Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 20 Mei 2021

Binar Jingga Mentari Senja #14

Cerita Bersambung
*AIR MATA DI MALAM  PENGANTIN*
Hannah sudah pergi dan sekarang hanya tinggal mereka berdua.

"Apa yang sudah dilakukannya padamu?" Adrian penuh kuatir.
"Dia tidak melakukan apa-apa, Kak!"
"Jangan bohong, Tia!"
"Apa maksud Kakak?" dadanya berdebar tiba-tiba.
"Aku sudah melihat rekaman cctv! Bajingan itu memaksamu masuk mobil, menjejalkanmu begitu saja!" Suara Adrian meninggi.

Tia langsung lega. Hati-hati dia berucap, "Kevin sangat kecewa dengan perpisahan kami. Dia sempat tidak terima pada mulanya, lalu kami bicara dari hati ke hati dan sepakat berpisah."
"Pondok di Diamond Lake, bukan?"
"Bagaimana Kakak tau?"
"Jangan meremehkanku, Tia! Aku akan mengacak-acak seluruh dunia demi menemukanmu, juga akan mengacak-acak hidup si keparat itu!"

Ledakan emosi Adrian menyentak Tia. Belasan tahun bersama Adrian, dia mengenal kekasihnya sebagai pria kalem. Mengapa semakin lama dia semakin temperamental ?

"Kak, sudahlah! Jangan diteruskan!"
"Apa maksudmu dengan sudahlah?" Adrian duduk di depan Tia, tubuhnya condong, menatap penuh selidik. "Dia menyanderamu dan aku hanya diam saja?"
"Kak..."
"Tia, dengar! Kau adalah kehormatanku! Jika aku tidak bisa melindungimu, lebih baik aku mati saja!"
"Tidak ada penyanderaan, Kak! Kevin hanya marah sesaat, tapi kemudian reda. Kami bicara. Aku menangis dan dia setuju mengakhiri hubungan kami."

Mereka berdebat karena Adrian berkeras melakukan balas dendamnya. Dirinya belum puas hanya dengan adu jotos begitu. Saat ponselnya bergetar, ia bergegas menjauh. Diam-diam Tia mengekor, berdiri di balik dinding.

"Nona Tia sudah kembali, Juan. Tidak, jangan bertindak dulu! Tahan orang-orangmu, tunggu instruksi dariku!"

Perut Tia melilit bagai diaduk. Apa yang akan dilakukan Adrian pada Kevin?

Ia harus menghalangnya! Bagaimanapun, Kevin tidak sepenuhnya bersalah! Tia tidak ingin pria lembut hati itu terluka. Lagi pula, Adrian juga akan terkena masalah jika terjadi sesuatu pada Kevin. Polisi tidak bodoh!

Tia keluar dari persembunyiannya. Ia harus mencegah Adrian berbuat nekat! Tapi kembali sebuah panggilan masuk dan Adrian mengangkatnya, bicara dalam bahasa Jerman. Pasti dari Tommy!

Wajah tegangnya berubah santai saat melihat Tia. Sambil terus bicara, tangan Adrian terulur pada Tia yang mendekat padanya. Spontan, ia mendorong Tia ke dinding dan menciumnya begitu saja, dengan sebelah tangan masih menempel di telinga, membiarkan Tommy terus bicara sementara dia sibuk dengan aksinya.

"Ryan, kau masih disitu? Adrian!"
"Sorry, Tom! Kekasihku lewat dan aku menyambarnya!" Dia melanjutkan dalam bahasa Inggris hingga Tia memahaminya. "Apa kau bilang tadi?"
"Sialan kau!" Tommy tergelak. "Kalau begitu, silahkan kau teruskan! Kita bicara lagi nanti!"

Adrian tersenyum dan memasukkan ponsel ke saku celana. Bibirnya tersenyum dan menatap Tia dengan lembut.

Tia menyadari Adrian sedang menyembunyikan sesuatu. Sikap romantis ini hanya kamuflase saja.

"Tommy berkirim salam untukmu. Dia senang kau kembali."
"Kakak melibatkan Tommy?"
"Hanya minta saran." Adrian menarik Tia merapat padanya.
"Saran?"
"Benar. Dan dia menyarankanku menciummu kembali."
***

Di kamarnya, Tia memijit-mijit kepalanya yang sakit. Tubuhnya meriang, nyeri di perutnya juga tidak hilang. Dari jendela, ia melihat Adrian sedang bicara di telepon. Pria itu berdiri di taman, sebelah tangannya di saku celana.

Entah apa yang direncanakan pria itu. Tapi apapun itu, pasti Kevin sasarannya!
Kevin.

Dia sedih mengingat sosok itu. Kevin sedang hancur saat ini, dan Adrian masih akan menambah penderitaannya.

Tia mengingat masa-masa gelapnya dua setengah tahun yang lalu, dimana ia berada dalam lembah duka. Kevin dan Ny. Anne merawatnya, membantu penyembuhan dirinya. Kevin menemaninya menjalani hari-hari yang berat. Kevin pria sabar dan pengalah, selalu mengikuti saja saran dan keinginan Tia. Mereka tidak pernah bertengkar, tidak ada silang pendapat. Senantiasa bicara tentang apa saja, pergi kemana saja, tidak peduli pada foto-foto mereka yang kemudian memenuhi media.

Kevin sudah bersalah di saat-saat akhir, mengambil yang bukan miliknya. Mulanya Tia benci dan marah luar biasa, tapi sekarang yang tinggal hanya ketakutan. Kebingungan. Malu. Tidak punya keberanian lagi menjawab apapun jika nanti Adrian bertanya.

Kepalanya semakin sakit. Ia memaksa berdiri dan beranjak ke dapur. Mrs. Summerset sedang di dapur, Tia memintanya mengeluarkan makanan beku dari lemari es. Tia pusing saat berdiri, maka ia duduk sambil membuat bumbu dan memaksakan diri memasak. Sup ikan, ayam goreng dan sayur. Menu sederhana untuk makan siang.

"Kau makan sedikit sekali, Tia," Adrian melihat ke piring Tia.
"Beratku naik satu kilo, Kak. Agaknya harus sedikit mengerem selera."
"Yakin naik? Kau kelihatan tambah kurus!"

Tia diam saja dan meneruskan makan. Bersama Kevin, ia tidak pernah menyembunyikan apa-apa. Selalu berterus terang.

'Perutku sakit, Kev! Kepalaku pusing! Aku PMS!'
'Ajak aku nonton konser! Pokoknya aku ingin nonton!'
'Kevin, kau kemana saja! Kau tega sekali, tidak mengangkat telepon!'
'Kevin, masakin aku spagethi, ya! Penyakit malas ini datang tiba-tiba.'

Mengapa pada Adrian dia tidak bisa demikian? Masa lalunya sebagai gadis yang dipungut dan dihidupi Adrian membuatnya selalu sungkan pada pria ini. Jarang sekali dia bisa lepas, terlebih Adrian kalem. Meski sekarang dirinya sudah sukses, namun saat bersama Adrian, ia merasa dirinya bukan siapa-siapa.

Tapi terhadap Kevin berbeda. Mereka sama-sama orang biasa yang memulai dari bawah. Sikap dan pembawaan Kevin selalu membuat siapapun nyaman bersamanya, termasuk Tia.

"Sayang, ini apa?" Adrian melihat air di sudut mata Tia. Ia mengusapnya.
"Kak, tolong jangan sakiti Kevin."
"Apa?" mata Adrian menyipit.
"Jangan sakiti Kevin. Lepaskan dia."

Adrian menyudahi makan. Rahangnya mengeras, ia meletakkan sendok dan garpu begitu saja.
"Apa-apaan ini, Tia?" geramnya. "Kau menangis karena dia? Katakan padaku, kau mencintainya?"
Tia menggeleng tegas.
"Tapi dia penting bagiku, Kak! Ini bukan soal cinta! Tapi empati! Kak, mengertilah! Kevin dan keluarganya sudah begitu baik padaku. Aku tidak tau apa jadinya aku hari ini jika mereka tidak menolongku! Kevin menyadari benar aku tidak mencintai dia, tapi dia tidak memaksa. Hari ini, dia mengantarku pulang, setuju mengakhiri hubungan kami, padahal dia sudah mempersiapkan segalanya! Membangun pondok yang indah di pinggir danau, ingin menikah dan berkeluarga. Tiba-tiba harapannya kuhancurkan begitu saja! Dan kakak masih ingin menghancurkan dia?!"

Tia memijit keningnya. Mata Adrian menyipit, melihat wajah Tia yang pucat. Kening Tia dirabanya.
"Sayang, kau demam!" wajahnya cemas.
"Lepaskan dia, Kak!" pandangan Tia mengabur. "Setidaknya, lakukan demi aku! Aku tidak meminta, aku memohon!"

Tia berdiri, bermaksud meninggalkan Adrian. Tapi pandangannya semakin kabur, dunia berputar-putar. Lalu gelap, dan ia merosot tak sadarkan diri.
***

Ketika Tia membuka mata pertama kali, ia melihat Adrian disisinya. Pria itu menggenggam tangan Tia dengan wajah berbeban.

"Sayang, kau sudah sadar?"
Tia mengangguk.
"Kau demam dan mengigau. Mengucapkan satu nama berulang kali."

Jantung Tia berdebar keras. Ucapan orang mabuk dan orang yang mengigau adalah pengakuan yang paling jujur. Ya Tuhan, apa yang sudah ia katakan?

Ia mengingat Kevin saat akan pingsan tadi!

"Tia," Adrian membelai rambutnya. "Kau sangat tertekan, ya?"
Tia menggeleng pelan. Apa yang dia igaukan tadi?
"Tia, aku akan melakukan apa yang kau sukai, meski aku tidak menyukainya. Aku akan melepas Kevin."
Tia menggigit bibir. Dirinya belum lega. Nama siapa yang dia sebut dalam keadaan tidak sadar tadi?
"Kau menyayanginya, bukan?" pandang Adrian mengawang.
Tia tidak berani mengangguk atau menggeleng.
"Aku akan melepasnya. Tadinya aku hampir membunuhnya." Adrian tertawa getir.
"Kak, apa yang aku igaukan?" Tia tidak mampu menahan penasaran lebih lama.
Adrian memandang wajahnya, memberi tatap penuh cinta. "Kakak."
"Kakak?"
Adrian tersenyum, mengangguk. Tiba-tiba ia mempererat genggaman tangannya, "Tia, kita menikah saja! Hari ini! Kau bersedia?"

Tia terpana.
***

Selama belasan tahun dia menunggu datangnya hari ini. Namun kini, Tia bahkan tidak berani berharap lagi. Ia takut, berharap bisa memutar waktu. Entah kehidupan perkawinan seperti apa yang kelak ia jalani setelah Adrian mendapati Tia telah membohonginya. Mungkin bagi sebagian orang sikap Adrian aneh sekali karena di zaman ini masih saja mengukur nilai seorang perempuan dari keperawanannya. Namun dalam hubungan mereka, esenssi yang sebenarnya tidaklah demikian. Ini tentang kesetiaan dan kejujuran.

Entah apa yang harus ia lakukan. Di dalam kamar, ia gelisah, berjalan hilir mudik dengan kepala masih setengah pusing. Di bawah, Adrian sedang melakukan panggilan Internasional dengan pengacaranya.

"Pengacaraku akan berunding dengan manajement dan berbagai pihak yang memakai jasamu. Kita akan mengajukan pembatalan kontrak," kata Adrian.

Dia geleng-geleng kepala dan tertawa hambar.
"Tidak pernah terbetik olehku untuk menikahimu secara siri. Kau bukan simpanan, bukan perebut suami orang. Kenapa aku sampai harus menikahimu secara siri! Padahal, jika mereka menuntut, aku sanggup mengganti kerugian mereka!"
Tia diam saja.
"Tapi aku tau, kau tidak mau ada ribut-ribut." Adrian meraih jari Tia.
"Sayang, begitu urusan kontrakmu selesai, aku akan mengurus pernikahan resmi kita."
Tia menganguk.
"Tia, kau tidak suka?"
"Aku? Aku senang, Kak!"
"Tia, aku sangat cemas waktu si Tua Bangka itu membawamu."
"Tua bangka? Dia hanya enam tahun di atas Kakak."
Adrian mendengus. "Sekarang aku tidak mau menunggu lagi. Aku sudah minta bantuan seorang teman mengurus pernikahan kita. Dia yang akan mencarikan tempat dan penghulunya. Kita menikah lusa pagi. Kebetulan hari Jumat, kupikir itu baik sekali." Mata Adrian berbinar-binar.
Tia berharap dia bisa pingsan sekali lagi!

"Tia, kau memikirkan Kevin?"
"Tidak, Kak. Sungguh!"
"Lalu?"
"Aku," suara Tia tercekat di tenggorokan. "Aku kuatir tidak cukup baik untuk Kakak."
"Aku yang tidak cukup baik untukmu." Adrian mencium punggung tangan Tia penuh perasaan. "Aku sadar sikapku keras. Aku bukan pria romantis, aku selalu sibuk sepanjang waktu. Hampir dua belas tahun kita bersama, aku tidak pernah memberimu apa-apa kecuali penantian dan kesepian. Aku menyadari sisi lemahku. Kau nyaman bersama Kevin karena dia juga membuatmu nyaman, bukan? Tia, maafkan aku! Aku tidak sempurna, tapi aku ingin membuatmu bahagia."

Batin Tia menangis. Susah payah ia menahan air mata.
"Kau mau menikahiku, Tia?" Adrian menatapnya.
Perlahan, Tia mengangguk.
***

"Sayang, aku keluar sebentar." Adrian berdiri di pintu kamar Tia.
"Kemana, Kak?"
"Ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan sehubungan pernikahan kita."
Tia mengangguk.
"Tia, kau tidak menyiapkan apa-apa?"
"Apa?" Tia kebingungan.
"Misalnya pakaian."
Pelan, Tia mengangguk. "Ya, Kak."
"Sayang, apa yang kau inginkan sebagai mahar?"

Hati Tia meleleh. Seumur hidup ia memimpikan semua ini. Mengurus pernikahan berikut hal-hal yang sehubungan dengannya. Menikmati kebingungan menentukan model cincin kawin, model pakaian, daftar menu, jumlah undangan, rencana-rencana bulan madu. Memimpikan sedikit ketegangan dengan calon pasangan terkait perbedaan-perbedaan kecil yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Ia memimpikan semua itu. Dulu.

Ironis, karena sekarang Adrian lah yang terlihat bersusah payah. Rasa berdosanya pada pria itu semakin menggunung.

"Tia?"
Suara Adrian mengejutkannya.
"Aku, dulu aku mengharapkan perangkat sholat." Tia nelangsa.
"Dulu?" kening Adrian berkerut.
"Maksudku, dari dulu."
Adrian mengangguk-angguk. "Aku suka itu. Bagaimana kalau kita pergi bersama, sekalian membeli cincin kawin?"

Tia menggigit bibir. Cincin kawin.

"Tia, maafkan aku! Semestinya aku memberimu cincin yang dirancang khusus, bukan cincin pasaran yang dijual bebas," sesalnya.

Hati Tia berdesir. Kak Ryan tampan dan baik, bersih tidak ternoda. Dia betul-betul menjaga diri, meski setengah populasi wanita cantik kota Jakarta menginginkannya. Sedangkan Tia tidak demikian. Sekarang dirinya wanita tidak sempurna yang penuh dosa.
Tia tidak bisa menahan diri, ia merangkul pinggang Adrian dan bersandar di bahunya.

"Ada apa, Sayang?" Adrian mendekap punggungnya penuh kasih.
"Tidak, Kak. Hanya kangen saja."
"Tidak sabar menunggu malam pertama?" goda Adrian.

Tak sadar Tia meremas punggung Adrian. Gundah.

"Kakak saja yang pilih cincin dan maharnya. Biar menjadi kejutan buatku."
"Kau sendiri?"
"Aku akan telepon Hannah, supaya dia mencari pakaian siap pakai untuk kita dari para desainer itu. Pulanglah lebih cepat, Kak!"
"Baik. Aku pergi dulu, ya!"
Tia mengangguk.
"Sayang, aku tidak bisa kemana-mana kalau kau menahanku begini," bisik Adrian.
"Maaf, Kak!" Tia buru-buru melepaskan diri.
"Boleh minta cium lagi?" Adrian mengedipkan mata.
"Dalam mimpi!"

Dari jendela kamarnya, Tia melihat Adrian masuk ke dalam mobil bersama seorang pria berwajah Timur Tengah. Tia tidak mengenalnya.

Hannah datang lagi hari itu juga. Setelah mendapat telepon dari Tia, ia tidak menunggu lagi dan bergegas ke rumah Tia.
Mereka duduk di kursi santai di tepi kolam renang.

"Jadi kau akan menikah dengan pria itu?"
Tia mengangguk.
"Sudahkah kau pikirkan, Tia?"
Tia mengangguk lagi.
"Bagaimana dengan Kevin?"
"Kami sudah tamat."
"Kau tega sekali, Tia! Kau sudah membunuhnya!"

Tia membuang muka, menghembus nafas penuh beban. Sesungguhnya Hannah benar.

Kevin McFadden. Kevin yang malang. Mengingatnya menimbulkan nyeri di hati, juga rasa bersalah yang tidak mudah diabaikan begitu saja.

"Dan bagaimana semua kontrakmu? Semua perjanjian itu?"
"Adrian akan mengurusnya."
"Kau dilarang menikah, Tia! Amor, Crown, Alexxe!"
"Aku menikah secara agama, Hannah! Secara hukum negara, aku masih lajang."
"Dengan Alexxe, kau bahkan dikontrak bersama Kevin. Kalian masih punya kewajiban untuk tampil bersama di dua Award tahun ini!"
"Aku tau."
"Bagaimana kalau kau sampai hamil? Apakah kau sudah memikirkannya?"
"Aku dilarang menikah, bukan dilarang hamil."
"Kau sudah gila, Tia!"
"Aku mencintai Adrian, Hannah! Kau tidak akan mengerti! Sudahlah, aku butuh gaun dan jas. Tolong urus itu untukku!"
***

Akad nikah itu dilakukan di salah satu ruangan tertutup di bangunan Los Angeles Islamic Centre. Seorang Syaikh menikahkan Adrian dan Tia. Hanya dihadiri beberapa orang, dan disembunyikan rapat dari publik.

Tommy dan Sarah datang pada acara akad nikah itu, juga Hannah, yang masih belum menerima kenyataan artisnya lebih memilih pria Indo Swiss yang pemarah, kaku dan pasti menjegal kariernya itu dari pada memilih Kevin McFadden yang lembut dan pengertian. Adrian berniat mengundang Nadine karena teman masa kecilnya itu sedang berada di kota yang sama, namun ia kuatir Tia tidak akan suka. Cemburu sudah mendarah daging pada diri gadis itu, padahal dia sendiri pernah bersama orang lain. Selain itu, beberapa pejabat kedutaan Indonesia juga turut hadir memberi ucapan selamat.

"Selamat, Ryan!" Sarah memeluk sepupunya penuh kebahagiaan. Ia menatap Adrian, tersenyum lebar dan berdecak tak percaya. "Akhirnya kau menikah juga!"
"Jangan berlebihan! Aku baru awal tiga puluh, bukan lima puluh!" balas Adrian.
"Entahlah kau beruntung atau malang, Tia, karena Ryan pendiam sekali! Tidak romantis! Pacarnya laptop dan ponsel! Menyebalkan!" gerutunya. Dia berbisik pada Tia dengan suara yang bisa didengar semua orang, "kalau aku jadi kau, aku tidak akan mau dengannya!"
"Ya, terus saja mengghibahku!" gerutu Adrian.
"Apa itu ghibah?" tanya Sarah.
"Kau tukang gosip." Adrian tersenyum simpul.
Mereka semua tertawa.

"Selamat untuk kalian berdua!" Tommy merangkul Adrian lalu menepuk lengan Tia pelan. "Semoga kalian selalu bahagia dan segera memiliki keturunan."
"Terima kasih, Tom," ujar Tia.
"Aku akan memberi kalian tiket bulan madu sebagai hadiah. Kalian akan berbulan madu kemana?"
"Terima kasih, Tom. Tapi kami masih merundingkannya." Adrian melirik Tia.
"Baik, kabari aku kalau sudah fix."

Sementara Adrian bicara dengan beberapa undangan, Hannah mendekati Tia. Mereka merapat ke salah satu pojokan.

"Tia, bagaimana dengan jadwalmu besok?"
"Hannah, bisakah kau batalkan kehadiranku di acara itu? Aku baru menikah hari ini, bagaimana bisa besok sudah bekerja?" Tia memelas.
"Kau modelnya, Tia! Seluruh model Amor dari lima benua berkumpul di sana. Kau mendadak menikah, aku tidak sempat berbuat apa-apa! Bagaimana aku harus menjelaskan ketidak hadiranmu pada mereka? Apa alasannya?"
"Hannah, please! Tolonglah aku! Beri aku libur, setidaknya selama beberapa hari!" Tia sudah mau menangis saja. "Tolong!"

Melihat air muka yang begitu sendu, Hannah menjadi iba. Dia menarik nafas panjang.

"Baiklah, Tia! Apapun untukmu, meski kau minta kepalaku!"
"Oh, Hannah, terimakasih!" Tia memeluk wanita bertubuh tambun itu. "Kau baik sekali!"
"Audrey pasti memecatku! Dari semua manager di agency nya, hanya aku yang selalu kena semprot! Gara-gara sekarang kau selalu mangkir sesukamu!"
"Maafkan aku. Tidak akan lama lagi sampai semua ini berakhir. Aku akan kembali ke Jakarta, menjadi istri setia bagi Adrian."

Hannah menatapnya. Dia menyukai Tia, dan sekarang mengaguminya. Tidak banyak wanita yang mau melepas karier segemilang ini demi kembali ke rumah.

"Semoga pilihanmu tepat, dan kau bahagia, Tia."
"Terimakasih, Hannah. Aku berhutang padamu."
Mereka berpelukan.
"Aku pergi dulu! Suamimu yang pemarah itu sudah dua kali memandang ke sini! Sejujurnya Tia, aku tidak suka Adrian Heinzh! Kuyakin dia juga ingin membunuhku setiap waktu!"

Tia tersenyum, membiarkan Hannah meninggalkannya. Dia lega, meski hanya mendapat libur beberapa hari. Setidaknya, dia punya waktu untuk menangis saat nanti Adrian menudingnya karena sudah tidak perawan. Dan dia tidak perlu pergi bekerja dengan mata bengkak serta wajah yang sembab.
***

"Selamat datang, Ny. Heinzh!" Adrian menggendong pengantinnya ke dalam kamar suite bulan madu.
Mereka tersenyum dalam kebahagiaan tidak terkira. Setelah berbagai cobaan penuh liku, akhirnya hari ini tiba.

Adrian membawa Tia ke tempat tidur. Ia menyentuh ubun-ubun Tia, bibirnya komat-kamit membaca doa.

"Aku menghafal doa ini sejak lama." kata Adrian.

Pelan, Adrian mulai menyentuh. Perut Tia melilit, jantungnya berdebar hebat dicekam takut, juga rasa berdosa yang semakin memuncak. Pilu karena suaminya hanya mendapat sisa orang lain.

"Kau grogi, Sayang?" Adrian menatapnya, menyadari sedari tadi Tia hanya diam, tidak membalas sentuhannya sama sekali.
Tia mengangguk.

"Rasanya aku gerah sekali," Tia memberi alasan. Ia sudah panik.
"Kau mau mandi?"
"Ya."
"Ayo, kuantar."

Tapi Adrian tidak hanya mengantar. Pria jangkung itu bergabung dengannya di bawah shower, mencuri-curi kesempatan menyentuh Tia.

Harusnya ia bahagia. Harusnya ia menikmati detik-detik ini! Sekarang, yang ada hanya kecemasan dan ketakutan!

"Kak. Kakak."
"Hmm..."
"Mandi dulu!"
"Mmm."

Tia menyabuni tubuhnya banyak-banyak. Air mata menggenang bercampur air, berduka karena suaminya bukanlah orang pertama yang melihatnya tanpa pakaian. Kevin sudah lebih dulu, lebih dari sekali, dan meninggalkan sisa untuk Adrian!

"Sungguh, aku tidak percaya dirimu seindah ini," Adrian menatapnya penuh binar. Ia bagai tak sabar, menggendong Tia ke ranjang pengantin mereka. Tanpa menunggu, ia menyentuh Tia yang sudah tidak mungkin menolak lagi.
Dirinya tidak pernah disentuh siapapun seperti ini, kecuali dalam keadaan tidak sadar saat bersama Kevin di air terjun itu. Seharusnya ia bahagia sekarang. Seharusnya...

Air mata Tia menetes. Ia memejamkan mata, pasrah pada hukuman yang akan diberikan Adrian.
Ia sedang menanti detik-detik suaminya menatap penuh kecewa. Entah Adrian akan memaafkannya atau tidak!

Tiba-tiba sengatan nyeri menyentaknya. 'aahh...' pekik tertahan terdengar dari suara Tia. Nyeri yang panjang seiring gerakan Adrian, hingga jarinya mencengkeram dalam bahu pria itu. Nyeri yang perlahan menghilang dengan sendirinya, berganti rasa lain yang tidak terkatakan.
Tetapi Tia tidak menikmati itu. Matanya nyalang menatap langit-langit kamar di atas punggung Adrian. Sebuah pertanyaan memenuhi kepala. Apa yang terjadi malam itu?
Wajah lembut dan sabar Kevin berkelebat.

'Aku mencintaimu, Tia. Aku ingin kau bahagia. Bersamaku, atau tidak bersamaku!'

Air mata Tia mengalir kembali. Sejuta penyesalan. Kevin, maafkan aku. Maaf!
Alarm di kepala Tia memberi peringatan, mulai detik ini, Adrianlah yang harus ia pikirkan. Karena pria inilah suaminya, kekasihnya, kecintaannya, kesempurnaan jiwa yang sekian lama ia dambakan. Sekarang, Adrian adalah miliknya yang paling berharga. Adrian adalah jalannya menuju surga.

Tia mengusap air mata, perlahan mulai membalas Adrian, menikmati indahnya penyatuan diri yang diridhoi Penguasa Langit dan didoakan segenap penduduknya.

"Kakak..." ia tertunduk malu dengan pipi bagai terbakar. Apakah rasa ini juga dialami semua gadis di malam pertama mereka?

"Aku bahagia, Tia. Aku bahagia," Adrian memeluk Tia penuh haru. "Gadis air terjunku yang cantik. Sekarang aku memilikimu. Kau istriku, bagian dari hidupku. Aku akan melindungimu dengan jiwa ini."

Tanpa sengaja, mata mereka menatap seprai yang mereka tiduri bersama, melihat pada bercak darah di sana.

Lama setelah Adrian terlelap, Tia masuk ke kamar mandi, menumpahkan tangis penyesalan, di sisi lain, kelegaan.

---TAMAT---

1 komentar:

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER