah di pinggir danau, lalu berhenti di halaman sebuah pondok. Kevin keluar,  memandang berkeliling.

Tia membuka pintu mobil. Seketika ia terpana melihat pemandangan menakjubkan di depan sana. Hutan pinus begitu indah, berdiri berjejer membingkai danau seperti pemandangan indah di kartu natal. Langit biru cerah dan awan berarak menaungi air danau yang hijau pekat.
Tia berdiri di samping Kevin. Pria itu memandang jauh ke ujung danau, ke dua tangannya dimasukkan ke saku celana.

Sesaat hanya ada keheningan, hingga Tia menyentuh lengan Kevin dan menyandarkan kepalanya ke bahu pria itu. Ia tau Kevin terluka, sebagaimana ia juga terluka karena telah melukai pria itu.

"Kenapa, Tia? Kenapa kau sekejam ini?" desahnya putus asa. "Hubungan kita terjalin erat. Kita bahagia. Tidak pernah ada perselisihan apalagi pertengkaran. Kau melakukan semuanya untuk membahagiakan aku, aku melakukan segalanya untuk membahagiakanmu. Hubungan kita sempurna. Lalu kau mau pergi begitu saja."
Tia tidak mampu menjawab. Yang dikatakan Kevin sepenuhnya benar.

Kevin membawa Tia ke dalam rumah kayu itu. Di dalamnya cukup besar. Terdiri atas sebuah ruang tengah yang luas dan menyatu dengan ruang makan di sebelah sisinya, sebuah pantri, satu buah kamar di lantai bawah dan dua kamar di lantai atas. Ruangannya terang karena sinar matahari dari sepasang jendela besar. Gorden berwarna coklat susu yang membingkai dua jendela besar itu, senada dengan sofa di ruang tengah yang ditata berhadapan. Sebuah tv besar menempel di dinding, dan sebuah kursi malas diletakkan di sisi jendela. Terdapat lampu baca tinggi melengkung disampingnya. Lantai pondok itu papan diplanir, ditutup karpet berbulu lembut di ruang tengah. Di ruang makan, terdapat meja makan persegi yang terbuat dari kayu mahoni dengan enam kursi. Meski tidak terlalu besar, pondok ini lengkap dan nyaman.

Di atas perapian, sebuah pigura menarik perhatiannya. Foto dirinya bersama Kevin.
Kevin membuka pintu samping yang menghubungkan dalam pondok dengan teras samping. Terdapat satu set sofa di teras itu. Di ujung teras ada anak tangga menurun yang terhubung ke dermaga, sebuah speedboat terikat di ujung dermaga.

Udara segar danau begitu sejuk, lembut menyapu kulit. Dingin, Tia merapatkan dirinya. Ia hanya memakai baju sederhana berupa kemeja dan rok jeans di atas lutut, tanpa alas kaki sama sekali. Kevin melarikannya begitu saja.

"Pondok siapa ini, Kev?"
"Pondokku. Aku membangunnya enam bulan yang lalu. Untukmu."
"Untukku?"

Kevin masuk ke dalam pondok, lalu keluar dengan membawa teropong. Ia meneropong ke arah barat daya, mencari fokus, lalu meminta Tia mendekat.

"Ini, lihatlah!" ia membantu Tia melihat sebuah objek melalui teropong itu.
Tia melihatnya. Sebuah air terjun! Dengan air hijau kebiruan yang begitu indah, diapit pohon pinus di berbagai sisi.

"Terdapat sebuah gua kecil di belakang air terjun itu," kata Kevin.
Tia menyerahkan teropong itu pada Kevin.
"Dulu ini hanya pondok kecil dengan satu kamar. Lalu kau mengatakan menyukai suasana desa, juga air terjun. Kupikir, ini adalah tempat yang tepat. Lalu aku melakukan renovasi total dan membangun pondok ini. Sambil berkhayal, jika kelak kita menikah, kita bisa berbulan madu di sini."
"Kev, jangan bicara begitu. Itu tidak mungkin," Tia memandangnya penuh rasa bersalah.
"Sejauh kau bisa memandang dari sisi barat di sebelah sana, hingga ke timur, semua ini propertiku, Tia. Aku sudah membeli daerah ini."
"Kau tidak kuatir ada yang masuk?"
"Daerah ini nampaknya sepi, namun sebenarnya sangat aman. Di tiap sudut ada kamera pengawas, dan sistem keamanannya terhubung dengan kantor keamanan setempat. Aku juga punya team yang kutugaskan menjaga tempat ini."
"Jadi tidak ada gunanya aku mencoba kabur, bukan?" tukas Tia, tepat di depan wajah pria itu. "Dibelakangku hutan, didepanku air. Mau lari kemana?"
"Tia, dengar!" dengusnya, "aku lebih suka membunuhmu dari pada membiarkanmu pergi!"
"Kau tidak akan melakukan itu," desis Tia. Airmatanya menggenang. "Kau sayang padaku."
"Jangan mendugaku! Kau belum kenal aku," Ia tersenyum sinis.
"Semua salahku, Kev! Salah yang fatal. Bahkan jika kau membunuhku, itu juga belum impas," bibir Tia bergetar oleh rasa sedih. "Aku mempermainkan cintamu. Mematahkan hatimu. Itu tidak pantas, Kev."
"Jika aku membunuhmu, aku juga tidak ingin hidup," tukasnya dingin.

Suara gagak hutan mengoyak kesunyian. Perlahan, awan gelap berarak, memberi bayang gelap dipermukaan danau. Tia merinding.

"Apa maksudmu?"
"Kau tau apa maksudku!" Kevin menarik Tia masuk ke dalam pondok. Alih-alih protes atau memberontak, Tia menurut saja.
Kevin mendudukkannya di kursi. Dia sendiri duduk di samping Tia. Membisu.

"Aku tidak takut padamu, Kev. Aku merasa aman. Kau menjaga dan melindungiku, lahir dan batin. Rasa yang sama yang kurasakan dari Adrian Heinzh."
"Adrian Heinzh. Jadi itu namanya."
"Kak Ryan, begitu aku memanggilnya." Tia mengenang Adriannya, "Dia melindungiku dari apa saja. Dari ketakutan, kesepian, kehilangan, kelaparan. Ia mengorbankan banyak hal demi membuatku tetap aman. Demikian juga denganmu. Kau bahkan melindungiku dari seekor nyamuk. Aku masih ingat saat kita tidur di tenda waktu touring dulu. Aku tidak bisa tidur karena nyamuk, dan kau tidak tidur sama sekali demi menjagaku. Aku ingat semua itu, Kev. Kalian dua pria yang baik."
"Aku tidak mau kau membicarakan lelaki keparat itu!" tukasnya tak suka. Ia berdiri, berkacak pinggang.
"Kau harus mendengar tentang dia, Kevin!" Tia berkeras. Ia berdiri menjejer Kevin. "Karena aku akan menceritakan semuanya! Setelah itu terserah padamu!"
"Aku tidak memerlukannya!" hardiknya. Tia tersentak, tersurut mundur beberapa langkah. Wajah Tia pias karena terkejut. Setengah berlari ia masuk ke dalam kamar, menghempaskan diri ke tengah ranjang dan menangis.

Bukan, tangisnya bukan karena takut. Sedikitpun Tia tidak takut kepada Kevin. Kevin tidak akan berbuat jahat padanya, tidak ada keraguan tentang itu. Namun ia sedih melihat pria itu telah bertindak di luar akal sehat. Apa yang dilakukannya sekarang bisa dianggap tindakan kriminal, dan Tia tidak ingin Kevin mendapat masalah. Begitu Adrian tidak dapat menghubungi Tia, ia akan mencarinya kemana-mana. Sudah tentu dia tidak akan tinggal diam. Tidak akan terima calon istrinya dilarikan orang.

"Apa yang harus aku lakukan?" ia terisak.

Hari berangsur gelap. Tia mendengar suara mobil berhenti dan pintu yang di buka lalu di tutup. Tia berjalan keluar. Dari jendela, ia melihat Kevin sedang bicara dengan dua orang berpakaian hitam. Mereka membawa bungkusan besar dan beberapa barang ke dalam rumah. Mereka memandang sekilas pada Tia, nampak tak peduli.

"Apa yang mereka lakukan di sini, Kev?" tanyanya, saat mereka sudah pergi.
"Mengantar makanan dan pakaian untukmu." Kevin mengangkat beberapa bungkusan ke dalam kamar dan meletakkan di sofa. Tia mengekor dari belakang. "Gantilah pakaianmu."
"Kev, sebenarnya apa tujuanmu?" Tia melihat bungkusan pakaian itu. "Kevin, aku bicara padamu! Kev, Kevin!"

Kevin meninggalkannya begitu saja. Tia menjejerinya, tapi ia mengabaikan. Ia membawa bahan makanan itu ke dapur, memindahkan ke dalam lemari penyimpanan makanan dan lemari pendingin, lalu mulai memasak. Jengkel, Tia meninggalkannya dan duduk di sofa.

"Tia, makanlah." Kevin memanggilnya dari meja makan.
Tia yang memang sudah lapar, tidak menunggu lebih lama. Meski demikian, ia mengunyah makanannya pelan sambil memikirkan Adrian. Mungkin saat ini Adrian sedang menelponnya.

Sekian lama bersama, ini pertama kali mereka makan tanpa bersuara. Setelah makan, Kevin membersihkan meja dan mencuci piring. Ia tidak bicara sama sekali.
Sekali lagi perasaan Tia dicekam sedih. Sebelum ini Kevin tidak pernah mendiamkannya. Mereka selalu bicara tentang apa saja. Sekarang Kevin sedang terluka. Luka parah, yang diberikan oleh wanita yang ia cintai.

Kevin mandi dan berganti pakaian. Ketika melihat Tia tidak diruangan, ia mencari ke kamar. Tia tidak ada di sana, juga di semua ruangan di pondok itu. Panik, ia mengejar ke halaman dan menelpon team keamanannya.

"Tia!!" ia berteriak memanggilnya. Langkahnya lebar ke arah hutan pinus dan ia bagai orang gila yang dicekam ketakutan akan keselamatan gadis itu.
"Demi Tuhan, dimana kau, Sayang?" desisnya di dalam gelap.

Kevin kembali ke pondok untuk mengambil mobil. Ia memutuskan menyusuri jalan, karena bisa saja Tia melewati jalan itu. Jack dan teamnya berpencar. Sebagian dari mereka mengamati monitor dari kamera pengawas, namun dalam gelap tak banyak yang bisa diamati.

Kevin kembali ke pondok dan menunggu. Ia yakin, kemanapun Tia pergi pasti belum jauh dan berada di sekitar hutan ini. Ia berjalan mondar-mandir, resah oleh kecemasan yang membuatnya nyaris gila. Ia mengkuatirkan beruang hutan atau ular yang mungkin saja berkeliaran.

"Dimana kau, Sayang?" ia meremas-remas rambutnya.
Alat komunikasinya berbunyi. Panggilan masuk dari Jack.

"Lampu di ujung dermaga mati. Aku akan kembali dan memeriksanya!" lapor Jack.
"Biar aku saja!" Kevin mengambil senter dan berkejar ke ujung dermaga.

Di ujung titian, Tia duduk dalam gelap dengan kaki menjuntai ke dalam danau. Ia menoleh sebentar saat cahaya mengenai dirinya.

"Tia!!" Kevin bagai orang kehausan yang menemukan air. Ia merangkul Tia dan tanpa menunggu menggendong gadis itu ke dalam pondok.
Ia menelpon teamnya agar pencarian dihentikan.
"Maaf membuatmu kuatir. Aku hanya mencari angin. Di sini sepi karena kau mendiamkanku."

Didera rasa bersalah, juga lega dan rindu yang menyala, Kevin memeluk Tia. Ia mencium rambut wanita itu, menahan Tia di dalam pelukannya.

Tanpa diduga, Tia membalas pelukannya.
"Aku begitu kuatir padamu," ia mempererat rangkulannya.
Dalam pelukan Kevin, Tia memejamkan mata. Pelukan Kevin hangat dan membuatnya nyaman, seperti dulu. Malang sekali, dia sudah memberikan hatinya pada Adrian.

"Bagaimana aku bisa percaya kau akan membunuhku? Begini saja kau sudah kuatir," senyum Tia. Ia menekan wajahnya ke dada Kevin.
"Kau menertawakan kelemahanku," keluh Kevin.

Perlahan, Tia melepaskan dirinya. Kevin bersandar di sofa, melenguh berat.
"Kau adalah manusia berhati lembut, Kev. Sejujurnya, aku belum pernah bertemu orang sepertimu," ungkap Tia tulus.
"Apakah itu ada pengaruhnya bagimu? Kau bahkan tidak peduli."
"Apa yang bisa kulakukan, Kev," keluhnya, mirip rintihan.
"Menikahlah denganku!" ia menggenggam tangan Tia. Mata gadis itu melebar. Cepat Tia menarik tangannya, namun Kevin menahan tangan itu. "Kita bisa hidup bahagia dengan semua yang kita miliki sekarang. Aku tau kau tidak suka berada di industri hiburan. Kita tidak perlu bertahan di sana, Tia! Kita bisa pergi kemana pun kau mau, aku akan menemanimu! Ke Indonesia, Eropa, Afrika! Kemana saja!"
Kevin terus bicara. "Menikahlah denganku, Tia! Aku bersungguh-sungguh! Seumur hidup, aku tidak percaya pada lembaga pernikahan, tapi kau mengubah sudut pandangku. Kita akan membina rumah tangga, memiliki anak yang banyak, memiliki banyak anak asuh! Aku tidak suka rumah yang besar, tapi aku akan membangun istana untukmu dan anak-anak kita, agar kalian hidup nyaman. Aku akan menemanimu kemana saja, kita akan melakukan pekerjaan rumah bersama-sama. Anak-anak kita akan berangkat sekolah dan hanya tinggal kita berdua, namun kita tidak akan kesepian karena kita saling menemani. Kita akan menua dan mati bersama!"

Tia tidak melepas matanya dari bibir merah yang terus berucap itu. Ia menangis. Setiap patah kata terasa semakin menyesakkan dada.

"Tia, mengapa kau menangis?" ia tak sadar dirinya sendiri juga menangis.
"Kev, itu tidak mungkin. Aku mencintai orang lain."
"Lupakan dia, Tia! Dia tidak pantas untukmu! Aku bisa membahagiakanmu melebihi dia!"

Sesungguhnya Tia percaya Kevin bisa memberinya kebahagiaan melebihi yang dapat diberikan Adrian. Kevin sudah membuktikannya dalam dua tahun hubungan mereka. Tapi bersama Kevin, dadanya tidak pernah berdebar, jiwanya tidak pernah bergetar. Semua menyenangkan namun selalu ada yang kurang. Sebaliknya, bersama Adrian semua berbeda. Hidupnya sempurna dengan hanya mendengar suara pria itu. Bahkan, menyebut namanya saja mampu mendentingkan dawai bahagia dalam jiwa. Adrian Heinzh adalah cinta sejatinya, kesempurnaan jiwanya. Ia tidak pernah mencintai sebagaimana cintanya pada pria itu.

"Bahkan, memikirkan kemungkinan dia sedang menungguku saja sudah mengacaukanku. Di dermaga tadi, aku memikirkan dia. Aku tau dia sedang memikirkanku. Aku resah karena keresahannya," Tia merintih.
"Kau menghancurkanku, Tia!"
"Apa yang bisa kulakukan, Kev?! Jawab aku!" suara Tia meninggi. "Aku sudah berusaha melupakan dia, namun baru melihat panggilan masuk darinya saja aku sudah tidak tidur selama berhari-hari! Aku mengenalnya, aku menyentuhnya, aku mencintainya jauh sebelum aku mengenalmu!"
"Ini bukan soal waktu, bukan?"
"Ini bukan hanya soal waktu, ini soal hati! Hatiku bergetar setiap mengingat namanya, dan itu dimulai sejak aku berusia empat belas tahun!"
Kevin berdiri dengan resah.
"Dia tau tentangku?"
"Kev, aku akan berterus terang padamu. Tentang alasan putusnya hubungan kami dua tahun yang lalu. Kau terlibat erat didalamnya."
"Aku? Bagaimana bisa?"
"Dia melihatmu keluar dari kamarku memakai handuk. Pemandangan itu mengakhiri hubungan kami."

Kilasan masa lalu terbayang diingatan Kevin. Suatu hari di sebuah hotel di kota London. Dia tidak mungkin melupakan hari itu karena hari itu ia melihat Tia menangis di lantai dan batal ikut konferensi pers film pertamanya.

"Jika ia mencintaimu, harusnya ia percaya padamu!"
"Kepercayaan dan kesetiaan adalah dua hal mutlak dalam hubungan kami. Kau mungkin tidak memahaminya."
"Apa maksudmu? Maksudmu aku bukan lelaki setia?" Tia mengusik harga dirinya.
"Kev, aku tidak bicara tentangmu, aku bicara tentang kami! Tentang Adrian! Dia tidak membina hubungan dengan siapapun sejak kami berpisah! Dia kesepian, tapi menutup diri dari perempuan manapun!"
"Tia..."
"Sudahlah, Kev, aku lelah berdebat denganmu!" Tia masuk ke kamar. Saat melihat tumpukan kantong berisi baju di sofa, ia keluar kembali.
"Kevin, bisakah kau berterus terang padaku, apa rencanamu?"

Pria itu sedang menunduk bagai memikirkan sesuatu. Ia mengangkat kepalanya dan menatap Tia dengan pandangan kosong.

"Kev..."
"Tidurlah, Tia! Kau lelah hari ini." Ia berjalan keluar, meninggalkan Tia yang kebingungan seorang diri.
***

Di Indonesia, Adrian Heinzh sedang dilanda kegelisahan luar biasa. Seharian ia tidak bisa berhenti memikirkan Tia. Hatinya resah, berdebar tak menentu. Ia bolak-balik menelpon Tia, tapi teleponnya tidak diangkat. Ia menunggu satu jam dan menelpon kembali, tapi Tia tetap tidak mengangkat teleponnya.

Ini bukan Tia yang biasa. Nalurinya membisikkan ada yang tidak beres. Adrian menelpon ke rumah, pelayan mengatakan Tia sedang keluar. Adrian bertanya lebih lanjut, namun pelayan itu menolak menjawab.

"Saya calon suaminya!" tegas Adrian berkali-kali.
"Maaf, saya tidak diberi tau. Selamat sore," telepon ditutup.
"Sial! Apa dia pikir aku paparazzi yang menyamar?!" geramnya.
Tanpa berlengah, Adrian memutuskan menyusul Tia ke Amerika.

Bersambung #13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER