Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 01 Juli 2021

Soto Untuk Kakak #17

Cerita bersambung

James memasuki ruang meeting dengan wajah gusar,  ia berjalan dengan wajah tanpa senyum dan duduk di dekat Kent. Tak lama ketua jurusan datang yang artinya rapat akan segera di mulai.

"Wajahmu seperti habis melihat hantu," Kent berbisik sambil menahan tawa, James terlihat gusar.
"Betul,  dan hantunya adalah kakakmu," suara James terdengar geram. Kent terbelalak.
"Hah Al menemuimu lagi?" suara Kent yang berbisik hampir tak terdengar. James tak melihat Kent,  wajahnya menahan marah.
"Aliiice,  Alice, nekat dia," Kent benar-benar menahan tawa.

"Sesuai benar dengan namanya, dikira ini wonderland paling,  hidup sesuai aturan dia," James membuka blocknotenya tak lama setelah itu rapat dimulai.5
***

Seminggu kemudian, dari terakhir Mei dan James ke dokter orthopedy, kondisi Mei sudah benar-benar membaik,  armsling sudah tidak dipakai hanya Mei tetap harus hati-hati,  cedera siku tidak serta merta  sembuh,  butuh perawatan ekstra agar tidak semakin parah.
***

Siang ini Mei menyusuri kampusnya seorang diri setelah mengikuti perkuliahan dari Kent,  ia bergegas pulang karena akan mengerjakan tugas dari Kent.

"Mei, Meisyaaa," Mei menoleh saat suara Kent sangat keras memanggilnya. Meisya menunggu Kent yang berlari menghampirinya.
"Ya Kent ada apa?" tanyanya heran.
"Ini, jika kamu butuh buku untuk tugasku," Kent memberikan beberapa buku pada Mei. Mei tersenyum senang.
"Makasih banget,  akan segera aku kembalikan setelah selesai mengerjakan tugasmu," ujar Mei memasukkan buku Kent ke dalam tasnya.
"Keeeent," terdengar teriakan sangat nyaring, Kent dan Meisya menoleh, Kent tertawa lebar dan Mei mengerutkan keningnya.
Terlihat seorang wanita dengan overall yang pudar warnanya, bersepatu boot, dan tali overall yang lepas di salah satunya, kaos lengan panjangnyapun terlihat agak kotor. Setelah mendekat dia memberikan kotak ukuran sedang pada Kent.

"Nih berikan pada badak bercula satu," katanya pada Kent. Dan Kent terlihat mengerutkan keningnya.
"Oh ya Meisya, kenalkan,  ini kakakku, Alice dan ini Al,  mahasiswiku,  Meisya," Kent mengenalkan keduanya dan mereka terlihat bersalaman, Mei agak meringis kesakitan karena genggaman Alice agak keras di tangannya.
"Aku duluan ya Kent,  makasih ya, saya pulang dulu Alice," ucap Meisya lembut dan berlalu dari hadapan mereka.
"Ini apa?" tanya Kent pada Alice.
"Patung wajah si badak, kasikan ke dia,  dari aku gitu," ujar Alice dengan santai. Kent terbelalak.
"Kamu gila,  bisa ngamuk dia Al," ujar Kent.
"Ayolah berikan Kent, kan kamu juga yang ngasi foto dia ke aku via ponsel kan,  ayolah bantu aku," ujar Alice dan dia menoleh menatap tajam ke satu sisi.
"Mereka memang sangat akrab Al, James sangat tergila-gila pada wanita itu,  sayang dia akan segera menikah,  dan aku juga salah satu laki-laki yang sakit mendengar kabar dia akan menikah," Kent dan Alice menatap keakraban James dan Meisya dari jauh, terlihat James dan Mei yang tertawa bersama dan James yang menarik tangan Mei agar mempercepat langkah lalu masuk ke cafetaria di sudut kampus.
"Oh jadi si badak suka sama wanita cantik tadi, dia benar-benar wanita, Kent," ujar Alice pelan dan terlihat melamun.
"Ya iyalah,  dia benar-benar wanita,  sedang kamu wanita jadi-jadian kata si James," Kent tertawa sangat keras dan Alice meninju lengan Kent.
Lalu dia menepuk pundak Kent dan berlalu dari hadapan Kent.

"Berikan pada si Badak ya Kent, aku nggak mau tau,  pokoknya berikan saja," Alice berteriak sambil berlalu menjauh dari Kent.
***

James masuk ke ruangannya lagi setelah makan siang dengan Mei dan mengantarkan Mei sampai pintu gerbang kampus.

Ia mengernyitkan keningnya saat melihat kotak ukuran sedang di meja kerjanya. Ia buka perlahan dan melihat patung dirinya,  seketika wajah James berubah, ia bungkus kembali dan membawa kotak itu ke luar dari ruangannya dan melemparnya ke tempat sampah di sisi ruangannya.
James meredakan gemuruh dadanya,  pasti Kent yang meletakkan di mejanya. Ia berusaha menghilangkan kemarahannya, kembali berkutat dengan pekerjaannya.
***

Mei masuk ke dalam apartemennya dan segera berganti baju dan mulai mengerjakan tugas dari Kent. Mei hentikan pekerjaannya saat ponselnya berbunyi. Ah bu Minda,  ada apa ya?  Pikir Mei.

"Halo ibuuuu"
"Mei,  kamu pastinya kapang pulang ke Indonesia"
"Dua minggu sebelum pernikahan ibu"
"Ok ok masih ada waktu fitting baju pengantin kamu, semua sudah beres sayang,  nggak usah mikir macem-macem ya,  semua ibu dan Edwin yang urus"
"Iya ibu terima kasih"
"Gimana sikunya sudah enakan?"
"Iya ibu,  sudah nggak pake armsling lagi"
"Ok,  jaga kesehatan ya sayang,  ingat pesan ibu, gemukin dikit yah biar bagus ntar pake baju pengantinnya, kalo kurus banget jadi nggak bagus,  udah dulu ya sayang"
"Iya ibu makasih"

Mei menutup ponselnya dan kembali menatap laptopnya serta membuka-buka buku dari Kent.

Satu jam kemudian Mei mulai merasa lelah dan menutup laptopnya. Dia kembali ke kamarnya dan merebahkan dirinya di kasur, baru akan menutup mata ponselnya berbunyi kembali.
Ternyata telpon dari Edwin, seketika Mei duduk di kasurnya

"Halo kakak ganteng"
"Lagi ngapain kok suaranya terdengar capek"
"Lagi di kasur, capek habis ngerjain tugas"
"Sudah beres semua sayang persiapan kita nikah"
"He'eh tadi ibu juga nelpon aku ngasi tau itu"
"Oh ya, eemmmm kakak kangen Mei, yang kapan hari ke kamu gangguannya banyak banget, minggu depan aku ke kamu ya"
"Iyah iyah kak,  Mei tunggu ya"
"Iya pasti, udah dulu ya sayang, love you Mei"
"Love you kakak"

Mei menutup ponselnya dan merebahkan badannya lagi, lalu memejamkan matanya.
***

Sudah sebulan ini James selalu menerima kiriman patung wajah, yang diletakkan di mejanya. James memutuskan untuk tidak bertanya pada Kent, ia hanya rutin membuang patung itu di tempat sampah. Ia biarkan Kent penasaran karena ia tidak menegur Kent tentang patung itu.

Sebulan kemudian berubah kiriman,  mulai dari mug lucu yang ada lukisan wajah James sampai pernak pernik bermodel abstrak untuk hiasan di meja. Kembali James biarkan dan seperti biasa berakhir di tempat sampah.
***

"Boleh aku masuk James?" tanya Kent muncul di ruangan James,  James mengangkat wajahnya dari tumpukan tugas.
"Tumben kamu ijin, biasanya juga sering masuk tanpa ijin," suara James dibuat sewajar mungkin. Kent duduk di kursi,  di depan meja James.
"Maafkan aku,  aku tahu, kamu sudah mengetahui jika aku yang meletakkan semua benda-benda dari Alice dan aku juga tahu jika semua benda itu berakhir di tempat sampah," suara Kent terdengar serius. Tumben, pikir James yang wajahnya tetap serius pada tugasnya.
"Ada yang ingin aku ceritakan padamu,  jangan potong dan jangan tinggalkan aku saat aku berbicara, biarkan aku bercerita sampai selesai," ujar Kent lagi. James masih tak menanggapi.
"Jika kamu melihat Alice yang tomboi, cuek dan terlihat kuat, itu hanya kamuflase saja, ia pribadi yang rapuh James, tiga tahun lalu ia mengalami peristiwa yang membuat kami hampir kehilangan nyawanya, sejak kecil ia dikenal sangat tomboi memang, suatu saat ia mulai berhubungan dengan seorang laki-laki, sepertinya mereka saling mencintai, hampir dua tahun mereka berhubungan sampai akhirnya Al diketahui hamil, pernikahan sudah direncanakan dengan matang meski mama papa kecewa pada Al, dan saat kami semua menunggu sekian lama, pengantin laki-laki tak kunjung datang, yang jelas kami malu pada para tamu, Al stres James yang berakibat dia keguguran, saat sadar jika dia keguguran dia semakin depresi,  sejak awal Al memang ingin mempertahankan bayinya, kami semua menjaga Al agar jangan sampai melakukan hal yang berakibat fatal,  tapi seketat apapun kami menjaga Al, dia bisa mengecoh kami, ia hampir saja kehilangan nyawanya, saat ia kami temukan di kamar mandi, tergeletak dengan pergelangan tangan terluka, kami semua merawatnya dengan kasih sayang, membawanya rutin pada psikiater untuk menyembuhkan mimpi buruknya, kami bersyukur ia mulai hidup normal dan serius dalam bidang yang sempat terputus karena peristiwa itu, makanya aku kaget benar saat ia seperti menyukaimu, mulai berani membuka perasaannya lagi pada orang lain dan terbuka padaku tentang apa yang dia rasakan," Kent mengahiri ceritanya dengan menghembuskan napas berat.
"Makanya aku kaget saat dia terlihat menyukaimu, ketika dia berani menyukai lawan jenis berarti dia sudah benar-benar menyembuhkan hatinya, karena bagiku, saat kita mencintai seseorang berarti harus siap dengan rasa sakit, tapi aku jadi kawatir James, saat aku melihat penolakanmu sejak awal," Kent memandang James yang masih asik dengan pekerjaannya.
James mengangkat wajahnya dari tumpukan pekerjaannya.

"Kamu memaksaku untuk menyukainya, disaat aku juga belum menyembuhkan lukaku karena Mei ?" tanya James dengan wajah serius tanpa senyum.

James menatap Kent lebih dalam lagi.
"Sampaikan padanya,  akupun mengalami perasaan terluka karena Meisya, jadi jangan paksa aku untuk bersikap manis padanya, mengerti kan maksudku?" tanya James lagi.
"Aku mengerti James,  aku tidak memaksamu untuk menyukai Alice, aku hanya bercerita isi hatiku padamu,  kami sangat dekat satu sama lain sejak kecil, mungkin karena dia tomboi kami sering cocok dalam permainan laki-laki,  jadi dia tidak hanya sebagai kakak bagiku,  tapi juga seperti teman bahkan sahabat," baru kali ini James melihat Kent benar-benar serius.

Keduanya lama terdiam,  menikmati lamunan masing-masing dan tersentak saat pintu di ketuk halus dan pintu terbuka lebar.

"Meisyaaa...," ujar James. Dan Kent menoleh lalu ia tersentak karena kaget
"Aa...al..?"...

==========

"Kalian kok bisa bareng sih?" tanya Kent pada Mei dan Alice.
"Eh nggak sengaja, aku ke ruanganmu mau mengembalikan bukumu, trus pas ke luar ruanganmu karena kamunya nggak ada, kok aku ketemu Al,  Al juga mau ke kamu Kent, ya sudah aku ajak ke sini, pasti kamu ada di sini, dan bener ternyata, bukumu dah aku taruk di mejamu ya Kent," ujar Mei sambil sesekali melirik James yang entah mengapa wajahnya jadi aneh.
"Al ngapain kamu cari aku?" tanya Kent yang surprise melihat penampilan kakaknya yang terlihat bersih,  rambutnya yang biasanya dikuncir asal,  jadi tergerai panjang hampir sepinggang, kemejanya yang biasanya lusuh, saat ini menggunakan kemeja berwarna biru yang lengannya dilipat sesiku dan kaos putih di dalamnya, celana jinsnya pun tampak bersih, tapi tetap dengan sepatu bootnya.

"Eeem ini aku bikin hiasan gantungan kecil yang bisa diletakkan di depan pintu rumah ato apartemen, ini kalo kalian bertiga mau," suara Alice terdengar grogi, ah tidak biasanya pikir Kent.
"Waaaah cantik banget Alice, aku mau," Meisya mengambil satu untuknya dan satu lagi ia pilihkan untuk James, ia letakkan di depan tumpukan pekerjaan James.

"Nih James punya kamu," Mei menatap James yang masih saja asik dengan pekerjaannya. James mendongak menatap Meisya.
"Ada apa wajahmu kok aneh dosen ganteng, ikut aku saja yok ngirim barang ke Indonesia, dua minggu lagi aku pulang, prepare nikah, eh iya ini undanganku James,  datang ya sama om Ben, aku ngarep banget yah," Mei menatap James yang wajahnya menegang menerima undangan dari Meisya.
"Nih buat kamu Kent, Alice ajak ya kalo mau," Kent menerima undangan dari Mei dan menatap Alice.
"Kamu mau ke Indonesia,  kan sejak dulu kamu pengen," ajak Kent pada Alice dan Alice hanya mengedikkan bahunya perlahan.
"Datang ya Alice,  bareng Kent, James juga,  enak kan rame-rame, teman-teman juga mau datang loh James," Mei menatap James yang sejak tadi diam.
Meletakkan undangan dari Mei di lacinya dan berdiri.

"Ikut aku bentar yok Mei, maaf Kent,  Alice,  aku tinggalkan kalian," James ke luar dari ruangannya sambil menarik tangan Mei.
Mei berteriak-teriak.
"Heiiii heiiii, aku mau maketkan barang dulu, Jaaaames aduh narik narik sembarangan."

Alice menatap kepergian James dan Mei dengan tatapan sedih, tapi setidaknya Alice mendengar untuk pertama kali ia disapa dengan benar oleh James, meski tanpa melihatnya.

"Kamu benar-benar menyukainya Al, kamu terlihat cantik hari ini," ujar Kent menatap kakaknya tanpa berkedip.
"Apa aku berlebihan Kent, awalnya aku mau pakai rok tapi aku melihat di cermin seperti bukan aku, biarlah dia melihatku seperti apa adanya aku," ucap Alice dengan suara datar.
"Kamu tetap cantik sekalipun tampil kumal, tapi kamu yang sekarang terlihat lebih manusia daripada penampilanmu tiap hari," Kent memandang kakaknya dari atas ke bawah.
Alice memukul lengan Kent, Kent mengaduh dan tertawa sangat keras.

Mereka berdua meninggalkan ruang kerja James berjalan beriringan.
***

"Ada apa James kamu mengajakku ke tempat ini?" Mei menatap James sambil tersenyum.
Sementara James menatap Mei dengan perasaan tak menentu.
"Entahlah, aku ingin mengajakmu makan, setelah kamu menikah rasanya tidak enak kalo kita sering terlihat berdua," James menikmati berbagai minuman yang ia pesan.
"Kamu mau apa sih James pesan minuman kok macem-macem?" tanya Mei heran tak biasanya seperti ini.
"Aku juga pesan makanan banyak, jadinya kan bener Mei,  imbang sama minumannya," James berusaha bercanda.
"Kamu stres ya James?" tanya Mei menahan tawa.
"Yah,  karena kamu mau nikah,  tahu, puas?" jawab James yang dibalas Mei dengan tawa tertahan.
"Kamu tertawa bahagia,  sementara aku sedih kayak gini," ujar James pelan.
" Jaaames jangan bikin aku sedih,  kamu tetap dosen gantengku, kakakku, sahabatku, eh James, kayaknya,  baru kayaknya niiiiih kakak si Kent suka kamu deh,  aku liat dari tatapannya sama kamu,  groginya tadi, kayaknya baik deh dia James," ujar Meisya memegang lengan James. James hanya mendengus kesal.
"Aku belum siap untuk jatuh cinta lagi Mei,  biarlah aku sembuhkan dulu, aku mau berhubungan dengan seseorang saat hatiku benar-benar siap, aku tidak mau pikiranku mendua,  kamu terlalu mengusai hati,pikiran dan emosiku," James menghentikan luapan emosinya saat makanan yang ia pesan datang.

Mei terbelalak, apa maksud James kok pesan makanan banyak.
"Makanlah,  aku hanya ingin kenyang dan tidur,  berharap segera melupakanmu, dan hidup normal,  mencintai wanita lain dan menikah," ucap James berusaha tersenyum meski Meisya melihat ada kilatan sedih dimatanya.

Meisya diam saja, ia merasakan kesedihan James, meski terlihat makan dengan lahap, sesekali ia melihat James memejamkan matanya dan bernapas dengan berat.
Mei memegang tangan James, James menatap Mei yang ada dihadapannya, menghentikan suapannya dan berusaha tersenyum lalu melanjutkan makannya.

Saat James sudah merasa perutnya penuh ia hentikan, sementara Meisya sudah sejak tadi menghentikan makannya.
Mei merasa kenyang bahkan sebelum mereka makan karena wajah sedih James membuat Meisya merasa bersalah.

"Aaah aku sangat kenyang Mei, pulang yuk," ajak James dan di saat bersamaan muncul Kent dan Alice.

Mei berteriak memanggil mereka. Kent tersenyum lebar sementara Alice terlihat melangkah ragu saat melihat James yang sempat meliriknya meski sekilas.

"Wah siapa ini yang ulang tahun mengapa masih banyak makanan yang tersisa?" tanya Kent sambil menatap James dan Meisya bergantian.
"Nggak usah banyak tanya duduklah dan pesan minuman sana," ujar James.

Akhirnya Alice duduk di sebelah Meisya, ia merasa grogi karena kawatir James membandingkan dirinya dengan wanita cantik di sampingnya.

"Al,  nanti sepulang aku dari Indonesia,  boleh ya aku ke galerimu,  aku ingin ikut kelasmu," ujar Meisya.
"Boleh,  siapapun boleh," sahut Alice mengangguk. James melirik sekilas pada Alice yang duduk bersebelahan dengan Mei di seberang meja.

Akhirnya Mei dan James memutuskan untuk pulang menunggu Kent dan Alice selesai makan.

"Kamu kemana dulu Kent kok baru nyampe ke sini?" tanya Mei. Kent melirik Alice sekilas.
"Ke ruanganku cerita-cerita dulu sama dia, maklumlah kami sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing, jarang bertemu, kami kan sudah mandiri, tinggal di apartemen sejak kuliah, jadi ya kebersamaan kayak gini betul-betul kami manfaatkan dengan baik," Kent melanjutkan makannya.

Ponsel di tas Meisya berbunyi, Mei melihat ponselnya dan nama Edwin tertera di sana.

"Halo kakak sayang"
"Lagi di mana?"
"Nih makan sama James, Kent, kakaknya Kent juga, ada apa kak?"
"Nggak cuman mau bilang aja, bilang ke James, om Ben diharap banget hadirnya pas kita nikah,  beliau orang sibuk jadi biar ngosongkan jadwal sibuknya supaya hadir pas kita nikah"
"Udah, tadi aku dah bilang sama James, eh iya, tadi aku maketkan barang kak, bilang ke orang rumah kalo datang taruk aja di kamarku"
"Taruk di kamarku ajalah,  toh ntar jadi kamarmu juga"
(seketika wajah Mei jadi memerah) ih kakak mesti"
"Eh benerkan, ntar lagi kita benar-benar sekamar"
"Udah ah malu,  nih ada banyak orang di sini"
"Iya dah, nanti kakak telpon lagi ya,bai Mei, love you"
"Love you, kakak"

Mei menutup sambungannya dengan Edwin dan memasukkan ponselnya dalam tas.

"Mei,  kamu mesra banget sama si Ed,  nggak ngerti kita yang patah hati kamu tinggal nikah," Kent berusaha tertawa dan menyudahi makannya.
Meisya hanya tertawa mendengar gurauan Kent, ia melihat wajah James yang menatap piring kosong.

"Yuk kalo kita mau udahan,  aku sama Alice sudah nih, kamu stres apa depresi sih James, pesan makanan segitu banyaknya," Kent terbahak melihat wajah James yang menatapnya dengan pandangan tak suka.
"Ah banyak bicara kamu,  ayo dah kita pulang saja," James berdiri diikuti oleh yang lain,  akhirnya mereka memutuskan ikut mobil Kent.
***

Mei menatap barang bawaanya,  besok pagi jam 9 ia akan kembali ke Indonesia, menikmati liburan dan pernikahannya yang sudah di depan mata.
Ada kelegaan semuanya sudah siap. Mei melirik jam, masih jam tujuh malam, Mei beranjak ke dapur membereskan semuanya,  agar besok ia tinggal berangkat saja.

Bel berbunyi saat ia baru saja selesai dengan urusan dapur. Ah siapa ya, pasti nih kalo nggak James ya Kent tapi Kent nggak pernah ke sini sih. Siapaaa ya
Mei melangkah ke pintu, dan muncul wajah yang tak pernah ia duga dan berteriak kegirangan, melompat dan memeluknya dengan mesra.

"Kaaaak..."
***

"Kakak kok nggak bilang-bilang kalo mau datang," Meisya melepas pelukannya dan Edwin segera menurunkan Meisya dari dekapannya.
"Aku menjemput pengantinku," Edwin tersenyum mesra pada Meisya.
"Ih bikin malu Mei saja," Meisya menenggelamkan wajahnya pada dada Edwin dan Edwin menangkup pipi Mei, mendekatkan wajahnya pada wajah Meisya, mengecup bibir Mei sekilas.

Pemandangan mesra yang menyakitkan bagi James karena ia melihat itu semua dari jauh, James berniat menemui Meisya karena Mei akan berangkat besok ke Indonesia untuk persiapan pernikahannya, James tidak mengira jika Edwin datang menjemput. James membalikkan badannya, memasukkan tangannya pada saku jaketnya, berjalan pelan dan menunduk. Semoga bahagia Meisya.

Edwin memeluk bahu Meisya dan masuk ke apartemen Mei.
"Besok kita pulang bareng, aku sudah mengirim tiketnya kan?" Edwin berusaha memastikan.
"Oh yaaa, aku belum buka, aku pikir ibu yang ngirim," Mei tertawa dan ujung kepalanya diciumi oleh Edwin.
"Kamu pasti belum makan nih kakak belikan fried chicken di fastfood sama french friesnya, nggak papa ya, aku tahu kamu nggak gitu suka, tapi makan ya Mei," pinta Edwin. Mei mengangguk cepat.
"Sayaang kalo di rumah, pas nggak ada orang kayak gini pakailah baju yang benar, jangan tanktop kayak gini, kamu kebiasaan deh, mana hotpansnya aduuuu bikin laki-laki pusing tau nggak, ayo sana pake baju yang bener, kakak tadi sudah diceramahi mama puanjang lebar, agar nggak ngapa-ngapain kamu," Edwin memandang Mei dari atas ke bawah.

Mei cuma nyengir dan masuk ke kamarnya, memakai kaos lengan pendek dan ke luar menemui Edwin di kamar sebelah yang masih meletakkan tasnya.

"Kakak kok tiba-tiba datangnya sih, kok nggak ngasi tau ?" tanya Meisya di mulut pintu.
Edwin menoleh dan melihat Mei sudah memakai kaosnya dengan benar.
"Naaah gitu dong sayang, pakai kaos yang benar, trus kenapa aku jemput kamu ya karena aku nggak ingin kamu kenapa-napa, masa calon pengantin pulang sendirian, sedih amat, aku ingin kamu menikmati setiap detik dalam hidup kamu penuh dengan kebahagiaan sampai akhirnya kita benar-benar bersama," Edwin berjalan mendekati Meisya yang terlihat agak takut karena mata Edwin terus menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan, dipeluknya pinggang Meisya dengan lengan kanannya dan tangan kirinya memegang tengkuk Meisya.

Tak lama Meisya kembali merasakan gelombang menakutkan saat bibir Edwin kembali membawanya ke alam yang sulit dijangkau, lama, dan saat napas Meisya hampir habis ia dorong perlahan dada Edwin. Dan menyandarkan kepalanya pada dada Edwin yang berdebar keras.

"Katanya nggak akan gangguin Mei," suara Meisya terdengar lirih, memeluk pinggang Edwin dan mencubitnya pelan. Terdengar tawa pelan Edwin.
"Maunya gitu, tapi .... tapi kamunya seolah menarik aku terus Mei, makanya aku merasa bersalah pada James saat aku memintanya merawat kamu, saat kamu cedera kemarin, dia bilang jika aku menyiksanya, aku tahu dia mencintaimu tapi tidak dapat memilikimu, aku yakin, dekat denganmu akan menjadi siksaan bagi James, tapi dia harus realistis karena akulah yang berhasil memiliki hatimu, iya kan Meisya," Edwin memeluk dan mengusap rambut Meisya.
Meisya mengangguk pelan.

Meisya melepas pelukannya dan menuju ke sofa di ruang tamu.
"Aku makan dulu ya kak, kakak mau ganti baju kan?" tanya Meisya menoleh. Dan Edwin mengangguk.
"Tunggu aku Mei, kita makan bareng," teriak Edwin mulai membuka jaket, kaos dan celananya, lalu berganti baju santai.

Mereka makan berdua saling menyuapi dan tertawa bersama, saat pintu ada yang mengetuk.

"Siapa ya kak?" tanya Meisya pada Edwin.
"Biar aku yang buka, hampir jam sembilan malam, pasti orang yang sangat mengenalmu, yang berani jam segini menemuimu," Edwin melangkah ke dapur untuk cuci tangan, lalu ke pintu dan benar dugaannya, wajah James ada di sana.

Edwin tersenyum lebar, sementara James berusaha untuk bisa tersenyum, mereka berpelukan dan saling meninju bahu dengan pelan.

"Masuklah, kalo mau ayo makan bertiga," Edwin dan James berjalan beriringan dan Edwin tidak melihat Mei di sofa, tak lama Meisya ke luar dari kamarnya dengan menggunakan celana jins. Meisya merasa tidak enak jika dia hanya menggunakan hotpants saat ada James, Edwin pasti marah-marah nanti.

"Ayo makan James, ini masih ada, kami hampir selesai, nggak papa ya, aku lanjutkan, aku lapeeeer banget," Edwin tertawa dan menawarkan Sofdrink pada James. James menggeleng dan memberikan goodybag pada Meisya.
"Ini Mei, kado untuk kalian, aku berikan di sini, karena nanti saat ke Indonesia aku nggak akan bawa barang banyak, paling baju ganti untuk dua tiga hari," Meisya menerima dan melihat kotak yang terbungkus apik berwarna gold.
"Apaan nih James, berat banget?" tanya Meisya sambil meletakkan kado dari James di meja.
"Parfum, untuk mu dan Edwin, sepasang, biar kalian jadi pasangan selamanya," ujar James sambil menelan salivanya yang mendadak sulit ia telan.
"Terima kasih doa dan kadonya James, aku selalu mendoakan, agar kamu juga menyusul kami menikah," ujar Edwin menatap James yang kembali berusaha tersenyum.
"Ih kakak, doainnya jangan ngeloncat, mau nikah sama sapa kalo belum ada pasangan, semoga cepet dapat pasangan, baru nyusul kita nikah, kayaknya sudah ada deh, cuman Jamesnya belum nyambung hihihi," Meisya menggoda James, sementara James melotot ke arah Meisya.
Edwin menatap James penuh tanda tanya.

"Bener James, ah semoga segera jadian deh kalo gitu," ujar Edwin sambil tertawa.
"Ah itu karangan Mei aja," sahut James melihat Mei sekilas dengan tatapan tak suka dengan gurauan Mei tadi.
"Eh beneran kak, kayaknya si Al itu suka sama kamu James, waktu di ruangan kamu itu ih dia cantik loh, pertama ketemu aduh kotooor semua bajunya, tapi pas ketemu lagi ih cantik dia ternyata, mutiara yang belum di asah gitu, bener deh James dia cantik, meski aku melihat matanya jadi sedih kalo liat kamu, paling karena kamu cuekin," ujar Mei kembali melihat mata James melotot padanya. Mei jadi tertawa dan Edwin geleng-geleng kepala melihat kedunya.

"Nggak usah sok melotot-melotot, mata kamu sulit melotot hahahaha ayolah Alice cantik loh," Meisya semakin menjadi menggoda James.
"Lama-lama dia menjengkelkan Ed, aku pulang saja, ngeladenin Mei bisa mangkel bener aku," James melihat Edwin yang juga tertawa.
"Siapa Al, teman kamu sayang?" tanya Edwin pada Mei. Mei menggeleng.
"Kakak si Kent, perupa dia, punya galery seni kak, keren banget, galerynya terkenal loh, aku pengeeen ntar ikutan kelasnya," Meisya menjelaskan pada Edwin.
"Oh yaaaa, ya asiklah, anak seni kayak gitu biasanya romantis loh James," ujar Edwin.
"Aduh, kalian kok kompakan sih ngerjain aku, aku pamit aja," James berdiri dan tawa Mei semakin jadi.
"Mau kemana sih James, enak-enak cerita gini," kata Edwin mencoba menahan James.
"Udah malem, aku pamit, ntar aku bareng papa ke pernikahan kalian," ujar James, Edwin dan James terlihat bersalaman, saat melihat Mei, James jadi agak bingung, ia ingin memeluk Mei tapi tidak mungkin karena ada Edwin, akhirnya James bersalaman dengan Mei dan mengacak rambut Meisya.

Bertiga mereka beriringan menuju pintu dan sekali lagi James menoleh.
"Selamat yah, semoga kalian benar-benar jadi pasangan selamanya," James tersenyum dan melangkah meninggalkan mereka berdua.

Edwin menutup pintu dan Meisya berjalan mendahului Edwin, masuk ke kamarnya lagi dan membuka celana jinsnya.

Saat ke luar menuju sofa, ia melihat Edwin yang membersihkan bekas mereka makan tadi.
"Sudah malem kak, kita tidur aja, persiapan besok balik ke Indonesia," ajak Mei.
"Yah sana tidurlah, nanti aku nyusul," ujar Edwin yang membuat mata Mei membulat.
"Eh nyusul-nyusul gimana, kakak tidur di kamar sebelah," ujar Mei berkacak pinggang, Edwin tertawa dan menuju dapur untuk mencuci tangannya.

Meisya masuk ke kamarnya, membuka kaos lengan pendeknya dan mengantinya dengan kaos tanpa lengan, merebahkan badannya, berselimut tebal sampai ke lehernya. Mei berusaha memejamkan matanya dan tak lama ia pun tertidur.

Edwin masuk ke kamar Meisya dan mendapati Meisya yang sudah nyenyak tidur, Edwin geleng-geleng kepala.

"Secepat ini kamu tidur sayang, pasti ni anak kecapean, bersih-bersih sama nyiapin yang mau dibawa besok," Edwin merebahkan dirinya di sisi Meisya, menurunkan selimut Mei dan terlihat lengan Mei yang halus. Diciumnya sekilas dan Edwin berusaha memejamkan matanya.

Tidurlah Ed, jangan diapan-apakan dia, tahanlah, hampir kok hampir. Pikiran waras Edwin mengingatkannya.
***

Meisya bangun dan mendapatkan Edwin yang tidur di sisinya, dilihatnya jam masih pukul empat, Mei melangkah ke kamar mandi dan kembali ke kasur merebahkan dirinya, tidur menyamping membelakangi Edwin.

Mei terpekik perlahan saat lengan besar Edwin memeluk pinggangnya dan menciumi kepalanya dari belakang.

"Kaaak jangan macem-macem, aku merinding loh, ingat janji kakak sama bu Minda," Mei berusaha menghentikan aktivitas Edwin.

Edwin tak mempedulikan Mei, malah mengusap perut rata Mei dan menyibak rambut panjang Mei dan menciumi leher Mei, Meisya merasakan badannya bergetar hebat, ia membalikkan badannya dan memukul lengan Edwin.

"Dibilangin kok, bikin pening aja kepala Mei, Mei nggak mau kakak nyium-nyium leher, bikin lupa segalanya, ayo sana mandi," Meisya menatap Edwin yang tertawa pelan, memejamkan matanya, terlihat jika Edwin berusaha menormalkan deru napasnya.
"Jam segini mandi, ntar aja pas mau berangkat, sekarang nih Enaknya pelukan dulu," ujar Edwin masih memejamkan matanya dan tidur terlentang.
Mei melotot melihat wajah Edwin yang terpejam tapi bibirnya tetap tersenyum.

"Kita berangkat awal kak, sarapan di bandara sekalian ya, berangkat jam tujuh tuh kak," Mei memberikan saran.
Edwin hanya mengangguk dan menoleh melihat jam.

"Ah masih setengah lima Mei, jam enam saja kita mandinya, sekarang kakak...."

Kembali Edwin memegang tengkuk Mei dan menciumnya dengan kasar, Meisya sempat kaget dan berusaha mendorong dada Edwin, dengan cepat Edwin memegang tangan Mei dan melepas ciumannya, Mei terengah dan memukul dada Edwin. Dan segera duduk lalu memegan bibir bawahnya yang terasa kebas.

"Ih kalo lapar dan pengen ngemil tuh masih ada sisa cemilan Mei di meja makan, heran deh bibir dimakan-makan kayak gini,"suara Mei terdengar meninggi, dan Edwin tertawa dengan keras.
"Sayaaang ntar kalo sudah jadi istri aku, nggak boleh protes-protes dengan suara keras gitu, malu sama mama, aku ngapain aja sama kamu, dieeeem aja yaaa, aduh Meeei Mei," Edwin masih saja tertawa.
"Makanya pelan-pelan, main nyosor aja, pake kekerasan lagi," Meisya masih saja marah dan Edwin yang masih tertawa dengan suara keras.
"Aku mandi duluan kak," ujar Mei menuju kamar mandi, Edwin hanya mengangguk. Tak lama Mei keluar dan Edwin menggantikan. Mereka bersiap-siap menuju bandara.
***

Jam tujuh tepat keduanya terlihat meninggalkan apartemen dengan membawa dua travel bag ukuran sedang.
***

Sesampainya di bandara mereka sempat sarapan. Edwin menelpon mamanya dan memberi tahu jika mereka sudah di bandara.

Setelah sarapan terlihat Meisya masih ke toilet dan kembali duduk di sisi Edwin. Keduanya terlihat asik dengan ponsel masing-masing.
Edwin dan Meisya kaget, saat bahu keduanya ada yang menepuk dengan halus. Reflek mereka menoleh dan mendapatkan wajah ramah nan teduh di belakang mereka.

Bersambung #18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER