Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 02 Juli 2021

Soto Untuk Kakak #18

Cerita bersambung

“Om Beeeen...," Meisya berteriak dan memeluk papa James, om Ben membalas pelukan Meisya dan melepaskannya sambil menepuk pipi Mei. Edwin bersalam dan mereka bertiga duduk menunggu boarding.
"Om mau ke mana?" tanya Edwin.
"Ke Indonesia,  kayaknya kita satu pesawat," ujar om Ben.
"Wah mampir ke rumah ya om?" pinta Edwin. Om Ben tertawa pelan dan menggelengkan kepalanya.
"Tidak Ed, om tahu diri, mengingat kesalahan om yang berat pada mamamu, rasanya tidak pantas jika om ke sana, meskipun hanya sebagai teman,  nanti saja pas kalian nikah," ujar om Ben dengan wajah teduhnya.
"kalian mau kado apa dari om, bilang saja, tapi mengingat Edwin bisa beli apa saja rasanya om juga bingung mau ngasi kado apa," om Ben tertawa sambil menepuk pundak Edwin.

Tak lama mereka menuju pesawat, ternyata memang benar, om Ben satu pesawat dengan mereka berdua. Tempat duduk om Ben pun tak jauh dari tempat duduk mereka.
***

Pesawat mendarat dengan mulus di bandara Internasional Soekarno Hatta. Sekali lagi Edwin mengajak om Ben ke rumahnya namun om Ben menolak ia akan langsung menuju perusahaan rekanannya dan sepertinya om Ben sudah ada yang menjemput.
***

Perjalanan yang melelahkan,  biasalah macet dan macet. Sampai juga akhirnya mereka ke rumah yang sangat dirindukan Mei. Sesaat Mei menatap rumah yang telah memberinya kenyamanan dan tempat bernaung yang teduh dan hangat. Sesaat mata Mei menghangat dan ia tersadar waktu Edwin memeluk bahunya.

"Ayo masuk sayang, loh kok mau nangis," Edwin mencium kening Mei dan melepaskan ciumannya saat mendengar teriakan yang khas di telinga Mei.
"Hoalah kok ya ciuman di sana,  mbok masuk, nooon bik Sum kangen," dan Meisya menghambur ke dalam pelukan bik Sum, menangis dan menciumi pipi bik Sum yang empuk.
"Sudah sudah ayo masuk," bik Sum menyeka air matanya dan menarik tangan Mei masuk.

Edwin hanya tersenyum melihat keduanya saling melepas rindu. Meisya mencari bu Minda di ruang keluarga dan ruang makan tapi tidak ada.

"Nyari nyonyah ya non, bentar lagi datang kok, masih ngurus apanya non sama den Ed kayaknya," ujar bik Sum dari arah dapur. Dan mulai menyiapkan makan untuk Mei dan Edwin.

Meisya menuju kamarnya dan Edwin muncul meletakkan travel bag Meisya.
"Nih aku letakkan di sini ya sayang?" Mei mengangguk dan menatap Edwin dengan tatapan aneh.
"Eh kamu kenapa sih sayang sejak awal nyampe kok maunya nangis terus?" Edwin merasakan Meisya yang tiba-tiba memeluknya dan menangis tergugu di dadanya. Setelah reda dan masih menyisakan isak,  Mei mengambil tisu membersihkan mata dan hidungnya baru ia bicara.

"Aku ingat saat awal masuk rumah ini,  penuh ragu,  apakah aku diterima ato tidak, sempat mau kabur saat penolakan kamu yang bikin aku benar-benar tak berharga, lalu ingat kasih sayang bu Minda yang membiayaiku sejak kecil yang membuatku bertahan, dan aku semakin berterima kasih pada Tuhan saat semua yang tak pernah aku bayangkan sekarang ada di depan mataku,  termasuk cinta kakak yang berawal dari soto," mata Meisya berkabut antara mau menangis dan akan tertawa.

Edwin memeluk Mei dengan erat. Mendekapnya dan menciumi ujung kepala Mei.
"Jangan kamu ingat lagi awal kamu ada di sini,  kakak jadi...jadi merasa bersalah, maafkan kakak," Edwin masih memeluk Meisya saat bu Minda tiba-tiba muncul di pintu kamar Mei.

"Heiii...heiiii ayo Edwin Mei sayaaang."
Keduanya kaget dan melepaskan pelukannya. Bu Minda melihat mata keduanya sama-sama memerah,  lebih-lebih Meisya,  matanya masih menyisakan air mata,  dan hidungnya yang merah menyiratkan tangisan yang agak lama.

Ada apa sayaaang,  kok segitunya nangis, Edwin gak ngapa-ngapain kamu kan?" tanya bu Minda. Meisya tersenyum dan menggeleng.
"Ih mama,  si Mei itu nangis karena ingat mama Minda yang baik hati kayak ibu peri,  sampe ikhlas ngasi anaknya yang ganteng ke Mei," ujar Edwin yang dicubit perutnya oleh Mei.

Bu Minda memeluk Meisya dan Mei kembali menangis.
"Ibu yang harus berterima kasih sama Mei,  sudah membawa keberkahan bagi keluarga ibu,  menyelamatkan anak ibu yang ganteng ini dari keterpurukan, tidak usah merasa selalu kecil dihadapan kami,  kamu sudah seperti anak bagi ibu," bu Minda melepaskan pelukannya dan mencium kening Mei.

"Istirahatlah Mei,  ayo Ed,  kita tinggalkan Mei," bu Minda ke luar dari kamar Mei dan Edwin mengedipkan sebelah matanya pada Meisya.

Meisya menyusut air matanya, menutup pintu dan mulai membuka bajunya. Mengganti dengan baju rumah dan melangkah ke kamar mandi.
***

Mei merebahkan badannya di kasur yang lama ia tinggalkan, tetap bersih dan harum pasti bik Sum telah merawat kamarnya selama ia tinggalkan. Mei mulai memejamkan matanya saat pintu kamarnya ada yang mengetuk.

"Iyaaa siapaaa?" tanya Meisya.
"Saya nooon,  makan yuk, sudah bibi siapin," terdengar suara lembut bik Sum. Mei sebenarnya malas tapi rasanya tidak tega menolak ajakan orang yang ia cintai.

Mei menyeret langkahnya ke pintu dan membukanya, terlihat wajah bik Sum dan Edwin di belakangnya.

"Eh ngapain kakak ikutan?" tanya Meisya. Edwin hanya cengar-cengir saja. Bik Sum meninggalkan mereka. Dan bergegas ke dapur.
"Aku yang nyuru bik Sum manggil kamu, kalo aku yang manggil pasti kamu nolak,  tadi kamu sarapan dikit dan sepanjang perjalanan kamu melamuuun aja, aku takut kamu sakit, ayo makan yuk sayang, tuh udah siap," Edwin menarik tangan Mei, dan Mei menurut meski ia capek dan ngantuk.

Di ruang makan ternyata sudah ada bu Minda.
"Ayo Mei makan dulu,  kamu kelihatan capek dan stres, hari ini kamu istirahatlah yang cukup,  besok fitting baju pengantin sama lihat gedungnya kayak apa ya,  kalo pengen ke spa nggak papa besok sekalian biar kamu agak rileks, mikir apa sih Mei?" tanya bu Minda,  mengambilkan nasi dan lauk ke pirimg Mei. Meisya hanya tersenyum dan mulai menikmati makan siangnya menjelang sore.

"Mikir malam pertama paling itu ma,  nggak nggak santai aja,  nggak nakutin," goda Edwin dan Meisya melotot padanya. Edwin terkekeh.
"Ishy ini,  nggak mikir apa-apa kan Mei?" sekali lagi bu Minda bertanya.
"Nggak kok ibu,  Mei cuman kecapean saja, bentar lagi mau tidur,  biar besok ok lagi," jawab Meisya dengan tenang.
***

Malam baru menjelang, saat Edwin masuk ke kamar Mei dan mendapati Mei yang masih tidur. Ia duduk di samping Mei yang nyenyak. Dipandanginya wajah mungil yang beberapa hari lagi akan menjadi istrinya. Diusapnya lengan lembut Mei. Kepala Edwin merunduk dan mencium bahu Mei. Mei membuka matanya perlahan,  ia menemukan wajah Edwin yang memandangnya dengan mesra.

"Aduh aku lama banget tidurnya ya kak?" tanya Mei, ia menggeliat sepuasnya dan menjerit tertahan saat sadar pakaiannya seperti apa,  cepat Mei menarik selimut sampai ke lehernya.
"Kak sana ke luar aku mau pake baju yang bener," ujar Meisya. Edwin menarik selimut Mei dan mencium bibir Meisya, Meisya meronta dan mendorong badan Edwin.

"Iiih bener-bener deh gak sabaran,  beberapa hari lagiiiii dah terserah mau diapaiiin," Mei menarik lagi selimutnya dan segera duduk meringkuk di kasurnya. Edwin tersenyum lebar. Berdiri dan hendak melangkah ke luar.

"Bener, aku pegang omongan kamu," ujar Edwin menatap tepat ke mata Meisya.
"Iyaaaaa, sana ke luar," Edwin tertawa dan melangkah ke luar dari kamar Meisya.

Cepat-cepat Mei menuju kamar mandi,  memakai dalaman dengan benar dan kaos lengan pendek.
Ke luar dari kamar mandi dan dengan cepat ia kunci pintu kamarnya,  kawatir ada penyusup mengerikan seperti tadi.
***

Pagi-pagi sekali,  bahkan saat adzan subuh belum terdengar Mei menuju dapur dan membuat soto kesukaan Edwin, ia akan memberi kejutan karena selama di Sydney ia bolak balik mendengar rengekan Edwin yang kangen pada soto buatannya.

Sekitar satu jam semuanya sudah siap,  karena sejak sore ia sudah berpesan pada bik Sum agar semua bahan disiapkan sebelum adzan subuh datang.

Saat akan berbalik ke kamarnya,  ia sudah melihat Edwin yang berdiri di belakangnya dengan tangan bersedekap di dadanya. Ia tersenyum menatap Mei. Mei mendekat dan menarik hidung Edwin yang mancung. Berjinjit lalu mencium bibir Edwin sekilas.

"Aku bikin soto untuk kakak," suara Mei terdengar serak, tersenyum namun entah mengapa matanya kembali berkaca-kaca.

Edwin memeluk Meisya dan mata Edwinpun berembun. Mendekap erat Mei ke dadanya.
"Terima kasih sudah hadir dalam hidup kakak, terima kasih bertahan di sini meski sejak awal aku menolak bahkan kasar padamu, terima kasih mau mencintaiku, I love you Meisya," Edwin mendekatkan bibirnya ke telinga Meisya. Meisya terisak dan dengan lirih dia bertanya.

"Benar kakak mencintaiku sebagai Meisya, bukan karena wajahku mirip seseorang?" pertanyaan lirih yang membuat Edwin menegang dan tertegun sejenak....

==========

Edwin mennghembuskan napas dengan berat. Ditangkupnya pipi Mei, dalam jarak dekat ditatapnya mata Meisya.

"Wajah kalian memang mirip,  tapi bukan karena wajah aku akhirnya bisa mencintaimu,  justru karena wajah kalian mirip yang awalnya aku tidak menyukaimu, sikapmu yang spontan, lugu, ramah dan kejujuranmu yang membuatku akhirnya yakin bahwa yang aku cintai Meisya,  bukan Freya, sifat kalian jauh berbeda, Freya tenang dan lembut, sedangkan kamu apa adanya, keluguan dan keramahan kamu yang membuat kakak nyaman berada di dekatmu, perlu kamu tahu,  kakak tidak pernah sedekat ini dengan Freya," Edwin menundukkan wajahnya dan menyentuh bibir Meisya dengan lembut, melepaskannya saat mendengar langkah di belakangnya.

"Halah halah pagi-pagi kok ya wis ciuman,  hmmmm ... ," Edwin terkekeh pelan, saat tawa bik Sum terdengar renyah ditelinganya.
"Ayo mau sarapan sekarang?" tanya bik Sum pada Edwin.
"Waduh kepagian bik, ntar aja," jawab Edwin.
"Halaaah wong biasanya dulu juga nyuri-nyuri makan sotonya non Mei lebih pagi dari ini,  malah pernah malam nyurinya ya non,  wong pagi-pagi sotonya dah tinggal separuh," tawa bik Sum semakin keras. Edwin menahan malu sambil menggaruk-garuk kepalanya. Meisya menahan tawa melihat wajah Edwin yang bingung.

"Ayo Meisya, Edwin, segera mandi,  sarapan dan kita fitting baju, liat gedungnya kayak apa,  dan mama pertemukan kalian sama WO nya biar tahu gimana-gimananya," bu Minda yang sudah terlihat segar dan habis mandi melangkah menuju ruang makan.
***

Hari yang sangat melelahkan bagi Meisya dan Edwin, seharian mereka melakukan cek akhir pada seluruh persiapan pernikahannya. Lelah mereka terbayar, semua sempurna sesuai rencana Edwin dan bu Minda,  Meisya hanya memberikan detail warna pada setiap pilihannya.

Hari sudah malam saat ketiganya melangkah masuk ke kamar masing-masing.
"Mei besok mama datangkan terapis ke sini, biar bik Sum yang nyiapkan tempatnya di kamar belakang, biar kamu agak rileks lah Mei,  pijat sama luluran ya, lusa kalo mau ke spa sama mama dan Edwin,  trus sekalian perawatan wajah biar lengkap," Meisya hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

Edwin menatap Meisya yang melangkah pelan. Ingin rasanya mengejar Meisya ke kamarnya dan tidur memeluk tubuhnya yang mungil,  tapi ia ingat pesan mamanya agar jangam macam-macam sampai pernikahan nanti. Edwin menghembuskan napas dan naik ke kamarnya.
***

Pernikahan kurang tiga hari lagi,  Edwina,  suami dan anak-anaknya sudah datang,  beberapa kerabat bu Minda dan kerabat almarhum papa Edwin juga sudah hadir. Semua menginap di hotel kecuali Edwina sekeluarga.
***

Satu hari menjelang pernikahan keluarga besar bu Minda berkumpul entah mengapa Meisya jadi melankolis, sejak sore ia menangis, seandainya papa mama masih hidup, pikirnya.

Bu Minda memeluk dan menghibur Meisya.
"Kalo ingin memeluk ibu peluk saja, ibu sudah mengenalmu sejak kecil, jika kangen mamamu,  peluk ibu," bu Minda mengusap rambut panjang Mei, Mei hanya mengangguk semakin mengeratkan pelukannya.

Edwin menatap Meisya dengan rasa iba,  ada rasa sesal dalam hatinya saat mengingat kembali teriakan kasarnya pada Mei saat melihat pertama kali di dalam kamarnya. Ia masih memiliki mama tempatnya melabuhkan kasih sayang, sedangkan Mei, ia tidak punya papa dan mama, bahkan keluarga orang tuanya pun dia tidak tahu, karena orang tua Mei adalah kaum urban yang mengadu nasib di kota besar ini. Saat kecil pula ia telah ditinggal oleh kedua orang tuanya menghadap Tuhan.

Mei menghentikan tangisnya dan bu Minda mengajak Mei ke ruang tamu berkumpul bersama seluruh keluarga besar dari papa dan mama Edwin.
Mei dan Edwin menggunakan baju dengan warna senada,  mereka mendengarkan nasihat dari para pini sepuh setelah sebelumnya ada acara

Saat malam makin larut semuanya masih saja bercengkrama. Secara halus bu Minda menyarankan kembali ke hotel.
"Hayo hayoooo pada balik ke hotel,  besok jam 10 tepat ijab kabul dimulai loh, dan jam 12 kita langsung nerima tamu untuk resepsi pernikahannya,  kasian nih calon pengantin harus jaga stamina biar nggak loyo," semuanya tertawa dan satu persatu beranjak meninggalkan rumah bu Minda.
"Hayo Edwiiin nggak usah lirak lirik Mei,  langsung masuk kamar,  Meisya kunci pintu kamar ya,  kalo ada yang ngetuk tanya dulu,  kalo Edwin yang ngetuk nggak usah dibukain pintu," bu Minda tersenyum melihat Edwin yang akhirnya memilih melangkahkan kakinya ke lantai dua.

Meisya melangkah menuju kamarnya, menutup pintu dan membuka jendelanya, ia melihat Edwin di sana, keduanya saling memandang, akhirnya Mei melambaikan tangan sambil tersenyum dan menutup kembali jendelanya. Berganti baju dan melangkah ke kamar mandi,  setelah membersihkan dirinya,  ia rebahkan badannya dan berusaha tidur.
***

Sejak pagi Meisya sudah dirias, ada air mata menggantung di matanya,  Mei merasa wajah mamanya selalu ada di pelupuk matanya.

"Jangan nangis ya sayaaang,  riasannya ntar nggak bagus," bu Minda berbisik di telinganya dan Mei mengangguk pelan.

Jam delapan lewat iring-iringan mobil pengantin dan rombongan bergerak menuju sebuah hotel mewah, tempat dilaksanakannya akad nikah dan resepsi pernikahan.

Jam sembilan rombongam sudah memasuki area hotel dan segera memasuki tempat acara akan dilaksanakan. Semua keluarga sudah berkumpul serta tamu-tamu penting sudah diarahkan untuk menempati tempat yang telah ditentukan.
Meisya ditemani oleh Edwina di ruangan tertentu,  sedang Edwin bersiap akan melakukan ijab kabul.

Jam sepuluh tepat acara ijab kabul dimulai, Edwin,  para saksi dan pihak dari KUA sudah duduk di bagian tengah ruangan.
Ijab dimulai dan Edwin melakukannya dengan lancar, terlihat bu Minda yang tak dapat menghentikan tangisannya meski ia sempat mengingatkan Mei agar tidak menangis.
Selesai Edwin mengucap taklik nikah, Meisya dituntun oleh Edwina untuk duduk di samping Edwin. Keduanya menandatangani surat nikah, lalu menyematkan cincin pernikahan.

Sesaat keduanya sempat saling menatap. Edwin tertegun menatap wajah Meisya yang terlihat cantik dengan kebaya warna putihnya.
Sedang Meisya segera menunduk setelah sempat menatap Edwin sekilas, ah tampannya kak Edwin, bisik hati Meisya.

Keduanya lalu diarahkan ke tempat untuk sesi foto serta untuk mendapatkan ucapan selamat dari para kerabat.

Saat duduk berdua Edwin menggenggam jemari Meisya dengan erat, dan berbisik pelan.
"Jangan kemana-mana,  setelah ini kamu selamanya akan jadi milikku."
Meisya sempat menoleh dan tersenyum. Edwin menatapnya dengan lembut.
"Jangan memancingku, bisa-bisa aku menciumimu di sini," bisik Edwin dengan lirih dan keduanya saling menahan tawa.

Selesai sesi foto, kelurga besar Edwin terlihat bersalaman dengan Edwin dan Meisya yang didampingi oleh bu Minda dan Edwina.

Diantara para keluarga yang bersalaman tampak wajah om Ben dan James, keduanya bergantian bersalaman dan memeluk Edwin dengan erat dan mengucapkan selamat pada keduanya.
Om Ben tampak memeluk Meisya yang hampir menangis, Mei tidak begitu mengingat wajah papanya sehingga pada om Benlah Mei menumpahkan segala kerinduan pada sosok papanya.
Entah keberanian apa yang membuat James berani memeluk Meisya di depan Edwin dan Edwin melihatnya sebagai salam perpisahan dari James pada Mei.

"Ed, kamu jangan cemburu lagi, aku tidak akan mencuri pengantinmu," ujar James yang disambut tawa keras dari Edwin.

Ada rasa tak enak saat bu Minda bersalaman dengan om Ben,  bu Minda menerima uluran tangan dari om Ben dan menganggguk dengan wajah datar saat om Ben mengucapkan terima kasih telah mengundangnya.
Sementara Edwina malah asik berfoto-foto dengan om Ben setelah menarik om Ben sesaat setelah bersalaman dengan mamanya, Edwina juga mengajak suami dan anaknya untuk berfoto bersama.

Selesai rangkaian acara akad nikah, selanjutnya mereka bersiap untuk acara berikutnya yaitu resepsi pernikahan, semua bergegas untuk berganti baju.
***

Resepsi pernikahan dihadiri undangan yang cukup banyak, relasi bisnis Edwin dari beberapa perusahaanya, relasi bisnis bu Minda, teman-teman Meisya dari Sydney juga ada beberapa yang hadir dan yang membuat Meisya kaget Kent hadir dengan kakaknya Alice.

Alice nampak cantik dengan sapuan makeup minimalis, menggunakan gaun simpel namun sepertinya Alice sedikit merasa tak nyaman. Meisya memeluknya saat ia mengucapkan selamat.

Edwin sempat berbisik pada Kent,
"Temani James, Kent, ia sepertinya duduk sendirian." Dan Kent mengangguk
"Pasti, aku jauh-jauh datang dari Sydney punya misi khusus," ujarnya sambil tertawa terbahak-bahak.

Para tamu mulai menikmati hidangan,  sedang Edwin dan Meisya sesekali tampak masih melayani tamu yang bersalaman dan berfoto.

Saat semakin sore undangan mulai berkurang, Meisya dan Edwin dapat bernapas dengan lega. Dan Mei agak kaget waktu Edwin tiba-tiba merengkuh bahunya dan berbisik,
"Lihatlah di sisi pojok kanan arah jam dua, James duduk dengan saudara Kent, wajah mereka terlihat aneh."
Meisya menatap keduanya sambil menahan tawa melihat ekspresi James yang terlihat datar, sementara sesekali Alice mencuri-curi menatap wajah James.

Om Ben baru muncul saat tamu mulai sepi. Menyalami kedua mempelai lagi meski pada saat akad nikah sudah dilakukan oleh om Ben.

"Om kenama saja kok baru muncul?" tanya Edwin.
"Om istirahat,  setelah acara akad nikah tadi om tiduran bentar,  om kan nginep di hotel ini, om kayaknya kecapean,  kurang istirahat paling,  makanya James sendirian," om Ben tetap tersenyum meski wajahnya terlihat lelah.
"Nggak sendirian lagi kok om,  sudah ada yang nemenin," ujar Mei sambil menunjuk James yang duduk berdua dengan Alice.
Om Ben menoleh dan menahan tawa saat melihat ekspresi James.

"Ada apa dengan wajah anak itu,  apa dia sakit ya?" terdengar tawa pelan om Ben, sedang Edwin dan Meisya tertawa dengan riuh.
"Om mungkin akan balik besok ke Perth,  tapi kalo capek ya ke Sydney dulu lah,  istirahat di apartemen James," ujar om Ben sekali lagi memeluk Edwin dan Meisya bergantian, lalu berjalan ke arah James dan Alice duduk.

Menjelang sore acara telah usai, bu Minda mendatangi Meisya dan Edwin.
"Kami akan segera pulang ke rumah,  Edwina besok akan menemui kalian di sini karena besok dia,  anak dan suaminya balik ke Singapura, kalian bisa tiga empat hari lagi di hotel ini,  akan mama antar ke kamar kalian, ayo Edwin,  tutun Meisyanya sayang," bu Minda tampak berjalan mendahului Edwin dan Meisya.

Sesampainya di kamar yang di maksud, bu Minda memberikan idcard kamar hotel.
"Ini pegang kamu Ed, baju kamu dan Meisya untuk tiga empat hari sudah mama siapkan, segala sesuatunya juga sudah mama siapkan di dalam,  mama balik lagi ke ruangan tadi ya," bu Minda memeluk Meisya dan berbisik,
" Selamat datang di keluarga kami,  panggil mama ya, jangan panggil ibu lagi," bu Minda mencium kening Meisya dan menoleh pada Edwin,
"Jangan kasar-kasar, ngerti."
Dan Edwin tertawa lebar,
"Siaaap laksanakan."

Bu Minda berlalu dan Edwin membuka pintu kamar hotel dengan id card dari mamanya. Berdua mereka masuk beriringan. Meisya memandang takjub kamar yang akan mereka tempati.

"Luas banget kak ya," Meisya menuju meja rias, dan duduk di sana, melepaskan semua perhiasan yang melekat di badannya.
"Ya enak luas kayak gini sayang, kita bisa ngapa-ngapain di sini," Edwin tertawa sambil mencium pipi Meisya dari belakang dan membantu membukakan gaun Meisya. Meisya memutar badannya menghadap Edwin dengan wajah bersemu merah.
"Kakak menghadap sana dulu,  Mei mau ganti baju, mau bersihin wajah,  mau ke kamar mandi," ujar Meisya dengan suara memohon.
"Buka aja,  kakak nggak akan ngapa-ngapain sekarang, kakak juga capek," ujar Edwin sambil membuka jas darkgreynya, celananya dan semua yang melekat di badannya dan dengan santai hanya menggunakan boxernya berlalu dari hadapan Meisya yang menutup wajahnya.

Edwin mengambil baju yang telah di sediakan oleh mamanya dan melangkah ke kamar mandi. Dengan gerakan cepat Meisya membuka gaunnya dan segera mencari baju untuk ia gunakan.

Meisya sempat bingung karena baju tidur yang disediakan bu Minda kok modelnya nakutin semua, tipis dan membuat Meisya tak nyaman, ada sih baju yang agak tebal tapi kayaknya buat ntar pulang ke rumah ato untuk jalan-jalan, haduh Meisya bingung. Akhirnya ia mengambil satu dan terpaksa Mei gunakan.

Mei kembali ke meja rias dan mulai membersihkan wajahnya. Terdengar pintu kamar mandi dibuka dan Meisya semakin merasa tidak nyaman.

"Sana kalo mau ke kamar mandi sayang," ujar Edwin yang duduk di kasur tak jauh dari Meisya duduk. Meisya melangkah ke kamar mandi dengan bingung. Edwin menahan tawa dan geleng-geleng kepala.

"Kamu kenapa?" Edwin mendekati Meisya yang terlihat bingung.
"Ibu kok nyediakan bajunya kayak gini semua," ujar Mei pelan.
"Nggak papa, biar enak kalo aku nariknya," Edwin semakin gemas melihat Meisya yang ketakutan. Ia gendong Meisya ke kamar mandi dan menurunkannya di sana.
"Mandilah, aku nggak akan ganggu kamu."

Agak lama Meisya baru ke luar dari kamar mandi, terlihat Edwin yang tertidur, mungkin karena kecapean.

Perlahan Mei merebahkan badannya di samping Edwin, menghadap ke wajah Edwin yang nyenyak. Mei menatap dalam diam, wajah tampan di hadapannya, wajah yang sejak awal ia lihat sudah membuatnya tertarik meski sempat sebal juga, Mei tersenyum jika mengingat itu.
Ada keinginan untuk menyentuhkan tangannya pada wajah lelap Edwin tapi ia tahan.

Edwin membuka matanya dan mendapati mata Meisya yang menatapnya dan kaget saat Edwin tiba-tiba menarik pinggangnya lebih dekat. Menciumnya dengan lembut dan lama.

"Kebiasaan, beraninya mandangin kakak diam-diam," ucap Edwin saat melepaskan ciumannya. Edwin mencium Meisya lagi,  menahan tengkuk Meisya untuk memperdalam ciumannya. Mei mendorong perlahan.
"Apa lagi?" tanya Edwin dengan suara parau. Mei menggeleng dan menyusupkan kepalanya ke dada Edwin.
"Takut," ujat Mei pelan. Edwin mengusap lengan dan punggung Meisya.
"Kakak tidak akan membuatmu takut, kakak akan membuat Mei nyaman dan damai," Edwin menyibak rambut basah Mei dan mencium leher Meisya perlahan. Membuka baju tidur Meisya dan...
***

Edwin memeluk tubuh Meisya, ia masih merasakan debaran jantung Meisya yang masih bergemuruh dan keringat yang membasahi tubuh Mei.
"Masih sakit?" tanyanya perlahan, dan Meisya mengangguk menahan tangis.

Edwin tersenyum dan mencium ujung kepala Meisya.
"Nanti akan hilang sakitnya, kamu akan terbiasa, mau lagi?" tanya Edwin setengah berbisik, tertawa perlahan dan Meisya memukul dada Edwin.

"Nggak sekarang, ini digerakin aja sakit," Meisya merengek perlahan.
"Iyah dah,  ntar malem aja ya?" Edwin kembali tersenyum saat Mei menggeleng dengan cepat.
"Kakak paksa aja klo nggak mau," Edwin tertawa saat Mei mencubit perutnya.
"Jangan nyentuh-nyentuh kakak, ntar kakak terkam lagi kamu," Edwin makin keras tawanya saat melihat Mei ketakutan dan malah memeluk Edwin.

Edwin mengeratkan pelukannya merasakan kulit mereka yang bersentuhan.
Dan Edwin terlihat tak suka saat ponselnya berbunyi...

Bersambung #19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER