Cerita bersambung
Edwin menatap James yang yang masih saja mematung setelah pertanyaan yang belum ia jawab.
"Aku juga tidak tau apa maksud papa kamu menanyakan anak? Anak yang mana? Aku dua bersaudara, kak Edwina dan aku, kami berdua memang tidak mirip, aku lebih mirip mama, sedang kak Edwina kulitnya putih bersih dengan mata agak sipit dan rambut hitam legam, lurus, waktu kecil memang kak Edwina sering bertanya mengapa ia tidak mirip papa atau mama, tapi papa selalu bisa memberi jawaban bahwa kak Edwina kulitnya putih bersih mirip papa, dan wajah mirip nenek dari papa, begitu kata papa waktu kami kecil, papa sangat menyayangi kak Edwina, makanya aku bingung dengan pertanyaan papamu, apa mereka berdua pernah memiliki anak, tapi setahuku mama hanya menikah sekali dan saat papa meninggal, mama tidak pernah menikah lagi," panjang lebar Edwin menjelaskan pada James.
"Papaku juga menikah hanya dengan mama, setahuku papa tidak pernah punya hubungan dengan wanita manapun, sampai tadi kita dengar percakapan mereka," James menunduk menekuni lantai, menopangkan lengannya pada lutut.
"Mungkin akan lebih baik kita tidak ikut campur James, biarlah itu menjadi urusan mereka, " uajr Edwin pelan.
"Aku hanya ingin memastikan, siapa yang ditanyakan papaku, kakakmu, atau kamu atau malah dua-duanya, rasanya tidak lucu jika dua saudara memperebutkan satu wanita," ucap James pelan, Edwin kaget dan mendekati James.
"Kamu masih mencintai Meisya?" tanya Edwin dengan nada yang sangat datar tanpa rasa marah. James diam saja.
"Tidak usah kau jawab, aku tahu kamu tidak bermaksud mengatakan itu padaku, aku yakin kamu spontan tadi," ucap Edwin dan meninju lengan James pelan.
"Percayalah, aku tidak akan mengganggu wanitamu, kau kakakku atau bukan, aku tidak akan mencurinya darimu, ia tidak mencintaiku," James berdiri menatap Edwin dan mereka sama-sama berusaha tersenyum.
Edwin melihat ada luka di mata James.
"Lebih baik kita mandi saja, bentar lagi sudah pagi, ini jam 4 dini hari dan kita masih saja ngobrol tak jelas di sini," Edwin melangkah ke kamar mandi.
"Aku mandi duluan James," teriak Edwin di mulut pintu kamar mandi.
"Yaaaa," James menyahut dengan pelan.
"Aku tidak tahu, benar-benar tidak tahu jika papa punya cerita yang menyakitkan, siapa anak itu, ada di mana, mengapa papa jadi pengecut dan tidak bertanggung jawab. Dan baru menanyakannya setelah puluhan tahun berlalu, alangkah tersiksanya tante Minda.Pasti papa punya alasan, karena yang aku tahu papa adalah orang yang penuh tanggung jawab."
James masih saja menerawang di kasurnya, terlentang dan menatap langit-langit kamar.
Edwin keluar dari kamar mandi dan James segera menggantikannya.
Saat James di kamar mandi Edwin iseng-iseng melihat sebuah buku berwarna navy di meja James, alangkah kagetnya, di dalam buku itu, banyak foto-foto Meisya berbagai pose.
Edwin hanya menghembuskan napas dengan berat dan menutup buku itu secepatnya.
Ah Mei betapa aku akan selalu mencintaimu, begitu besar cinta James padamu, tidak pernah membuatmu berpaling dariku, terdengar cengeng memang, tapi aku bersyukur kamu selalu mencintaiku Meisya.
Pikiran Edwin jadi kemana-kemana.
Edwin tersentak saat James ke luar dari kamar mandi dan mengeringkan rambut basahnya.
"Hari ini keluarga papa datang semua Ed, keluarga mama hanya sebagian kecil saja yang datang, karena mama memang tidak punya saudara, hanya sepupu mama yang ada di Melbourne nanti akan ke sini," ujar James.
"Yah cepatlah ganti baju, kamu lama sekali di kamar mandi," jawab Edwin terlihat menelpon.
Udah bangun sayang, yaaa cepatlah ganti baju, mama juga suru turun, bentar lagi keluarga besar papa James datang, ok baai
Tanpa ditanyapun James tahu jika Edwin menelpon Meisya. James memakai kemeja, celana lalu dasi dan terakhir jasnya ia pakai.
"Ayo Ed, kita turun, sepertinya di bawah sudah rame," James melangkah ke luar diikuti Edwin.
***
Saudara-saudara dari papa James berkumpul di tempat mama James di semayamkan, mereka terlihat memberi ucapan bela sungkawa pada papa James.
Tak lama James bergabung dan memperkenalkan Edwin sebagai temannya.
Saat semua saudara papa James berbicara dengan James, terlihat tante Minda dan Meisya yang baru turun dari lantai dua, mereka berjalan pelan, ada keengganan dari tante Minda yang sempat ditangkap oleh Meisya.
Semua menoleh saat kakak papa James menyapa tante Minda.
"Mindaaa kkkaaaau .... kapan tiba di Perth, bagaimana bisa tahu jika istri Ben...," semua saudara papa James kaget, terlihat berusaha tersenyum dengan wajar.
"Aku sedang menemui Meisya, calon menantuku di Sydney yang kebetulan mahasiswi James, saat mama James meninggal, James menelpon Mei karena ternyata almarhum mama James sangat menyukai Mei, sehingga aku dan anakku mengantar ke sini, aku juga baru tahu jika James anak Ben...tidak usah kawatir, aku dan Ben selesai sejak puluhan tahun lalu," bu Minda terlihat berekspresi datar, tanpa kemarahan dan kekesalan.
Beberapa saudara papa James mendekati tante Minda dan memeluknya bergantian. Kakak papa James memeluk tante Minda paling lama.
"Maafkan kami, kami tidak pernah berniat memisahkan kalian, tapi memang tidak mungkin kalian bersatu saat itu, kepercayaan yang berbeda membuat kalian terpisah, papa mama tidak diijinkan oleh kakak nenek kami menikahkan kalian," kakak papa James terlihat berkaca-kaca.
"Tidak apa-apa Natalia, aku sudah memaafkan semuanya, aku sudah berdamai dengan hatiku," bu Minda terlihat tegar, tidak ada air mata.
"Apa kabar dia Minda?" tanya kakak papa James lagi.
"Dia baik-baik saja, sudah menikah dan punya anak-anak yang lucu, sekarang ada di Singapura, memegang perusahaan papanya almarhum, sudahlah mari kita duduk," tante Minda melangkah mendekati kursi yang telah tertata rapi.
Mei duduk di dekat ibu Minda dan dia mulai bisa memahami jalam cerita kahidupan ibu Minda, meski belum benar-benar jelas.
James mendekati Edwin. Kedua saling bertatapan.
"Aku mengerti sekarang Ed, kakakmu, bersaudara denganku, dia satu ayah denganku," ujar James dengan tenang.
"Lalu setelah kau tahu kita tidak bersaudara, kau mau merebut Meisya dariku?" wajah Edwin terlihat serius.
"Tidak ada rencana seperti itu dalam pikiranku, aku sudah bilang kan, aku hanya ingin tahu wajah kakakmu," James terlihat mendekatkan wajahnya pada Edwin dan Edwin mundur agak menjauh.
***
Proses pemakaman mama James berjalan lancar, mata James terlihat berkaca-kaca. Beberapa tante James terlihat mengelus lengan James perlahan. Meisya menatap James dengan tatapan sedih. James sempat melihat Mei sejenak lalu kembali menunduk.
***
Saat kembali ke rumah orang tua James terlihat Edwin, tante Minda dan Mei pamit pada seluruh keluarga besar James. Namun saat berhadapan dengan papa James, Mei diajak ke ruang kerjanya sebentar.
Mei mengikuti langkah papa James.
"Masuklah Meisya, ini om berikan titipan Melda padamu, perhiasan yang paling ia senangi ada dalam kotak itu, ambillah," papa James menunjuk kotak beludru berwarna merah.
Mei membuka dan ia kaget melihat kemewahan perhiasan itu.
"Aduh om, kayaknya jangan deh, ini ini terlalu mewah untuk saya," Mei terlihat tegang.
"Ambillah, itu pesan dari Melda, om jadi sangat berdosa jika tidak menuruti keinginan terakhirnya, ia terlalu banyak berkorban untuk om, ia istri yang sabar, ia tahu jika om tidak pernah mencintainya, tapi dia tetap mengabdi pada om, ambillah Mei," papa James meletakkan kotak perhiasan itu di tangan Mei.
"Terima kasih om, maaf jika saya bertanya, ada hubungan apa om dengan bu Minda, saya jadi kasian pada ibu, setelah pertemuan pertama dengan om, bu Minda menangis semalaman om, maaf jika saya lancang, tapi saya lihat jika mata ibu sangat terluka, saya kasihan pada ibu," Mei terlihat sedih. Papa James menunduk mengepalkan tangannya.
"Dia adik kelas om, saat kami sama-sama berkuliah di Singapura, kami saling mencintai, tapi kami beda etnis, beda agama, orang tuaku sangat menentang, bahkan saat kami nekat memberitahu jika ia telah mengandung anakku, ia diusir oleh keluarga besar om, om terlalu pengecut, tidak berani mengejarnya, sejak itu om tidak mendengar kabarnya, om dijodohkan, tapi cinta om tetap pada Minda tak ada yang berubah sampai sekarang, om hanya kasian pada Melda yang setia menemani om, meski om tak pernah mencintainya, ia istri yang baik," suara papa James terdengar serak.
"Dan om ingin tahu kabar kakak Edwin, siapa namanya, ia dimana sekarang, bagaimana keadaannya?" tanya papa James.
"Kak Edwina ada di Singapura om, sudah menikah, sudah punya anak dan memimpin perusahaan milik papa Edwin," jawab Meisya.
"Om ingin sekali menemuinya, tapi tidak punya keberanian," wajah papa James terlihat sedih.
Keduanya tak sadar jika Edwin mendengarkan dari luar kamar kerja papa James yang agak terbuka sedikit. Edwin mengetuk pintu.
"Yaaa masuklah," terdengar suara papa James.
"Kami mohon pamit om, karena harus segera ke bandara," ujar Edwin sambil menganggukan kepalannya pada Meisya agar segera mendekat.
Meisya berjalan ke arah Edwin dan pamit.
"Terima kasih om, saya mohon pamit," ujar Meisya sambil tersenyum.
"Om akan turun juga, mari," beriringan mereka berjalan ke arah ruang tamu.
***
Meisya menyalami James, terlihat mata James yang sedih. Meski tak berkata-kata Meisya tahu jika banyak yang ingin disampaikan James padanya tentang kesedihan.
Saat tante Minda menyalami papa James, ia hanya menunduk tanpa melihat langsung.
"Terima kasih sudah hadir di sini Minda, aku ingin menjumpainya," ujar papa James pelan. Tante Minda tidak menanggapi dan segera berlalu.
James dan Edwin melihat kejadian itu, keduanya saling berpandangan tanpa ekspresi.
***
James mengantar sampai bandara dan melambaikan tangan saat Mei, Edwin dan bu Minda menuju pesawat.
Dalam pesawat terlihat bu Minda yang berusaha memejamkan mata, Edwin melihat kawatir pada mamanya. Ia usap perlahan jari mamanya. Edwin merasa sesak melihat wajah sedih mamanya. Mama yang sangat dicintainya ternyata menyimpan kisah masa lalu yang menyedihkan.
***
Edwin dan Mei yang hampir tertidur dikejutkan oleh tepukan Bu Minda pada bahu Edwin.
"Eeed, aduh ponsel mama nggak ada, di mana tadi ya Mei, perasaan sudah ibu masukkan semua kan ya Mei?" tanya tante Minda kawatir.
"Tadi pas membereskan baju di lantai dua awalnya sudah ibu masukkan semua, namun saya melihat ibu mengeluarkan ponsel lagi, menelpon apa terima telpon gitu," ujar Mei. Terlihat bu Minda menepuk dahinya.
"Iya bener Mei, aduuuh gimana ya Mei, Ed?" bu Minda terlihat kawatir.
==========
Aduh gimana Ed, kita kan mau pulang besok ke Indonesia," bu Minda terlihat bingung.
"Diundur sehari saja lah ma, siapa tau James mau ngantar ponsel mama, ato om Ben saja," Edwin secara tak sadar menyebut nama papa James.
Wajah mama berubah seketika.
"Kalo mama nggak masalah diundur, kamu trus gimana?" tanya mama.
"Nggak papa, aku nelpon wakilku ma, kan nggak sering aku ninggal perusahaan," jawab Edwin.
"Terserah kamu dah Ed, telponkan James ya Ed," bu Minda memegang lengan Edwin. Edwin mengangguk cepat.
Saat Edwin menoleh ke sisi kanan, ia melihat Mei yang terdiam entah melamunkan apa. Edwin mendekap kepala Mei ke dadanya.
Bu Minda senyam senyum melihat tingkah Edwin.
"Mikir apa sayang?" Ed mencium puncak kepala Mei.
Meisya berusaha melepaskan pelukan Edwin, sementara bu Minda pura-pura tidak melihat dan menoleh ke sisi yang lain.
Meisya melotot pada Edwin memberi kode dengan tangannya sambil menunjuk-nunjuk bu Minda yang ada di sebelah Edwin.
Edwin menahan tawa dan melepaskan pelukannya. Meisya memukul lengan Edwin pelan.
Penerbangan kali ini meski lama, bagi Mei dan Edwin sangat menyenangkan. Mereka saling mengganggu dan menahan tawa karena ada ibu Minda.
***
Menjelang senja mereka melangkah turun dari pesawat. Edwin terlihat menuntun bu Minda yang terlihat lelah.
"Mama baik-baik saja?" tanya Edwin.
Bu Minda hanya mengangguk dan melangkah di sisi Edwin.
***
Edwin membuka pintu apartemen Meisya dan membawa travel bag ke dalam kamar Mei.
"Mandilah dulu Mei, ibu masih ingin rebahan," bu Minda terlihat menarik perlahan syal yang ada di lehernya, membuka outternya dan mulai merebahkan diri di kasur.
"Iya ibu, Mei memang ingin mandi, meski tidak gerah tapi rasanya tidak enak kalo tidak mandi," Mei mengambil baju rumah di lemarinya dan melangkah ke kamar mandi.
"Ed, ngapain kamu masih berdiri di sini?" tanya bu Minda melihat Ed yang masih memandangnya dengan wajah penuh kawatir.
"Ed kawatir sama mama, mama nggak papa kan?" tanya Edwin lagi.
"Nggak papa sayaaaang, mama cuma ingin rebahan saja, bener," jawab bu Minda menyakinkan Ed.
"Iya dah, Ed mandi dulu, trus mau tidur, capek banget, semaleman nemani James ngobrol, ntar Ed telpon James ya ma mau nanyain ponsel mama," ujar Edwin sambil melangkahkan kakinya ke luar kamar.
Bu Minda mulai memejamkan matanya.
***
Mei melangkah pelan ke luar dari kamar mandi, ia melihat bu Minda yang tertidur pulas.
Mei menatap wajah bu Minda dengan tatapan sedih, hampir semalam ia merasakan kegelisahan bu Minda yang hanya membolak balikkan badannya.
Mei ke luar kamar dan melangkah ke kamar Edwin, ia tidak melihat Edwin di kamarnya, namun Mei mendengar suara gemericik air dari kamar mandi.
Mei segera ke dapur untuk menyiapkan makan malam, ia membuat makanan yang simpel. Ia ingat di kulkas masih menyimpan sawi putih dan wortel, ia keluarkan dan mengambil udang dan meatball di freezer.
Ia pisahkan udang kecil akan ia padukan dengan sawi putih dan wortel untuk dibuat asam manis, dan udang yang besar akan digoreng dengan tepung. Biarlah sederhana saja, sebenarnya ada daging has dalam yang bisa ia buat steak tapi kok Mei merasa malas masak steak malam ini.
Mei sedang motong-motong wortel saat Edwin memeluk Mei dari belakang. Mei agak kaget dan tersenyum perlahan.
"Duduk di sana dulu gih, bentar lagi masak kok kak, kak brenti nyiumin rambut Mei, Mei mau masak dulu ya, ntar kalo sudah pasti Mei yang cium kakak," Mei sedikit mendorong Edwin dengan sikunya.
"Bener yaaaa, bener loh ntar kakak tagih," Edwin mulai melepaskan pelukannya dan kaget saat bu Minda menepuk pundak Edwin.
"Biasa, mesti gangguin orang masak, kalo di rumah nih suka gangguin bik Sum, suka nyolong tahu tempe yang baruu saja digoreng, di sini gangguin kamu Mei," bu Minda melihat-lihat bahan masakan Meisya.
"Ibu bantu Mei?" tanya bu Minda mulai mengupasi kulit udang.
"Nggak usah ibuuuu, ibu istirahat saja, bentar lagi pasti udahan kok," Mei mulai memotong-motong sawi putih.
"Males juga ibu cuma dalam kamar, tadi ibu sempat tertidur bentar, enak rasanya ke badan, bentar lagi ibu mau mandi, setelah bantuin ngupas udang," bu Minda memisahkan kulit kepala udang dan menyisihkan udang di mangkok kecil. Setelah selesai ia mencuci tangan dan melangkah ke kamar Meisya untuk mandi.
***
Edwin kembali berdiri di dekat Meisya yang mulai menggoreng udang yang sudah dicelupkan pada adonan tepung.2
"Hmmmm harum Mei, bener-bener deh istri idaman, pinter masak, cantik dan...cup," Edwin mencium pipi Meisya.
"Ih kakak, Mei masih goreng udang jangan gangguin, ntar nggak masak kalo banyak gangguan," ujar Mei pura-pura marah.
"Habisnya nggak ada kesempatan nyium kamu selama di sini," ujar Edwin tertawa geli.
"Makanya cepetan nikah, jadinya nggak perlu nyuri-nyuri buat nyium Mei," tiba-tiba bu Minda muncul di belakang Edwin.
" Iya maaa empat bulan lagi halaaaal bebas mau ngapain Mei," ucap Edwin tertawa lebar.
"Nggak juga kali, " Mei terdengar menyahut dengan sewot.
"Lah.kan bener sayang, ntar kalo dah halal kan aku bebas mau ngapa-ngapain kamu," ucap Ed sambil tertawa.
"Kata-kata bebas mau ngapa-ngapain kok nakutin kak," sahut Mei masih saja sewot.
"Nggak usah didengerin si Ed, Mei, dia emang dah waktunya punya anak, makanya omongannya gitu, eh iya ngomong-ngomong model baju pengantinnya yang mana Mei itu ibu bawa beberapa contoh, ntar setelah makan kita bicarain itu ya," tante Minda membantu Mei membawa masakan yang sudah siap ke meja makan.
"Iya ibu sahut Mei," yang segera mematikan kompor dan membawa saus tomat dan saus sambel untuk udang goreng tepung.
Edwin terlihat makan sangat lahap, ia terlihat menyendokkan udang sayur asam manis ke piringnya beberapa kali.
"Suka apa lapar Eeed, pelan-pelan makannya," ujar bu Minda sambil tertawa pelan.
Edwin hanya tertawa tanpa bersuara dan tetap melanjutkan makannya.
"Laper dan suka yang jelas ma, kadang Ed suka ngeri juga, ntar kalo sudah nikah Ed ngeri takut gendut kayak bapak-bapak beneran, soalnya kan masakan Mei enak terus, haduh harus rajin ngegym nih," Edwin terlihat memegang perutnya yang masih rata.
Terdengar tawa bu Minda dan Meisya.
"Ya biar aja gendut, kan dah punya istri, biar gak ada yang ngelirik-lirik, iya kan ibu?" Meisya menoleh pada bu Minda yang terlihat mengangguk-angguk sambil tertawa.
"Heeeh maunya, aku suru gendut dan kamunya tetep cantik, curang," Edwin terlihat sewot dan menghabiskan minumnya.
Terlihat Meisya yang membawa piring kotor ke dapur dan mencucinya.
***
"Nih Mei coba lihat, ini baju-baju pengantinnya, kamu cari modelnya, ini contoh-contoh souvenir, ini model kamar pengantinnya, trus hiasan saat kalian akad dan resepsi nanti, kalo urusan hidangan ntar ibu yang mikir, ayo cepet pilih kamu sama Edwin, ibu mau rebahan dulu ya, masih capek," ibu Minda terlihat masuk ke kamar Mei.
***
Hari beranjak semakin larut namun Meisya dan Edwin masih asik berdiskusi persiapan pernikahannya, setelah jam menunjukka angka 12.30 malam mereka baru selesai dengan pilihan mereka dan baru bersepakat berdua.
"Aduh capek kak, aku mau tidur dulu," Mei mulai berdiri dari duduknya dan merentangkan tangannya menggeliat-geliatkan badannya.
Namun Edwin menarik Meisya duduk lagi.
"Aku ngantuk kak bener, udah ya aku hmmppp," Mei kaget karena tiba-tiba Edwin telah mencium bibirnya dengan lembut, agak lama ia merasakan kelembutan bibir Edwin, namun saat tangan Edwin mulai menyentuh leher dan turun ke dadanya, Meisya mulai mendorong dada Edwin pelan dan tangan Edwin ia pegang dan ditariknya dengan pelan.
"Nggak boleh kak, nggak boleh, nunggu empat bulan lagi," Meisya dapat bernapas lega setelah dapat terlepas dari ciuman Edwin.
Edwin memeluk kepala Meisya ke dadanya.
"Makasih mengingatkan aku, aku suka lupa kadang Mei," terdengar suara Edwin yang masih parau.
"Bukan lupa, napsu kali," terdengar tawa pelan Mei dan melepaskan pelukan Edwin, dan Edwin juga tertawa menanggapi gurauan Meisya.
"Kalo dah napsu emang suka lupa kan Mei," Edwin mengacak-acak rambut Meisya.
"Kalian belum juga tiduuur, ayo tidur dah jam berapa tuh," tiba-tiba bu Minda mucul diantara mereka.
"Ia ibu, ini dah mau masuk kamar," ujar Mei melangkahkan kakinya ke kamar sambil tersenyum. Setelah Mei menghilang ke dalam kamar, bu Minda menjewer telinga Edwin dan Ed mengaduh meski tidak sakit.
"Anak nakal, udah dibilangin nunggu empat bulan lagi kok, masih saja nakal tuh tangan," bu Minda terlihat marah dan Edwin nyengir-nyengir nggak jelas.
"Iya iya maaa ampun, Ed tidur aja deh ma," Edwin melangkah ke kamar sebelah dan bu Minda pun masuk ke kamar Meisya.
***
Pagi-pagi Mei terlihat segar dan Edwin juga sudah siap menunggu di sofa.
"Kamu ngapain pake topi segala, nggak panas ini?" tanya Edwin sambil tertawa dan mendongakkan kepalanya melihat Mei yang tiba-tiba berdiri di hadapannya.
"Lagi males ngikat rambut, biar nggak terbang-terbang nih rambut aku topiin aja," Mei tersenyum manja.
"Kakak juga rapih banget, kayak mau kemana?" tanya Meisya.
"Dingin Mei, makanya aku pakek baju ginian," jawab Edwin bersedekap.
"Hei kalian mau ke mana?" tanya bu Minda heran.
"Ayolah ma, jalan-jalan, tak jauh dari sini ada foodtruck dengan macam-macam makanan untuk sarapan," ajar Edwin dan diiyakan oleh Meisya.
"Males ah, mama belikan aja, mama nunggu di sini, mama masih belum mandi juga," bu Minda terlihat malas dan capek.
"Ayola ibu jalan-jalan bentaaar aja, nggak papa meski belum mandi, masih keliatan cantik kok," ajak Mei juga dan bu Minda menggeleng.
"Iya dah kalo gitu kami jalan dulu ya mama, ntar mama mau dibeliin apa sarapannya?" tanya Edwin.
"Sembarang dah, mama mau," jawab bu Minda mendekap kedua tangannya ke dadanya.
Edwin dan Meisya berlalu dari hadapan bu Minda dan menutup pintu apartemen.
Bu Minda segera masuk ke kamar Mei untuk mandi. Dan terlihat segar setelahnya.
Terlihat bu Minda menyeduh teh hangat dicampur sedikit lemon, duduk di sofa dan menyesapnya perlahan.
Tak lama terdengar ketukan pintu, ah cepet banget anak-anak itu kembali, deket banget paling tempatnya, pake acara ngetuk pintu segala, biasanya mereka asal buka saja.
Pikir bu Minda, yang melangkahkan kaki ke pintu dan membukanya perlahan.
"Ben....."
Bersambung #13
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel