Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 19 Mei 2021

Binar Jingga Mentari Senja #13

Cerita Bersambung
*SUATU MALAM DI AIR TERJUN*
Kevin memukul stir mobil berkali-kali, melepas amarah yang membungkus dirinya. Keputusasaan menyelimuti. Rasa takut kehilangan bahkan sudah menguasai, padahal sosok itu masih berada di depan mata.
Ia tidak tau apa yang sudah ia lakukan. Saat panik itu menyerang dan Tia mendekat, spontan saja ia membawa Tia ke pondok ini.
Ia tidak siap kehilangan Tia. Ia tidak siap.

Rasanya bagai kehilangan Catherine belasan tahun yang lalu.
Dia mencintai perempuan itu, terlebih suatu hari Cathy mengatakan dirinya hamil. Ia berjuang meraih kesuksesan agar bayi mereka lahir dalam keadaan berkecukupan, meski Cathy ngotot untuk aborsi. Setelah Charly lahir, Cathy meninggalkannya dan lari ke dalam pelukan sutradara tambun itu, demi mendapatkan sebuah peran dalam film.
Ia berharap Cathy kembali, agar mereka bisa merawat Charly bersama-sama. Namun kemudian Cathy tewas, dan Charly menyusul ibunya belasan bulan kemudian.
Ia kehilangan mereka berdua. Ia sakit. Sakit yang menahun.
Namun meskipun demikian, pernikahan tidak pernah terlintas dalam pikirannya, terlebih sampai merencanakan.

Pernikahan adalah hubungan paling agung dua anak manusia, sebuah janji suci yang diikrarkan pada Tuhan. Ia tidak percaya Tuhan, berikut pernikahan yang kabarnya suci itu.
Tetapi semua itu perlahan bergeser setelah ia mengenal Tia. Dalam usia tiga puluh tujuh tahun, ia mulai merindukan ketenangan hidup berkeluarga. Ia menemukan kenyamanan saat bersama wanita lembut dan rumahan itu. Tia membuatnya selalu merindukan kehangatan keluarga dan selalu ingin kembali ke rumah. Ia bahagia menyaksikan Tia berkumpul di dapur bersama ibu dan adiknya, mereka membicarakan banyak hal dan ia menyimak saja.

Sesuatu dari dalam diri gadis itu telah menghangatkan hatinya yang dingin. Itu sebabnya ia mencintai Tia Ariana.
Sempat terlintas ide untuk memaksa Tia menikah. Ia akan berpindah keyakinan, lalu menikahi Tia. Tapi kemudian dia tersenyum menertawakan diri sendiri. Pria macam apa dia yang memaksa pernikahan pada seorang wanita? Pernikahan paksa tidak ubah hanyalah perkosaan yang dibungkus akad agar nampak sah. Memprihatinkan. Menjijikkan.
Ia duduk selama berjam-jam di dalam mobil. Memikirkan Tia, merenungkan hubungan mereka.

Lampu kamar Tia sudah mati, mungkin dia sudah tidur. Kevin mencoba memejamkan mata, namun bayangan Tia terus menari-nari.
Gadisnya yang lembut. Mungkin besok, dia akan pergi meninggalkannya, pergi menemui lelaki bajingan yang sedang menunggu di sana. Lelaki bajingan yang sudah merusak hidupnya. Adrian Heinzh!

Jack datang untuk kontrol. Kevin keluar, meminta sebatang rokok. Ia tidak merokok, kecuali sesekali karena alasan tertentu. Seperti saat ini.

Baru beberapa hisap, ia membuang rokok itu dan menginjak dengan ujung sepatu. Semakin gundah, Kevin kembali ke dalam pondok. Lampu ruang tamu masih menyala. Ia mengetuk kamar Tia. Tidak ada sahutan. Kevin masuk, dalam gelap ia melihat Tia tertidur pulas. Kevin menyalakan lampu tidur dan duduk di sisi ranjang. Ia memandang Tia, menatap wajah yang lelap itu.

Sejuntai rambut melintangi wajah, menutupi hidung mancung dan bibir yang indah. Hati-hati, Kevin menyibaknya. Sekali lagi ia tercekat oleh kenyataan, bahwa tidak lama lagi ia akan kehilangan pemilik wajah ini.
Tia sangat cantik dan baik. Ia beruntung mengenal gadis ini, beruntung menjadi bagian perjalanan hidupnya. Kening Tia dikecupnya lembut, juga rambut coklat yang selalu harum itu.

Lagi-lagi ia menertawakan kebodohan dirinya karena mengancam untuk membunuh Tia. Terkutuklah ia!
"Kak," Tia menggumamkan sesuatu dalam tidurnya. Kevin mempertajam pendengaran. Ia gagal mengerti.

Rok Tia memperlihatkan sebagian paha dan kaki panjang nan ramping. Kevin meraih selimut di kaki ranjang, menutupi tubuh Tia sebatas bahu, perlindungan dari angin malam yang nakal. Ia mengambil sebuah bantal dan membawanya ke sofa.

Dari tempatnya berbaring, ia melihat Tia sekali lagi. Pilu. Alangkah sakitnya perpisahan.
***

Hari telah berganti. Seperti kebiasaan selama bertahun-tahun, Tia bangun saat matahari belum terbit. Ia membuka mata, menatap langit-langit. Seketika menyadari bahwa semalaman ia tidur nyenyak di kamar yang masih asing baginya.
Ia mendengar suara riak air danau. Juga udara subuh yang sejuk segar, menyusup dari kisi jendela yang tidak tertutup rapat. Tia menarik selimut dan memikirkan ibadah subuh yang kembali ia lalaikan.

Di mana Kevin? Sesudah makan malam, Tia tidak melihatnya sama sekali. Pria itu pergi membawa amarah.

Tia membalik badan, resah. Tiba-tiba ia melihat Kevin yang tidur di sofa, sedang meringkuk kedinginan. Pria itu hanya memakai kaos tipis, tidak berfungsi banyak menangkal sejuknya udara pagi Danau Berlian. Tia bangkit dan menyelimuti pria itu. Ia duduk di lantai, menatap Kevin.

Tiba-tiba saja air matanya jatuh.

Tangan Tia terulur menyentuh wajahnya. Pria itu mulai kusut karena jambang yang mulai bermunculan. Tia mengusapnya, merasakan jambang yang kasar itu menggesek kulit. Ia menelusuri alis Kevin, lalu membelai rambutnya. Pelan, kuatir Kevin terbangun dan memergoki.
Tia setuju alasan media menobatkan Kevin sebagai salah satu aktor paling tampan. Di usia yang mendekati akhir tiga puluhan, ia semakin matang mempesona.
Ia menyeka air mata, perlahan mencium pipi pria itu. Kevin yang malang. Begitu banyak wanita yang menginginkannya, mengapa harus melabuhkan hati pada gadis yang nyata-nyata tidak bisa membalas cintanya?
Ia ke kamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi, lalu beranjak ke dapur. Pintu samping menarik perhatian Tia. Ia keluar, menikmati udara subuh Danau Berlian. Kabut melayang rendah, perlahan menipis seiring matahari pagi yang mulai keluar peraduan.

Dimana Kak Ryan? Terakhir kali mereka berkomunikasi adalah dua puluh empat jam yang lalu. Mungkin saat ini pria itu sudah mulai bertanya-tanya. Kevin harus segera mengantarnya pulang sebelum timbul masalah baru.

Entah sudah berapa lama Tia terhanyut. Karena tiba-tiba saja Kevin sudah berdiri di belakangnya. Ia menyarungkan jaket ke tubuh Tia.

"Pakailah, disini dingin kalau pagi," katanya. Tiba-tiba saja ia memeluk Tia dari belakang. Diam tanpa suara, menikmati keheningan.

Mereka menatap ke arah terbitnya matahari, menanti bola api itu naik menerangi bumi. Diam-diam, air mata Tia menggenang kembali. Semua ini romantis sekali! Seandainya saja Adrian tidak kembali, ia pasti menerima Kevin saat ini juga! Kevin pria baik, tidak sulit untuk hidup bersamanya meski tanpa cinta. Juga, tidak butuh waktu lama untuk jatuh cinta kepadanya.
Tapi ada Adrian di sana, sedang menunggunya!

"Kau merokok tadi malam?" Tia mengusap air mata.
"Ho oh. Tidak sampai setengah batang."
"Sudah aku katakan, jangan!"
"Aku mengerti."
"Aku mencium baunya."
"Maaf."
"Mandilah, Kev! Aku akan bikin sarapan."

Kevin melepas pelukannya, menatap Tia sejenak lalu masuk ke dalam. Tia menarik nafas panjang, menahannya dalam beberapa saat sebelum menghembusnya kembali.
Mengapa semua ini begitu rumit?

Kevin turun dari kamar atas dengan penampilan segar dan wangi. Ia mengenakan kemeja dan jeans, wajahnya selalu tampan meski penuh beban.

"Kau tidak bercukur, Kev?" tanya Tia.
Kevin tidak menjawab, namun berdiri disamping Tia, seperti hendak mengatakan sesuatu.
"Tia, bisakah aku minta satu hal darimu?" wajahnya gundah, membiaskan keraguan.
"Dengan menahanku di sini, kau sudah mengambil semuanya. Tidak perlu lagi bertanya," ujar Tia, datar tanpa ekspresi.
"Aku berjanji untuk mengantarmu pulang. Tapi, berikan aku dua hari milikmu."
"Dua hari?"
"Tia, aku memikirkannya hampir sepanjang malam. Aku tidak bisa memaksamu tetap bersamaku. Maka berikanlah dua harimu untukku. Tinggallah bersamaku hingga esok, lupakan semua tentangnya! Lusa pagi aku akan mengantarmu, hubungan kita berakhir dan kau akan pergi selamanya."

Itu bukan permintaan biasa. Meski hanya dua hari, namun bagi Adrian tidak akan semudah itu. Terhitung sejak dirinya putus kontak dengan Adrian selama dua puluh empat jam ini, ditambah dua hari ke depan, total tujuh puluh dua jam. Itu sudah lebih dari cukup untuk Adrian pontang panting mencari keberadaan Tia!

"Kev, kau akan melibatkan dirimu dalam masalah besar. Percayalah padaku!"
"Aku tidak takut!"
"Tapi aku peduli padamu!"
"Kalau begitu menikahlah denganku!"
"Kevin, ayolah!" Tia setengah memelas.
"Kalau begitu, berikan aku dua hari! Aku akan menyimpannya sebagai kenangan."
Tia tidak memiliki pilihan lain.

Kegiatan mereka pagi itu dimulai dengan bercukur. Tia mengoleskan busa pencukur ke pipi dan dagu Kevin, lalu mencukur pelan-pelan. Selama ia bekerja, tatap Kevin tidak lepas dari Tia, seolah merekam semua itu dalam memorinya.

"Kenapa memandangku begitu? Apa kau tidak tau, dipandang pria tampan sepertimu membuat hati seorang gadis tidak menentu?" goda Tia, mencoba menekan rasa gundahnya. Ia terus memikirkan Adrian. Pria itu mungkin sudah mulai resah.
Kevin tersenyum saja.

Tia membilas dengan air bersih, mengeringkan dengan handuk lalu mendorong Kevin menghadap cermin.
"Lihat, betapa tampannya dirimu," pujinya, membuat seringai manis di wajah Kevin.

Tia membuat sarapan berupa nasi goreng dan teh hangat. Mereka makan di teras samping sambil menikmati udara pagi dari danau.

"Besok pagi tolong buatkan lagi," kata Kevin.
"Bule doyan nasgor," celetuk Tia dalam bahasa Indonesia.
"Kau bilang apa?"
"Tidak."

Mereka memancing ke tengah danau. Tia sudah mendapat dua ekor sedangkan Kevin tidak mendapatkan apa-apa.

"Aku ingat waktu kita ke Chicago, ke rumah Bibiku. Kita pergi memancing, dan kau menggigil kedinginan waktu itu. Belakangan aku menduga, sepertinya kau berpura-pura agar aku memelukmu." Kevin bernostalgia.
"Maaf saja, Kev! Kau yang memanfaatkan situasi, pura-pura peduli hanya supaya dapat menyentuhku. Mengaku sajalah!"
"Ya, kadang aku sedikit nakal! Ngomong-ngomong, apa kau penggemarku, Tia?"
"Tidak! Meski aku pernah menonton film mu."
"Apa yang kau pikirkan tentangku?"
"Kau aktor kelas satu, superkaya dan supertampan."
"Dan kau tidak ngefans? Rasanya aku tidak percaya!"
"Dalam dunia model, pria tampan sepertimu banyak!"

Mereka pulang membawa beberapa ekor ikan. Kevin membersihkan ikan-ikan itu dan Tia membuat bumbunya. Oleh Tia, ikan itu disteam, sebagian disimpan untuk besok. Ia juga memasak nasi untuk makan siang.

Setelah makan siang, mereka menonton film. Tia ingin menonton film terbaru Kevin. Film itu baru akan diluncurkan secara resmi musim mendatang, tapi sebagai aktor Kevin telah mendapatkan salinan utuh tanpa pemotongan sama sekali.

"Jangan, Tia! Tunggu peluncuran resminya saja!" Kevin menghindar.
"Ayolah!"
"Jangan!"
"Memangnya ada apa? Jangan-jangan..."
"Tidak ada apa-apa! Aku hanya tidak enak padamu. Aktris wanitanya, Helena itu, dia genit sekali! Aku sangat menderita saat adegan ranjang." Kevin menggaruk-garuk kepala. Wajahnya tersipu-sipu.
"Wow, apa ini? Kevin McFadden bisa malu juga!?" senyum Tia. "Helena itu luar-biasa-cantik-sekali! Pernah menjadi aktris tercantik abad ini, bukan? Idaman semua lelaki! Bukannya kau beruntung bisa beradegan dengannya?"
"Tidak ada yang istimewa darinya! Semua orang di industri hiburan tau, dia itu simpanan Alex Kenyon! Kenyon membayar media untuk membuat polling itu, agar nama Helen naik!"
"Benarkah?" mata Tia melebar dengan mulut membulat.
"Sudah! Kau suka gosip rupanya! Ayo, tonton film lain saja!"
"Aku penasaran!" Tia siap-siap menonton, tidak mempedulikan keberatan Kevin.

Pada adegan yang dimaksud, Kevin menunggu di ranjang, sedangkan Helena nyaris telanjang dan berjalan menghampiri Kevin. Mereka mulai berciuman. Lalu...
"Sudah, lewati saja!" Kevin menekan tombol next, tidak suka Tia melihat adegan mesranya.

Untuk sesaat Tia berpikir, andainya adegan itu dilakukan Ryan, maka Tia bersumpah memaksanya berhenti menjadi aktor. Lebih baik menjadi pengangguran selamanya!

"Kau tau Tia, aku tidak suka melakukannya dengan Helen. Maka kubayangkan dirimu. Maaf!" Ia memandang Tia. "Sutradara puas, tidak ada pengulangan adegan. Helen nampak kecewa. Aku tidak mengerti mengapa dia suka sekali dengan adegan begituan!"
"Dia pasti suka padamu, Kev!"
"Aku sempat berpikir, seandainya menikahimu, aku tidak akan menerima adegan seks dalam film-filmku. Lebih baik main film aksi saja. Atau berhenti jadi aktor."
Tia menggigit bibir.

Ketika hari beranjak petang, mereka berjalan di pinggir danau. Kevin menggandeng Tia, bercerita tentang banyak hal. Tia mendengar, sesekali menimpali. Ia terus memikirkan Adrian, juga masalah yang mungkin akan menimpa Kevin.

Mereka berjalan terus, hingga tiba di air terjun. Tia teringat pertemuan pertamanya dengan Adrian dan tiba-tiba merasa kesepian. Ia merindukan pria itu.
Air terjun itu tidak tinggi. Hanya curah yang berasal dari sungai kecil di atas tebing. Kiri kanannya diapit batang pinus yang menghijau. Indah luar biasa.

"Apa itu, Kev?" Tia menunjuk ke sisi tebing di belakang air terjun.
"Gua. Yang kemaren kuceritakan padamu."
"Kau pernah ke sana?"
"Tentu. Kau mau lihat?"
"Nanti bajuku basah."
"Kita bisa pulang dan ganti baju."
Tia menimbang sejenak. "Kau benar. Ayo!"
Mereka mulai mendaki tebing. Beberapa pijakan cukup landai, tapi semakin ke atas semakin curam.
"Awas, hati-hati!" Kevin membimbing tangan Tia.
"Aku gadis alam sampai usia empar belas, Kev! Jangan kuatir!"

Pakaian mereka berdua mulai basah, semakin ke atas semakin kuyup. Di tengah tebing, Tia melempar pandang. Diamond Lake terlihat mempesona dari sini.

"Ya ampun, indah sekali, Kev!" Tia terkagum-kagum.
"Tunggu sampai kau berada di gua! Dilihat dari sana jauh lebih menakjubkan!" Kevin mempererat pegangan karena tebing semakin curam.

Mereka tiba di dalam gua. Mulut gua itu sangat lebar. Sebagian besar tertutup curah air, tapi dari sebagian sisi mereka dapat memandang bebas ke Diamond Lake.

"Lihatlah!" Kevin menunjuk kekejauhan.
Tia terpana.
"Bagaimana?" Kevin memandang Tia.
"Hanya satu kata, keren! Kau cerdas karena membeli daerah ini, Kev!"
"Sebagai penghijauan untuk paru-paruku, Tia! Sisanya baru untuk paru-paru dunia."
"Jadi begini kau menghabiskan uangmu?" Tia duduk di depan gua, Kevin duduk disampingnya.
"Apa sih yang dibutuhkan dalam hidup ini dan sebanyak mana kebutuhan kita? Uangku sangat banyak. Dua puluh lima juta dollar perfilm, kadang lebih. Honor film terakhirku tiga puluh. Ditambah bonus sekian persen dari angka box office. Satu film saja sudah cukup untuk hidup seumur hidup! Aku sudah punya rumah, apartemen, mobil, sepeda motor, Mama dan Alice bisa kucukupi dan tidak kekurangan. Aku juga tidak punya anak istri yang harus dibiayai, jadi untuk apa semua uang itu?!" dia mengangkat bahu.
"Tapi kau terus main film."
"Itu passion, sesuatu yang berbeda. Aku merangkap jadi produser, juga mulai belajar teknik menyutradarai. Ya, apalagi yang bisa kulakukan? Aku tidak berbakat dibidang lain. Memperbaiki engsel yang rusak saja aku tidak bisa."
Mereka tersenyum bersama.

Tiba-tiba terdengar suara berderak, disusul suara berdebum. Kevin bangkit, buru-buru berjalan ke mulut gua untuk melihat apa yang terjadi.

"Kevin, awas!!" Tia berteriak seraya menarik cepat tangan Kevin.
Sebuah pohon pinus tumbang di sisi tebing dan dahannya menutup mulut gua. Seketika, pencahayaan di dalam gua menjadi temaram. Curah air terjun yang menimpa batang dan dedaunan itu memercik ke segala arah, termasuk ke arah Kevin dan Tia, membuat pakaian mereka semakin kuyup.

"Kita terjebak, Kev!" seru Tia.
"Benar! Tapi tenanglah, aku akan mencari cara!"

Kevin mendekat ke bibir gua. Tempat itu sudah basah kuyup, dan terus basah karena percikan air. Tidak putus asa, Kevin terus berusaha mencari jalan untuk keluar, tapi mustahil baginya memindahkan batang pohon itu seorang diri.

"Apa yang terjadi, Kev?" Tia mendekat.
"Tunggulah di sana, Tia! Bajumu semakin basah!"
"Sudah terlanjur. Ayo, kita dorong saja dahan ini!"
Kevin memandang Tia, menyangsikannya. Namun dia berkata, "Ayo!"

Mereka mendorong batang pohon itu bersama. Mencoba berulang kali. Sia-sia.
"Sudahlah, Tia!" Kevin meraih tangan Tia, melihat telapak tangan dan jari-jarinya yang lecet.

Kevin mengeluarkan ponselnya, bermaksud menelpon Jack. Tapi ponsel itu sudah basah kuyup. Akhirnya ia membuka ponselnya, meletakkan di batu kering yang jauh dari mulut gua.

"Bagaimana ini, Kev? Kita terjebak! Ini sudah hampir malam." Tia memeluk dirinya, kedinginan.
"Aku akan berusaha mencari cara untuk keluar dari sini."
"Tapi bagaimana? Di luar sudah gelap, kita tidak mungkin keluar lagi!"
Suara berderak kembali terdengar. Disusul suara patahan yang keras dan berdebum.
"Apa itu, Kevin?" Tia ketakutan. Ia merapatkan dirinya ke tubuh Kevin.
"Mungkin ada badai, Tia. Entahlah!" Kevin melingkarkan lengannya dibahu Tia. "Jangan takut, tidak ada apa-apa! Segera setelah ponselnya kering, aku akan menelpon Jack dan mereka akan datang untuk menyelamatkan kita."
Tia memeluk lutut. Kedinginan. Di luar sudah gelap dan cuaca semakin dingin.
"Kau lapar, Tia?"
Tia mengangguk.
"Maafkan aku, seharusnya kita tidak kesini."

Tia diam saja, semakin merapatkan dirinya. Dingin menusuk tulang dan ia sudah lapar.
Kevin membuka pakaian dan hanya menyisakan celana pendek. Ia membentang pakaian basah itu di atas batu.

"Tia, bukalah pakaianmu, kau bisa demam."
"Tidak."
"Kau malu?" Kevin melihat Tia dengan mata menyipit, "Kita sudah pacaran berapa lama, Tia? Belum mengenalku juga? Apa kau pikir aku akan memanfaatkan keadaan ini?"

Tia mengenal Kevin dengan baik. Namun malu tetaplah malu. Ia menunduk memeluk lutut, menahan dingin yang semakin menggigit. Kepalanya mulai pening. Ia mengingat Adrian dan merindukannya. Seandainya Adrian ada di sini, dia akan membuang rasa malu dan meminta pria itu merangkulnya.
Besar kemungkinan Adrian sudah mulai kelabakan. Dia pasti menelpon ke rumah, namun tidak akan mendapatkan keterangan apa-apa. Waktu itu Adrian hanya datang sebentar dan Ny. Summerset sama sekali tidak mengenalnya.

"Kak," Tia memejamkan mata, semakin pening.

Dalam gelap, Kevin meraba-raba, mengumpulkan daun dan ranting-ranting yang berserakan di dalam gua untuk membuat api. Malangnya, sebagian besarnya basah, hanya sedikit sekali yang kering. Berkali-kali mencoba, Kevin berhasil membuat api unggun kecil, demi menghemat ranting kering selama mungkin.

"Kemarilah, Tia, mendekat ke api! Supaya badanmu hangat." Ia menyentuh bahu Tia. Tia menggeleng tanpa mengangkat kepala. Ia pusing sekali dan mencoba tidur.
Ia mulai bermimpi.

Tia melihat dirinya dan Adrian di air terjun. Mereka masih muda sekali. Usianya empat atau lima belas, dan Adrian enam tahun di atasnya. Rambut Adrian masih setengah gondrong dan tawanya amat lepas. Mereka bermain air, melompat dari atas tebing, menyelam dan berenang. Tangan Adrian terulur menyentuh rambut Tia yang panjang mengurai di dalam air. Ia menyisir rambut yang melayang itu, memberi tatap romantis. Perlahan, Adrian menarik Tia ke bagian tersembunyi di bawah tebing dan mulai menyentuhnya dengan mesra. Tia tersenyum, menerima kekasihnya penuh kerelaan. Memberikan segalanya.
***

Suara erangan Tia menarik perhatian Kevin. Ia mendekati Tia yang tertunduk memeluk lutut. Saat Kevin menyentuh bahunya, Tia tidak bereaksi sama sekali. Dia tertidur lelap. Kevin menyentuh pipi Tia, meraba dahinya. Panas sekali.

Kevin memandang berkeliling, mencari tempat yang cocok untuk membaringkan Tia. Tubuh gadis itu menggigil dan bibirnya bergetar. Tanpa banyak pertimbangan, Kevin membuka pakaian Tia yang basah dan menjemur di dinding terdekat dengan api. Ia kembali pada Tia, melihat pada tubuh telanjang yang indah itu. Tia demam tinggi, tubuhnya panas tapi ia menggigil. Dalam remang api unggun, Kevin memeluk Tia, membagi hangat dirinya.

"Kakak."

Kembali Tia mengigau. Bibirnya yang gemetar terus mengucapkan kata yang sama berulang kali, semakin membuat Kevin didera cemas dan gelisah. Ia semakin merapatkan diri, tapi kemudian sesuatu terjadi. Tia memeluknya erat sekali, mendesak-desakkan diri padanya. Bibir gadis itu bagai mencari-cari. Sedikit ragu, berperang antara kasih dan nafsu, Kevin tergoda untuk menyentuh bibir itu. Tia menyambut, dan tidak melepasnya lagi!

Bersamaan dengan itu, ranting terakhir habis terbakar. Berakhir. Musnah, menjadi abu.
***

Pesawat Adrian mendarat di LA saat langit mulai gelap. Juan Ma sudah menunggu di Bandara, membawa Adrian ke alamat Tia yang baru. Dua bulan yang lalu, rumah Tia dimasuki penyusup, seorang penggemar pria yang nekat melakukan segala cara demi menemui idolanya. Demi alasan keamanan, akhirnya Tia menjual rumah itu dan membeli rumah baru berpagar tinggi yang memiliki pos keamanan.

"Itu sebabnya dulu aku lebih suka kau di apartemen," kata Adrian, saat Tia menceritakan itu padanya.
"Aku suka saat kakiku menginjak tanah, Kak. Rasanya aku hidup," ungkap Tia. "Tapi aku akan memperketat sistem keamanan. Cctv yang terhubung ke pos keamanan, juga sekuritas dua puluh empat jam. Mereka berasal dari perusahaan keamanan bonafid di LA. kakak jangan kuatir."

Sekarang Adrian sudah sampai di alamat Tia. Penjaga keamanan tidak mengizinkan Adrian masuk, karena ia belum membuat janji. Adrian mencoba bernegosiasi, sebuah usaha yang sia-sia. Akhirnya Adrian menunjukkan foto-foto pribadinya bersama Tia, tapi dia tetap tidak diizinkan.

"Silahkan telepon Mrs. Summerset, dia mengenal saya!" kata Adrian.
"Meski Mrs. Summerset mengenal anda, Miss Tia tidak mengatakan apa-apa tentang anda. Dia tidak pernah mengatakan hari ini akan ada tamu bernama Adrian Heinzh. Maaf, kami tidak bisa mengizinkan anda masuk. Silahkan pergi!"
Sialan! Adrian mengumpat.
"Kalau cara baik-baik tidak bisa, anda bisa pakai cara saya, Sir!" ujar Juan Ma.

Adrian tidak peduli dengan cara apa, tapi dia harus masuk ke rumah Tia! Ia harus tau apa yang terjadi! Hari semakin malam, dan keresahan sudah mencapai puncaknya! Entah oleh apa!

==========

*ADRIAN HEINZH - KEVIN MCFADDEN*

Adrian menelpon Tommy Heinzh dan menceritakan segalanya.

"Kau tenang dulu, Yan! Aku akan telepon Robin. Dia memiliki jaringan kuat di Badan Intelijen. Aku yakin dia bisa menolong kita."
"Robin siapa?"
"Robin, adik iparku! Istri Robin warga Amerika Serikat, keluarganya berlatar belakang militer. Dia pasti bisa menolong kita. Kau sabar dulu, jangan gegabah!"
"Aku harus secepatnya masuk ke rumah Tia, Tom!"
"Tentu! Beri aku setengah jam!"
Adrian masuk ke dalam mobil dan menelpon Tia kembali. Sekarang ponselnya sudah tidak aktif.
"Tia, kau dimana?" bisiknya resah.

Adrian menunggu telepon Tommy. Setengah jam terpanjang dalam hidupnya!
Atas bantuan Tommy dan jaringan Robin, Adrian berhasil menginjakkan kaki di rumah Tia.

Mr. Summerset masih ingat dengan Adrian. Dia terperanjat saat Adrian mengaku dirinya adalah calon suami Tia. Meski Adrian menunjukkan foto-foto mereka, tetap sulit bagi Ny. Summerset untuk percaya. Sebagaimana semua orang, dia mengetahui majikannya adalah kekasih Kevin McFadden!

Setelah didesak, Ny. Summerset bersedia bicara.

"Kemarin siang menjelang petang, Miss Tia pergi bersama Mr. McFadden. Mereka bertengkar, dan Mr. McFadden membawa Miss Tia begitu saja." Ia menyampaikan apa yang dia lihat.
"Begitu saja bagaimana maksudmu?" cecar Adrian.
"Mr. McFadden menarik Miss Tia masuk mobil, lalu melarikan mobil dalam kecepatan tinggi." Mrs. Summerset takut-takut.

Gigi Adrian gemeretuk menahan geram. Setengah memaksa, ia meminta rekaman cctv hari sebelumnya. Matanya menatap tak berkedip ke layar monitor. Ia melihat adegan demi adegan, dimulai dari Tia berlari mengejar Kevin hingga pria itu memaksanya masuk mobil dan melarikannya.

"Saya minta nomor mobil itu!" kata Adrian pada Andy Winters, tenaga pengaman yang bekerja di rumah Tia.
"Aku mengirim nomor mobilnya padamu. Lacak segera! Aku ingin bajingan itu segera ditemukan!" tangan Adrian mengepal saat menelpon Tommy. "Jika aku bertemu dengannya, aku pasti membunuhnya!"
"Terserah padamu, aku bersedia membantu! Tapi sebelumnya, kita temukan dulu tunanganmu!"

Adrian naik ke kamar Tia. Memandang berkeliling, menatap penuh sesal. Seandainya saja dia tidak membiarkan Tia pulang sendiri!
Di kamar ini, dimana aroma parfum yang amat dikenalnya memenuhi ruangan, Tia terasa begitu dekat. Kerinduannya berkobar, penyesalannya memuncak.

Lemas, Adrian duduk diranjang Tia. Ia menyentuh kasur, membayangkan kekasihnya tidur di sana. Tia-nya yang cantik dan lemah lembut. Bajingan itu telah menyeretnya dengan kasar dan membawanya pergi!
Bibirnya menyunggingkan senyum pahit. Dulu dia melarikan calon istri seorang pria bernama Ranto, sekarang calon istrinya juga dilarikan orang! Apakah ini hukuman?

Adrian melihat lengannya, bekas luka parang yang diberikan Ranto hampir dua belas tahun yang lalu! Ranto begitu kalap ingin membunuh Adrian, tidak mempedulikan apapun lagi!

"Kau atau aku yang mati!" Ranto melayangkan parang padanya. Adrian menghindar, tapi malang ia kurang gesit! Parang tajam mengkilat itu sempat mengenai lengannya. Adrian terluka, darah memercik. Ranto berusaha melayangkan serangan berikutnya ke kepala Adrian, berniat memenggalnya! Meski sakit menahan perih, namun Adrian menguasai beladiri dengan baik. Ia berhasil melumpuhkan Ranto dan membuang parangnya ke semak-semak, malang pada saat yang sama dirinya terkepung oleh orang-orang Ranto yang berjumlah belasan itu. Mereka sudah membungkam Pandro hingga laki-laki itu tidak bisa apa-apa, pasrah menunggu mati. Tepat saat itu, mobil perusahaan lewat beriring dan mereka pun selamat.

Sekarang ia mengalami apa yang pria itu rasakan. Calon istri dilarikan orang! Dan ia sama marahnya dengan Ranto. Ini bukan hanya soal cinta, tapi harga diri seorang pria!
Ia akan membuat perhitungan dengan Kevin McFadden! Sehelai saja rambut Tia sampai gugur, bajingan itu harus membayar dengan nyawanya!

Ia Adrian Heinrich Heinzh! Tidak suka mengganggu orang, berusaha hidup lurus sesuai keyakinan dan ajaran leluhurnya. Baginya, mempertahankan seorang perempuan yang nyata-nyata miliknya adalah sebuah harga mati!

Dulu ia melepaskan Kevin McFadden, karena setengah menduga Tia juga menaruh hati pada lawan mainnya itu. Tetapi sekarang dia menyadari cinta Tia tidak terbagi. Sekarang Tia bukan hanya kekasih, dia calon istri yang direstui oleh Almarhumah Mama dan seluruh keluarga besarnya di Solo maupun di Swiss! Hampir semua teman dan kolega sudah mengetahui hubungan istimewa antara dirinya dengan Tia! Hanya satu langkah lagi, Tia akan menjadi istrinya! Menjadi menantu Keluarga Heinzh!

Kali ini, Kevin McFadden tidak akan ia lepaskan begitu saja!

Ia melihat ponsel Tia di meja rias. Ponsel itu mati dan ia mengecasnya. Ia menunggu bermenit-menit, kemudian mengaktifkan kembali. Sial, ponselnya dikunci!
Adrian mencoba beberapa angka yang mungkin. Berkali-kali tidak cocok. Terakhir, ia mencoba tanggal pertunangan mereka. Cocok!

Ia mencari nomor telepon Kevin. Tanpa ragu menelponnya, tapi ponsel pria itu tidak bisa diakses. Kemana bajingan itu?

Adrian melihat register. Terdapat nama Audrey dan Hannah, Ny. Anne dan beberapa nama lain pada panggilan keluar. Adrian menelpon Hannah.

Teleponnya diangkat pada dering pertama.

"Kau kemana saja, Tia? Aku menelponmu bolak-balik! Pelayanmu bilang kau pergi bersama Kevin! Aku menelpon Kevin tapi ponselnya mati sepanjang hari!" Suaranya kesal.
"Aku Adrian Heinzh, calon suami Tia Ariana. Datanglah ke rumah Tia sekarang juga karena aku ingin bicara!" kata Adrian, lalu mematikan telepon.

Hari pukul dua dinihari saat Hannah tiba di rumah Tia. Ia melihat pria itu, yang empat bulan yang lalu pernah dilihatnya di rumah Tia. Pria bertubuh tinggi, tampan dan nampak terpelajar.
Jadi ini orangnya, pria yang telah membuat Tia tergila-gila dan memutuskan meninggalkan kariernya yang mapan? Heinzh. Orang mana dia?

"Saya Hannah Miller, dari Audrey Smith Agency. Saya manager Tia Ariana!" ia memperkenalkan diri.
"Adrian Heinzh."
"Apa yang terjadi, Mr. Heinzh?"
"Kevin McFadden melarikan tunangan saya. Sampai sekarang tidak ada kabar berita sama sekali."
"Baik." Hannah mengangguk pelan, terkesima oleh kharisma luar biasa yang ditunjukkan Adrian. Namun ia menyadari, dibalik kalimat yang terdengar tenang itu, pria ini memiliki kemarahan luar biasa. Ia dapat melihat wajah Adrian Heinzh menjadi gelap. Sekali lihat, ia tau pria ini bukanlah orang biasa.

Segera ia menelpon Kevin. Sebagaimana sepanjang sore kemaren dan hari ini, ponsel anak nakal itu tidak aktif. Ia menelpon Anton Morris, manager Kevin. Hannah harus mencoba sampai tiga kali sebelum akhirnya diangkat.

"Aku tidak percaya kau menelponku pada pukul dua pagi!" gerutunya.
"Mana boss mu?"
"Aku juga mencarinya!" Anton Morris sama herannya dengan Hannah. "Ada yang harus kusampaikan!"
"Sudahkah kau mencoba menelpon ke rumah Ibunya? Barangkali dia di sana!"
"Hannah, dengar! Satu-satunya tempat di muka bumi ini yang tidak mungkin kuakses hanyalah rumah Ibunya! Kevin melarang keras menelpon atau mencarinya ke sana, karena akan mengganggu ketenangan Ibunya!"
"Setidaknya kau mencoba!"
"Demi apa aku harus menempuh resiko sebesar itu, heh? Kevin sedang kosong hari ini! Bisa-bisa dia memecatku!" Anton Morris mematikan ponsel, melanjutkan tidurnya.

Hannah menutup telepon. Adrian berdiri di sampingnya, menunggu.
"Bagaimana?"
"Tidak ada yang tau dia dimana. Tapi akan terus mencari."
"Besok pagi aku akan membuat laporan Polisi," tegas Adrian.
"Jangan gegabah, Mr. Heinzh! Bisa saja mereka hanya pergi bersama! Jika masalah ini sampai ke Polisi, sudah pasti akan bocor ke media dan menjadi skandal besar!"
"Aku tidak peduli pada media!" Adrian setengah menghardik. "Keselamatan tunanganku jauh lebih penting!"
"Mr. Heinzh, saya ingin anda tau bahwa Mr. Kevin McFadden sangat menyayangi Tia. Dia tidak akan menyakitinya sedikit pun!"
"Kau tidak tau bagaimana gilanya lelaki patah hati!" tukas Adrian, dingin dan tajam.
***

Adrian kembali ke kamar Tia, meninggalkan Hannah yang sibuk menelpon kemana-mana. Terduduk lemas dipinggir ranjang, tangannya terkepal menahan emosi yang setiap saat siap meledak. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, memejamkan mata dan memusatkan pikiran. Namun di kamar Tia, dimana aroma yang ia kenal bagai memenuhi pori-pori, pikirannya seolah buntu.

Ia meraba kasur. Suara Tia seolah terngiang dari kejauhan, memanggil-manggil meminta pertolongan.
Ia menunggu-nunggu telepon dari Tommy. Mengapa lama sekali?
Akhirnya, pukul empat pagi ponselnya berbunyi. Itu Tommy.

"Aku sudah minta bantuan temanku di Badan Intelijen untuk melacak keberadaan Tia. Dia sedang melacak nomor mobil yang dikendarai Kevin McFadden. Kau tunggu perkembangan dariku."
"Aku berencana membuat laporan resmi."
"Jangan dulu! Hematku, untuk saat ini penyelidikan diam-diam begini jauh lebih efektif dari pada kau melibatkan Kepolisian secara resmi. Tunggu kabar dariku."
"Baik, aku menunggu!"
Adrian memutus sambungan. Ia menelpon Juan Ma.
"Juan, aku minta kau kerahkan orang-orangmu beserta semua kekuatan yang kalian punya untuk menemukan keberadaan Nona Tia Ariana. Temukan dia secepatnya, bonus yang besar menunggu kalian!"
"Baik."
***

Ia belum ingin membuka mata. Rasanya tidak ingin membuka mata. Karena ia terlalu bahagia...
Setelah berpisah sekian lama, akhirnya ia dan Adrian bersatu. Mereka bersama di air terjun, bahagia seperti orang lain juga bahagia. Adrian sudah berjanji mereka akan menikah hari ini juga. Menikah!

Menikah... Alangkah indahnya.

Telinganya masih menangkap suara air terjun. Ia juga masih merasakan gesekan batu yang dingin dan kasar, tempat semalam Adrian membaringkannya. Lengan pria itu di bawah kepalanya, menjadi bantal sepanjang malam. Kaki telanjang mereka saling menimpa. Kepalanya masih pusing, namun dia tidak menghiraukannya.

Kak Ryan...

Sekarang mereka sudah saling memiliki. Ada rasa menyesal, semestinya tidak perlu sejauh itu. Hari ini, sebentar lagi, mereka akan sah sebagai suami istri. Abak akan menikahkan mereka dengan disaksikan seluruh penduduk Malam Kolam. Mereka akan mengadakan pesta dengan hiburan orgen tunggal. Seorang penyanyi dangdut akan di undang untuk mengisi acara. Menu yang disajikan juga akan lebih mewah dibanding pesta pernikahan lainnya. Setelah itu Adrian akan membawanya ke Jakarta, ke kota besar itu. Ny. Diana sudah merestui dan akan mengadakan pesta besar di hotel bintang lima. Adrian juga sudah menyiapkan apartemen untuk bulan madu mereka. Mungkin juga Adrian akan membawanya ke London. Pasti luarbiasa, karena seumur hidup ia belum pernah menginjak tempat-tempat semacam itu, terlebih menjadikan tempat berbulan madu.

Tia bahagia sekali. Ia menyusupkan kepalanya ke lekuk leher Adrian. Rasanya tidak ingin bangun. Tangan pria itu perlahan bergerak, mengelus punggungnya. Ia memejamkan mata dan tertidur kembali.

"Kak," gumam Tia dalam tidurnya.
"Tia, kau sudah bangun?"

Sebuah suara asing. Dalam bahasa asing. Tia terbangun dan memasang telinga, berkosentrasi. Ia membuka mata. Hari sudah pagi.
Yang pertama ia lihat adalah hidung yang hampir menyentuh dahinya. Mata yang setengah terpejam. Tia melepas rangkulan, bergeser sedikit demi melihat wajah itu secara utuh.

Tiba-tiba kesadaran menyentaknya! Ia bagai disiram air es.
Kevin!
Tidak! Tidak mungkin!! Bagaimana bisa?! Apa yang terjadi?
Ia melihat dirinya, juga pria disampingnya. Mereka berdua dalam keadaan yang persis sama!
Darah bagai hilang dari tubuhnya. Tidak! Tidak!!
Bagaimana mungkin? Adrian lah yang tadi malam bersamanya di air terjun, yang kemudian menghabiskan malam dengannya! Yang mengatakan bahwa mereka harus menikah hari ini juga dari pada beresiko mengulangi dosa yang sama! Bukan Kevin! Bukan dia!

Bagaimana ini terjadi? Bagaimana?

Setengah meronta, ia menolak tangan Kevin yang melingkari pinggangnya. Membuat pria itu benar-benar terjaga.

"Tidak! Kevin, apa yang kau lakukan padaku! Apa yang kau lakukan padaku?!?" Tia bagai histeris. Ia memukul-mukul dada Kevin. Suaranya mulai bergetar oleh tangis.
"Tia, tenang! Tenang dulu!!" Kevin menahan tangan Tia yang terus memukul dadanya. Tia berusaha melepaskan pegangan Kevin, meronta sedemikian keras, hingga Kevin menguncinya dalam pelukan.
"Lepaskan aku!!"
"Tidak sampai kau tenang!"
"Kau sudah memanfaatkan aku!! Kau bajingan!!" ia berusaha melepaskan diri.
"Tia, dengarkan dulu!"
"Kau jahat! Kau bajingan!" Tia histeris dan terus memaki.
"Tia, aku melindungimu! Kau demam! Tubuhmu menggigil karena kedinginan!"
"Pemain perempuan! Kau melampiaskannya padaku! Lepaskan aku! Jangan sentuh aku!!"

Kevin melepaskan Tia. Gadis itu menyambar pakaian dan buru-buru memakainya. Kevin menyarungkan celana, dan belum sempat ia memakai baju, Tia menolaknya dengan keras.

"Kau senang, bukan? Kau mendapatkan semuanya! Kau mendapatkan keinginanmu! Kau bajingan!"
"Tia!"
"Plak!!"

Kevin merasa pipinya panas. Tamparan keras Tia disertai derai tangis dan keputusasaan. Kemarahan berkobar, ia terus memaki dan menunjuk-nunjuk Kevin!

Kevin mulai tidak sabar. Geram, ia menangkap lengan Tia dan mengunci tubuhnya, menciumnya dengan paksa. Hatinya sedih luar biasa. Tidak semestinya Tia memperlakukannya seperti ini! Ia berjuang sepanjang malam di dalam gelap gulita untuk melindungi Tia. Tia begitu pasrah dan rela, dan ia telah menumpahkan kasih sayang terdalam yang seumur hidup belum pernah ia berikan pada siapapun. Pada siapa pun!

Ia mengerti Tia akan meninggalkannya. Kasihnya direnggut begitu saja, dipatahkan dengan begitu mudahnya! Tidakkah ia berhak menikmati dua hari kebersamaan ini dengan cara yang ia inginkan? Bukankah Tia telah setuju untuk membagi hari dengannya? Dua hari yang akan ia simpan sebagai kenangan?

Saat Tia melemah, ia melonggarkan pelukan, lalu melepaskan Tia. Gadis itu merosot ke tanah, menangis pilu. Kevin duduk di sampingnya, tatapnya lurus ke arah danau. Matanya basah oleh air mata kekecewaan dan kepedihan. Menangisi kasih yang tidak berbalas.

"Aku mencintaimu, Tia. Ingatlah itu," katanya datar, namun pilu.
"Aku membencimu! Kau tau!!" teriak Tia diantara isak tangisnya.

Kevin mencoba mengaktifkan ponselnya kembali. Berhasil! Ia menghubungi Jack Cannon. Dalam lima belas menit, pria itu sudah tiba di lokasi bersama setengah lusin anggota tim, membawa chainsaw untuk memotong batang pinus yang menutup mulut gua. Dalam gerak cepat mereka melakukan evakuasi untuk mengeluarkan Kevin dan Tia dan membawa mereka kembali ke pondok dengan selamat.

"Tia, gantilah pakaianmu! Kau belum pulih," Kevin mengantar Tia ke depan pintu kamar.

Tia diam membisu, melangkah gontai bagai orang linglung. Ia masuk ke kamar mandi, membuka shower dan duduk di bawahnya. Dia menuang sebotol sabun cair sampai habis, menyabuni tubuhnya, berharap noda yang dipaksakan Kevin ikut larut bersama air.
Ia membeku di sana.

Kak Ryan. Bagaimana ia akan mampu memandang pria itu, dengan keadaannya yang sudah tidak sempurna? Apalagi yang bisa ia berikan? Ia sudah gagal memegang janji!
Di luar, Kevin menunggu dengan resah. Tia mandi lama sekali. Suara air terdengar deras sampai ke luar. Ragu-ragu, Kevin mengetuk pintu kamar mandi.
Dia mengetuk sekali lagi. Setelah ketukan ke tiga, Kevin membuka pintu, tersentak melihat Tia yang duduk di bawah shower dengan pakaian lengkap.

"Tia, apa yang kau lakukan?" Kevin buru-buru menutup kran. Dia memandang Tia, melihat pada bibir membiru yang bergetar itu.

Meski menyadari Tia akan marah, mungkin akan menamparnya sekali lagi, Kevin tetap membuka paksa pakaian Tia dan menggantinya dengan jubah mandi. Ia menggendong gadis itu ke dalam kamar dan membaringkannya di tempat tidur. Tia meringkuk membelakangi, diam seribu bahasa.
Kevin meremas rambutnya penuh rasa bersalah. Ia pergi ke dapur untuk membuat segelas susu coklat hangat untuk Tia dan meletakkannya di atas nakas. Ia meraba kening Tia. Panasnya naik kembali.

"Tia, duduklah, aku ingin bicara!" Kevin duduk di sisi tempat tidur. Pandangnya lurus menatap Tia, tidak beralih sedikitpun.
Tia bergeming. Kevin mengalah, melanjutkan kalimat-kalimat perpisahan.
"Tia, aku tau kau membenciku sekarang. Kau boleh menilaiku sekehendak hatimu. Dua hari yang kuminta darimu baru akan berakhir nanti malam. Tapi aku tidak akan menahanmu lebih lama."
Ia diam sejenak.
"Tia, aku akan menyimpan satu hari kita kemarin sebagai kenanganku. Aku bersumpah, aku bahagia bersamamu! Tapi aku tidak akan memaksamu kembali padaku. Pergilah pada cintamu yang sejati! Aku akan melanjutkan hidup ini seperti biasa. Sebagaimana yang kukatakan dulu, aku sudah biasa jatuh, sudah akrab dengan sakit dan penderitaan, dan hanya kau yang tau itu. Kepergianmu akan menambah luka, namun aku akan terbiasa. Kelak, luka itu tidak akan berarti apa-apa lagi. Aku pasti berhasil menjadikan luka dan kesepian sebagai temanku, hingga pada akhirnya kesepian pun akan takut mendekat padaku."

Ia menyentuh kepala Tia, meraih rambutnya yang basah. Meremasnya sesaat, lalu melepasnya.

"Aku berusaha untuk tidak menyakitimu. Tidak pernah terdetik untuk membuatmu menangis seperti ini! Kau akan mengenangku sebagai laki-laki yang buruk, namun kau akan hidup sebagai kenanganku yang paling membahagiakan. Kau bagian hidupku yang terindah," matanya berkaca-kaca. Dengan suara parau ia melanjutkan, "Minumlah susumu, aku akan mengantarmu pulang!"

Kevin bangkit dan meninggalkan Tia.
"Kau sudah menghancurkanku," desis Tia, untuk pertama kalinya kembali terisak.
***

Pukul tujuh pagi Ny. Summerset naik membawa nampan berisi sarapan pagi.

"Terimakasih, tapi aku tidak lapar. Bawa saja makanannya." Dia belum makan sejak dua puluh empat jam terakhir.

Ia berjalan mondar-mandir dengan berkacak pinggang, meremas-remas rambut karena gundah yang memuncak. Sudah empat puluh delapan jam sejak ia terakhir bicara dengan Tia. Dimana tunangannya? Kemana bajingan itu membawanya? Apa yang dia lakukan terhadap Tia?

Pukul delapan pagi, telepon yang ia tunggu-tunggu akhirnya masuk.

"Keberadaan Tia sudah diketahui. Namun agaknya kau harus sedikit bersabar." Tommy melaporkan temuannya.
"Katakan padaku bagian terpentingnya!"
"McFadden membawa Tia ke Diamond Lake. Berada di sebelah Utara LA, sembilan puluh menit perjalanan dengan kecepatan standar. Diamond Lake itu danau kecil milik Negara, tapi radius dua kilometer dari bibir danau, melintang dari timur ke barat adalah aset pribadi Kevin McFaddden. Ia membeli area itu secara bertahap dan membangun pondok kecil di salah satu sisinya. Tidak mudah untuk mengakses tempat itu, karena tersembunyi di balik bukit pinus dan belum ada akses jalan menuju ke sana."
"Lalu bagaimana bajingan itu bisa masuk?"
"Dia membangun jalan pribadi yang tertutup untuk umum. Kalau kau ingin mencapai tempat itu, kau harus mulai dari sebelah utara, atau sedikit di luar sempadan milik McFadden. Pertama kau harus membuka hutan pinus untuk membuat jalan masuk hingga mencapai tepi danau, lalu menaiki speedboat untuk mencapai pondok. Dan itu tidak mudah, karena dia membangun pengamanan ketat di area pribadinya. Selain, tentu saja memasuki properti orang lain tanpa izin adalah pelanggaran hukum." Tommy menerangkan panjang lebar.
"Kejahatan macam apa yang dilakukan bajingan itu ditempat seperti itu?"
"Dia membeli daerah itu untuk melestarikan hutan pinus, sebagai bagian dari paru paru kota. Dia juga menjadikan beberapa bagian dari tanah itu untuk penangkaran binatang langka. Secara berkala, dia melepas ribuan bibit ikan air tawar di danau itu. Dengan kata lain, dia melakukannya untuk amal."
"Aku tidak peduli dengan amalnya!" dengus Adrian.
"Jadi, kau tetap akan membuat laporan orang hilang?"
"Tommy, tunanganku tidak hilang! Dia disandera!"
"Perlu pembuktian untuk menetapkan itu sebagai penyanderaan, Yan. Publik mengetahui Tia dan Kevin McFadden berpacaran. Sudah lazim orang berpacaran bertengkar, dan sudah lazim pula mereka pergi bersama selama berhari atau berbulan, kadang mereka memutus komunikasi demi alasan privasi."
"Jadi aku harus bagaimana, Tom?" Adrian bagai putus asa.
"Kusarankan kau bersabar sedikit lagi. Temanku si inteligen itu sedang bekerja. Tunanganmu pasti kita temukan!"
***

Perjalanan pulang itu memakan waktu dua kali lebih lama dibanding pergi. Kevin mengendarai dengan lambat, membiarkan semua mobil mendahului mereka.
Hanya sunyi di antara ia dan Kevin. Masing-masing hanyut dalam gundah dan gelisah, sedih dan marah. Melibatkan semua kenangan, menepikan harapan.
Tia memegang perut yang terasa nyeri. Asam lambungnya naik dengan cepat karena sederet masalah ini. Air mata mengalir kembali. Sekarang dirinya sudah tidak sama lagi.

Adrian menjaganya dengan baik selama belasan tahun. Kevin menjaganya dengan baik selama dua setengah tahun, hingga tadi malam.
Dirinya juga bersalah. Antara sadar dengan tidak, antara mimpi dengan nyata, dalam pergantian cepat yang berganti-ganti antara gelap pekat dan cuaca temaram di bawah tebing, ia menyangka sedang bersama pria yang sama.

Kevin seorang pria biasa. Hanya pria biasa yang kadang lemah. Sebagaimana dirinya juga kalah menghadapi pesona Adrian. Dalam hati ia mengakui, sebagian dari kesalahan ini berasal dari dirinya. Dia marah kepada Kevin, namun dalam perenungannya kemudian, menyadari dirinya juga patut disalahkan.

"Kau sakit, Tia?" Kevin melirik Tia. "Asam lambung?"
Tia diam saja, membuang pandang ke sisi jendela. Kevin selalu tau.

Mereka tiba di gerbang kediaman Tia. Gerbang itu terbuka lebar dan mereka melewatinya. Dua mobil parkir di halaman dalam posisi tidak beraturan. Tia mengenali sedan merah milik Hannah, tetapi tidak mengenali sedan hitam satunya lagi.

Untuk beberapa lama, mereka masih duduk di dalam mobil. Saling diam satu sama lain. Saat Tia akan turun, Kevin menahan tangannya. Untuk pertama kali sejak dari dalam gua, Tia menoleh pada aktor itu, yang selama bertahun belakangan begitu dekat dengannya..

Dua tahun lebih, hampir tiga tahun sejak mereka berkenalan, Tia tidak pernah melihat kedukaan seperti ini di wajah Kevin. Dalam hitungan jam, ia menua dengan cepat.

Menyadari Tia bersedia memandangnya, paras wajah itu berubah. Perlahan, ia tersenyum menenangkan. "Pulanglah."
Bibir Tia serasa kaku untuk berucap. Ketika akhirnya bicara, suara yang keluar malah menyerupai erangan.
"Jaga dirimu." Tia terkejut ia mengucapkan itu. Mata dan hidungnya menghangat, sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti. Kevin menatapnya, mengangguk pelan, memberi tanda agar Tia turun.
"Mr. Heinzh! Tunggu Mr. Heinzh!"

Suara Hannah mengejutkan Tia. Tapi itu bukanlah bagian terpentingnya! Ia nyaris tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Hannah sedang mendebat Adrian! Ia menjejeri langkah pria itu, menghalangnya masuk ke dalam mobil.

Demi melihat mobil Kevin, ia berteriak, "itu mereka!"
Adrian berbalik. Matanya memandang tajam, dan ia melangkah cepat ke arah yang dimaksud Hannah.

Tia masih sempat menoleh pada Kevin, sebelum melepas tangannya dari genggaman aktor itu dan turun dari mobil. Ia berjalan cepat menyongsong Adrian. Layaknya dua orang yang terpisah paksa, secara bersamaan mereka saling berpelukan!

Adrian merasa jiwanya bagai kembali ke tempat asal. Ia memeluk Tia erat-erat, dibalas Tia sama eratnya. Ia menangkupkan kedua tangan pada kepala Tia, melihat wajah dan dirinya, memastikan semua baik-baik saja! Ia mencium wajah itu, menikmati kelegaan luar biasa!

Dari balik stir, Kevin memaksa diri menyaksikan semua adegan itu, meski jiwanya bagai diseret ke ladang pembantaian!
Ia melihat senyum di wajah Tia saat memandang keparat berjas hitam itu!

Di sisi Tia, Adrian masih terus memandangnya.
"Kau tidak apa-apa, Tia?"
Alarm peringatan alam bawah sadar Tia berbunyi nyaring. "Ya, Kak, aku baik-baik saja." Ia mengangguk beriring senyum.

Adrian memandang tajam ke arah mobil Kevin, maju dua langkah, berdiri menantang! Ia masih punya urusan dengan bajingan tua itu!
Sadar dirinya tidak bertepuk sebelah tangan, Kevin turun dengan tenang menghampiri pasangan itu. Tia merasa tinju Adrian sudah mengepal, kemarahan menguar dari dalam dirinya!

Benar saja, dalam gerak cepat, Adrian menyongsong Kevin dengan sebuah pukulan padat bertenaga!
"Bukkk!!"

Kevin terjejer mundur, nyaris terjungkang. Sekejap, ia merasa pening. Namun dengan cepat ia menguasai diri.

"Kemampuanmu boleh juga, Anak Muda!" ia mengusap sudut bibirnya yang berdarah.
"Itu belum seberapa, Kakek Tua!" Adrian melepas jas dan menjejalkannya begitu saja ke tangan Tia. "Mari kita bermain."
Kevin memberi senyum mengejek. Ia membuka jaket dan melemparkan ke mobil. "Tawaran yang menyenangkan."
"Kakak, sudah, Kak!" Tia menjerit menengahi.
"Minggir, Tia! Ini urusan laki-laki!" Ia mengabaikan Tia begitu saja.
Hannah menghalang Kevin, tapi Kevin menepisnya. "Minggirlah!"

Mereka bertemu kembali. Kevin melepaskan satu pukulan tepat ke perut Adrian. Gagal menghindar, Adrian terbungkuk menahan sakit. Kembali Kevin akan melayangkan pukulan, gesit Adrian berkelit dan memberi serangan balasan ke bawah lengan Kevin.

"Kakak, sudahlah! Sudah!" Tia menghalang Adrian. Ia memeluk pinggangnya sekuat tenaga.
"Minggir Tia! Jangan ikut campur!" ia melepas pegangan Tia, terus menatap penuh kebencian pada Kevin.
"Kak, aku mohon, sudahlah!"
"Minggir, Tia!"
"Kakak, sudah kataku!!" hardik Tia. Ia sudah kehabisan cara. Matanya sudah penuh air mata tapi dua pria keras kepala itu tidak ada yang mau mengalah. "Dengarkan aku!!"

Ia berdiri diantara kedua pria itu.

"Berhenti berkelahi! Aku tidak ingin melihatnya! Atau aku akan pergi dari sini dan kalian tidak akan menemukanku lagi!!" ia serius dengan kata-katanya.

Ancaman itu menghentikan dua pihak yang siap saling bunuh itu. Adrian berkacak pinggang menahan geram, memandang ke sembarang arah. Kevin membalik badan, mengetuk atap mobilnya.

Tia menghampiri Kevin.
"Kev, pergilah dari sini! Aku mohon, pergilah! Aku tidak sanggup!" Tia mencengkeram perutnya yang semakin nyeri. Matanya menatap Kevin memohon pengertian, dengan air mata yang terus bergulir.
Kevin mengerti. Tatap Tia sudah menjelaskan segalanya. Bahwa meski sulit dipahami, Tia juga terluka oleh perpisahan mereka.

"Baik. Jaga dirimu, Tia." ia hampir berbisik. "Ingatlah, aku ingin kau selalu bahagia. Bersamaku, atau tidak bersamaku."

Dia menatap dua detik lebih lama, lalu berbalik membuka pintu mobil. Sebelum masuk, ia menoleh sesaat pada Tia. Gadisnya. Dan melihat kedukaan hebat yang sama pada sepasang mata coklatnya yang indah.

Bersambung #14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER