*MENTARI HARAPAN*
Tia kembali ke kamarnya dengan jantung berdebar-debar serta wajah bagaikan terbakar karena malu yang teramat sangat. Apa yang baru saja terjadi antara dirinya dengan Kevin benar-benar di luar dugaan.Baru tiga bulan sejak hubungannya dengan Adrian berakhir, dan dia sudah membiarkan dirinya disentuh laki-laki lain. Sikap Kevin yang lembut disertai tatap hangat yang menenangkan itu telah menghanyutkan Tia.
"Dia tidak memaksaku. Tidak ada paksaan sama sekali. Aku menerima dengan begitu saja," Tia tidak hendak menyalahkan Kevin.
Ia teringat adegan penutup yang mereka lakukan beberapa bulan yang lalu. Betapa takut dirinya waktu itu. Merasa tidak pantas, juga rasa bersalah pada Adrian.
Tapi malam ini, tidak ada paksaan, tidak ada tekanan, tapi dirinya membalas Kevin.
"Apa yang terjadi denganku?" Tia menyelidik hatinya sendiri.
Tia mengingat Kevin berikut sikapnya sejak pertemuan pertama mereka di kantor Sebastian Hunter. Kevin McFadden sang superstar. Tia sudah grogi setengah mati karena akan bertemu dengan bintang besar, tapi sikap Kevin di luar dugaan. Senyumnya ramah, sikapnya hangat bersahabat. Dia mengulurkan tangannya pertama kali sambil menyebutkan nama. Tidak seperti aktor terkenal lainnya yang tinggi hati serta banyak maunya, Kevin menjaga sikap, tidak coba-coba ambil kesempatan terhadap Tia si calon artis.
Kevin dan keluarganya sangat baik, pikir Tia. Padahal aku bukan siapa-siapa. Aku hanya gadis sebatang kara yang berjuang hidup di negeri ini.
Pikirannya melayang pada Adrian. Sekarang pria itu sudah pergi, meninggalkan Tia sendiri. Benar-benar sendiri. Entah oleh sebab apa Adrian meninggalkannya, hingga hari ini ia tidak mengerti. Apakah karena gosip itu? Rasanya tidak mungkin karena Adrian bukanlah orang bodoh yang mudah saja termakan isu. Bertahun-tahun Ny. Diana mempengaruhinya, namun Adrian bergeming. Dia tetap memperjuangkan hubungan mereka. Jadi, apa yang menyebabkan Adrian meledak dalam murka luar biasa? Kesalahan apa yang telah Tia lakukan?
Tia begitu ingin bertanya. Tapi Adrian menutup semua pintu. Dia sudah tidak peduli.
Hari ini tanggal satu. Selama hampir sepuluh tahun, tanggal satu adalah tanggal yang bersejarah. Karena itu saatnya Adrian mengirim uang. Selama enam tahun putus komunikasi, tanggal satu menjadi penanda bahwa Adrian tidak melupakannya. Tia menunggu-nunggu datangnya tanggal satu, karena dia menyadari, di hari itu Adrian pasti mengingat dirinya. Setelah Tia kuliah dan memiliki ponsel, setiap tanggal satu masuk pemberitahuan pesan sms banking bahwa Tia menerima transferan. Nada pesan sms itu sengaja Tia atur istimewa, sebuah lagu lawas dari Brian Adams berjudul Everything I Do, I Do It For You. Tia sangat menyukai lagu itu, karena Adrian memutarnya di dalam mobil yang membawa Tia dari rumah sakit ke Penginapan Sakinah di malam sebelum Abak meninggal. Moment tak terlupakan, karena itu pertama kalinya ia bepergian berdua saja dengan Adrian. Setengah geer Tia menduga, Adrian sengaja memilih lagu itu untuk menarik perhatiannya.
Hari ini tanggal satu. Lima menit lagi tanggal akan berganti. Tia menanti penuh pengharapan. Dia tidak pernah begitu berharap akan sebuah transferan uang sebagaimana saat ini. Selama dua bulan ini sama sekali tidak ada transferan dari Adrian. Semoga dalam lima menit ini Brian Adams beryanyi kembali, sebagai penanda bahwa kemarahan Adrian sudah mereda dan hubungan mereka masih bisa diselamatkan.
Lima menit terpanjang dalam hidupnya.
Tia berdoa, harap-harap cemas. Walau nilainya tidak sebesar dibanding penghasilan Tia sekarang, tapi itu adalah bukti tanggungjawab Adrian pada dirinya. Bukti perlindungannya. Bukti kasih sayangnya. Bukti bahwa hubungan mereka belum berakhir. Sebagaimana waktu itu, meski Tia meninggalkannya, tapi selama satu tahun itu transferan Adrian tidak ikut berhenti.
Lima menit itu sudah habis.
Detik berlalu dan tanggal baru sudah tiba. Brian Adams tidak bernyanyi, dan tidak akan bernyanyi lagi.
Jadi, hubungan mereka memang sudah berakhir! Sebagaimana kalimat Adrian waktu itu, 'Aku melepaskanmu!', Adrian memang sudah melepaskan Tia! Dia telah mengakhiri hubungan mereka selamanya!
Tia menutup wajahnya pada bantal. Menangisi Adrian, meratapi cinta yang terenggut. Hingga kepalanya sakit dan dadanya sesak.
Dia tidak tau sudah berapa lama dirinya berurai air mata, ketika kalimat penuh pengharapan Kevin beberapa saat yang lalu terngiang kembali,
"Maukah kau melupakan masa lalu? Memulai hidup baru?"
Melupakan masa lalu. Memulai hidup baru. Melupakan masa lalu. Memulai hidup baru. Melupakan. Memulai. Melupakan. Memulai.
"Demi kami yang menyayangimu. Demi Ayah dan Ibumu yang telah tiada," kata Kevin.
Demi Omak dan Abak. Demi semua orang-orang baik di Malam Kolam yang telah ia tinggalkan. Demi dirinya sendiri.
Dan mungkin, demi Adrian.
Demi Adrian.
Adrian.
Tia mengulanginya berkali-kali. Hingga berjam-jam kemudian. Akhirnya, Tia mengambil sebuah pil tidur dan menelannya.
***
Dengan perawatan yang baik dan curahan cinta dari Kevin dan keluarganya, Tia bangkit dari keterpurukan. Audrey dan Hannah menyambut kepulangan Tia dengan tangan terbuka. Namun Tia menolak kembali ke Hollywood.
"Aku tak mau semua laki-laki menciumku," katanya.
"Kau kuno sekali, Tia! Kau mendapatkan banyak tawaran main film dan kau mau membuangnya begitu saja? Pikir dong!" Audrey marah-marah.
Tia bergeming.
Film pertama Tia sukses sebagaimana yang diharapkan. Meski Tia tidak pernah menghadiri promo filmnya, tapi nama besar Kevin berikut berita hubungan asmara antara mereka telah mendongkrak penjualan film itu ke angka box office. Terlebih, Tia tidak pernah muncul ke muka publik satu kali pun sejak namanya dikait-kaitkan dengan Kevin, membuat keingintahuan publik akan sosok Tia Ariana semakin besar.
Audrey menelpon Kevin, meminta pria itu membujuk Tia.
"Kau dekat dengannya, dukung dia untuk mendapatkan yang terbaik. Produser berani membayarnya mahal!"
"Tia hanya akan melakukan apa yang disukainya!" dengus Kevin. "Dan kalau kau begitu berminat pada uang, kau saja yang jadi bintangnya!"
***
Kevin terus-menerus mendampingi Tia. Saat tidak syuting, ia menemani Tia kemana saja. Kevin hadir di banyak acara yang Tia datangi, duduk paling depan dalam berbagai peragaan busana yang Tia ikuti. Di hari tertentu, ia muncul di depan pintu apartemen Tia, mengajak berkeliling LA dengan sepeda motornya. Di lain waktu, membawa Tia nonton, jalan kaki menyusuri deret pertokoan, atau membawa Tia ke rumah Ibunya. Berkali-kali Tia menolak Kevin, lembut maupun setengah kasar, namun Kevin selalu datang dan datang lagi.
Suatu hari, saking gemasnya pada aktor itu, Tia sampai berkata setengah berteriak, "mengapa kau begitu tidak tau malu dan mengejarku terus?"
Setelah itu Kevin tidak datang selama dua minggu, membuat Tia menyesal. Kevin sangat baik. Dia tidak salah karena jatuh cinta. Tia menelpon Kevin dan meminta maaf.
"Kevin McFadden belum pernah mengejar perempuan. Tapi aku jatuh cinta padamu, Tia."
Sejak awal, Tia berterus terang pada Kevin dirinya tidak bisa menjanjikan banyak hal.
"Sebaiknya kita bersahabat saja," kata Tia.
"Aku tidak meminta banyak. Tidak masalah bagiku jika kau tidak mencintaiku, bisa bersamamu saja sudah cukup."
Berbulan-bulan Tia memikirkan ucapan Kevin, hingga suatu hari Tia memutuskan menerima pria itu.
"Aku tidak mencintaimu, Kev. Tapi aku akan mencoba."
"Kau tidak akan menyesal menerimaku, Tia. Percayalah, aku cukup pantas untuk dicintai."
Bersama Kevin, Tia memutuskan untuk meninggalkan semua masa lalunya di belakang. Sebagaimana kebahagiaan, kesedihan juga ada batasnya. Tia meninggalkan apartemen pemberian Adrian dan menjual apartemen kecil berkamar satu miliknya, lalu membeli sebuah rumah, yang meski mungil tetapi memiliki kolam renang dan pekarangan. Tia menanam beberapa pohon di pekarangannya, bertekad membuat huniannya senyaman mungkin.
Ny. Anne datang sekali dalam seminggu kalau Tia sedang di LA. Ia membawa bermacam-macam. Kadang bibit bunga, kadang makanan. Apa saja.
"Aku melihatmu di sampul majalah, dan kau nampak tirus. Aku kuatir kau sakit," katanya, membuat Tia terharu. Alangkah indahnya memiliki Ibu.
Kevin menemani Tia berkebun, sambil mendengarnya bercerita.
"Aku lahir dan besar di desa, Kev. Aku selalu rindu suasana desa," kata Tia.
"Oh ya? Kalau begitu ceritakan padaku."
Tia menceritakan semuanya. Tentang Omak, Abak, Ida, Pandro, teman-temannya, berbagai kompetisi yang ia ikuti. Ia menceritakan tentang air terjun, tentang sepeda biru pemberian Abak saat Tia berusia enam tahun, tentang rasa takutnya saat mereka berdua meninggal. Hanya satu yang tidak disebut Tia. Adrian.
Dia telah bertekad melupakan Adrian. Membuangnya jauh-jauh, sebagaimana Ryan membuangnya. Jasa pria itu tidak akan pernah terbalas, meski Tia membayar dengan seluruh hidupnya, namun Tia mengerti Adrian juga tidak mengharapkan balasan. Ia berdoa di banyak malam agar pria itu mendapatkan pengganti dirinya sesuai dengan yang didambakan Ny. Diana. Dia berdoa Adrian baik-baik saja dan menemukan kebahagiaan hidupnya.
Dan ia berdoa agar dirinya bisa melupakan kata-kata Adrian saat meninggalkannya!
Dia tidak ingin mengenang Adrian, tidak ingin menyebut namanya, tidak ingin memiliki apapun terkait pria itu, karena setiap mengingat Adrian, air matanya jatuh. Cinta yang tak pernah padam, kobaran rindu, hasrat, juga dendam.
Ia tidak bisa mengingat Adrian tanpa sedih di hati. Itu sebabnya Tia ingin melupakannya, karena seperti yang dikatakan Kevin, hidup harus terus berjalan.
***
Sebagaimana yang nampak sejak awal, Kevin adalah lelaki yang baik. Dia berusaha membuat Tia nyaman dan tidak pernah menuntut apa-apa. Satu hal yang tak pernah disangka Tia adalah, pada Kevin ia merasa jiwanya lepas. Ia bisa bercerita apa saja, tanpa kuatir pria itu marah atau menyinggung perasaannya. Tia menjadi banyak bicara saat bersama pria itu, sedangkan pada Adrian dia tidak bisa begitu. Bersama Adrian, Tia selalu minder, sungkan, takut salah kata. Ia begitu hormat pada Adrian, yang tanpa disadari membuat jiwanya tidak bebas.
Selain itu, Kevin tidak menyembunyikan Tia sebagaimana Ryan menyembunyikan hubungan mereka dulu. Dia mengakui pada semua orang bahwa Tia Ariana adalah kekasihnya.
"Dia tergila-gila padamu, Tia. Sebelum ini, Kevin tidak pernah menjawab pertanyaan apapun tentang wanita yang dekat dengannya. Tidak mengakui, tidak membantah. Tidak berkomentar apapun! Hanya kau yang diakuinya. Kau beruntung," kata Hannah.
Kevin kerap membawa Tia menjelajahi sudut-sudut kota LA. Tia baru menyadari bahwa LA sangat besar. Betapa terkungkung dirinya selama ini. Hubungan dengan Ryan memenjarakannya, pekerjaannya juga menuntutnya demikian.
Tapi Kevin tidak demikian. Tidak ada yang bisa mencegahnya menggapai kebebasan. Dia mega bintang, tetapi tidak pernah memikirkan apapun yang ditulis media tentangnya.
"Aku tidak peduli soal imej, Tia. Aku sudah kaya. Kalau gara-gara sikapku ini membuat imejku jatuh dan tidak ada lagi tawaran film, tidak masalah! Aku sudah menginfestasikan uangku dalam berbagai bisnis yang aman, sekarang uang yang mengejarku. Aku tidak mau pekerjaan terlalu membebaniku hingga aku tidak punya waktu untuk menikmati hidup ini."
Mau tak mau Tia membandingkannya dengan Adrian. Adrian selalu membawa pekerjaan kemana pun ia pergi. Tak jarang saat ia mengunjungi Tia ke LA, tengah malam Tia melihatnya masih sibuk di depan laptop atau melakukan panggilan internasional ke Jakarta. Ia tidak pernah berhenti bekerja.
Seumur hidupnya, Tia belum pernah ke pasar malam. Demi memuaskan rasa ingin tau, Kevin membawa Tia ke sana. Tapi mereka justru dikerubungi penggemar, hingga pengelola pasar malam itu turun tangan mengamankan kedua pesohor ini.
Suatu hari, mereka jalan kaki di sepanjang Boulevard Avenue. Kevin menggandeng tangan Tia, sambil sesekali berhenti karena penggemar yang minta foto. Tiba-tiba Tia melihat seorang remaja melaju dengan sepatu roda, meliuk begitu lincah. Tia mengiring dengan matanya, penuh kagum.
Esoknya, Kevin datang membawa dua pasang sepatu roda yang masih baru, lengkap dengan helm dan pelindung lutut dan siku.
"Aku sudah terlalu tua untuk main sepatu roda, Kev! Ini hanya impian waktu kecil!"
"Ayolah! Sesekali tidak mengapa menjadi anak kecil!"
Kevin mengajari Tia dengan sabar hingga ia bisa melakukannya sendiri. Tia tertawa-tawa, begitu senang hingga matanya berair.
"Waktu kecil aku iri pada Tias, adiknya Ranto. Kau ingat Ranto, kan? Itu, yang ngotot ingin menikah denganku! Nah, si Tias punya sepatu roda, dan memamerkannya pada kami anak-anak sekampung. Padahal sepatu rodanya hanya dipakai satu kali karena keburu rusak."
"Kenapa rusak?" Kevin mendengar penuh minat, menghadapkan setengah badannya pada Tia.
"Jalanan di desa kan jalan tanah, mana bisa main sepatu roda. Ah, kasian dia! Aku bersyukur waktu dia menangis sepatu rodanya rusak, karena dia sombong sekali."
"Kau jauh lebih beruntung, karena memimpikan sepatu roda. Tapi aku memimpikan sepatu sekolah, karena sepatuku kekecilan tapi Mama tidak punya uang membeli yang baru."
Perlahan, Tia nyaman bersama Kevin. Semakin hari ia semakin menikmati hubungan mereka. Bersama Kevin, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
***
Pada suatu hari, Kevin membawa Tia ke Bukit Merdeka. Dari puncaknya, seluruh kota Los Angeles terlihat jelas. Kevin mendirikan tenda, dan Tia membakar ikan untuk makan malam mereka.
Di dalam tenda, Kevin mulai melucuti pakaian Tia. Tia menatapnya, lalu berkata,
"Kev, aku masih perawan," pipi Tia merah karena malu.
Kalimat itu bagaikan sebuah mantera, tangan Kevin terhenti begitu saja. Ia menatap Tia, lalu berkata,
"Aku tidak percaya ini! Bagaimana mungkin aku terlibat dengan satu-satunya perawan di metropolis ini!?"
Kevin memasang pakaian Tia kembali, lalu pergi keluar. Dari tempatnya berdiri, kota LA nampak berpendar. Ia memikirkan Tia.
Tia Ariana sangat berbeda dengan semua gadis yang pernah ia temukan. Dia wanita yang lembut hati dan polos, sehingga Kevin merasa seharusnya Tia tidak berada di sini.
Terhadap wanita-wanita sebelum Tia, Kevin tidak pernah punya pertimbangan. Ia hanya mengikuti saja hubungan yang tanpa tujuan itu. Sejak Cathy meninggalkannya dan Charly meninggal dua belas tahun silam, Kevin telah membina begitu banyak hubungan asmara. Dari satu perempuan ke perempuan lainnya, kebanyakan mereka seprofesi dengannya. Hubungan itu berakhir begitu saja. Umumnya, ia yang meninggalkan mereka karena bosan. Ia tidak pernah jatuh cinta selain kepada Cathy, karena perempuan itu telah mengandung anaknya. Setelah putus dari Cathy, hubungan selanjutnya hanyalah karena dorongan daya tarik fisik semata. Dirinya yang terlalu tampan, populer dan kaya, dan mereka yang tergila-gila padanya.
Sex tanpa menikah adalah satu-satunya cara yang ia kenal. Demikian juga sex tanpa hubungan asmara. Bahkan berkali-kali ia terbangun di pagi hari dalam keadaan tidak berpakaian, di samping seorang gadis yang tidak ia ketahui namanya. Mereka sengaja menyusup masuk ke kamarnya saat ia setengah mabuk, atau berkenalan di suatu pesta, saling tertarik, lalu wanita itu ikut pulang dengannya. Wanita bagai mengantri minta ditiduri. Mereka begitu mudah dan murah. Ia hanya perlu membayar dengan senyuman.
Ia mengherankan dirinya sendiri. Dalam kurun waktu satu tahun terakhir sejak ia mengenal Tia, dirinya tidak pernah tertarik lagi dengan wanita lain. Sempat ia menduga apakah ia menjadi impoten, tapi kecurigaan itu terbantahkan saat merasakan suatu bagian dari dalam dirinya bereaksi keras tatkala bersama Tia. Tapi ia tidak sampai hati melampiaskan pada gadis ini. Tidak, Tia bukan tong sampah atau lubang klosetnya, dan Kevin mencintainya dalam cinta yang tidak ia ketahui batasnya.
Malam ini ia memberanikan diri menyentuh Tia. Bukan hanya karena nafsunya, tapi karena kasihnya pada wanita ini. Tapi Tia membuat pengakuan yang mengejutkan.
Kevin memejamkan matanya yang menghangat. Mencintai Tia membuatnya terharu hingga nyaris menangis. Bisa mencintai seseorang sedalam ini adalah anugerah yang belum pernah terjadi dalam hidupnya.
Tia berdiri di sampingnya, memandang dengan mata coklatnya yang indah.
"Kev, kau marah padaku?"
Pertanyaan yang begitu lugu. Kevin meraih Tia ke dalam pelukan, mencium ubun-ubun gadis itu begitu dalam, hingga Tia kebingungan.
"Ada apa, Kev?"
"Kau sudah menjadi nafas bagiku, Tia. Maka beradalah disisiku selamanya."
Tia memandangnya, memberi jawaban berupa senyuman.
Dirinya memang tidak mencintai Kevin, tapi Kevin, Ny. Anne, Alice dan Dr. Mark Harris mencintainya. Semua itu membuatnya merasa, bahwa dirinya memang berharga dan pantas untuk bahagia. Kini, dia memiliki keluarga.
==========
*PERTEMUAN DI MARYLAND*
Selembar undangan dikirimkan ke alamat Kevin. Ia menunjukkan pada Tia.
"Bukankah Linda Prescott mantan kekasihmu, Kev?" Tia membolak balik undangan berwarna perak itu, membauinya. Harum. "Kudengar kalian tinggal bersama selama satu tahun."
"Sebelas bulan."
"Dia mengundangmu. Apa kau akan datang?"
"Tentu! Bersamamu, Tia."
"Tidak, kau saja! Aku tidak usah."
"Apa salahnya datang bersamamu. Hubunganku dengan Linda sudah lama tutup buku, tapi aku masih membina hubungan baik dengan dia dan keluarganya."
"Mengapa kalian sampai putus?"
"Linda ingin menikah. Saat itu, menikah adalah sesuatu yang tidak masuk akal bagiku. Jadi, kami sepakat berpisah, meski tetap berteman."
"Kalian hebat, Kev. Tidak banyak yang mampu bersikap demikian," Tia teringat dirinya dan Adrian.
***
Pesta pernikahan itu dilaksanakan di rumah peristirahatan Keluarga Prescott di Maryland. Begitu turun dari heli yang membawa mereka, beberapa orang suruhan telah menunggu Kevin dan Tia. Mereka dipandu ke lapangan terbuka berhiaskan berbagai bunga dan pohon buatan, dua buah air mancur, kolam renang, dan tak jauh dari sana setengah lusin kuda yang ditunggangi joki. Kuda-kuda itu dipersiapkan untuk para undangan yang membawa anak kecil. Para joki akan menemani anak-anak itu berkuda sementara orangtua mereka berbaur dengan tamu undangan.
Sekali lihat, Tia langsung tau keluarga Prescott bukanlah orang kaya baru.
Puluhan pasang mata melihat pada Kevin dan Tia saat mereka melewati gerbang bunga. James Prescott dan Marie, istrinya, menyambut mereka berdua dengan senyum ramah.
"Kevin McFadden!" lengan James Presscot terkembang menyambut Kevin. Mereka saling menepuk bahu. "Sudah lama kita tidak berjumpa, Kevin! Aku dan Marie senang kau datang!"
Disampingnya, berdiri Marie Prescott yang tertawa lebar menyalami mereka berdua.
"Aku juga senang bertemu denganmu, Jim, Marie! Ini kenalkan, Tia Ariana." Kevin memperkenalkan mereka.
Mereka saling bicara sebelum perhatian tuan rumah teralihkan pada tamu-tamu yang terus berdatangan.
"Wow, calon mertua gagalmu begitu ramah, Kev! Aku yakin mereka berduka kehilangan kau," goda Tia. Mereka menjauh dari pasangan suami istri itu.
"Jangan berlebihan!" tukas Kevin kalem.
"Itu benar! Sebentar, aku mau lihat apakah menantu mereka setampan dirimu," Tia mengamati mempelai pria dari kejauhan. "Wah, kalah jauh darimu, Kev! Pantas saja!"
"Nyinyir ah!" cengir Kevin.
Tia tersenyum sambil menggandeng erat lengan Kevin, "aku sudah cuci mata melihat setiap tamu pria yang datang. Tidak ada yang setampan dirimu."
"Berhenti menggodaku!" Kevin memasang wajah serius.
"Aku beruntung."
"Nah, itu tau!"
"Lihatlah si Blonde di sudut sana, matanya bagai ingin membunuhku. Menyeramkan!"
Tak urung mereka tersenyum bersama.
"Tapi, Kev..." Tia mulai lagi.
"Berhenti menggodaku, atau aku akan menciummu di tengah orang-orang ini!" ancam Kevin.
"Kau tidak akan berani!"
"Coba saja! Kau sudah lupa, waktu aku menciummu di tengah pesta keluarga Kenyon? Gara-gara kau terlalu cantik waktu itu, gaun merahmu berkibar-kibar, aku jadi tidak sabar!"
"Aku malu sekali waktu itu, Kev! Kau keterlaluan! Orang berpikir macam-macam dan menduga kita sudah tinggal bersama."
"Makanya sekarang jangan usil!"
"Siapa yang usil? Aku kan cuma bilang kau tampan. Sekarang kau tidak akan begitu lagi, karena tingkahmu dapat menenggelamkan berita tentang pernikahan putri Senator James Prescott! Kau tidak akan setega itu pada mereka," cerocos Tia.
"Yakin aku tidak berani?" Kevin melirik padanya.
"Baiklah, baiklah!" Tia membuang muka, menahan senyum.
Mereka berjalan menuju mempelai. Linda Prescott melempar wajah sumringah saat melihat mantan kekasihnya. Dia sudah pernah bertemu Tia sebelumnya, jadi sudah saling mengenal.
"Sayang, ini kenalkan Kevin McFadden dan Tia Ariana," Linda memperkenalkan pasangan itu dengan suaminya.
"Patrick Sandler."
Mereka bersalaman.
Patrick Sandler melihat Tia beberapa detik lebih lama. Memikirkan sesuatu.
"Kalian saling mengenal?" tanya Linda.
"Tidak," geleng Tia.
"Aku melihat papan iklanmu di perempatan lampu merah yang tiap hari kulewati dalam perjalanan ke kantor," kata Patrick.
"Kau beruntung, Kevin! Tia cantik sekali!" senyum Linda.
"Kita berempat saling beruntung," balas Kevin.
Kilat blitz bertubi menerpa mereka. Mereka berdampingan untuk foto bersama. Selanjutnya Kevin dan Tia disibukkan oleh berpasang-pasang tamu undangan lain yang minta foto bersama.
"Sudah resiko, Tia."
"Sudah resiko, Kevin," gumam Tia. "Padahal aku sudah lapar. Pesta orang kaya, pasti makanannya enak."
"Ayo kita makan, jangan pedulikan orang-orang ini!"
Kevin menggandeng Tia ke meja hidangan. Tanpa malu, mengambil beberapa menu untuk Tia, dan mereka menikmati hidangan dengan sesekali terjeda oleh tamu yang minta foto bersama.
"Kev, kau gembira sekali Linda menikah. Orang-orang melihat kita, karena masa lalumu bersama Linda," bisik Tia, menyadari tamu di meja sebelah sedang membicarakan mereka.
"Aku bahagia Linda menemukan belahan jiwa. Jujur saja, kami cukup bahagia waktu itu, hanya saja kami berbeda pandang soal pernikahan. Waktu itu, menikah tidak ada dalam kamusku."
Senyum Tia memudar, "Kev, apakah kau akan minta putus denganku karena aku menolak lamaranmu?"
Kevin mengangkat wajahnya, "tidak akan! Nah, sekarang makanlah, dan jangan muram begitu! Aku suka melihatmu senyum seperti tadi."
Senyum Tia lebar kembali.
***
Sepuluh meter dari sana, sepasang mata abu-abu gelap tidak melepas pandang dari Kevin dan Tia. Hatinya berdenyut. Tia nampak sangat bahagia. Lihatlah, betapa lebar senyumnya! Matanya tak lepas, senantiasa memandang aktor itu penuh perhatian, begitu pun sebaliknya. Ia melihat hidung aktor itu menyentuh pipi Tia saat berbisik-bisik di dekat telinganya. Mereka tersenyum bersama dengan tangan terus berpegangan.
Mereka sangat serasi! Betapa ia merutuki diri sendiri yang selalu cemburu. Entah kapan ia mampu melupakan Tia.
Ia tidak menduga melihat mereka di sini. Patrick Sandler adalah teman baiknya saat menuntut ilmu di London. Mereka menjadi karyawan di perusahaan yang sama sebelum Adrian kembali ke Indonesia dan Patrick meneruskan bisnis keluarga.
Pria Inggris itu mengundang Adrian ke pernikahannya dengan Linda Prescott, putri seorang Senator dari Amerika Serikat.
"Aku dan Linda sepakat langsung menikah. Kami tidak ingin berlama-lama," kata Patrick saat menelpon Adrian satu bulan yang lalu.
"Benar, kalau sudah cocok segera saja," sambung Adrian.
"Kau sendiri, kapan kau akan menikah? Gadismu sangat cantik dan terkenal. Kau harus cepat sebelum dia diambil orang."
"Kami sudah lama putus."
Pengakuan yang mengejutkan Patrick Sandler. Bertahun-tahun bersahabat, Patrick mengenal benar isi hati Adrian Heinzh. Pria itu kekasih yang setia dan total dalam mencintai. Dia memang tidak meletakkan foto kekasih misteriusnya itu di samping tempat tidur, juga tidak pernah kelihatan menelpon, tapi Adrian juga tidak pernah berkencan dengan perempuan manapun.
Meskipun penampilan dan kecerdasannya menarik hati banyak perempuan, namun Adrian bergeming. Pada Patrick, Adrian mengaku sudah memiliki kekasih, seorang gadis bermata coklat yang tengah menunggunya di Indonesia.
Hampir tiga tahun yang lalu Adrian datang lagi ke London, dia menelpon Patrick dan mereka keluar untuk ngopi bersama, melepas kangen sebagai sahabat lama. Saat melewati perempatan lampu merah, Adrian menunjuk sebuah papan iklan raksasa di depan sebuah gedung.
"Itu dia," katanya.
Patrick Sandler mengikuti arah jari Adrian.
"Dia? Siapa dia?"
"Tia Ariana, kekasihku."
Hari ini, untuk pertama kali Patrick bertemu dengan Tia Ariana, wanita idaman Adrian Heinzh. Ironisnya, bukan sahabatnya itu yang kini berdiri di sisi Tia, melainkan Kevin McFadden, pria yang di masa lalu pernah menjadi kekasih Linda, istrinya.
Sedangkan Adrian, Patrick melihatnya sedang duduk di sana, tak jauh dari pasangan Kevin dan Tia, sedang bicara santai dengan sepasang tamu undangan.
Beberapa kali Patrick menangkap basah Adrian sedang memandang Tia dan kekasih barunya.
Patrick dan Linda berdansa sebagai suami istri untuk pertama kalinya. Pasangan lain menyusul, termasuk Kevin dan Tia. Melewati celah bahu seseorang, Patrick melihat Lily, sepupu Linda, tengah menarik Adrian ke lantai dansa. Meski nampak enggan, Adrian mengalah.
Patrick melihat terus pada tiga orang itu. Kevin, Tia dan Adrian. Sekarang, Tia Ariana tepat berada di belakang Adrian Heinzh.
"Jangan melihat para gadis terus, lihat aku!" rajuk Linda mengagetkan Patrick.
"Aku tidak melihat pada gadis, karena kecuali kau, tempat ini dipenuhi para pria."
Sementara itu, Adrian sedang berdansa bersama gadis pirang yang tadi menarik tangannya. Dia mengaku bernama Lily Prescott, keponakan tuan rumah. Adrian merasa tidak enak menolak.
Lily mengajak Adrian bicara, dan Adrian menjawab seperlunya. Ia terus memikirkan Tia. Adrian menyadari, Tia berdiri tak jauh darinya.
"Oh tidak, aku tidak percaya ini!" tiba-tiba Lily menutup mulut dengan sebelah tangan. Tatap matanya melewati bahu Adrian.
"Ada apa?"
"Superstar itu, Kevin McFadden! Ya Tuhan, dia dibelakangmu!!" matanya membulat. Suaranya antusias.
Adrian tidak bereaksi mendengar nama itu.
Musik berganti, pertanda setiap orang akan bertukar pasangan.
"Terima kasih, Adrian!" Lily melepas tangannya dari pegangan Adrian, bergegas menghampiri Kevin.
Adrian berbalik. Di depannya, Lily sedang bicara dengan aktor itu, mengajaknya bertukar partner. Kevin memandang Tia sekejap, memberi senyum kecil, lalu menyambut tangan Lily.
Tia mengerti. Dia harus berdansa dengan pasangan Lily. Segera ia berbalik. Senyum di wajahnya lenyap melihat siapa yang sedang berdiri di depannya.
Kak Ryan!
Selama beberapa saat, Tia tidak berkedip. Hingga Adrian maju selangkah dan mengulurkan tangannya pada Tia.
"Mari," katanya.
Kaku, Tia meletakkan satu tangan pada bahu Adrian, dan sebelah lainnya pada genggaman pria itu. Adrian mendekap pinggang Tia, dan mereka mulai bergerak.
Tia nyaris menahan nafas. Ia memandang Adrian dan Adrian juga sedang menatapnya. Tia menunduk. Adrian sama sekali tidak melepas tatapnya dari wajah Tia.
Adrian memang tidak mampu berhenti menatap Tia. Sejak tadi kecemburuan itu terasa membakarnya. Saat ia melihat pasangan itu datang melewati gerbang bunga, ia menjauh ke istal. Sekarang, gadis yang separuh mati ia hindari ini sedang berada dalam pelukan.
Dari jarak sedekat ini, Adrian dapat merasakan hangat tubuh, hembusan nafas yang lembut, beserta semburat merah muncul di wajah yang semakin indah.
Tia masih pemalu sebagaimana dulu. Adrian tersenyum sinis. Bagaimana bisa seorang gadis yang sudah bertahun-tahun hidup bebas bersama laki-laki yang bukan suaminya masih merasakan malu hanya karena dipandang laki-laki lain.
Tia menyapa pertama kali.
"Apa kabar, Kak?"
"Baik."
"Kakak di sini?"
"Patrick temanku."
Tia melihat pada wanita yang sedang berdansa bersama Kevin. Si Pirang yang cantik, kekasih baru Kak Ryan.
"Pacar Kakak cantik."
"Bukan pacarku."
"Oh, bukan ya." Lega.
Tia kehabisan kata-kata, tidak tau lagi harus bicara apa. Adrian terus memandangnya, membuat Tia grogi luar biasa. Jantungnya penuh debar indah bagaikan gendang ditabuh. Ia berharap Adrian mau bicara, bicara apa saja!
"Kak, jangan terus memandangku begini," kata Tia akhirnya.
"Mengapa?"
"Aku malu."
"Malu? Bagaimana bisa?" suara Adrian terdengar merendahkan.
Kecewa, Tia menjawab, "mengapa tidak?"
"Kau sudah punya pria lain, seharusnya aku sudah tidak berpengaruh apa-apa bagimu."
Tia menunduk. Semakin terluka.
"Kapan kau akan menikah?" tanya Adrian lagi.
"Menikah?" Tia tergagap.
"Benar, menikah!"
"Entahlah." Lesu, pilu.
"Ada apa?"
"Aku tidak ingin menikah."
"Hollywood sekali! Kau betah hidup bersama tanpa menikah?"
Tia mengangkat kepala, menatap Adrian dengan wajah merah padam dan hati panas.
"Sudah rahasia umum, Tia!"
Tia ingin pergi dari sana, tetapi pegangan Adrian di jari dan punggungnya begitu erat.
"Menikah sudah tidak penting!" balas Tia pedas. "Tanpa menikah, aku sudah bahagia!"
Ia merasakan kemarahan dari dalam diri Tia, rasa terhina, tatap terluka. Ia tidak mengerti untuk apa semua itu. Kenyataannya, sudah jadi rahasia umum Tia dan Kevin hidup bersama.
"Tidak penting katamu?"
"Satu-satunya pria yang ingin kunikahi sudah lama meninggalkanku. Satu tahun enam bulan empat belas hari!"
Adrian tersentak.
"Untuk apa kau membilang hari, Tia?" rahang Adrian mengeras. "sesungguhnya, kaulah yang meninggalkanku!"
Musik sudah berhenti. Kevin berdiri di samping mereka.
"Dengarkan aku! Menikahlah, dan setia pada pasanganmu!"
Adrian melepas Tia, mengangguk sedikit pada Kevin, lalu meninggalkan mereka berdua.
Tia terpaku. Nafasnya sesak. Susah payah ia menahan air mata.
"Siapa dia?" Kevin mengikuti Adrian dengan matanya.
"Bukan siapa-siapa."
"Itu bahasa Indonesia, bukan?"
Tia membisu.
Bersambung #10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel