Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 27 Juni 2021

Soto Untuk Kakak #13

Cerita bersambung

Aku mengantarkan ponselmu, James yang menemukan di kamar," papa James terlihat menyerahkan ponsel bu Minda.
Tanpa berkata apapun bu Minda menerima ponsel miliknya dan hendak menutup pintu yang di tahan oleh papa James.

"Aku baru sampai setelah menempuh penerbangan empat jam lebih, tidak inginkah kau menawariku untuk duduk?" tanya papa James.
"Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, pergilah," usir bu Minda dengan halus.

Papa James mendorong pintu perlahan dan tanpa disuruh ia berjalan menuju sofa dan duduk di sana.
Bu Minda hanya memperhatikan saja ia berpikir bahwa mereka bukan anak muda lagi yang harus saling dorong, dan saling usir.

Bu Minda duduk di sisi yang agak jauh, menunduk menatap ponselnya dan perlahan menatap papa James dengan pandangan datar.

"Pulanglah, aku pikir kita sudah selesai, sejak orangtuamu mengusirku dan kamu hanya menatap kepergianku tanpa berusaha mencegah, pergilah, cerita kita sudah selesai, aku berterima kasih padamu karena kisah pahit kita yang mempertemukan aku dengan lelaki bagai malaikat, mau menerimaku yang hamil dua bulan dan mencintai bayi orang lain melebihi anak kandungnya sendiri, mencintaiku tiada batas hingga sanggup membalut luka menganga yang seakan tidak akan pernah sembuh, namun dalam waktu singkat mampu membuatku melupakanmu hingga tak ada sisa dalam hati dan pikiranku untuk sekedar mengingat bayangmu," bu Minda berbicara sangat lancar dan datar,  tanpa emosi.
Papa James terlihat menghembuskan napasnya dengan berat.

"Maafkan aku," hanya itu ucapan yang ke luar dari papa James.
"Aku sudah memaafkanmu, puluhan tahun lalu, selesai sudah semuanya, tidak perlu kau ingat lagi, anggap cerita kita tak pernah ada, istrimu baru kemarin dimakamkan, pergilah,hargai dia yang pasti melihatmu dengan kecewa dari alam sana," kembali bu Minda mengusir papa James.
"Sejak awal dia tahu jika aku tak pernah mencintainya," ucap papa James.
"Aku tidak mau tahu itu,  setidaknya hargai perasaan James, ia sangat mencintai mamanya," ujar bu Minda melihat ke sisi lain.

Tiba-tiba pintu terbuka dan Edwin serta Meisya kaget.
"Om Beeen, ah pasti mengantar ponsel mama kan, kemarin aku menelpon James," ujar Edwin dan papa James tersenyum sambil mengangguk.
"Ayolah sarapan om, ini kami beli agak banyak,  kami sudah sarapan tadi," Meisya menata berbagai macam makanan dalam piring.

Menyilakan papa James makan bersama bu Minda yang ditemani Meisya dan Edwin.
"Berapa lama om di Sydney?" tanya Edwin sambil menikmati moccacino buatan Mei.
"Bentar lagi juga pulang, ada yang harus om urus sebentar, ada perusahaan om di Sydney, James sudah om sarankan untuk berhenti menjadi dosen, om butuh bantuannya untuk mengelola beberapa perusahaan om, tapi entahlah, dia merasa panggilan jiwanya tidak di bidang bisnis," papa James terlihat menyudahi sarapannya dan menghabiskan air putih yang ada didepannya.

"Jangan lupa untuk mengundang om dan James saat kalian menikah, kami pasti datang, om pulang dulu ya,  makasih suguhannya, aku pulang dulu Minda," papa James pamit pada Ed, Mei dan bu Minda.
Edwin dan Meisya mengantar sampai pintu, sementara bu Minda tetap duduk di ruang makan, menghabiskan sarapannya yang tinggal sedikit.
Edwin duduk di depan mamanya dan menatap mamanya yang menata piring kotor yang segera diambil oleh Meisya dan diletakkan di tempat cuci piring.

"Siapapun yang akan diundang oleh kami nanti pada saat akan menikah, kami akan minta persetujuan mama," ujar Edwin tiba-tiba. Bu Minda menatap Edwin, ia mengerti ke mana arah pembicaraan Edwin.
"Meisya duduklah sayang, ada yang ingin ibu sampaikan pada kalian," Bu Minda meliha Meisya yang melangkah pelan dan duduk di sampingnya.
"Benjamin chua adalah masa lalu mama, saat ini dia sudah tidak ada hubungan dengan mama, silakan jika kalian akan mengundang saat kalian menikah, tidak masalah bagi mama, bagi mama yang penting adalah kebahagiaan kalian, Edwina juga beserta anak dan suaminya, dulu mungkin dia segalanya bagi mama, semua mama serahkan karena mama pikir dia orang yang patut diperjuangkan, dia orang baik, sabar juga, hingga keluarga mama bisa menerimanya dengan tangan terbuka, tapi bagi keluarga Ben, mama adalah duri yang akan menimbulkan masalah, sampai suatu saat kekecewaan, rasa sakit, hinaan yang amat sangat mama terima wantu Ben mengajak mama memberitahu bahwa kami akan segera punya anak, orang tua Ben menuduh mama menjebak anaknya,  mengincar harta keluarga mereka, mereka lupa jika harta keluarga mama juga tidak kalah dari mereka, yang membuat mama semakin terpuruk saat mama melangkah meninggalkan rumah keluarga besar Ben, ia hanya menatap mama dengan pandangan sedih, tanpa sedikitpun ada usaha untuk mengejar mama, makanya mama tidak menyesal meninggalkannya, sampai akhirnya mama menangis pada sahabat mama, Seno yang dengan tulus mau menikahi mama, menyayangi Edwina lebih dari Edwin, menyayangi mama lebih dari dirinya sendiri yang akhirnya mampu membuat mama benar-benar jatuh cinta padanya, jadi kehadiran Ben lagi saat ini bagi mama tidak ada artinya, mama tidak menaruh dendam, sakit hati dan semacamnya, sudah selesai, tak bersisa, hal wajar jika di awal mama agak kaget melihatnya lagi, tidak usah kamu ceritakan hal ini pada Edwina ya Edwin, Meisya," ujat bu Minda mengakhiri ceritanya.
"Ya ma, Ed benar-benar nggak nyangka, kisah hidup mama sesedih ini, maafkan Edwin jika menambah beban mama," ujar Edwin menatap mamanya dengan sedih.
Meisya hanya diam tanpa mengatakan apapun.
"Oh ya mana gambar-gambar persiapan pernikahan kalian yang mama berikan tadi malam?" tanya Bu Minda pada Mei. Meisya menyerahkan pada bu Minda setumpuk gambar dan terlihat mereka berdiskusi dengan serius.
***

Kelelahan terasa juga akhirnya bagi Meisya, Edwin dan bu Minda karena cukup ribet menentukan hal yang cocok bagi pernikahan mereka.
Kadang Edwinnya ok eh Meinya yang ogah.
Kadang Mei merasa ok, eh Edwinnya yang merasa tidak cocok, warna terlalu cewek lah.

"Kalian ini gimana sih, katanya tadi malam sudah ok kok masih berantem aja sekarang?" tanya Bu Minda heran.
"Iya ya,  perasaan semalam pilihan kita ok, kok sekarang jadi gini?" Edwin menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Iya dah ibu, Mei ikut kak Ed aja dah biar gak ribet," akhirnya Mei mengalah.
"Jalan-jalan yok bertiga, kemanaaa gitu," ajak Edwin.
"Ke Darling Harbour aja yuk kak," ajak Mei semangat.
"Ngapain juga ke situ, cuman liat-liat ombak, orang jalan-jalan, duduk-duduk di cafe," sahut Edwin terlihat tak suka.
"Eh nggak tau nih kakak, ya kita duduk-duduk di cafe yang ada di situ, pemandangannya mendamaikan hati deh kak, bener," ujar Mei cepat.
"Hayooo sama siapa ke sana?" tanya Edwin penasaran.
"Iiih pasti nuduh aku bareng James, aku bareng Gavin tau," Mei terlihat memberengut.
"Aaah sudah-sudah, ayo cepat ganti baju, kita jalan aja, ntar kemana kaki melangkah," ujar bu Minda melerai mereka.

Akhirnya mereka jalan-jalan di sekitar apartemen Meisya, ada pusat pertokoan yang tak jauh di sekitar apart Meisya.
Edwin mengantar kedua wanita yang dicintainya berbelanja khas wanita, kosmetik, baju, sepatu dan semacamnya. Edwin merasakan kesenangan yang baru,  saat memilihkan baju untuk Meisya yang berbadan mungil.

"Ini aja cocok sayang," ujar menggoda Mei dan Mei terbelalak saat Edwin berbisik menunjuk sebuah lingeri yang terlihat seksi.
Mei memukul Edwin pelan dan wajahnya memerah.
"Ih gila kamu ya, ogah aku pakek gituan," Mei menyembunyikan wajahnya di bahu Edwin. Dan Edwin tertawa terbahak-bahak. Bu Minda yang melihat keduanya hanya geleng-geleng kepala.
"Nggak papa kalo mau Mei, nanti dipakai malam pertama," bu Minda terlihat senyum-senyum dan Mei semakin salah tingkah.
"Nggak ibu, Mei nggak mau pakek yang gituan," ucap Mei menggeleng pelan. Dan Edwin mendekap kepala Meisya ke dadanya sambil tertawa.
"Kakak nggak maksa sayang, ya nggak usah kalo nggak mau,  ntar juga nggak pake baju pas malam pertama,  nggak usah ribet," ujar Edwin dengan santai namun mendapat pukulan pelan di bahunya dari bu Minda.
"Ih kamu loh Ed,  kalo ngomong suka nggak ada remnya," bu Minda terlihat memberengutkan wajahnya. Edwin hanya tertawa dan mereka melangkah melanjutkan ke gerai yang lain.
***

Bertiga mereka memasuki apartemen Mei dengan bawaan bejibun.

"Bener-bener ya kalo wanita belanja suka kalap,  mama tetep ajaaaaa belanjaan segini banyak," ujar Edwin meletakkan semuanya di ruang tamu dan dia melangkah masuk ke kamarnya.
Terdengar tawa bu Minda dan Mei yang berderai.

"Ganti baju aja dulu Mei, ntar kita pilah-pilah mana yang punya ibu, mana yang kamu," bu Minda dan Mei akhirnya masuk kamar dan berganti dengan baju rumah.

Mei terlihat segera menuju dapur menyiapkan makan malam.
Ia mengeluarkan daging has dalam untuk dijadikan steak, juga wortel, buncis dan kentang sebagai pelengkap.
Mengerjakan semuanya dengan sigap, sendiri tanpa bantuan siapapun.

"Loh kok masak Mei,  katanya mau milah ini barang-barang kita," kata bu Minda setelah ke luar dari kamar.
"Nggak papa ibu yang milah duluan,  Mei mau masak dulu ibu,  bentar kok ini," Mei masih asik di dapur.
***

Edwin dan bu Minda makan malam dengan lahap.
"Sausnya enak banget Mei,  ibu pengen belajar bikin," ujar bu Minda. Yang dijawab oleh tawa Edwin.
"Kok kamu ketawa Ed?" tanya bu Minda pelan, terlihat tak senang.
"Alah mamaaa paling cuman numpuk resep aja bejibun tapi nggak pernah di praktekin," ujar Ed yang disambut oleh tawa Mei dan bu Minda.

Setelah makan Mei segera melihat-lihat apa yang dibelikan oleh bu Minda karena seingatnya ia hanya membeli 1 dress dan 1 lipstik, bu Minda membelikannya bermacam-macam barang khas wanita.

"Ibuuu makasih banyak, ini kok banyak banget?" tanya Mei sungkan.
"Nggak papa, kan belikan mantu," jawab bu Minda yang disambut dengan senyuman Mei dengan wajah memerah.
"Aku ngantuk Mei, besok pagi ibu sudah balik ke Indonesia," bu Minda berjalan ke arah kamar Mei dan mulai merebahkan badannya.
"Kak, aku tidur ya, capek bener," Mei hendak berdiri saat Edwin tiba-tiba menariknya lagi ke sofa dan mencium bibir Mei dengan sekali sentakan.
Mei yang tidak siap sempat gelagapan namun akhirnya Mei memeluk Edwin, lalu mendorongnya pelan saat tangan Edwin sudah menjelajah ke mana-mana.

"Kak, ah sudah dibilangin kok, nunggu empat bulan lagi, ih ini," Mei menepuk pipi Edwin perlahan, Edwin memandangi Meisya dari jarak dekat, menenangkan gemuruh dadanya dan sekali lagi sekilas ia mencium bibir Meisya.

"Besok kakak balik dulu, jaga diri baik-baik yah, love you Mei," suara Edwin terdengar parau, ia memeluk Meisya sekali lagi, mendekap kepala Meisya ke dadanya dan menikmatinya sesaat sambil memejamkan mata.

Mei melepas pelukan Edwin dan mencium pipi Ed sekilas.
"Selamat tidur, love you more kak," Mei tersenyum dan melangkah pelan ke kamarnya.
***

Pagi-pagi bu Minda dan Edwin sudah bersiap berangkat ke bandara. Bu Minda dan Ed bergantian memeluk Meisya, saat Edwin tak juga melepas pelukannya, bahunya di tepuk oleh mamanya.

"Ayooo sayang,  ntar ditinggal pesawat," ajak bu Minda.
Edwin melepas pelukannya, mencium kening Mei pelan dan melangkah meninggalkan apartemen Meisya dan menoleh sekali lagi.
"Love you Mei," teriak Edwin.
"Love you,  too,  kakak," Meisya melambaikan tangannya pada Edwin, bu Minda hanya tersenyum melihat tingkah keduanya.
***

Meisya bergegas bersiap untuk ke kampus,  mengambil tas dan mencari sepatunya, saat bel pintu berbunyi.

"Ngapain si Gavin pagi-pagi ngerepotin aja," Mei melangkah dengan kesal,  membuka pintu.
"James?" Mei semakin kaget saat James tiba-tiba memeluknya di mulut pintu.

==========

Sejenak Meisya membiarkan James memeluknya, lalu mendorong badan James perlahan.
Namun James semakin mengeratkan pelukannya.

"Sebentar Mei, sebentar, biarkan aku melepas lelah dan kesedihanku, aku menahan ini sejak kau tiba di Perth," suara James terdengar parau dan sengau, menangiskah James?

Saat James sedang memeluk Mei, Mei melihat Gavin yang lewat dengan mata terbelalak dan mulut terbuka lebar, lalu melangkah perlahan tanpa berisik sambil menjulingkan matanya dan menghilang, mampus akuuuu, pikir Mei.

"James, sudah ya, nggak enak dilihat orang, kita ada di mulut pintu," ujar Mei dan James melepaskan pelukannya.
Menatap wajah Meisya sejenak dan mengalihkan pandangannya sambil mengatupkan gerahamnya dan memejamkan matanya.

Mei dan James berjalan beriringan, duduk di sofa dan terlihat jelas kelelahan serta kesedihan James,  matanya yang memerah semakin menegaskan bahwa ia baru saja menangis meski tak bersuara.

"Maaf mengganggumu," ujarnya pelan. Mei hanya tersenyum.
"Ada yang mau kamu sampaikan?" tanya Meisya. James menggeleng.
"Aku hanya lelah Mei, setelah pertemuan papa dengan mama Edwin, aku baru tahu sekarang,  mengapa papa tak pernah terlihat mesra pada mama, mengapa mama sering menangis sendiri di tengah malam. Mereka memang tidak pernah terdengar bertengkar,  karena mereka sangat jarang berkomunikasi. Aku bahkan lebih sering melihat papa tidur terpisah dengan mama, kasihan mama," James terlihat semakin sedih, meremas rambutnya perlahan dan menyisir kembali dengan jarinya.
"Yah bu Minda juga bercerita banyak, tentang Kekecewaannya pada papamu, yang seolah membiarkannya menanggung sendiri beban hidup setelah ia hamil dua bulan, papamu tidak berbuat apa-apa saat keluarga besar papamu mengusir bu Minda, hingga akhirnya ia menikah dengan sahabatnya yang mau menerima segala derita bahkan sanggup menghapus semua kelelahan bu Minda, Bu Minda terlihat tidak ingin mengingat semua kisah masa lalunya James," ujar Mei perlahan dan hati-hati.
"Aku mengerti Mei,  aku bisa merasakan pedihnya penderitaan mama Edwin," sahut James masih tetap melihat ke arah lantai.
"Mau minum James?" tanya Mei. James menggeleng.
"Kamu mau ke kampus?" tanya James sambil menatap Mei. Mei mengangguk.
"Kita bareng aja," James bangkit dan Meisya mengekor di belakangnya.
"Kamu mau apa ke kampus?" tanya James pada Meisya saat mulai memasuki area kampus.
Mei memperlihatkan tugasnya pada James.

"Nih mau nyerahkan ini pada penggantimu yang menjengkelkan,  ini revisi ketiga tau, huh nyinyir banget dia, bikin kesel, capek pikiran, teman-teman sekelas pada gak betah, pengen kamu segera datang," Mei terlihat sangat kesal sedang James terbelalak.
"Kkaamu, seoramg Meisya, sampai revisi tiga kali?" James terlihat sungguh heran, dia menggeleng perlahan dan tersenyum.
"Iyyaaaa, sudah aku lawan, tapi dia pandai berkilah, yah daripada gak dapat nilai, aku pasrah, bukan cuma aku yang kayak gini James teman-teman juga, cuman aku saja yang sampe revisi tiga kali, apa nggak bikin sebel," suara Meisya terdengar marah.
"Tuh dia James muncul yang kita bicarain, panjang umur tuh bocah," ujar Mei menahan marah.
"Bocah?" tanya James.
"Lah usianya gak beda jauh sama aku, bedanya cuman dia menempuh S 3 sekarang," Meisya masih terdengar marah.

James dan Meisya berjalan semakin dekat dengan orang yang dimaksud mereka berdua.
"James kapan datang, turut berbela sungkawa ya James, maaf aku nggak bisa datang," ujarnya pada James.
"Nggak papa Kent, aku datang sebelum mama meninggal," jawab James.
"Maaf Mr. Kent saya mau menyerahkan tugas saya," ujar Mei mengalihkan pembicaraan mereka. Terlihat Kent yang langsung kehilangan senyum di wajahnya dan menatap Mei dengan serius.

"Akan saya koreksi lagi," sahut Kent menerima tugas Meisya.
Meisya mengangguk dan ia menyentuh lengan James, sebelum ia memberi kode bahwa ia akan melanjutkan masuk ke gedung jurusannya.
James mengangguk.

"Nanti aku hubungi kamu Mei," teriak James agak keras. Mei menoleh dan mengangguk.
"Wanitamu?" tanya Kent sambil tersenyum kecut.
"Kalau iya kenapa, kalau bukan kenapa?" James balik bertanya.
"Waduh kok balik tanya senior?" Kent menggaruk-garuk kepalanya.
"Kalau iya,  adu maaf, aku sempat naksir hehehe, kalau bukan,  boleh aku kejar dia?" wajah Kent berubah menjadi lucu karena menahan tawa dan agak takut juga, mengingat James adalah seniornya sejak kuliah sampai sama-sama menjadi dosen.

"Boleh aku pukul dadamu,  atau lenganmu?" tanya James sambil memajukan wajahnya dan Kent tertawa berderai.
"Maaf maaf James, aku minta maaf jika telah mengganggu wanitamu, sungguh aku pikir dia belum punya cowok karena selama dua minggu aku ada di kelasnya dia hampir tidak pernah bersama laki-laki," Kent masih saja tertawa.
"Bukan wanitaku Kent, dia calon istri kakakku," James tidak tersenyum saat mengatakan itu, dia melanjutkan langkahnya dan Kent mengejarnya.

"James, benar apa yang kamu katakan, tapiiii tapi aku yakin ada perseteruan atau paling tidak rebutan antara kau dan kakakmu, karena tadi aku lihat kamu seperti berat mengatakannya," Kent masih saja menjejeri langkah James, seketika James berhenti dan menatap wajah Kent.

"Benar kata Meisya, kamu cerewet," James melanjutkan langkahnya dan terdengar tawa Kent yang sangat keras.
"Dia mengatakan seperti itu, ah Mei Mei, aku sangat menyukai kulit eksotisnya James, matanya yang lebar dan.." seketika Kent berhenti saat James memegang lengannya dan berkata.
"Bisakah kau berhenti bicara tentang Meisya, bocah?" tanya James dan berlalu masuk ke ruangannya, Kent masih saja mengekor dan duduk di depan James.

"Pasti dia lagi yang panggil aku bocah, benar kan James?" tanya Kent penasaran.
James mengangguk dan mulai konsentrasi pada laptop yang mulai ia buka.

"Bisakah kamu ke luar Kent, aku ada pekerjaan," James melihat dengan ekor matanya Kent yang berdiri dari duduknya dan ke luar dari ruangannya.

Saat Kent berbelok ia hampir bertubrukan dengan Meisya yang tiba-tiba saja muncul.

"Maaf, " kata Mei pelan.
Kent hanya mengangguk.
Mei terus melangkah dan masuk ke ruangan James.

James melihat ke pintu saat Meisya masuk dan duduk di depan James.
"Banyak kerjaan James?" tanya Meisya. James mengangguk, dan Meisya berdiri.
"Hei,  mau ke mana?" tanya James menahan Mei.
"Kamu kan banyak kerjaan, lagian kan kamu bilang setelah dari Korea kamu akan menjaga jarak denganku, jadi maaf kalo akunya masuk ruangan kamu," Mei melangkah ke arah pintu.
"Mei, tunggu," James berteriak dan Mei menoleh, mengangkat alisnya.
"Tanpa menjaga jarakpun, kita sudah ada jarak kok Mei, kamu akan segera menjadi milik Edwin, aku hanya akan jadi temanmu, bolehkan?" tanya James, Mei tersenyum dan mengangguk.
"Masih mau pergi?" tanya James. Mei mengangguk lagi.
"Aku laper," Mei menghilang di balik pintu dan James berteriak.
"Meeeii tungguuuu..."
***

Meisya dan James sedang asik makan siang di cafetaria kampus, saat Kent datang dan bergabung. Mei lebih banyak diam dan menikmati makanannya.

"Tugasmu sudah benar Meisya, tak perlu revisi lagi," ucap Ken tiba-tiba.
"Terima kasih Mr. Kent," Mei mengangguk pelan dan melanjutkan makannya.
James menahan senyumnya saat melihat wajah Kent yang tanpa berkedip melihat Mei dari jarak dekat.
"Panggillah aku Kent saja,  toh tidak sedang di kelas," ujar Kent berusaha akrab. Mei hanya menggangguk sekali lagi.
"Aku duluan ya James, mau langsung pulang, nggak enak badan kayaknya, kecapean sejak yang dari Perth itu," Mei memegang bahu James saat akan berdiri dan oleng seketika, James cepat memegang lengan Mei.

"Kamu nggak Papa Mei?" tanya James ikut berdiri. Kent pun memandang Mei dengan kawatir.
"Nggak papa, pusing aja dikit, ntar aku tidur paling dah sembuh, bai James, saya duluan Mr. Kent," Mei.melangkah meninggalkan keduanya.

James dan Kent memandang Mei sampai menghilang dari pandangan keduanya.
James melihat wajah Kent yang masih saja melihat ke arah Mei menghilang.
James sekali lagi menahan senyumnya.

"Heeeii Meisya sudah lama ngilang Kent, kamu liat apa?" tanya James melanjutkan makannya. Kent geleng-geleng kepala.
"Entahlah mengapa aku jadi seperti tersihir jika liat wajahnya James, aku terlambat mengenalnya," Kent melanjutkan makan siangnya.

James tertawa pelan dan menyandarkan badannya ke kursi.
"Aku yang sejak awal mengenalnya waktu dia mahasiswa baru di sini saja sudah telat, apalagi kamu yang baru mengenalnya dua minggu." Kent tertawa dan mengangguk pelan.
"Kadang hidup tidak adil ya James, kita yang ganteng-ganteng gini, kok ya belum juga punya pasangan," tawa Kent terdengar membahana, James berdiri diikuti oleh Kent.
Ponsel James berbunyi dan ia mengangkat, Meisya, ada apa, pikirnya.

"Halooo ada apa Mei,  oh ini siapa?  Apa?  Di rumah sakit mana?  Iya iya,  saya ke sana..."
"James ada apa, Meisya kenapa?" tanya Kent.

Bersambung #14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER