Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 30 Juni 2021

Soto Untuk Kakak #16

Cerita Bersambung

Bu Minda memegang benda di tangannya dengan gemetar, ia takut jika Meisya yang memiliki benda ini, tapi rasanya tidak mungkin mereka akan melakukan tindakan sejauh itu, tapi mengingat Edwin yang seperti itu ia jadi kawatir.
Tiba-tiba kepala bu Minda terasa pening. Beginikah rasanya orang tuanya dulu saat tahu ia sudah berbadan dua, ada perasaan takut, was-was dan kekawatiran yang lain, dan merasa menjadi orang tua yang tidak berhasil mendidik anak.
Kini ia merasa Tuhan menghukumnya,meski belum jelas ini test pack siapa, tapi ketakutannya akan masa lalunya membuat bu Minda berkeringat dingin tanpa henti.
Perlahan bu Minda mengusap keringat yang mengalir dari kening dan lehernya. Jangan hukum hamba ya Tuhan. Bu Minda merintih dalam hati.
Hamil di luar nikah tetap hal yang tidak dapat dibenarkan sekalipun atas nama cinta.

Bu Minda mengambil tisu dan melipat benda itu ke dalam tisu, meletakkannya di dalam geganggamannya.
Bu Minda duduk di ruang makan, menyesap lemon teanya dengan pelan. Ia harus mencari jawabannya tanpa membuat tersinggung siapapun, untuk bertanya secara langsung pada Edwin atau Meisya ia tidak punya keberanian, apalagi sejak mereka tahu kisah masa lalunya.

Bu Minda tersentak dan kaget saat pintu menyeruak lebar diiringi keriuhan anak-anak Edwina dan suara-suara dari Edwin, Edwina dan Meisya.

"Maaa, mamaaa," teriakan Edwin membahana di dalam apartemen.
"Di sini mama, udah langsung keliatan kamu kok teriak-teriak," jawab bu Minda.
"Ini ma kami bawakan makanan untuk mama,  sarapan dulu ya ma," ucap Edwina. Bu Minda hanya mengangguk pelan, entah mengapa ia kehilangan selera makannya.
"Sayang kamu kecapean ya?" tanya Edwin pada Meisya yang tampak lelah.
"Iya capek lah, kita dari tadi jalan-jalan nyampe ke mana-mana, trus waktu sarapan tadi yang lain makan banyak, si Mei makan dikit banget," ujar Edwina.
"Males kak,  males makan, pengen tiduran aja,  sejak dari Perth itu memang gini aja bawaannya,  males aja," jawab Mei menyandarkan kepalanya di sofa.
Bu Minda mendekati Meisya dan memegang lengan kanannya.

"Kamu harus sehat Mei, makan lagi ya?" ucap bu Minda kawatir, melihat wajah pucat Mei.
"Nggak ibu, Mei nggak pingin makan lagi, mau tiduran dulu, bentar lagi mau ke dokter orthopedy," ujar Mei bangun perlahan dan membuka arm slingnya dan merebahkan badannya di kasur.
Edwin mengikuti Mei ke kamarnya.

"Heh, ngapain kamu ngikut Mei, ni anak ya, duduk di sini sama mama," teriak bu Minda setelah kembali ke ruang makan.
Edwin hanya garuk-garuk kepala. Terdengar suara tawa Edwina yang membahana.
"Bener-bener deh nih anak ma, tadi loh pas makan, ya nyuapin Mei lah, sesekali nyium kepalanyalah, dikira kita yang liat nggak rissssih kali, Meinya maaaalu ma, dorong badan si Ed bolak balik," Edwina masih saja tertawa.

"Ya gitu itulah adikmu, dia kadang suka lupa kalo ada James, sudah tau James cinta mati sama Mei, nggak bisa jaga perasaan," bu Minda terlihat kesal.
"Oh yaaaaa,  makanya tadi James berusaha nggak liat kalo pas Edwin selalu jahili Mei, masa sih maaa, sejak kapan James suka si Mei?" tanya Edwina berjalan mendekati mamanya di ruang makan dan duduk di dekatnya.
"Ya sejak awal Mei kuliah kak,  James sendiri yang bilang sama aku,  aku nggak kuat dah tiap ke sini,  selalu dia jadi bayang-bayang diantara kami, ya aku ajak ngomong,  dia ngaku kalo suka sama Mei,  tapi dia juga bilang nggak akan pernah ngerebut Mei dari aku karena Mei cuma nganggap dia teman," ujar Edwin menjelaskan. Edwina mendesah pelan.
"Ah kasihan si James, dia baik, sopan dan lembut" ujar Edwina.
"Yaaaaa kakak masa nggak kasian sama aku, masa mau Mei jadi sama James? " Edwin jadi terlihat mangkel. Edwina terbahak.
"Loh bukannya gitu,  maksudku ya malang amat nasibnya, sekalinya suka eh sudah ada yang punya,  mana kadang kamu titipin jaga si Mei lagi, itu kan nggak semua cowok mau ngerawat cewek yang dia taksir tapi sudah punya pacar, sakit banget tauuu," Edwina mengelengkan kepalanya perlahan.
"Yah aku beruntung dapatkan Mei,.kak,  dia menyembuhkanku,  bisa membuatku jatuh cinta lagi, aku juga nggak nyangka cewek yang awalnya bikin hatiku kacau,  malah bikin aku cinta dan selalu kangen setengah mati," Edwin memandang wajah Edwina yang tersenyum lebar ke arahnya.
"Iya tapi kamu jangan ngajarin Mei yang nggak-nggak, jangan kira mama nggak tahu waktu kamu sering menemui Mei ke kamarnya,  diam-diam,  malam-malam lagi," ujar bu Minda marah.
"Ih ya nggak lah ma,  paling tipis-tipis aja," ujar Edwin membela diri dan berdiri menuju sofa, meluruskan badannya dan mulai melihat ponselnya.
"Aku mau rebahan dulu mama,  bentar lagi aku sama Mei mau ke dokter orthopedy, bangunin Ed ya ma kalo ketiduran,"pinta Edwin masih menatap layar ponselnya.

"Yaaa istirahatlah dulu," sahut bu Minda sambil melihat Edwin yang terlihat lelah.
"Maaa mama kok kelihatan aneh sih, kayak bingung dari tadi,  ada apa ma?" tanya Edwina, bu Minda hanya menggeleng dan berusaha tersenyum.
Dan melangkah menuju dapur untuk mencuci gelas bekas lemon teanya, dan bersamaan dengan itu juga jatuh dari tangan bu Minda tisu untuk membungkus tespack.
Dengan cepat Edwina mengambilnya dan membelalakkan matanya.

"Mamaaaa," suara Edwina terdengar tertahan. Bu Minda berwajah pias mendekati Edwina. Dan matanya mulai berkaca-kaca.

"Mamaa,  mama takut Winaaa mau tanya ke Mei dan Edwin,  mama malu mau tanya sama mereka, karena kalo mama tanya sama saja mempermalukan diri mama,  mama pernah gitu juga di masa lalu, trus gimana mama harus tanya ya enaknya biar mereka nggak tersinggung?" tanya bu Minda. Edwina semakin bingung.
"Loh ini tespacknya Mei mama, haduh Edwin keterlaluan berarti nih, kapan dia nyobain nih alat?" tanya Edwina. Bu Minda terlihat bingung.
"Aku menemukan di tempat sampah Wina, mama takut tanya ke mereka berdua, bantuin mama Winaaa?" ujar bu Minda panik, dan wajah Edwina akhirnya menahan senyum, digenggamnya jemari mamanya, ia tidak menyangka efek masa lalu mamanya jadi seperti ini, Edwina jadi iba.

"Mama sayang, itu tespack aku, di tempat sampah kaaan, waktu akan berangkat ke Jakarta, aku sudah merasa lain nih badan, mens jadi ngadat, aku sempat beli tespack di apotek tapi belum sempat nyoba, jadi aku coba di sini, dan hasilnya positif, ah mama, mama jangan gini lagi, kalo ada apa-apa jangan dipikir sendiri, bilang sama anak-anak mama, kami nggak ingin mama sakit karena terlalu banyak mikir," Edwina melihat mamanya yang berlinang air mata.
"Aku hanya takut Wina, takut Tuhan menghukum aku," mama masih menyisakan isak tangisnya.
"Ah mama, mama tersayang, masa lalu memang tidak mudah dihapus tapi jika kita mengingat dan selalu kawatir, kita tidak akan mampu menghadapi masa depan, kami sayang mama, itu yang harus mama ingat, jalan-jalan yok ma, sama aku, Tiffany dan Alyssa, besok kita kan dah balik, Edwin sama Mei bentar lagi mau ke dokter, mau ya ma?" tanya Edwina yang dijawab anggukan oleh bi Minda sambil menghapus air matanya.
"Mama, doakan bayi yang ada dalam kandunganku ntar laki-laki ya ma, Brandon sangat ingin bayi laki-laki," pinta Edwina yang dijawab dengan anggukan kepala bu Minda sambil tersenyum.
***

Sementara itu Edwin dan Meisya sampai sore di dokter orthopedy,  entah mengapa kok kebetulan pas ada beberapa pasien yang juga butuh terapi dan pengobatan.

Akhirnya Mei dan Edwin menuju apotek saat hari menjelang malam. Mereka menuju apotek untuk membeli beberapa obat menurut resep dokter.

Meisya duduk di kursi ruang tunggu, sedangkan Edwin menuju loket pemesanan obat. Saat Mei menunggu tiba-tiba ada yang menyapanya.
"Apa kabar Meisya, maaf aku belum sempat menjengukmu, ah ada apa dengan sikumu?" ujarnya menatap Meisya penuh kekawatiran, sementara Edwin menatap laki-laki yang tiba-tiba duduk di samping Meisya dengan tatapan tak suka, ia pandangi laki-laki itu dari tempatnya memesan obat, tak jauh dari Meisya dan laki-laki itu.

Hfuuiiii siapa lagiiii ini bocah,  kok ya ada lagi manusia yang memandangi Meisyaku dengan tatapan lapar.... Edwin benar-benar ingin mengajak Meisya menikah besok
***

"Oh Kent, nggak papa kok, cuman cedera dikit, capek, kelaperan, pingsan jatuh, udah gitu aja," Mei berusaha menjawab pertanyaan Kent, dan menghilangkan sikap kakunya karena beberapa kali ia telah mengacuhkan Kent.

"Terima kasih juga,  akhirnya kamu mau memanggilku Kent saja," ujar Kent tampak sangat bahagia.
"Besok siang ada jam ku di kelasmu Mei," ujar Kent lagi.
"Yah, aku akan masuk, sudah tidak begitu nyeri," Mei melihat Kent yang terus menatapnya dengan pandangan aneh.
"Ayo kita pulang," suara dingin Edwin tiba-tiba hadir diantara mereka.
"Eh iya, kenalkan Kent ini kak Edwin, dan ini Kent kak, dosenku juga, temannya James," ujar Mei sambil menggenggam tangan Edwin yang memegang obat Meisya.

Edwin dan Kent bersalaman, Kent dapat menangkap pandangan tak suka dari wajah Edwin yang dingin.

"Oh temannya James, tunggu beberapa bulan lagi, saya dan Meisya akan mengundang anda pada pernikahan kami, saya sangat mengharap kehadiran anda di Indonesia, kami pamit dulu, karena Meisya harus beristirahat," sekali lagi Edwin menyalami Kent dan memeluk pinggang Meisya meninggalkan Kent yang menatap kepergian Meisya dengan pandangan hampa.
***

Sampai di apartemen Meisya mereka tidak menemukan siapapun, karena bu Minda, Edwina dan anak-anak Edwina jalan-jalan ke Sea Life Sydney Aquarium dan Wild Life Sydney, dua tempat wisata yang menarik bagi anak-anak,  karena mereka bisa mengetahui binatang laut melalui aquarium besar,  serta bisa melihat binatang seperti koala, platipus dan lain-lain.

"Wah jam segini mereka belum balik ya kak?" tanya Meisya heran karena ingat akan dua anak Edwina yang masih kecil terutama anak nomor dua Edwina yang selalu terlihat rewel.

"Biarin aja mereka sampe puas,  dan kita juga bisa puas berdua sayang," Edwin mencium ujung kepala Meisya berkali-kali.
"Ih,  kakak,  makan dulu yuk,  Mei laper, ada apa di kulkas ya,  aku capek yang mau masak," ujar Mei mulai melihat-lihat isi kulkas.
"Ganti baju dululah sayang, aku pesankan saja ya?" tanya Edwin yang dijawab anggukan Meisya.
***

Satu jam kemudian pesanan mereka datang, Mei melihat apa saja makanan yang di pesan Edwin, aduh lagi-lagi makanan ginian, lidah Indonesiaku kadang gak gitu senang makanan fastfood, Meisya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kenapa sayang, nggak suka ya?" tanya Edwin menatap mata Meisya yang terlihat enggan. Meisya tersenyum dan segera memasukkan cheese burger ke mulutnya, dan mencocol french fries pada saus tomat yang telah disediakan oleh Edwin.

"Nggak papa, sekadar mengganjal perut, aku capek, ngantuk juga," Meisya melihat Edwin yang mulai menikmati double cheese burgernya dengan lahap.
"Jangan tidur dululah Mei, besok aku balik ke Indonesia, aku belum ngapa-ngapain kamu," ujar Edwin dengan mulut penuh dan Meisya tersedak seketika, cepat-cepat ia minum soft drink yang ada di dekatnya.
"Eh kakak, sembarangan, emangnya mau ngapain Mei, mau dibuat merinding lagi, jangan ah, ini siku juga belum sembuh, ntar kenapa-napa lagi," Mei melihat Edwin dengan jengkel, sementara Edwin tertawa sambil menahan mulutnya agar tidak berhamburan.
"Dengar kata dokter tadi, ini cuma cedera ringan sayaaang, hasil rontgen juga bagus, paling dua minggu lagi dah buka tuh arm slingnya, berarti  setelah kita nikah, malam pertama aman kita mau ngapa-ngapain," ujar Edwin mencium pipi Mei sekilas. Mata Mei melotot menatap Edwin.
"Heran deh mesum aja tuh pikiran, coba berusaha berpikir waras, yang dipikir cuma maunya ngapa-ngapain akuuu aja," ujar Mei bersungut-sungut.
"Lah ya iyalah sayang, kalo laki-laki ya wajarlah semuanya pasti mikir gitu, gimana caranya buka baju kamu sekali sentakan dan....," Edwin menggelitiki Mei dan Mei berteriak-teriak.
"Kaaaak lengankuuuu, sikuku ya Tuhaaaan, kerasukan dimana kok hemmpt...," bibir Edwin mencium bibir Mei dengan kasar, bertepatan dengan pintu apartemen yang terbuka.
"Edwiiiiin...," teriakan bu Minda menghentikan aktivitas keduanya, Mei terlihat malu, untung Edwina dan kedua anaknya masuk kemudian setelah Edwin melepaskan pelukannya pada Meisya.

"Apa sih mamaaaa kok teriak-teriak?" tanya Edwina tak bisa menahan senyum lebarnya saat melihat wajah Edwin yang terlihat takut dan wajah Mei yang memerah.
"Adikmu itu loh, untung mama datang, kalo nggak heh pasti tuh siku Mei makin parah, udah tau Mei sakit sampe mama lihat Meinya berontak gitu," bu Minda terlihat masih marah.
"Duh mamaaa segitunya, kan besok kita dah balik ma, masak Edwin gak boleh cuman nyium," Edwin menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Edwina dan anak-anaknya sudah masuk ke kamarnya.

Bu minda meletakkan bawannya yang bermacam-macam di dekat kaki Edwin.
Edwin melihat salah satu goodybag yang isinya menarik perhatiannya, ia buka dan diambilnya sebuah baju tidur tipis yang lembut.

"Apaan nih ma?" tanya Edwin.
"Heeeh lancang, itu punya Mei," jawab mama dan Edwin tersenyum lebar. Bu Minda merebutnya dari Edwin dan memasukkannya lagi dalam tas yang ia bawa.
"Waaah pasti ntar dipakai Mei pas malam pertama kan maaaa, aduh jadi nggak sabar deh akunya, membayangin aduuh duh mama," Edwin menggaruk kepalanya yang kena getok bu Minda.
Meisya menahan tawa melihat Edwin yang kesakitan.

"Cepet tidur Edwin, besok jam delapan kita harus ke bandara," ujar bu Minda sambil melangkahkan kakinya ke kamar Meisya.
"Aku tidur ya kak?" Mei mendekati Edwin yang mulai merebahkan badannya di sofa.
"Yah tidurlah, sini dulu, kakak mau nyium kening kamu," Edwin duduk dan Mei menunduk mendekatkan kening ke bibir Edwin, namun secepatnya Edwin memegang dagu Meisya dan cup....
Mei menahan senyum dan masuk ke kamarnya, ciuman Edwin sekilas membuat Mei terasa hangat.
***

Pagi yang sibuk, bu Minda, Edwin dan Edwina serta dua anaknya sudah bersiap menuju bandara. Bergantian mereka memeluk Meisya dan mencium Meisya.

"Baik-baik ya sayang, jaga kesehatan,  jangan lupa makan, gemukin dikit ya,  biar bagus pas pakai kebaya," ujar bu Minda menepuk pipi Mei dan Mei mengangguk.
"Iya ibu, terima kasih," Mei berusaha tersenyum.

Entah mengapa Mei merasa sedih, mungkin karena beberapa hari ini apartemennya terasa ramai dan menyenangkan, kini ia harus sendiri lagi.
Edwin memeluk Meisya erat, mengelus punggungnya dan mencium keningnya.

"Jaga diri baik-baik ya sayang, jangan biarkan para pengganggu itu menikmati keindahan wajahmu," Edwin mencium ujung kepala Mei berkali-kali dan melepas pelukannya.

Mei melambaikan tangan dan menatap orang-orang yang dicintainya sampai menghilang dari pandangan matanya.

Mei melangkahkan kakinya masuk kembali ke kamarnya dan mulai merasakan kesepian yang tanpa ia sadari matanya jadi berkaca-kaca, sejak kecil ia terbiasa sepi meski ramai dengan teman-teman pantinya,  sepi yang Mei rasa karena ia tidak punya keluarga untuk ia rindukan, saat ini ia merasakan kebahagiaan yang tak pernah ia dapatkan dulu,  ia punya keluarga yang akan ia rindukan dan juga merindukannya.

Perlahan ia masuk ke kamarnya dan menemukan dua buah kotak ukuran sedang dengan hiasan lucu.
Ia buka kotak berwarna babypink, di dalamnya terdapat bermacam kosmetik perawatan untuk wanita. Ada kartu ucapan didalamnya.
'Gunakan untuk berendam ya Mei sayang, satu hari sebelum menikah, biar harum sekujur tubuh,  Edwinnya sering nyium sih, biar dia semakin tersihir dengan harum disekujur badanmu. Ok, buka kotak satunya lagi ya'

Meisya membuka kotak berwarna fuscia, matanya terbelalak dan bergidik perlahan, wajahnya jadi memerah. Ada kartu ucapan lagi. 'Nah kalo ini pakai pas malam pertama ya Mei, buat suamimu senang dan takkan pernah lupa malam pertama denganmu.'

Kakakmu tercinta
Edwina

Mei benar-benar ngeri melihat lingerrie berwarna hitam dan merah didepannya, ia tidak akan pernah memakainya, tanpa lingerrie pun, Edwin sudah hampir selalu menerkamnya, apalagi jika menggunakan benda aneh itu, ih Mei bergidik ngeri. Ia simpan kedua kotak itu dalam lemari pakaiannya.
***

Mei menapaki kampus saat hari sudah siang, menuju kelas yang akan digunakan oleh Kent dan menemukan James yang duduk di luar kelas sambil tersenyum.

"Kamu datang terlalu awal,  masih setengah jam lagi, teman-teman kamu baru beberapa yang datang, tuh di dalam kelas," ujar James masih memandangi Mei.
"Kok nggak kamu ganti lagi sih, masih Kent aja yang ngajar" tanya Mei.
"Kan cuman kurang tiga bulan setengahan lah Mei, ikut aku ke ruanganku sebentar yuk Mei, aku ada perlu," James berdiri dan diikuti Mei melangkah ke ruangannya.

James membuka ruangannya dan menyilakan Mei duduk, namun Mei belum juga duduk, menatap punggung James yang melangkah menuju meja kerjanya.

"Ada apa?" tanya Mei pelan. James tidak menjawab, ia hanya mengambil sesuatu dari dalam lacinya,  dan melangkah mendekati Meisya.
"Nih, buat kamu, simpanlah, buka nanti di apartemenmu," James memberikan kotak warna abu-abu berpita putih. Mei menerima dan menyimpannya dalam tas.
"Ok, makasih James, aku ke kelas dulu ya," Mei hendak berbalik saat James menarik tangan kanan Mei dan memeluknya. Sesaat badan Mei menegang.
"James ada apa?" tanya Meisya.
"Nggak, sebentar aja Mei,  ini pelukan terakhirku, kamu akan segera menikah, dan selamanya kamu akan menjadi milik Edwin," suara James terdengar tercekat. Mei diam saja.

Mata James berkaca-kaca, entah mengapa ia merasa ada yang kosong dalam hatinya.
Semoga kamu bahagia Meisya, semoga aku segera bisa menemukan penggantimu, akan selamanya sakit jika akhirnya aku benar-benar sendiri terlalu lama.

Pintu ruangan James terbuka pelan, namun James dan Mei tak menyadari,sepasang mata terlihat kaget saat menatap keduanya dalam posisi aneh, James yang terlihat sedih sedang memeluk Meisya.....

Ah benar dugaanku,  James ternyata mencintai Meisya...

==========

Perlahan Kent menutup pintu ruangan James, dan tanpa sengaja ia menjatuhkan buku yang ia pegang, Kent mengambilnya dan melangkah menuju ruang kuliah.

James dan Mei kaget saat mendengar benda jatuh di balik pintu. James melepaskan pelukannya dan memandang Mei sesaat.
"Aku masuk dulu ya James bentar lagi waktunya Kent, ngeri aku kalo sampe terlambat," suara Mei terdengar seperti bisikan,  entah mengapa Meisya merasa iba melihat mata sedih James.

James mengangguk dan masih memegang tangan Mei.
Meisya menarik perlahan dan melangkah meninggalkan ruangan James.
James menatap punggung Mei yang melangkah meninggalkan ruangannya dan menghilang di balik pintu.

Mei segera masuk ke ruangan kuliahnya dan sepanjang pemberian materi Kent nampak lebih pendiam dari biasanya,  suaranya yang biasanya selalu terdengar meledak-ledak, hari ini terdengar datar dan terlihat kurang bersemangat.
***

Saat James masih sibuk dengan tugasnya, ada yang mengetuk pintunya, James mengangkat wajahnya dari tumpukan tugas mahasiswanya dan mengalihkan pandangannya pada pintu. Muncul wajah Kent.

"Sibuk James?" tanya Kent.
"Seperti yang kau lihat," ujar James dan menyadarkan kepalanya pada sandaran kursi.
"Ada apa?" tanya James menatap Kent yang duduk di seberang mejanya.
"Tidak ada apa-apa, kebetulan aku lewat, mau bersamaku pulang James?" tanya Kent.
"Tidak, aku akan jalan kaki saja," jawab James sambil tersenyum.
"Maaf, tadi aku masuk tanpa mengetuk pintu dan ... melihatmu memeluk Meisya," ujar Kent pelan.
"Maaf lagi aku bertanya, Edwin itu kakakmu bagaimana sih, masih saudara atau bagaimana?" tanya Kent tampak bingung.
"Mengapa kau tiba-tiba bertanya dia?" tanya James.
"Yang kapan hari aku bertemu Mei dan dia memperkenalkan seseorang yang bernama Edwin,  aku melihat dia sepertinya tidak ada kemiripan sama sekali denganmu," ujar Kent.
"Ah kau terlalu dangkal memahami makna kakak Kent,  Edwin itu terpaksa aku sebut kakak,  ada cerita panjang di balik itu, yang rasanya lelah jika aku ceritakan," ujar James membenahi bawaannya dan terlihat bersiap pulang.
"Dan sepertinya kau sangat terluka tadi saat memeluk Meisya," ujar Kent lagi sambil menatap wajah James yang berusaha tertawa.
"Yah,  aku tadi memeluknya untuk terakhir kali, ia akan menikah dan benar-benar tak akan mampu dijangkau, ada lagi yang akan kau tanyakan dan kau nyatakan?" tanya James.
Kent tertawa pelan.
"Aku hanya tidak menyangka, kau sesakit itu ditinggal Meisya," ujar Kent.
"Tidak bisa digambarkan Kent, aku baru kali ini jatuh sampai ke tempat paling bawah," James menjawab sambil memejamkan matanya.
"Mungkin karena Mei tidak sempat kamu miliki, kamu jatuh cinta padanya dan ternyata dia sudah milik orang lain," ujar Kent.
"Mungkin begitu," James mengangguk.
"Aku baru menyukainya saja, sudah sesedih ini melihatmu memeluk Mei," ujar Kent dengan wajah polos dan terdengan tawa James.
"Kadang aku iri,  kau bisa sedekat itu dengan Meisya," Kent juga ikut tertawa.
"Kau tau, aku bahkan telah menciumnya Kent, dan dia tidak merespon sama sekali, hatiku serasa diremas, dan Mei dengan polos mengatakan, bahwa ia tidak merasakan apapun," kembali James memejamkan matanya dan menghembuskan napas dengan berat.
Kent tampak kaget dan mulutnya terbuka lebar.
"Kau pasti menganggapku tolol, terserah kamulah, saat itu aku benar-benar putus asa, aku berusaha agar dia mengalihkan pandangannya padaku, tapi Edwin terlalu kuat ada di hatinya, dan sampai saat ini aku merasa bersalah pada Edwin, makanya saat Mei sakit dan Edwin menitipkan Mei padaku,  aku benar-benar menjaga Mei, paling tidak, untuk menebus rasa bersalahku," James menjelaskan kebingungan Kent.
"Ayolah pulang Kent, malam baru saja turun, waktunya kita mengistirahakan pikiran dan perasaan agar esok lebih segar lagi," James berdiri dan membawa tasnya.

Berdua mereka berjalan menyusuri koridor kampus saat melihat Mei duduk di salah satu gazebo di taman kampus.
"Meeei,  ayo pulang,  ngapain kamu di sini malam-malam, ayo bareng," ajak James dan Mei berjalan menuju James dan Kent.
"Ngapain di sini?" tanya James. Mei hanya menggeleng pelan tanpa bersuara.
Saat menuju tempat parkir mereka berpisah,  Mei dengan James dan Kent menuju mobilnya.
"Ngapain sendirian di sana tadi Mei?" tanya James lagi.
"Makasih bingkisannya, tadi aku sempat membuka dan kaget waktu lihat isinya, pasti mahal kalung itu ya James?" tanya Mei pelan.
"Kamu menungguku hanya untuk mengatakan itu?" tanya James. Mei mengangguk.
"Jika kamu tidak akan memakainya, simpanlah, aku ingin kau mengingatku, meski aku tidak ada di salah satu sisi hatimu, paling tidak aku tersimpan dalam memorimu," ujar James pelan.
Mata Meisya tiba-tiba menghangat.

"Kau membuatku sedih James, kau adalah sahabat terbaik yang selalu ada saat aku mengalami kesulitan,  tentu aku akan selalu mengingatmu," suara Meisya terdengar lirih. James berhenti dan memegang tangan Mei.
"Aku membuatmu menangis?" tanya James. Mei menarik tangannya dan melanjutkan berjalan.
"Aku hanya terbawa suasana James, kau sudah seperti kakak bagiku, saat kau merasa sedih, dengan sendirinya hatikupun ikut sedih, aku tidak ingin membuatmu berlarut dalam kesedihan, aku yakin kamu akan menemukan orang yang tepat, kamu baik pada siapapun dan siapapun yang akan menjadi pasanganmu aku yakin akan sangat bahagia ada di sisimu," Mei menoleh pada James dan berusaha tersenyum.
"Datang ya James pada pernikahanku nanti, aku sangat ingin kamu dan om Ben hadir sebagai keluarga bagi kami," pinta Meisya dan James hanya mengangguk.
Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam.

"Sudah sampai aku James, udah dulu ya, aku mau masuk," ujar Mei setelah sampai di apartemennya.
"Tidak menawariku singgah?" tanya James. Mei menggeleng pelan.
"Maaf, aku mau istirahat nggak papa ya James?" ujar Mei merasa bersalah.
"Nggak papa, aku hanya bergurau kok?" James mengacak rambut Mei dan tersenyum melihat Mei merasa bersalah. Mereka saling melambaikan tangan dan James meneruskan perjalanannya.
***

Keesokan harinya saat James sedang sibuk dengan pekerjaannya tiba-tiba ada yang nyelonong masuk ke dalam ruamg kerjanya.
Keduanya sama-sama tertegun, seorang wanita dengan tampilan aneh,  bercelanan jins belel dan kemeja kegedean yang lengannya digulung sampai ke siku.

"Maaf aku salah masuk," seenaknya dia nyelonong lagi ke luar. James menggelengkan kepalanya menahan marah.

Tak lama kemudian dia mendengar ketukan, James mengalihkan pandangannya ke pintu,  muncul wajah menjengkelkan Kent.
"Pengganggu kedua, ada apa,  aku sedang sibuk menulis untuk jurnal bulanan lembaga kita, ke luar atau secepatnya katakan," ujar James terlihat gusar.
Terdengar Kent tertawa.
"Maaf jika aku mengganggumu, tadi kakakku salah masuk ke sini ya James, dia bilang melihat malaikat tanpa sayap," Kent masih saja tertawa dan terdengar James yang mendengus pelan.
"Aku pikir ada wanita jadi-jadian masuk,  dia mandi apa nggak, celana sama bajunya terlihat sebulan belum dicuci," ujar James masih terlihat serius menatap laptopnya.
Tawa Kent semakin menjadi.
"Biasalah seniman James,  dia perupa, pematung Kent, kamu pasti tau galerinya, terkenal kok di Sydney ini, kecintaannya pada seni membuat dia lupa pada sekelilingnya, makanya aku kaget dengar dia bilang terpana melihat wajah malaikatmu hahahahah," Kent tertawa sangat keras.
"Keluarlah Kent, aku ingin konsentrasi dan tidak tertarik mendengar ocehanmu tentang kakakmu yang aneh, wanita jadi-jadian lebih tepatnya sih, maaf jangan tersinggung," ujar James lagi tanpa melihat Kent yang kembali tertawa.
"Tidak, aku tidak marah, dia memang wanita yang aneh, ok lah aku ke ruanganku dulu James," suara tawa Kent masih terdengar di balik pintu.

Sama-sama tidak warasnya dengan kakaknya, dan James kembali konsentrasi dengan pekerjaannya.
***

James sedang melangkah dengan cepat menuju kantor jurusan saat tiba-tiba ada yang memanggilnya.

"Maaf ganggu,  boleh tanya-tanya nggak?" ujarnya dengan santai. James menoleh dan mendapati wanita jadi-jadian itu lagi.
"Saya tidak mengenal anda," James terus melangkahkan kakinya dengan cepat.
"Haduh sombong amat, boleh nggak aku minta kamu jadi modelku, buat bikin patung wajah?" tanyanya lagi sambil menjejeri langkah lebar James.
James mengacuhkannya dan melanjutkan langkahnya.

"Heh kamu dengar nggak?" tiba-tiba wanita itu menarik tangan James dan James menepis tangannya dengan marah.
"Tahu sopan santun nggak sih, anda ini orang apa bukan, tidak tahu aturan wajar masalah etika, pergi dari sini dan jangan pernah ganggu saya," suara James terdengar menakutkan. Dan wanita itu mundur satu langkah.
"Buset, aku pikir malaikat tak bersayap, eh ternyata dia badak bercula satu," wanita itu mencebikkan bibirnya.

Bersambung #17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER