"Ayo ibu, kak Edwina, aduh ini jadi kayak sempit ya tempatnya, heiiii Tiffany, Alissya ikut juga sayaaang, mau berlibur yaaaaa, ayo ayo duduk," Meisya berusaha akrab dengan calon kakak iparnya meski seumur-umur dia hanya tahu lewat foto dalam ponsel bu Minda.
"Eh iya kak Edwina, kenalkan ini James, dosenku, tapi udah akrab sama aku dan kak Edwin, dan ini om Ben, papanya James, ini kak Edwina om, kakaknya ka Edwin," mereka bersalaman, Edwina tersenyum ramah pada om Ben dan James.
"Hei mau kemana Tiffany, Alissya?" tanya Edwina saat keduanya bersalaman dengan om Ben dan James.
"Mau kasi salam sama grandpa, dan om ganteng, mama," keduanya berjalan mendekati om Ben dan James lalu bersalaman.
"Ah anak-anak yang cantik, sudah sekolah?" tanya om Ben. Tiffany dan Alissya mengangguk.
"Grandpa lucu kalo ketawa, kayak mama, matanya nggak keliatan," ujar Tiffany dengan lugu.
"Heeei Tiffany, nggak boleh sayang, nggak sopan," Edwina menarik anak-anaknya dan semuanya tertawa kecuali bu Minda yang tetap dengan wajah datarnya.
Akhirnya semunya duduk, om Ben, James dan Edwin di sofa ruang tamu, sementara, Meisya, bu Minda dan Edwina di ruang makan, anak-anak Edwina berlarian ke sana ke mari, dan masuk ke kamar-kamar.
Meisya dibantu bu Minda menyajikan makanan dalam piring dan meletakkan di meja ruang tamu dan sebagian di meja makan.
"Bagaimana hasil pemeriksaan dokter terakhir James?" tanya Edwin.
"Nggak papa, bagus, asal dijaga posisi siku tetap dalam posisi benar, arm slingnya jangan geser-geser, masalahnya Meisya kadang lupa jika dia cedera," jawab James dengan tenang.
"Bukan akunya lupa James, cuman kadang terasa pegal kalo pake arm sling terus, jadinya aku gerak-gerak," ujar Mei menyahut dari ruang makan yang jaraknya tidak jauh dengan ruang tamu.
Edwin tersenyum dan menatap Mei dengan pandangan mesra, Mei hanya mencibirkan bibirnya pada Edwin, James hanya menghela napas berat melihat pemandangan di depan matanya.
"Ayo om Ben, James, silakan di makan, kak Ed ayo, pasti lapar kan?" Mei menyilakan mereka untuk segera menikmati makanan yang di bawa bu Minda.
Bertiga mereka menikmati sarapan di apartemen Mei, Edwin melihat sesekali om Ben menatap mamanya yang juga makan dengan tanpa bersuara sejak mereka sampai di apartemen Meisya. Dan om Ben menatap Edwina lamaaa sampai oleh James lengan papanya disentuh dan diingatkan untuk pulang.
"Om pamit pulang dulu ya Edwin, Meisya, bukan pulang sih, mau menemui rekanan bisnis om di sebuah rumah makan, terima kasih suguhannya, Minda aku pulang dulu," Om Ben tersenyum dan menganggukkan kepalanya pada kak Edwina. Dan anak-anak Edwina berebut bersalaman pada om Ben dan James.
Bu Minda hanya mengangguk melihat om Ben sekilas dan menyalami James dengan tatapan lembut.
"Makasih telah menjaga Mei untukku James," ucap Edwin saat mereka berada di pintu apartemen.
James tersenyum mengangguk dan memukul lengan Edwin perlahan.
"Kau menyiksaku Ed," ucap James sambil tersenyum.
"Maafkan aku, aku tahu kau tersiksa tapi aku juga yakin, bahwa Meisya ada di tangan yang tepat," Ed memeluk James dan menepuk bahunya perlahan, bersalaman dengan erat dan melambaikan tangan saat James akan melangkah meninggalkan apart Mei.
Edwin masuk dan mendatangi Meisya yang mengangkat piring kotor dengan tangan kanannya.
"Taruk aja sayang, biar aku yang bawa ke dapur," Edwin mengambil piring di tangan Mei dan cup... Bibir Ed mendarat tepat di bibir Mei, Meisya kaget dan menahan malu saat bu Minda dan kak Edwina melihat kejadian itu.
"Waaaah Edwin banyak kemajuan ya maaaa, ternyata deh, dulu dia nggak se ekspresif ini ya maaaa," Edwina tertawa dan melihat mamanya hanya tersenyum simpul.
"Hmmmm kamu nggak tau takutnya mama Edwinaaa, kalo liat Mei dia kayak macan lapar, makanya mama nyuruh keduanya cepet nikah, mama percaya sama Mei, sama Edwinnya mama yang takut," ujar mama melirik Edwin.
"Pemanasan maaa, biar nggak kaku ntar, hampiiiiir deh ma aku mau nikah, nggak sabar rasanya," ucap Edwin yang ditertawakan oleh Edwina. Wajah Meisya bersemu merah.
"Ntar ini gimana tidurnya ma, pasti deh aku di sofa," Edwin terdengar seperti mengeluh. Dan Meisya terbahak melihat wajah Edwin yang terlihat seperti memelas.
"Ya iyalah, aku sama Meisya, trus di kamar sebelah Edwina sama anak-anaknya, kamu ya di sofa Ed, masa Edwina sama anak-anaknya harus ngalah sama kamu?" Bu Minda hanya geleng-geleng kepala melihat Edwin yang merebahkan badannya di sofa dengan wajah tak rela.
"Coba Mei nemani aku tidur di sofa, aku bisa betah berhari-hari di sini ma," sahut Edwin yang disambut tawa Edwina.
"Hahahaha maaaa mamaaa aku bener-bener menemukan Edwin yang laaain banget, kok bisa ya ma, aduh segitunya ya ma Mei ngubah Edwin jadi gini," Edwina masih saja terbahak-bahak. Meisya jadi semakin malu dan mangkel pada Edwin.
"Ya nggak bisa deh kamu bilang Mei ngubah Edwin, Edwinnya aja yang ih nggak tahulah mama, makanya mama ketar ketir kalo Edwin sendirian ke sini trus nggak pulang-pulang ke Indonesia," bu Minda terlihat merapikan makanan yang ada di meja makan.
"Kalian ibu-ibu, nggak tau pesona Meisya begitu kuat menarik seluruh tubuhku untuk selalu berada di dekatnya, memeluk dan menciumnya," Edwin berbicara sambil memejamkan matanya di sofa. Edwina kembali tertawa geli.
"Jadi banyak omong dia ya ma, biasanya juga irit," ujar Edwina disela-sela tawanya.
"Kalo sama orang lain tetep aja dia irit dan cuek, sama Mei aja dia kegatelen," bu Minda melihat Edwin yang pura-pura tidur dengan sebal, Edwin terlihat menahan senyum. Sementara Meisya yang menahan malu merah padam hanya diam saja.
"Eh Edwina, mana anak-anakmu kok nggak ada bunyinya, ya Tuhaaan mereka berdua tidur nih di kamar sebelah," bu Minda geleng-geleng kepala melihat kedua cucunya yang sudah tidur sangat nyenyak, dibetulkannya posisi mereka dan diselimuti sampai ke dadanya.
"Mei, ibu mau pakai kamar mandi dulu ya," ujar bu Minda melangkah ke kamar mandi. Sementara Edwina merebahkan badannya di samping kedua putrinya.
Mei masih berada di dapur mengatur piring-piring yang sudah dicuci bu Minda pada posisi semula dengan hanya menggunakan tangan kanannya.
Mei memekik pelan saat Edwin kembali mencium pipinya.
"Kaaak ada mama dan kak Edwina, ih ini," suara Mei terdengar hampir berbisik. Edwin tak mempedulikan ia malah memutar badan Mei menghadap wajahnya dan mendaratkan bibirnya pada bibir mungil Meisya. Meisya yang awalnya menolak akhirnya terhanyut dalam dekapan Edwin. Dan mendorong badan Edwin dengan tangan kanannya saat napasnya mulai terasa sesak.
"Kok terburu-buru sih sayang," suara Edwin terdengar parau.
"Sana gantian sama mama, ke kamar mandi dulu," bisik Meisya. Edwin jadi mengerti dan menahan senyum.
"Semakin dewasa juga akhirnya, biasanya kalo sudah mendorong pasti bilangnga ada yang ganjel di perut kak," Edwin mengacak rambut Mei dan keduanya menahan tawa.
"Eh ngapain tuh berdua di dapur?" tanya bu Minda tiba-tiba.
"Eh mama, sudah selesai ma, gantian aku mau pakek kamar mandinya," ujar Edwin melangkah cepat dan bu Minda jadi melihat aneh.
"Ngapain kamu, mau ke wc?" tanya bu Minda.
"Nggak ma, ini gara-gara Mei ma," ujar Edwin terbahak dan melesat masuk ke kamar mandi.
Sementara Meisya terlihat malu dan menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda.
"Istirahatlah Mei, jangan semua kamu kerjakan, pikirkan kondisi sikumu, oh ya, semuanya sudah beres Mei, ibu pakai WO milik teman ibu, yang biasa kerja sama dengan butik ibu," bu Minda duduk di ruang makan dekat Mei berdiri.
"Terima kasih ibu, tidak ada yang akan bisa saya balaskan pada ibu, saya hanya berjanji akan membahagiakan kak Edwin," ucap Meisya sambil duduk di dekat bu Minda.
"Ibu yang berterima kasih pada kamu, sudah menyembuhkan Edwin, membuatnya lebih ceria dari biasanya," bu Minda mengelus bahu Meisya perlahan.
"Jika mengingat lima tahun kebelakang, rasanya dada ibu sakiiit melihat anak ibu tersiksa, jarang bicara, murung, makanya sekarang liat Edwin kayak gitu bahagianya ibu Meiii, nggak bisa ditukar oleh apapun, terima kasih juga kamu bersedia segera menikah dengannya, cepat kasi ibu cucu ya Mei," bu Minda tersenyum dengan mata berkaca-kaca.
"Nggak usah diminta mama sayang, akan aku kasih tiga cucu dari aku dan Meisya, tiap tahun ma, tiap tahun Meisya akan melahirkan anak," tiba-tiba Edwin sudah ada di samping mamanya dan mencium pipi bu Minda. Bu Minda memukul lengan Edwin.
"Kamu kira mudah melahirkan, enak aja bilang tiap tahun," bu Minda menahan tawa melihat wajah Meisya yang terlihat merah dan melotot pada Edwin.
***
Sementara om Ben setelah bertemu rekan bisnisnya, menuju apartemen James dan mendapati James yang terlihat sibuk dengan pekerjaannya.
"Kalo papa mau tidur, tidurlah pa, istirahat dulu, mumpung masih sore, kalo mau balik ke Perth lebih baik besok saja," ujar James yang matanya tak lepas dari laptopnya.
Saat tak ada sahutan, James melihat papanya yang berselonjor di sofa dan matanya menatap langit-langit apartemen.
"Apakah wanita itu anak papa dan bu Minda, wajahnya sangat mirip papa," tanya James duduk di dekat papanya.
"Keyakinanku juga begitu James, ingin sekali aku memeluknya, dia tidak mengenalku sebagai papanya, karena memang aku tidak pantas mengaku sebagai papanya, aku tidak pernah ada di dekatnya, tapi aku ingin dia tahu, hanya sekedar tahu bahwa aku, secara biologis adalah papanya," ujar om Ben pelan.
"Kayaknya nggak mungkin pa, nggak ada cara untuk masuk, melihat tanggapan bu Minda, wajah dinginnya, ia tidak akan memberi papa kesempatan untuk mendekati Edwina," ujar James pelan.
"Mungkin ini cara Tuhan menegurku James, membiarkanku tersiksa dan menikmati penyesalan yang menyakitkan, karena aku membiarkan dan menyia-nyiakan dua wanita sabar yang ada di dekatku," suara papa James semakin pelan. James mengernyitkan keningnya.
"Minda dan mamamu, setelah mamamu pergi, ada penyesalan dalam diri papa, mengapa papa tidak belajar mencintainya, papa hanya larut dalam penyesalan karena telah meninggalkan Minda dan menerima perjodohan dengan mamamu, mamamu wanita sabar dan baik, ia tetap melayani papa meski papa mengacuhkannya, papa memang tidak pernah kasar pada mamamu, tapi papa jarang berkomunikasi, papa tau ia mencintai papa tapi papa tetap saja mengacuhkannya, memilikimu adalah usaha mamamu, yang mengatakan pada papa bahwa ia akan memberiku anak laki-laki untuk meneruskan kejayaan perusahaan keluarga papa, hanya satu kali itu kami berhubungan, dan mamamu hamil, melahirkanmu, membesarkanmu, tapi papa sangat menyayangimu James, malah kamu lebih sering bersama papa saat kamu masih kecil, kamu tidak akan tidur sampai papa datang," om Ben masih menatap langit-langit.
James hanya diam menatap lantai tempatnya berpijak.
"Seandainya bisa, sebelum papa meninggal, Edwina tahu, bahwa papa adalah orang tua biologisnya, papa ingin memeluknya meski sekali saja," suara om Ben terdengar menahan tangis.
James menatap dari tempat duduknya, papa yang sangat ia kagumi karena kesabaran dan ketangguhannya dalam dunia bisnis. Ia tidak tahu apakah ada jalan untuk mempertemukan papanya dan Edwina.
***
Hari sangat larut, saat Edwina ke luar kamar, melihat Edwin yang tidur meringkuk di sofa, lalu melangkahkan kakinya ke dapur untuk mengambil minum, ia kaget karena menemukan mamanya yang duduk sendiri, menatap gelas kosong.
"Mama, ngapain di sini sendiri, gelap lagi, lampunya nggak dihidupin?" tanya Edwina, dan semakin kaget saat melihat mata sembab mamanya. Edwina menghidupkan lampu dan semakin terlihat mata dan hidung mamanya yang masih memerah.
"Mama haus, pingin minum aja," sahut bu Minda berusaha tersenyum.
Edwina mengambil air minum dan duduk di depan mamanya.
"Oh iya mama, tadi itu si James dosennya Mei kayak akrab banget ya sama Mei, Edwin, mama juga, trus papanya Edwin kok bisa panggil mama dengan nama mama langsung kayak dah temenan, dia pas pamit panggi Minda, gitu ke mama, emang udah kenal ma?" pertanyaan Edwina yang mendadak membuat bu Minda tersedak, Edwina memberikan air minumnya pada bu Minda.
"Iya iya, Mei memang akrab sama si James, mungkin karena mama James orang Indonesia sehingga sejak awal jadi mahasiswinya, Mei selalu dibantu sama James, trus kalo papa James mama taunya pas mama James meninggal, kan pas mama ke sini sama Ed mau bicarain persiapan pernikahan mereka, ya udah kami ke Perth, dan baru tau kalo papa James adalah kakak kelas mama pas mama kuliah di Singapura," bu Minda berusaha menjelaskan dengan wajar meski dadanya terasa berdentum tak tenang.
"Tapi wajah mama tadi kok gitu pas ada papanya James, kayak dingin, Edwina aja kaget liat mama gitu, tapi pas James pamit mama malah ramaaah banget, makanya Edwina sama Edwin bolak balik saling pandang, aneh deh mama, soalnya kami mengenal mama sebagai pribadi yang hangat, nggak pernah nyuekin orang dengan wajah datar," ujar Edwina panjang lebar.
"Paling mama pas capek itu Edwina, kan kita baru nyampe," bu Minda masih mencari alasan yang sekiranya logis.
"Ya aneh deh ma, masa capek cuma sama papanya James," Edwina tertawa pelan.
"Eh maaaa awas ada hawa-hawa mantan yaaaa, tuh kan wajah mama makin merah," Edwina tertawa keras sampai Edwin bangun dan mengucek matanya.
"Heh mesti deh, kalo ada dua wanita, bisa bangunin orang sekampung tawanya, eh nggak tau badan sakit semua tidur di sofa, maaa bentar aja ya aku mau tidur di kamar Mei, boleh ya?" Edwin terlihat memohon.
"Iya sana, tapi awas mama akan lihat kamu, Mei jangan diapa-apakan, langsung tidur, ngerti," bu Minda menatap Edwin dengan tatapan serius.
"Iya maaaa," Edwin berjalan gontai ke arah kamar Mei, merebahkan badannya pelan menghadapkan badannya pada Mei yang tidur terlentang, sesaat kemudian Edwin tertidur lagi, ia benar-benar capek.
***
Pagi saat semuanya belum bangun, Meisya sudah ke dapur, menyeduh coklat panas dan membuat teh madu untuk bu Minda, Mei sempat kaget sebenarnya saat bangun ada Edwin di sampingnya, saat ia ke luar kamar, Mei mendapati bu Minda yang tidur di sofa sangat nyenyak.
Tak lama bu Minda bangun karena mendengar dentingan sendok yang beradu dengan gelas.
"Kamu Mei?" tanya bu Minda.
"Iya ibu, ini Mei siapkan teh madu kesukaan ibu," bu Minda tersenyum dan melipat selimut lalu melangkah menuju kamar makan.
"Kamu masih ingat kesukaan ibu Mei," bu Minda mulai menikmati minuman kesukaannya.
Suara bel di pintu membuat Mei dan bu Minda bertanya-tanya siapa sepagi ini bertamu, Mei melangkah ke pintu dan membukanya.
"James, ada apa sepagi ini?" tanya Mei.
"Aku ada perlu pada tante Minda, beliau sudah bangun Mei?" James balik bertanya. Mei memanggil bu Minda, saat James di suruh masuk tapi menolak.
"Ya James ada apa?" tanya bu Minda lembut.
"Begini tante, bisa kita bicara di luar saja, di gazebo depan?" James berusaha sopan.
"Oh boleh-boleh, bentar ya tante mau pakai jaket dulu," bu Minda masuk dan terlihat memakai jaket tebal, lalu mereka berjalan beriringan ke luar.
Saat bu Minda ke luar, Edwina bangun.
"Ih pagi amat, sudah bangun Mei," sapa Edwina.
"Mama mana?" tanyanya lagi.
"Ke luar tadi di ajak James, paling jalan-jalan di sekitar sini, kan kalo pagi-pagi tak jauh dari sini ada foodtruck kak, enak-enak masakannya, yang punya orang Indonesia," ujar Mei menghabiskan minuman coklatnya.
"Oh yaaa ih mama nggak ngajak-ngajak, jauh ta Mei, aku pengen nyusul?" tanya Edwina.
"Ah nggak dekat kok kak, luruuus aja ke kanan, udah nanti ada yang antri rame, trucknya warna kuning cerah," ujar Mei menjelaskan.
"Ok aku nyusul, mumpung tuh anak-anak pada tidur nyenyak," Edwina berganti baju seadanya dan ke luar apartemen.
***
"Ada perlu apa James?" tanya bu Minda saat keduanya sudah duduk di gazebo.
"Gini tante maaf, apa tante tidak ingin mempertemukan Edwina dengan papa?" tanya James hati-hati.
Bu minda menghela napas berat.
"Maaf juga James, sejak lahir, Edwina tahu papanya adalah papa Seno, laki-laki yang ia kagumi, sayangi, bahkan dia selalu mengatakan bahwa papa Seno adalah cinta pertamanya, tante pikir biarlah seperti itu, sejak awal papa kamu tidak ingin ada di dekat kami, lalu mengapa setelah semua baik-baik saja ia muncul?" tanya bu Minda memegang lengan James.
" Sebenarnya selama ini papa juga tersiksa meninggalkan tante, selama puluhan tahun dengan mama, ia hanya sekali berhubungan dengan mama, itu pun karena mama berjanji akan memberi anak laki-laki sebagai penerus keluarga papa, baru papa mau, untung bayi laki-laki yang akhirnya lahir, tak terbayangkan penderitaan mama jika yang lahir bayi perempuan," ujar James dengan wajah sedih.
"Hidup ini pilihan kok sayang, papa kamu yang memilih hidup menyakitkan," jawab bu Minda.
"Jadi nggak bisa ya tante, papa bertemu Edwina secara pribadi mengenalkan dirinya sebagai papa biologisnya?" tanya James lagi.
"Apakah benar aku ada hubungan darah dengan laki-laki yang ada di seberang jalan itu ma?" suara Edwina mengagetkan bu Minda dan James yang tiba-tiba berdiri di belakang mereka, secara bergantian mereka melihat Edwina dan om Ben yang berdiri mematung memandang Edwina dari jauh.....
==========
"Mama, ada apa antara aku dan om Ben, apa ini akan menjawab pertanyaanku sejak kecil, mengapa wajahku tidak seperti mama dan papa?" Edwina memandang nanar pada laki-laki yang ada di seberang jalan, yang detik berikutnya sudah melangkah, sambil memasukkan tangannya dalam saku jaket, menunduk dan entah akan ke mana.
Bu Minda berdiri dan memeluk Edwina. Ia menangis sejadinya.
"Maafkan mama, maafkan mama yang tidak bisa menjadi mama terbaik untuk mu dan Edwin," ujar bu Minda dalam isakannya.
Edwina memeluk mamanya.
"Mama, aku sudah dewasa, mama jangan merasa bersalah, aku hanya ingin memastikan, tidak akan menyalahkan mama, selama aku jadi anak mama tidak ada yang salah dengan mama, mama dengarkan aku dulu, hentikan tangisan mama, aku hanya ingin kejelasan saja," Edwina melepas pelukannya, melihat mata mamanya yang penuh luka, ia semakin merasa bingung.
"Kalau boleh saya sarankan, lebih baik mari kita duduk, mari kita bicara baik-baik, ini memang masalah masa lalu, yang sangat menyakitkan jika dibuka, tapi akan lebih baik terbuka daripada akan selamanya menyimpan tanda tanya," ucap James perlahan.
Bu Minda dan Edwina akhinya duduk. Edwina menggenggam kedua tangan mamanya, memandang mamanya dengan tatapan iba, ia tidak mengira.mamanya menyimpan cerita masa lalu yang menyakitkan.
"Ceritakanlah mama, aku tidak akan memotong, tidak akan menyalahkan mama ato siapapun," Edwina memberi kekuatan pada mamanya, ia tetap menggenggam tangan mamanya.
Perlahan dan terbata-bata bu Minda menceritakan semuanya dari awal.
Edwina terperangah mendengar cerita mamanya, betapa hebat cobaan dan penderitaan mamanya, sementara James hanya menunduk mendengarkan cerita bu Minda.
Setelah selesai, James pun menceritakan kehidupan rumah tangga papa dan mamanya, Edwina kembali hanya menggelengkan kepalanya perlahan, ia berkali-kali menghembuskan napas berat.
Edwina mengelus lengan James perlahan, dan memandang wajah James yang baru disadari Edwina bahwa dirinya lebih mirip James dari pada Edwin.
"Mama, mama tidak perlu merasa bersalah atau apapun, takdir mama yang rumit seperti ini, rasanya tidak adil jika aku juga ikut memberi luka pada mama, dan aku ingin bertemu om Ben lagi mama, sebelum aku dan anak-anak kembali ke Singapura," Edwina menatap mata mamanya. Bu Minda hanya mengangguk.
"Silakan jika itu keinginanmu, namun permintaan mama, jangan menyuruh mama untuk duduk satu meja dengan kalian, silakan kalian bertemu di mana," bu Minda menatap Edwina dengan tatapan sedih.
James menatap sendu pada bu Minda. "Tante belum memaafkan papa?" tanya James.
"Sayaaang, tante sudah lama memaafkan papamu, bahkan sebelum Edwin lahir, tapi bukan berarti tante lupa pada apa yang ia perbuat, selamanya akan tante ingat, karena memaafkan bukan berarti tante harus berwajah manis dan tertawa riang bersama, tante bisa menjalani hidup normal, tidak mencaci papamu, bisa bersikap wajar padamu itu tandanya tante sudah memaafkan papamu," bu Minda menjelaskan sambil memegang tangan James dan James mengangguk perlahan.
"Boleh saya telpon papa tante?" tanya James.
"Silakan, duduklah di sini Edwina, mama mau masuk," bu Minda menyentuh lengan James perlahan, tersenyum dan melangkah masuk sambil menyeka sisa air matanya.
***
Bu Minda membuka pintu apartemen Meisya dan mendapati Meisya sedang duduk berdua dengan Edwin di sofa, terlihat Edwin yang menciumi kepala Meisya dan kaget saat bu Minda melangkah mendekati mereka.
"Mama jalan-jalan sama James, tadi kak Edwina nyusul ma, pengen tahu foodtruck langganan kita," ujar Edwin sambil menatap mamanya yang terlihat sedih.
"Mama nggak papa kan?" tanya Edwin menatap mamanya dan duduk di dekat Meisya.
Bu Minda menghembuskan napas dengan berat, memeluk lengan Meisya dan menyandarkan kepalanya pada kepala Meisya.
"Ibuuu, ibu nggak papa kan?" tanya Meisya pelan. Terdengar isakan bu Minda.
Bu Minda mulai bercerita tentang percakapannya dengan James, Edwina yang tiba-tiba muncul dan semua percakapan mereka bertiga.
"Mama kenapa nangis ma, kami nggak akan menyalahkan mama, ini takdir dari Tuhan yang terkadang kita sendiri nggak mampu untuk mikir mengapa ini terjadi, kami anak-anak mama, mencintai mama, apapun yang terjadi, mama dulu dan mama sekarang," Edwin memandang mamanya yang masih saja menangis.
"Mama hanya berpikir, mengapa setelah keadaan baik-baik saja, dia datang lagi, mama sudah memaafkannya berpuluh tahun lalu, tapi untuk bersikap baik lagi, wajar lagi rasanya tidak mungkin Ed," mama masih mengisakkan tangisnya.
"Mamaaaa, akan lebih baik begini, mama tidak akan punya beban lagi karena masalah sudah selesai dan kak Edwina sudah tahu, kami dibesarkan mama dengan kasih sayang dan kerendahan hati, papa mengajarkan untuk selalu bisa memaafkan orang betapapun sakitnya efek dari perbuatan orang lain, karena kebesaran hati kita ditentukan bagaimana cara kita menghadapi orang yang menyakiti kita," Edwin sampai berlutut di depan mamanya untuk menghentikan tangis mamanya.
Bu Minda akhirnya memeluk kepala Edwin kedadanya.
"Terima kasih kalian bisa memahami mama, mama bersyukur punya kamu, kakakmu, Meisya dan almarhum mas Seno yang selalu mendamaikan hati mama setiap mama dalam kesedihan," bu Minda mencium kepala Edwin. Dan menyusut air matanya.
Meisya memberikan tisu pada bu Minda untuk menghapus sisa air matanya.
***
Om Ben menatap Edwina dengan tatapan yang sulit diartikan, matanya terlihat berkaca-kaca. Edwina berdiri dan berjalan mendekat.
Om Ben mengulurkan tangannya hendak bersalaman namun Edwina memeluk om Ben dan merasakan dadanya yang tiba-tiba sakit dan berdegup kencang.
Om Ben menangis tanpa bersuara, air matanya mengalir deras, ia usap rambut Edwina, darah dagingnya yang selama berpuluh tahun sangat ingin ditemuinya.
Mata James berkaca-kaca melihat papanya yang mengeluarkan air mata dengan deras. Ia melihat pelukan erat papanya pada Edwina.
"Terima kasih telah memelukku, maafkan papamu jika kau mau menyebutku papa," suara om Ben terdengar terbata-bata.
"Nggak ada yang perlu dimaafkan pa, sudah jalan hidup kita seperti ini, aku tidak akan menyalahkan siapapun, aku bersyukur tumbuh dan besar dalam keluarga penuh kasih, sehingga saat mengalami goncangan seperti ini tidak mudah menyalahkan siapapun," Edwina mengurai pelukannya dan sesaat melihat wajah lelah di depannya.
"Boleh sewaktu-waktu aku menemuimu di Singapura?" tanya om Ben pada Edwina.
"Boleh, boleh jika papa ingin, asal papa menelpon dulu, kawatir aku sibuk dengan urusan perusahaan," Edwina duduk di samping James, James melihat Edwina dan menatapnya dengan penuh kelegaan.
"Terima kasih," ujar James.
"Yah, sama-sama, kita ditakdirkan bersaudara James, kita tidak tau takdir telah membawa kita sampai sejauh ini, sejak kecil aku selalu bertanya-tanya mengapa wajahku berbeda dengan papa, mama dan Edwin, setelah berpuluh tahun, inilah jawabannya," ujar Edwina menatap wajah James.
James menghela napas dan tersenyum sambil mengangguk pelan.
"Kita balik ke apartemen ya pa?" tanya James. Namun pembicaraan mereka terhenti saat terlihat Edwin dan Meisya yang mengejar anak-anak Edwina.
"Mamaaa, mama kok ninggalin Tiffany, malah di sini sama grandpa," Tiffany terlihat menekuk wajahnya.
"Hei sini anak-anak cantik, mau ikut grandpa jalan-jalan cari makanan, tuh di sana, ada burger enak, mau?" om Ben terlihat cerah seketika wajahnya.
"Mau maaauuu, ikut grandpa ya mama," anak-anak Edwina terlihat menarik-narik tangan Edwina.
"Ayolah sekalian saja yok bareng semua," ajak Edwina pada Edwin, Meisya dan James.
Anak-anak Edwina terlihat berlari-lari dengan riang. Sementara Edwin merangkul pundak Meisya dengan mesra dan sadar saat Edwina menepuk bahunya.
"Haduuuh brenti dululah kalian, ntar aja setelah nikah di puas-puasin mesra-mesraannya," goda Edwina. James hanya tersenyum melihat Edwin yang tertawa dan Meisya yang tersenyum menahan malu.
"Oh iya Ed, nanti waktunya ke dokter orthopedy, kontrol rutin Mei,"James mengingatkan Edwin. Edwin mengangguk sambil memperlihatkan jempolnya.
***
Bu Minda duduk di sofa, memeluk bantal ke dadanya.
Menghela napas dan ia merasa bersyukur semuanya berjalan di luar dugaannya.
Ia melangkah ke dapur dan mulai menyedu teh panas, mengiris lemon dan memerasnya pada teh yang akan dia minum, saat akan membuang lemon yang telah ia peras ke tempat sampah, bu Minda melihat ada semacam benda mencurigakan, agak tersembunyi diantara sampah-sampah kertas, ia ambil, ternyata testpack, dadanya semakin berdegup kencang saat melihat dua garis pada test pack tersebut ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel