Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 25 Juni 2021

Soto Untuk Kakak #11

Cerita bersambung

"Jaaameees, kok udah di sini,  kan harusnya masih dua hari lagi?" Meisya terlihat senang, James hanya tersenyum dan memberikan bungkusan pada Meisya.
"Ini sedikit oleh-oleh, aku pulang lebih cepat karena mama masuk rumah sakit lagi di Perth, aku langsung ke bandara setelah ini, bai Meisya, eh siapa tuh lagi makan ah anak itu lagi, suruh pulang dia, bai Mei, doakan mama ya," James berlalu dengan langkah lebar, Meisya hanya mampu melongo melihat James yang pergi bagai angin berlalu.

Secepat kilat Mei mengejar James, namun kakinya seolah ada yang menahannya ia hanya mampu berteriak..
"Jaaames mengapa kau tidak menjawab panggilanku kapan hari?"

James menoleh dan berhenti, berusaha tersenyum dengan wajah sedih...
"Selamat. " Dan James melambaikan tangannya melanjutkan langkah lebarnya.
***

"Hei ngapain kamu bengong,  cepet buka oleh-oleh dari dosen galak," Gavin meraih bungkusan dari tangan Meisya dan membukanya tanpa seijin Mei.

Mei hanya diam tanpa melihat Gavin yang telah mengobrak abrik bingkisan dari James.
Tante Melda masuk rumah sakit lagi? Separah apa penyakitnya? Wajah James terlihat lelah meski dipaksakan tersenyum tadi. Dan tadi dia bilang selamat?  Pikiran Meisya mengembara ke mana-mana.

"Eh cantiknyaaa, kaos bergambar black pink, trus apaan ini, gantungan kunci, tempelan kulkas, trus apaan ini lagi majalah apaaa ini gambar-gambar personil 2pm hahaha Mei..Mei kayak anak smp aja sukanya kayak ginian," Gavin geleng-geleng kepala. Dan menepuk lengan Meisya yang masih melamun.
Meisya menoleh dan mengerjab pelan.

"Mama James masuk rumah sakit lagi Gav, separah apa aku nggak tahu, wajah James terlihat lelah tadi," ujar Mei menerawang.
"Nggak usah terlalu dipikir, ntar kamunya ikutan sakit, udah aku pulang dulu ya, makasih makanannya udah aku habisin,  tapi udah aku cuci semua piring kotornya, " Gavin berlalu dan menutup kembali pintu apartemen Mei.
***

Jam menunjukkan angka 12 malam, Meisya belum juga mampu memejamkan matanya. Pikirannya seolah penuh,  antara Edwin dan James. Mereka memiliki porsi masing-masing.
Cintanya pada Edwin yang tak mungkin tergantikan oleh siapapun, dan sayangnya pada James sebagai sahabat yang tak mungkin ia anggap remeh.
Mungkin orang lain akan menganggapnya berjalan di dua rel yang berbeda tapi tidak bagi Meisya,  ia bisa merasakan debaran tak menentu jika ada di dekat Edwin yang tak ia rasakan jika berada di dekat James, namun kesabaran dan kebaikan James mampu membuat Meisya tak bisa mengabaikannya jika James membutuhkannya. Hal ini yang tak akan bisa diterima oleh siapapun termasuk Edwin.

Kembali Meisya mengingat ucapan selamat dari James, apakah karena ia mengatakan akan menikah tempo hari lewat telpon, sehingga dia mengatakan selamat? Meisya yakin karena itu, lalu wajah sedihnya, apa karena mamanya sakit atau karena kabar pernikahan itu?

Menjelang jam 3 dini hari, Meisya baru memejamkan matanya setelah kelelahan.
***

Meisya baru saja datang dari mini market depan apartemennya. Ia membeli beberapa bahan untuk ia masak.
Setelah mengganti bajunya dengan baju rumah, Mei mulai memasukkan sayur, buah dan ikan ke dalam kulkas. Dan mengeluarkan sebagian untuk ia masak hari ini.
Ah sedikit saja toh hanya untuk dia sendiri, besok akan memasak agak banyak karena ada bu Minda dan Edwin.

Saat Mei hendak memasak, ia baru ingat barang-barang pemberian James. Segera Mei masuk ke kamarnya. Memasukkannya ke dalam lemari, mencari tempat teraman agar Edwin atau bu Minda tidak perlu tahu, bukannya Meisya tidak mau jujur,  tapi akan lebih baik ia simpan saja dulu.

Mei melanjutkan kegiatan tertundanya tadi, ia bingung setelah sampai di dapur, tiba-tiba selera makannyanya hilang. Ia masukkan kembali semua bahan, minum segelas air dan menuju sofa,  ia rebahkan badannya di sana.
Entah mengapa sejak kedatangan James, Mei berubah menjadi lebih murung, lebih banyak berbicara dengan pikirannya.
Ada rasa sakit di dadanya mengingat tatapan sedih James. Maafkan aku James, mungkin aku telah menyiksa perasaanmu, tapi aku memang tidak bisa memaksakan diri untuk menyukaimu, terlebih lagi ada kak Ed yang sangat aku cintai.

Meisya kembali tertidur dengan perut kosong. Siang ia bangun, perutnya ia rasakan perih, melangkah ke kamar mengambil obat maag dan ia rebahkan badannya di kamar. Ia pejamkan matanya merasakan perutnya yang semakin melilit, tak lama akhirnya bisa normal kembali, secepatnya Mei ke dapur membuat omelet dan setelah masak, ia nikmati masakannya, sendiri dengan pikiran mengembara ke mana-mana.
***

Saat Mei di kamar mandi terdengar ponselnya ya berbunyi berulang-ulang ..... bergegas ia meraih ponselnya, ah kak Edwin.... Mei menelpon balik tapi tidak diangkat.

Akhirnya Mei melanjutkan aktivitasnya menuju dapur setelah selesai ritual mengusap pelembab pada wajahnya dan body lotion ia usap pada seluruh badannya.
Mei menyiapkan beberapa masakan untuk menyambut kedatangan ibu Minda dan Edwin.
Namun di dapur kembali Meisya hanya melamun, menatap bahan masakan yang sudah ia siapkan.

Akhirnya ia akan masak sup seafood saja, ia potong kecil wortel, kubis, buncis, lalu ia membersihkan udang, cumi ia buang tintanya dan dipotong dadu. Nanti penyajiannya tinggal menyiapkan soun dan menyiramkan sup seafood diatasnya, taburan bawang dan seledri.
Lalu Mei mulai menyiapkan bahan untuk tempura dan cumi goreng tepung. Biarlah ia masak sederhana saja.

Selesai sudah pekerjaannya di dapur. Ia bergegas mandi dan kembali merapikan keadaan kamar dan seluruh area apartemennya. Bagaimanapun juga bu Minda adalah orang yang telah membuat dia seperti sekarang ini, rasanya tidak berlebihan jika ia menyiapkan segala sesuatunya agar bu Minda merasa nyaman.
Ah Mei hampir lupa, ia belum membuat makanan penutup. Ia mengeluarkan agar-agar, cokelat batang, gula, sedangkan vla rasa vanila instan ia sisihkan disampimg bahan itu juga.

Mei mulai menjerang air, saat terdengar ketukan halus di pintu. Mei setengah berlari ke arah pintu dan membukanya. Tampak wajah bu Minda yang lembut dan ramah serta wajah tampan dengan badan menjulang di belakangnya.

"Ibuuuuu," Mei memeluk bu Minda dan menenggelamkan kepalanya di sela rambut bu Minda.
"Eeeh ayo kami mau masuk dulu sayaaang,  acara pelukannya kita lanjut di dalam," suara berat Edwin menyadarkan Meisya, yang tersipu dan menyilakan masuk.
"Apa kabarmu Mei?" tanya bu Minda menatap Mei yang masih saja tersipu menatapnya dan Edwin bergantian.
"Baik ibu, eh iya langsung letakkan di kamarku barang-barang ibu kak," Mei menyarankan Edwin saat barang bu Minda masih ada ditangan Edwin.
"Bentar ya ibu, saya mau melanjutkan pekerjaan di dapur, ibu silakan jika mau rebahan di dalam kamar," Meisya membuka pintu kamarnya dengan lebar.
"Iya, ibu mau ganti baju dan ingin ke kamar mandi," bu Minda melangkahkan kakinya ke kamar Meisya dan menutup pintu.
Meisya melangkah ke dapur dan menjerit tertahan saat pinggangnya di rengkuh Edwin dan Mei merasakan ciuman Edwin yang kasar dan agak lama, Mei mendorong dada Edwin saat dirasakan asupan oksigen mulai berkurang di dadanya. Dengan wajah merona merah, ia pukul pelan dada Edwin.

"Ih kakak,  ada ibuuuu," lirih suara Mei dan terlihat jengkel menatap Edwin. Edwin hanya terkekeh perlahan dan melepaskan pelukannya.

Meisya kembali berkutat di dapur dan menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda. Segera ia tata makanan yang sudah ia siapkan,  hanya sup saja akan dihangatkan jika mereka akan siap untuk makan.
Terdengar suara pintu kamar Mei terbuka dan bu Minda yang memanggil Meisya dengan cara melambaikan tangannya,  mengajak Meisya masuk. Mei melangkah pelan mendekati kamarnya.

Bu Minda menutup pintu dan menarik Mei pelan agar duduk di kasur. Ada debaran aneh dan takut dalam dada Meisya meski ia melihat tatapan dan senyum lembutnya.

"Sayaaang,  maaf jika ini terkesan mendadak dan mengagetkan, ibu ingin bertanya kamu siap jika Edwin mengajakmu menikah empat bulan lagi?" tanya bu Minda hati-hati, meski Mei sudah mempersiapkan hal ini akan terjadi, namun ia tetap saja bingung untuk menjawabnya.

"Ibuuuu saya memang ingin sekali menikah dengan kak Edwin karena saya...saya sangat mencintainya,  tapi mengapa harus empat bulan lagi,  mengapa tidak menunggu saya selesai kuliah?" Meisya balik bertanya dengan suara pelan.
"Jika kamu benar-benar mencintai Edwin lalu apa bedanya empat bulan lagi dan setahun lagi?" tanya bu Minda yang benar-benar membuat Mei bingung menjawabnya. Ia diam menatap tangan bu Minda yang menggenggam jemarinya.

"Edwin sangat mencintaimu,  ia tidak ingin ada yang mengganggumu, kebaikanmu kadang diartikan lain oleh siapapun, sikap manismu dan kebaikanmu akan membuat siapapun mudah jatuh cinta, sekali lagi ibu tanya,  mau ya Meisya jika Edwin mengajakmu menikah empat bulan lagi?" bu Minda mengulang pertanyaannya. Dan Meisya mengangguk pelan.
Bu Minda memeluk Meisya dengan mata berkaca-kaca.

"Terima kasih Meisya,  ibu mencintai kalian berdua,  pernikahan kalian akan benar-benar menjadi obat bagi Edwin yang sekian tahun menahan sakit," bu Minda mengelus rambut panjang Mei. Saat bu Minda mengurai pelukannya, Meisya kaget melihat bu Minda yang menghapus air mata dengan pelan.

"Mari makan dulu ibu, sudah saya siapkan," Mei mengajak bu Minda dan membuka pintu kamar.

Edwin agak kaget saat melihat mata mamanya yang memerah dan wajah Meisya yang terlihat bingung. Edwin melihat mamanya yang mengedipkan matanya sebelah dan tersenyum perlahan. Dan Edwin mengerti maksud mamanya, ia mulai tersenyum.

Mereka bertiga duduk di meja makan dan mulai menikmati masakan Meisya.
"Maaf ibu,  saya hanya masak kayak gini," ujar Meisya mendekatkan sup seafood ke sisi ibu Minda.
"Hmmm ini sudah enak, segar kok, sup kayak gini emang cocok dimakan siang-siang kayak gini," bu Minda mulai mencicipi makanan Meisya dan mengangguk-angguk pelan.

"Mama, ada yang perlu Edwin sampaikan, kami,  aku dan Meisya minta ijin menikah empat bulan lagi, benar kan ya sayang, boleh ya ma?" tanya Edwin sambil melihat mamanya dan Meisya bergantian. Edwin melihat Mei yang mengangguk dan mamanya yang menahan senyum.

"Sudah pasti dan yakin kalian akan menikah?" tanya bu Minda.
"Iya mama,  aku sudah siap,  dan yakin, aku sangat mencintai Meisya dan ingin kami segera hidup dalam ikatan yang lebih sempurna," jawab Edwin dengan yakin. Meisya hanya mengangguk mengiyakan.
"Mama bahagia kalian akhirnya akan menikah, mama hanya berpesan kalian harus sama-sama sabar, saling mengerti karena selama kurang lebih setahun setelah kalian menikah,  maka kalian akan menjalani hubungan jarak jauh," nasehat bu Minda pada keduanya. Samar-samar terdengar bunyi ponsel Mei berbunyi dari arah kamarnya.
"Saya terima telpon dulu ya ibu, kak Ed," ujar Mei. Edwin menatap Mei yang terlihat bingung.

Mei segera mengambil ponsel yang ada di kasur. Ah James, ada apa?
"Haloooo,  James?"
"Mama Meisya, mama meninggal" (terdengar suara James menahan tangis)
"Hah,  kapan, trus kamu di mana, Jaaamees...Jaaaameeees"

==========

"Sayaaang ada apa kamu memanggil Jameees?" tanya Edwin dengan wajah tegang saat melihat wajah Meisya yang sangat panik.
"Kaaaak, tante Melda meninggal, tadi James menelponku, dan dia tidak menanggapi panggilanku waktu aku panggil dia berkali-kali," jawab Meisya sambil memberikan ponselnya pada Edwin dan terlihat panik.

Tak lama bu Minda menyusul ke kamar Meisya.
"Ada apa, mengapa wajah kalian tegang?" tanya bu Minda.
"Mamanya James meninggal ma,  tadi James menghubungi Meisya," jawab Edwin.
"Ya Tuhan kapan, nggak papa kita ke sana sayang, Edwin sayang kita jangan melihat ia menyukai Meisya tapi melihat dari segi kemanusiaan, ayo kalo kita mau ke sana," ajak tante Minda.
"Iya mama, aku memang mau ke sana, aku sudah pernah bertemu dengan tante Melda,  beliau baik, tapi ke sana sekitar berapa jam ya sayang?" tanya Edwin pada Meisya.
"Empat jam lebih kak, berarti kan kita nginep ini kak, paling baru besok dimakamkannya," jawab Meisya
"Kita lihat saja kayak apa kondisi di sana Mei, kalo memungkinkan ya kita nginep," ujar Edwin yang kemudian terlihat menelpon.
"Ok mama, Mei sayang,  jam tujuh malam, pesawat akan berangkat, kita punya waktu kurang lebih enam jam untuk bersiap, bawa baju secukupnya saja," ujar Edwin.

Mei dan tante Minda bergegas masuk ke kamar dan menyiapkan baju yang akan mereka bawa. Mereka jadikan satu dalam travel bag sedang, baju tante Minda, Meisya dan Edwin.
***

Jam enam mereka berangkat menuju bandara. Edwin menatap Mei yang terlihat murung.

Saat di dalam pesawat, Edwin menyentuh tangan Mei perlahan.
"Kamu terlihat murung,  apa yang kamu pikirkan?" tanya Edwin.
"Aku merasa bersalah pada tante Melda karena berbohong tentang hubungan pura-pura itu," ujar Mei dengan mata berkaca-kaca.
"Tante Melda pasti memaafkanmu, ia orang baik," sahut Edwin menenangkan.

Tante Minda melihat Edwin yang berusaha menenangkan Meisya hanya tersenyum perlahan.
"Yah benar Meisya, mama yakin, mamanya James pasti memaafkanmu, memaafkan James juga, yang sebenarnya bertujuan untuk membahagiakan mamanya,  hanya caranya yang tidak benar," ujar tante Minda ikut menenangkan Meisya.

Jam 11.30 malam pesawat mendarat di Perth. Meisya menelpon James, lalu Edwin menggantikan memegang ponsel Mei untuk menelpon James

"Halo James, kami sudah di bandara, beri kami alamat rumahmu"
"Terima kasih sudah datang Ed.."
Dan James memberikan alamat rumahnya.
***

Edwin, Meisya dan bu Minda di sambut langsung oleh James. Edwin mendekati James, keduanya saling memeluk dan sebentar kemudian Edwin menepuk bahu James pelan.

"Kami turut berduka cita, mama kamu orang baik,  aku pernah bertemu,  beliau bahkan mengundangku ke sini," Edwin terlihat berusaha menghibur James yang hanya sanggup mengangguk.

Saat Meisya mendekat dan menjabat tangannya, mata James semakin memerah, sekuat tenaga ia tahan untuk tidak memeluk Meisya, ia hanya butuh memeluk Mei untuk mendapatkam kekuatan berdiri di samping jenazah mamanya.
Mei pun demikian pertahanannya luruh saat tangannya hanya mampu menjabat tangan James dengan sangat erat, ia ingin memeluk James dan menenangkannya itu saja,  tapi keadaan tak memungkinkan untuk itu.

"Temui papa, ia menunggumu sejak tadi," suara James terdengar serak dan parau. Mei melihat papa James berdiri tak jauh dari jenazah mama James menerima ucapan bela sungkawa dari rekan-rekan bisnisnya.
Saat tante Minda mengucapkan turut berduka cita pada James sambil menepuk lembut tangan James,  James hanya mampu mengangguk dengan wajah sedih. Edwin tetap berdiri di samping James dan melihat Mei yang dipeluk oleh papa James.
Keduanya terlihat menangis. Ah sedekat itu hubungan Mei dengan keluarga James,  pikir Edwin.

Terima kasih sudah hadir di keluarga kami Meisya, meski kau tak berjodoh dengan James setidaknya istriku sangat bahagia telah mengenalmu, jangan dulu pulang,  menginaplah di sini, ada yang ingin om berikan titipan dari tantemu, dua hari sebelum meninggal ia serahkan pada om," papa James terlihat memanggil James dan memberitahu agar Mei dan Edwin menginap di rumah mereka.

"Ada mama Edwin juga papa," ucap James menunjuk mama Edwin dan wajahnya masih terhalang Edwin.
"Oh ya,  ah mereka keluarga yang baik,  meski belum begitu kenal,  mereka menempuh jarak yang jauh,  untuk ke sini,  mengucapkan bela sungkawa pada kita James,  antarkan aku pada mama Edwin," bertiga mereka melangkah mendekati Edwin dan mamanya.

Saat papa James sudah dekat, Meisya memanggil pelan bu Minda.
"Ibu, ini papanya James."
Bu Minda berbalik dan dalam jarak yang cukup dekat mereka saling memandang dengan tatapan kaget. Dan saling menyapa dengan suara tercekat.

"Ben...
"Minda...kkaaauuu...

Mereka akhirnya bersalaman dengan tangan sama-sama bergetar. Dan papa James segera mengembalikan kesadarannya, berusaha berbicara dengan normal meski tiba-tiba saja keringat sudah membasahi kening papa James.

"Menginaplah di sini, aku sudah mengatakan pada James agar menunjukkan kamar kalian, terima kasih Minda sudah hadir di sini," papa James terlihat beberapa kali menghindar dari tatapan mata bu Minda.
"Ya,  terima kasih," jawaban singkat bu Minda. Lalu terlihat papa James yang kembali menerima ucapan bela sungkawa dari para tamu,  meski hari semakin malam.

Edwin, Meisya dan James melihat keduanya dengan tatapan aneh, tak menyangka mereka saling kenal, dan yang aneh adalah sikap mereka, ada apa?
James mengantarkan Edwin, Meisya dan bu Minda ke lantai dua, menunjukkan kamar mereka dan memberitahu beberapa maid untuk melayani mereka. Bu Minda sekamar dengan Meisya sedang Edwin di sebelah.

"Silakan beristirahat,  sudah sangat larut, besok pagi jam 8 mama dimakamkan," James berlalu dari hadapan mereka.
Edwin terlihat mengejar James dan menjejeri langkah James turun.
"Ada apa?" tanya James tetap melangkahkan kakinya.
"Tidak, aku hanya ingin menemanimu, menemui tamu-tamu," Edwin dan James berjalan dan terlihat berdiri berdua di sisi tak jauh dari jenazah mama James.
***

Di dalam kamar setelah Mei menutup pintu tiba-tiba bu Minda memeluknya dan menangis sejadinya. Meisya kebingungan dan dengan ragu memeluk bu Minda.

Lama setelah reda, bu Minda melepaskan pelukannya. Mei membiarkan bu Minda membelakanginya, menyusut air matanya dan melangkah ke kamar mandi.
Mei tidak akan bertanya apapun sampai bu Minda bercerita.
Mei mengganti bajunya dengan baju tidur. Merebahkan badannya dan terdengar pintu kamar mandi yang terbuka. Mata bu Minda terlihat sembab.

Mei bangun dan mengganti bu Minda masuk ke kamar mandi.
***

Mei keluar kamar mandi saat melihat bu Minda yang sudah berganti baju tidur, membelakanginya merebahkan diri di kasur. Ada apa ibu, mengapa ibu terlihat sangat terluka?

Mei merebahkan diri di kasur, memeluk guling dan melihat bu Minda yang sepertinya kembali menangis, bahunya turun naik dengan cepat dan sesekali terlihat gerakan menyusut air mata.
Biarlah ibu menenangkan diri dulu, siapa tahu dengan menangis ibu menjadi lega.

Meisya mulai memejamkan matanya. Sementara bu Minda bangun dan duduk menghadap cermin. Ben, mengapa kau muncul lagi setelah puluhan tahun. Aku menyuruhmu untuk pergi menjauh,  menjauh dari kehidupanku.
Kini setelah luka berdarah mengering, seakan kau membukanya kembali dan mengiris di tempat yang sama.

Terdengar ketukan pintu. Bu Minda kaget,  cepat ia menghapus air matanya,  berusaha wajar dan membuka pintu.
Terlihat dua lelaki tampan di depannya, bu Minda berusaha tersenyum namun tak urung keduanya melihat dengan tatapan aneh, James membawa makanan dan Edwin membawa minuman.

" Ini untuk tante dan Mei, makanlah tante,  menurut Edwin,  tante dan Mei belum makan," James menatap wajah bu Minda yang berkali-kali mengusap hidungnya.
"Yah terima kasih James,  kamu sudah makan Ed?" tanya bu Minda sambil memandang wajah Edwin yang nampak lelah, suara bu Minda terdengar sengau dan serak.
"Sudah tadi, sama James,  mama aja makan dulu, bangunin Mei ma," ujar Edwin melihat Mei yang tidur meringkuk, ingin rasanya mencium kening Mei, tapi ada mamanya dan James.

"Jangan, kasian Mei nanti saja jika ia sudah bangun, dan nggak usahlah sampai kalian yang antar makanan ke sini, mama lihat di sini ada beberapa maid, suruh saja mereka," ujar bu Minda.
"Nggak papa tante, kebetulan para maid sibuk untuk persiapan besok, kawatir ada tamu banyak," jawab James.

James dan Edwin meletakkan makanan dan minuman di meja dalam kamar. Sekilas James melirik Mei yang tidur meringkuk, Mei ingin rasanya aku memelukmu, sekali saja, agar aku terbebas dari beban yang berat ini. Lalu James berjalan sambil menunduk, berusaha menghilangkan pikirannya yang kalut.
***

Bu Minda menyendokkan makanan ke mulutnya, namun ia tak berselera, ia hentikan makannya dan menyisihkan jauh dari sisinya. Tak lama Meisya bangun dan bu Minda menyarankan agar Meisya segera makan kawatir sakit,  karena sejak sore belum makan, sama dengan bu Minda, Meisya hanya makan sedikit dan tidak berselera. Segera Meisya merebahkan badannya meski tidak mengantuk.

Bu Minda membawa piring kotor menuju dapur bersih yang ada di lantai dua. Meletakkan di tempat cuci piring,  ada seorang maid di sana dan menyuruh bu Minda untuk meletakkannya saja.

Bu Minda segera melangkahkan kakinya ke kamar, saat tiba-tiba papa James berdiri di hadapannya. Mereka sama-sama gugup,  namun bu Minda berusaha menguasai diri. Dan terlihat berwajah tanpa ekspresi.

"Apa kabar anakku Minda?" tanya papa James.
"Ia bukan anakmu,  ia tidak pernah mengenalmu, karena sejak awal ia ada, kamu tidak peduli, tidak ada sisa kemarahan lagi padamu saat ini Ben, tidak usah menanyakannya, ia sudah bahagia, Seno adalah papa terbaik untuk anak-anakku, sekali lagi jangan menanyakan yang bukan hakmu," bu Minda berlalu melewati papa James.

Sementara itu James dan Edwin saling pandang karena mereka mendengar pembicaraan papa James dan mama Edwin, saat keduanya menaiki tangga, meski tidak keras  tapi suara keduanya terdengar jelas oleh Edwin dan James.
Keduanya melanjutkan langkahnya. Berpapasan dengan papa James yang terkejut melihat keduanya tiba-tiba muncul.

"Tidur di kamarku saja Ed, ada yang ingin aku bicarakan," ujar James, dan Edwin mengangguk.
"Sebentar aku ambil bajuku di kamar mama," jawab Ed melangkah ke kamar mamanya dan mengetuk perlahan.
"Masuklah," terdengar suara mama.
"Mau ambil baju ma, untuk rebahan saja,  dan jas untuk besok sekalian tak ambil," Edwin membuka travel bag dan mengambil beberapa baju. Melangkah ke luar kamar dan menutup pintunya lagi.

Edwin melangkah menuju kamar James. Dan menemukan James yang duduk di kursi sudah berganti kaos dan duduk merenung. Edwin meletakkan baju-bajunya di sisi kasur, berganti kaos dan duduk di kasur.

"Ada apa, katanya kamu mau bicara," tanya Edwin. James duduk dengan pikiran menerawang.
"Kamu pasti mendengar pembicaraan tadi kan antara papaku dan mamamu, tanpa perlu kita tanya pada mereka, mereka punya masa lalu yang sulit, tapi yang mengusikku pertanyaan papaku pada mamamu,  tentang pertanyaan apa kabar anakku? Nah itu siapa?"

Bersambung #12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER