Cerita Bersambung
*LEMBAH DUKA*
Mereka membawa Tia kembali ke Los Angeles. Audrey Smith terbang dari New York begitu mendapat kabar dari Hannah Miller.
"Bagaimana keadaannya?" ia tergopoh-gopoh ke kamar Tia.
"Seperti kemarin. Menolak makan dan minum. Menolak bicara. Terjaga sepanjang malam. Akhirnya aku meminta dokter memberinya obat tidur." Hannah menjejeri Audrey.
Promosi film itu terpaksa dilanjutkan tanpa kehadiran Tia. Setelah London, Kevin bersama rombongannya melanjutkan ke Munchen dan Zurich, lalu terbang ke Tokyo dan Beijing, terakhir ke Singapura sebelum akhirnya kembali ke LA.
Dari bandara, ia bergegas ke apartemen Tia.
Saat melihat gadis itu, hatinya pilu. Tia kusut, lingkar hitam di bawah matanya, pipi yang tirus, juga baju yang seperti kedodoran. Ia mencoba bersikap ramah dengan tersenyum pada Kevin, lalu kembali menyeret langkah ke kamar.
Kevin dan Hannah bicara di ruang tamu. Dokter baru saja pergi dan menitipkan resep yang harus ditebus.
"Apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Kevin, bersidekap sambil berpikir.
"Entahlah. Saat aku meninggalkannya di kamar, dia sedang mandi. Kau sendiri, bukankah kau bersamanya waktu itu?" Hannah memandang Kevin, mencoba menyelidik.
"Hei, tunggu! Jangan mencurigaiku! Aku hanya mengambil charger, kami bahkan tidak bertemu."
"Sejak beberapa hari sebelumnya Tia sudah nampak gelisah." Hannah mengenang. "Aku melihatnya menelpon, sepertinya tidak diangkat."
"Audrey bilang dia sudah punya pacar. Kau mengenalnya?"
Hannah menggeleng pelan. "Kekasihnya datang tiap beberapa bulan sekali. Tia berpesan padaku untuk tidak mengganggunya selama pria itu ada di sini. Sepertinya Tia mencintainya, atau mereka saling mencintai."
"Mungkin hubungannya dengan pria itu bermasalah karena gosip ini," kata Kevin. "Mungkin dia berbeda profesi dengan Tia, jadi tidak biasa dengan gosip."
"Entahlah. Apapun itu, sekarang semua kacau. Kami terpaksa membatalkan banyak kontrak. Mengatakan Tia sakit, dan memang kenyataannya demikian. Mengembalikan uang muka. Namun ada juga yang bersabar dan memilih menunggu Tia."
Hannah dan Ellen, asisten Tia, bermaksud menginap untuk menemani, tapi Tia meminta mereka pergi, karena dirinya ingin sendiri.
"Aku tidak mungkin meninggalkanmu sendirian, Tia! Kau sedang sakit!" Hannah bersikeras.
Tapi Tia menjadi kasar dan mengusirnya. Dia benar-benar tidak ingin ditemani.
***
Di balkon apartemennya, Tia duduk memeluk lutut. Tubuhnya ditekuk sedemikian rupa. Dengan bibir terkatup rapat, tatapnya nanar memandang kejauhan.
Dingin bulan Desember. Salju mulai turun. Atap gedung di seluruh penjuru kota perlahan memutih. Salju melayang turun menimpa balkon dan apapun yang berada di bawah langit. Dingin menggigit ke dalam sumsum, tapi Tia bertahan hanya memakai sweater dan celana pendek tanpa kaos kaki.
Biar dingin ini membekukannya. Biar angin kencang bersalju ini meniupnya sejauh mungkin. Ia ingin pergi. Kemana saja. Melayang jauh.
Seperti Kak Ryan yang sudah pergi. Jauh. Jauh sekali. Tak akan pernah tergapai lagi.
'Tia, maukah kau ikut denganku?'
'Berjuanglah, Tia, berjuanglah sampai kaki kita menapak dan kokoh berdiri! Saat itu, kita tidak akan berpisah lagi.'
'Aku sudah kembali. Kau akan melihatku sesering yang kau mau.'
'Kita akan memiliki banyak anak. Yang perempuan akan mirip denganmu. Yang laki-laki juga akan mirip denganmu. Karena kau idolaku.'
Mengapa meninggalkanku, Kak? Mengapa pergi setelah kita sejauh ini? Mengapa tidak memberiku kesempatan mengatakan segalanya?
'Jangan pernah berpikir untuk pergi dariku, Tia. Kita akan bersama, kita pasti akan bersama."
'Setialah kepadaku. Hanya itu!'
Kakak, kembalilah! Aku hanya mencintai Kakak saja. Hanya Kakak saja. Tidak ada yang lain. Tidak akan pernah ada yang lain.
***
Kevin datang lagi dua minggu kemudian, dan susah payah menyembunyikan kekagetannya melihat penampilan Tia.
Wanita dua puluh tiga tahun itu kelihatan berusia sepuluh tahun lebih tua di banding terakhir kali Kevin melihatnya.
Matanya seperti ceruk kosong berwarna coklat dan wajahnya menua karena dipenuhi garis-garis yang dalam. Ia seperti kerangka, dan kaos itu menggantung di tubuhnya seperti pakaian yang tergantung di hanger.
"Silahkan masuk, Mr. McFadden," Suaranya parau.
Apartemen Tia gelap karena hordennya ditutup. Kevin nyaris terpeleset karena sehelai kain di lantai.
Tia menarik sebelah horden dan membuka separuh jendela, sinarnya masuk menerangi ruangan. Angin bersalju bulan Desember, tapi Tia tidak menyalakan penghangat ruangan.
Mata Kevin menyapu seisi ruangan, tertegun melihat pemandangan di depannya. Apartemen Tia benar-benar sekusut dirinya. Di beberapa sudut rumah teronggok pakaian kotor, gelas dan piring di satu dan dua tempat. Sekantung kacang yang tumpah di atas meja, susu basi, coklat batang yang baru digigit sedikit, selimut di sofa. Kaos kaki. Handuk basah. Sebuah apel sisa yang membusuk di kaki kursi. Ruangan ini benar-benar berantakan dan kotor.
Kevin memandang Tia. Gadis itu sedang berdiri mematung di sisi jendela, tatapnya jauh menerawang. Sibuk dengan pikiran sendiri, tidak menyadari kehadiran orang lain di sana.
Telinga Kevin menangkap suara air. Ia pergi ke dapur, melihat kran air terbuka, memenuhi bak cuci hingga merembes membasahi lantai. Kompor dalam keadaan menyala, dengan panci berisi air yang mulai mengering. Cepat-cepat ia mematikan kompor, menutup kran air, mencari pengering untuk mengeringkan lantai.
Kevin masih mendengar suara air. Ia bergegas ke kamar Tia, melihat bak mandi yang melimpah. Sekali lagi, ia nyaris terpeleset karena sabun cair yang tumpah di lantai. Shampo yang tumbang, odol terbuka dan bercerceran. Kevin membersih semuanya, membuang sisa-sisa sabun, memastikan lantai itu aman.
Ia mengingat pertama kali menginjakkan kaki ke apartemen ini beberapa bulan yang lalu. Betapa kagum dirinya waktu itu. Apartemen Tia seindah dirinya, secantik penampilannya. Bersih dan wangi, sedap dipandang mata. Nyaman menenangkan. Harum kopi memenuhi indra penciuman, dan tangan-tangan terampil seorang gadis sedang menyiapkan sarapan. Senyum merekah di wajahnya yang ramah. Meski semalaman begadang, matanya tetap berbinar.
"Bawalah ini, Mr. McFadden," katanya waktu itu, menyerahkan tas berisi kotak sandwich dan termos kopi.
Kevin mengingat semua itu, membandingkannya dengan saat ini. Rasanya bagai tak nyata. Bahwa semua ini tidak ada.
Kevin pergi ke dapur, mulai membersihkan kekacauan di sana. Ia mengambil sebuah kantong plastik besar di dalam laci, lalu memindahkan semua sampah dan makanan basi ke dalamnya. Ia mencuci piring, membersihkan meja, mengepel lantai. Lalu mulai memungut semua pakaian kotor di setiap sudut rumah itu sampai ke kamar. Di salah satu sudut, ia melihat celana dalam berserakan, dengan pembalut yang menempel di sana. Bertumpuk begitu banyaknya. Semua masih bersih, terlihat belum digunakan sama sekali. Plastik pembungkusnya berserakan di karpet.
"Untuk apa celana berpembalut ini?" Kevin tidak mengerti. "Apakah Tia akan memakai semua ini sekaligus?"
Ia memungut dan menjejalkannya ke dalam salah satu laci bagian terbawah.
Ia membuka tirai kamar agar cahaya dapat masuk, mengganti seprai dan sarung bantal. Setelah itu Kevin menelpon jasa laundry, meminta mereka menjemput pakaian-pakaian kotor ini. Ia turun ke bawah untuk membuang sampah, lalu mampir ke swalayan tak jauh dari sana untuk membeli makanan.
Saat ia kembali, Tia sedang tidur di sofa, meringkuk bagai udang. Kevin ingin memindahkannya ke kamar, tapi ia kuatir Tia terbangun.
Ia duduk di seberang Tia, mengamati gadis yang sedang lelap itu. Hatinya basah.
***
Seumur hidup Adrian Heinzh, ia sudah diuji dengan berbagai cobaan. Kematian Kaia, adik perempuan yang hanya sempat mengisi hidupnya selama empat tahun, kematian Papa akibat kanker, serangan jantung Mama, penentangan Mama selama bertahun-tahun akan hubungannya dengan Tia, semua itu sangat menyakitkan. Namun tidak lebih menyakitkan dibanding sebuah pengkhianatan.
Saat kakinya menginjak rumah, ia bergegas ke kamar, membuka pintu lemari dan menatap foto Tia yang ia tempel di baliknya. Ia tidak memajangnya di dinding atau di samping tempat tidur, karena akan menyakiti Mama. Dengan meletakkannya di tempat itu, ia dapat melihat fotonya setiap pagi dan malam, saat ia akan berganti pakaian.
Adrian menatap foto itu sekilas, terpaku oleh sakit dan rindu, sebelum menariknya dengan kasar. Ia mengambil semua majalah, koran dan tabloid bergambar Tia, berbagai hadiah yang pernah diberikan gadis itu, mengumpulkan semuanya ke dalam sebuah kotak dan membawanya ke sebuah tanah kosong tak jauh dari rumah, membakarnya.
Ia menemui Ibunya di kamar. Wanita itu sedang sholat. Adrian menunggu. Setelah Ibunya selesai, ia mendekati Mama. Seperti biasa, mencium ubun-ubunnya.
"Sudah pulang kamu?" suara Ny. Diana ketus sekali.
"Sudah, Ma. Mama sudah makan?"
"Sudah." Ny. Diana duduk di depan Adrian, mulai melancarkan keberatan. "Yan, Mama mau nanya sama kamu. Hubungan macam apa yang sedang kamu jalani ini? Sampai kapan? Jangan libatkan dirimu dalam dosa berpanjangan!"
Adrian menahan diri, tidak ingin membantah Mama. Mama selalu menyangka hubungannya dengan Tia kotor, bercampur dengan hawa nafsu, sebagaimana fenomena yang banyak terjadi, sebagaimana hubungan Tia dengan Kevin!
"Perempuan itu tidak baik untukmu! Mama tidak mengizinkanmu menikahi dia!"
Aku tidak akan menikahi Tia, Ma. Tidak akan! Hubungan kami sudah berakhir.
Tapi kalimat itu hanya terucap di dalam hati. Ia bangkit dan kembali ke kamarnya.
Mama benar. Mama memang benar.
Ia memblokir nomor Tia, menghapus semua foto dan video. Ia menjual apartemen mereka, apartemen yang selalu menjadi saksi kebersamaan sepasang kekasih yang saling mencintai. Ia menghentikan transfer bulanan ke rekening Tia, sesuatu yang tidak pernah terlambat satu hari pun selama sepuluh tahun ini. Di kantor, ia pindah ruangan, karena di ruangan sebelumnya Adrian merasa Tia selalu memandangnya melalui papan iklan raksasa itu.
Terakhir, ia mengakhiri kerjasama dengan Juan Ma. Tia tidak membutuhkan perlindungan darinya lagi.
Tapi, menyingkirkan kenangan tentang perselingkuhan itu tidak semudah membuang semua barang-barangnya. Kenangan itu menari-nari, berulangkali menorehkan luka di tempat yang sama, memberi rasa sakit yang menggigit.
Adrian terluka parah oleh sakit hati dan kehilangan. Ia kembali ke kantor, menenggelamkan diri dalam setumpuk pekerjaan. Tidak mempedulikan apapun lagi, kecuali dua hal terpenting dalam hidupnya, yakni mama dan pekerjaan. Mama, wanita yang telah melahirkannya, yang selalu menentang hubungannya dengan Tia, yang ternyata benar.
==========
*LUKA DAN CINTA*
Sebagaimana yang mereka kuatirkan, akhirnya Tia jatuh sakit. Hannah menemukannya tergeletak di kaki tempat tidur saat pagi itu datang ke apartemen Tia.
Kevin sedang berada di studio ketika Hannah menelponnya. Mereka membawa Tia ke rumah sakit, tapi saat Tia sadarkan diri, ia meronta meminta pulang. Audrey Smith datang dari New York dan mereka berembuk, sepakat memindahkan perawatan Tia ke rumah.
Tidak seorang pun mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
"Menurutku, Tia bukan tidak mau di rumah sakit, tapi dia tidak mau diobati!" kata Hannah.
Audrey dan Kevin berpandangan.
"Dr. Robstone mengatakan, Tia mengalami goncangan hebat pada jiwanya. Dia sudah tidak peduli pada dirinya sendiri."
"Kau sudah menelpon keluarganya?" tanya Kevin.
"Tidak."
"Apa yang kau tunggu? Telepon mereka, suruh datang! Tia membutuhkan keluarga dan orang yang dekat dengannya saat ini!"
"Dia yatim piatu, Kev." Hannah menerangkan dengan nada prihatin tak tersembunyikan. "Tidak memiliki siapa-siapa, bahkan keluarga terjauh sekali pun!"
"Apa?"
***
Kevin memberitahukan keadaan Tia pada Ibunya. Wanita tua itu datang hari itu juga, trenyuh melihat keadaan Tia.
"Oh, Sayang? Mengapa kau jadi begini?" ia memeluk Tia dengan lembut, membelai pipi dan rambut gadis itu, mengusap-usapnya. Matanya mulai berair.
"Hanya sedikit drop, Mam. Jangan kuatir," Tia memberi seulas senyum, memandang Ny. Anne dengan sorot matanya yang kosong.
"Apa yang sakit, Nak?" tanya wanita itu.
Mendapat perlakuan penuh kasih Ny. Anne, tangis Tia pecah.
Ny. Anne membuka kulkas dan lemari persediaan makanan. Tidak ada apa-apa di sana, kecuali roti tawar yang menghijau karena jamur serta apel yang mulai busuk.
"Kevin, berbelanjalah! Mama akan memasak. Tia harus makan."
Ny. Anne membuat panekuk. Ia menyuapkan sesendok demi sesendok ke mulut Tia. Mulanya Tia menolak karena sungkan, namun Ny. Anne memaksa.
Sekelebat kenangan masa kecil hadir kembali. Saat Tia kecil sakit, ia menolak nasi. Agar perut kecilnya tetap berisi, Omak membuat kue dadar yang dalamnya diisi kelapa parut bercampur gula, lalu menyuapkan dengan sabar ke mulut Tia. Omak sangat penyayang, begitu penuh kasih. Ia merawat Tia dengan lembut, menjaga Tia sepanjang malam. Omak ...
"Mengapa menangis? Adakah sesuatu yang sakit?" Ny. Anne menatap khawatir.
Tia menggeleng. "Saya teringat Ibu saya."
"Oh, Sayang, kau rindu Ibumu, ya? Teleponlah beliau, suruh datang ke sini."
Bibir Tia bergetar, "Ibu saya sudah meninggal, Mam."
***
Ny. Anne yang baik hati itu menawarkan Tia dirawat di rumahnya saja. Awalnya Tia menolak. Tapi melihat Ny. Anne yang datang setiap hari, menempuh hujan salju yang tebal, kadang bersama Alice, kadang bersama Kevin, tak jarang datang seorang diri, akhirnya Tia bersedia tinggal sementara di sana.
Kevin dan Hannah duduk di dapur, menikmati segelas teh hangat sambil membicarakan Tia.
"Sepertinya Ibumu sangat menyukainya," kata Hannah.
"Ya, memang."
"Kau sendiri? Kau juga, bukan?"
Kevin memandang sembarang, nampak berpikir sebelum menjawab, "Tia itu ..., bagaimana ya ..., dia berbeda. Kurasa aku lebih dari sekedar menyukai."
"Dia sudah punya kekasih," Hannah menikmati tehnya, "Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu."
"Oh, ya? Kalau benar dia ada, mana dia? Kita tidak melihatnya! Semua ini hanya asumsimu saja."
"Jadi, kau akan terus maju?"
"Memangnya aku bodoh!" Kevin menyunggingkan senyum satu juta dolarnya, "tentu saja!"
***
Rumah Ny. Anne besar dan indah, dengan pekarangan luas yang penuh bunga dan pohon rindang di beberapa sudut. Dia hidup sendiri, hanya bertiga dengan pelayan dan penjaga keamanan. Dua minggu yang lalu Alice sudah kembali ke rumah suaminya, seorang dokter spesialis jantung yang selama bertahun-tahun setia merawat Alice.
"Sedangkan Kevin jarang pulang, lebih senang tinggal di apartement. Alasannya, tidak mau aku repot kalau dia pulang kemalaman," kata Ny. Anna.
Tia mendapat kamar belakang yang memberi pemandangan berupa kolam renang dan kebun mawar diseberangnya. Kapanpun jendela itu dibuka, angin menghembuskan harum mawar ke dalam kamar. Kamar itu memiliki pintu akses sendiri ke halaman belakang, hingga penghuninya tidak perlu berjalan memutar.
Pagi hari, Tia suka duduk di bangku panjang halaman belakang, yang terletak di samping rimbun mawar. Ia hanya termenung-menung saja, tidak memikirkan apapun. Dirinya sudah tidak mampu lagi memikirkan apa-apa. Ia duduk satu jam, dua jam, hingga matahari mulai naik dan Ny. Anne mengajaknya masuk
"Sekarang masih musim dingin, Nak. Cuaca tidak baik untuk kesehatanmu. Lihatlah, kau kedinginan!" Ia membawa Tia ke depan perapian.
Kadang Tia bertemu Ny. Anne yang pagi-pagi sudah memotong mawar, menempatkannya di dalam jambangan. Ia mengajak Tia ngobrol, atau bersama menikmati teh di depan perapian.
Berminggu-minggu kemudian, Tia mulai duduk di dapur, melihat saja Ny. Anne memasak. Kadang ia melayani Ny. Anne bicara, tapi tak jarang ia diam saat Ny. Anne bertanya, seperti tidak mendengar.
"Dia shock berat, jiwanya terpukul. Tetapi dia akan pulih, karena sebenarnya dia cukup kuat," kata Dr. Robstone pada Ny. Anne.
Hati tua Ny. Anne resah melihat keadaan Tia. Dia tidak tau musibah apa yang menimpa gadis baik hati ini, yang empati dan ketulusan sikapnya sudah memikat hati sejak pertama ia melihatnya. Dia gadis yang lemah lembut, tidak tinggi hati, selalu mendengar penuh minat saat Ny. Anne bercerita. Ia suka Kevin membawa Tia ke rumah, meski Tia datang karena ia yang mengundang.
Tia tidak seperti gadis lain yang selalu mengejar-ngejar putranya yang tampan dan superstar. Tia bahkan tidak peduli pada Kevin, dan itu tidak dibuat-buat. Tia tulus bersahabat dengannya dan Alice, tidak memandangnya sebagai Ibu dari seorang aktor terkenal. Dalam usia ini, ia sudah cukup berpengalaman untuk menilai mana persahabatan yang tulus mana yang palsu.
***
Foto seorang anak kecil berpigura kayu di bufet menarik perhatian Tia. Ia menatap foto itu. Inikah Charles, putra Kevin yang sudah meninggal itu? Tia pernah membaca profil Kevin dan mencari tau tentang dirinya, karena Tia ingin tau siapa pria yang akan menjadi lawan mainnya.
"Itu Charly, cucuku." Ny. Anne berdiri tak jauh dari Tia. "Dia meninggal dua belas tahun yang lalu."
Ny. Anna duduk di samping Tia, mulai bercerita.
"Kevin baru berusia dua puluh tahun saat mengenal Catherine. Waktu itu Cathy baru datang dari Iowa, dan Kevin pun hanya aktor kelas dua. Mereka masih sama-sama masih muda dan miskin. Putra mereka lahir satu tahun kemudian. Cathy tidak menghendaki anaknya, karena dia mendambakan karier yang mapan. Menurutnya, seharusnya mereka tidak memiliki anak dulu. Dia ingin aborsi waktu menyadari dirinya hamil, tapi Kevin bersikeras. Kevin berjanji akan merawat bayi mereka dan Cathy boleh pergi kemana saja. Mereka berpisah setelah Charly lahir. Cathy pergi mengejar mimpinya, tapi hanya beberapa bulan kemudian dia tewas dalam kecelakaan kapal pesiar bersama sutradara yang memeliharanya. Charly cucuku, terdiagnosa leukimia di usia delapan belas bulan. Dia meninggal hanya satu bulan sebelum ulangtahunnya yang ke dua."
Tia sudah tau semua itu. Tapi dia tetap simpati mendengar Ny. Anne berkisah.
"Kevin sangat terpukul waktu itu. Tapi entah bagaimana, kariernya justru meroket. Hingga hari ini selalu stabil."
Tia merenungkan ucapan Ny. Anne di atas tempat tidurnya.
Hidup Kevin dipenuhi kesedihan, tapi dia tidak jatuh tersungkur karenanya. Ia menghadapi gelombang hidup dengan tabah, tidak sepertiku. Aku tidak sekuat dia.
Alice datang mengunjungi Tia tiap pekan, kadang bersama suaminya. Mereka barbekyu dan mengobrol. Kadang-kadang pergi nonton atau makan bersama di luar. Tia enggan pada mulanya, tetapi Ny Anne mengatakan semua itu baik untuk Tia.
Kevin hanya muncul satu kali, yakni pada perayaan Natal. Dia mengantar Ny. Anne ke gereja, lalu mereka makan malam bersama. Setelah itu, hampir dua bulan Tia tidak melihatnya. Mungkin syuting entah dimana. Pulang-pulang, wajahnya merah dengan tampilan berantakan. Menurutnya, ia baru saja kembali dari Texas.
"Kevin, mandi dan bercukurlah! Kita akan makan malam bersama," Ny. Anna menegur putranya.
Tia membantu mengatur meja makan. Ia melihat posisi sendok yang terbalik, lalu menukarnya hingga serasi. Senyum mulai mengembang di bibirnya, melihat meja makan yang indah ini, yang dia atur sendiri. Tablemanner kah namanya? Estetika di meja makan yang masuk dalam kriteria penilaian dalam kontes kecantikan yang dulu ia ikuti? Tia mencoba mengingat-ingat. Ia tidak sadar Kevin sedang memperhatikannya.
"Enak sekali," Kevin menikmati suapan terakhir. "Masakan Mama selalu terbaik."
"Ini Tia yang memasak," tukas Ny. Anna.
"Benarkah? Wah, kau pintar sekali, Tia! Kau harus lebih sering memanjakan kami dengan menu-menu lezat seperti ini," puji Kevin.
"Jangan, Tia, kumohon! Kau akan membuat dietku berantakan!" kata Alice.
"Ya, benar! Karena masakan selezat ini sukar ditolak! Lihatlah, aku nambah lagi!" sambung Dr. Mark Harris, suami Alice.
Tia malu karena dipuji. Tapi dia senang mereka menyukai masakannya.
***
Sudah larut malam. Tia masih duduk seorang diri di pekarangan belakang, menatap pendar bintang di angkasa. Langit cerah malam ini. Cuaca hangat, sesekali berangin, membawa harum mawar memenuhi indera penciuman.
Tia merapatkan sweaternya. Di kakinya, rumput mulai basah berembun.
"Belum tidur, Tia?"
Tia menoleh. Kevin mCFadden berdiri tak jauh darinya. Pria itu mendekat dan duduk di sampingnya. Tia bergeser sedikit.
"Bagaimana kabarmu?"
"Baik, dengan perawatan Ibu Anda."
Angin bertiup lebih kencang. Kembali Tia merapatkan dirinya.
"Masuklah, terlalu berangin di sini."
"Tidak apa-apa, aku suka dingin."
"Aku kuatir tidak baik untuk kesehatanmu."
"Aku sudah sehat, Mr. McFadden. Jangan kuatir."
Sesaat hening di antara mereka. Tia menjejalkan jari-jari kakinya ke rumput yang basah.
"Kau tidak memakai alas kaki?" Kevin menegurnya.
"Tidak. Aku suka saat kulitku menyentuh rumput."
Kevin tersenyum, lega karena Tia sudah mulai bicara.
"Mr. McFadden, aku ...,"
"Panggil aku Kevin."
"Kevin, aku ...," suara Tia tercekat ditenggorokan. Saat bicara kembali, suaranya parau. "Aku ..., ingin berterimakasih, karena kalian sudah menerimaku. Merawatku, menemaniku melewati saat-saat yang berat. Aku..."
Kalimat Tia terputus. Ia tidak mampu melanjutkan. Saat ia akan bicara kembali, Kevin sudah mendahului.
"Tidak perlu. Kau sudah membuat Mama senang. Aku yang berterimakasih. Berbulan-bulan aku sibuk di Texas, tidak sempat menjenguknya. Keberadaanmu di sini sangat berarti."
"Aku tidak tau bahwa aku berarti," suara Tia lirih.
"Tia, bisakah aku meminta sesuatu darimu?"
"Tentu."
Kevin memberi tatap permohonan, suaranya lembut bagai berbisik, "Apapun yang terjadi dalam hidupmu, maukah kau mencoba melupakannya? Memulai hidup baru?"
Tia tersentak oleh permintaan tidak biasa itu.
"Apa hubungannya denganmu?"
"Karena kau berarti," tangan Kevin terulur menyentuh pipi Tia.
"Aku dan Mama ingin kau kembali seperti dulu. Sehat dan bahagia. Kau harus menjalani hidup ini dengan bahagia, Tia. Karena kita hanya hidup satu kali. Seperti apapun kau terjatuh, separah apapun luka yang kau alami, kau tetap harus bangkit dan meneruskan hidupmu. Kau begitu berarti, bahkan bagi kami yang baru mengenalmu. Kau berarti bagi Ayah dan Ibumu yang telah tiada. Bangkitlah, lupakan masa lalu! Masa lalu bukanlah segalanya. Kau hidup untuk hari ini, untuk hari esok. Maka bahagialah! Maukah kau berjanji?"
Bola mata Tia menghangat. Bibirnya terbuka, namun tidak mampu memberi jawaban. Ia hanya memandang Kevin, membiarkan pria itu mengelus pipinya. Pria itu menarik punggungnya mendekat hingga tubuh mereka merapat. Sebelah tangan Tia terangkat ingin menolak, namun ia tidak melakukannya, justru meletakkan tangan itu di dada Kevin, merasakan degup jantung pria itu. Wajah mereka begitu dekat, mata saling menatap.
Saat bibir mereka bertemu, Tia memejamkan matanya.
Bersambung #9
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel