Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 03 Juli 2021

Soto Untuk Kakak #19

Cerita bersambung

Edwin berjalan menuju ponselnya di meja dan melihat nama Zaki tertera di situ.
Apaan dokter cabul dah gak datang lo ke nikahan gue, gangguin lagi
"Wahahahah napa lo lagi ena ena keganggu ya hahahahha"
"Bangke lo, dah tau, nanya lagi"
"Pasti lo gak pake baju"
"Ngomong lagi lo, mau apa lo Zak, gue tutup nih"
"Tunggu, tunggu, sorry gue gak bisa hadir, gue ada seminar di Singapura Ed, seminar profesi gue, tapi istri gue hadir kan"
"Iyaaah trus apa lagi"
"Ntar gue dateng dari SG, pasti ke lo deh"
"Oleh-oleh, ngerti"
"Apaan jamu kuat ramuan Cina"

"Pala lo, lo kira gue impoten apa"
"Wakakakak emang udah berapa ronde lo"
"Tutup dah Zak mulut lu tamba gak karuan"
"Ok dah lanjut ampe pagi Ed wahahahah"
"Bangke lo"

Edwin tersenyum sambil menutup sambungan ponselnya dan meletakkan kembali di meja lalu menuju kasur, ah Mei sudah tidur, Edwin menyibak rambut Mei yang menutupi sebagian wajahnya dan menaikkan selimut agar menutup tubuh Meisya yang masih terlihat punggungnya.
Edwin sendiri masuk ke dalam selimut yang sama dengan Meisya dan menarik sampai ke pinggangnya dan memeluk tubuh Meisya dari belakang.
***

Sementara itu Kent terlihat bingung mencari Alice, karena terakhir ia melihat bersama James dan setelah kembali ke meja tempat mereka berdua duduk di ruang resepsi,ia tidak melihat mereka lagi.

Kent menelpon Edwin dan terdengar gerutu dari Edwin.
"Gimana sih kamu Kent, kakak kamu nih sakit, dia megang perutnya dari tadi, nggak kamu kasi makan apa, cepat ke sini, aku ada di bagian buffet hotel ini"
"Ok ok aku ke sana James"

Kent melangkah cepat setengah berlari dan menemukan James yang memandang kawatir pada Alice. Sedangkan Alice menyandarkan kepalanya pada kursi sambil memejamkan matanya.

"Al kamu nggak papa kan?" tanya Kent, Alice hanya menggelengkan kepala.
"Nggak papa, ini cuman bentar kok, aku tadi sudah minum obat, aku cuman telat makan aja," Al menjawab sambil memejamkan matanya.
"Gimana sih kejadiannya James, aku tadi mencari kalian, kok di meja itu nggak ada lagi kalian," Kent merasa bersalah pada James dan Alice.
"Kamu yang kemana aja, kami nunggu lama, aku ajak dia makan nggak mau, ya udah aku makan sendiri, trus lama-lama dia megang perutnya dan aku papah ke sini, nggak kuat jalan dia tadi," ujar James terlihat marah pada Kent.
"Aduh maaf James, tadi aku ketemu kawan lama teman kuliah di Sydney, dia jadi dosen juga di sini, nawarin aku jadi dosen tamu di sini selama dua tahun, yah aku bilamg masih mau konsultasi ke lembagaku dulu, makanya maaf ninggal kalian agak lama," ujar Kent memberikan alasan.

Iyah dah Kent, bawa kakakmu ke kamarnya, aku mau nemuin papa di kamar, papa juga kurang sehat," James berdiri mengambil ponselnya dan memasukkan ke sakunya, saat akan melangkah terdengar suara Alice.
"Makasih James," ujar Alice memandang punggung James yang akan berlalu, dan James hanya mengangguk tanpa menyahut.

Kent mendekati Alice yang masih memegang perutnya.
"Al kamu beneran sakit, nggak modus kan?" tanya Kent menahan tawa.
"Lihat wajahku, apa terlihat bohong, sudah tau melilit nih perut malah di kira modus," Alice terlihat marah pada Kent.
"Iya iyaaa aku pikir kamu pengen dipapah James," ujar Kent lagi sambil tertawa, dan Alice berusaha bangun.
"Terserah kamu mau ngomong apa, nggak tau perut masih melilit, aku mau ke kamar Kent, kita jadi kan pulang besok?" tanya Alice dan Kent mengangguk.
***

Mei bangun saat dirasakannya lengan Ed yang melingkar dipinggangnya. Diusapnya pelan jari-jari tangan Edwin, dan diciuminya perlahan.

"Mau lagi?" suara serak Edwin mengagetkan Meisya.
"Nggak," suara Mei pelan, namun Edwin tetap menciumi punggung Mei dan Mei tahu Edwin tak bisa dihentikan....

Satu jam kemudian, Edwin kembali memeluk Mei yang memejamkan matanya.
"Maafkan kakak," Edwin mengusap keringat di pelipis dan pipi Mei.
"Masih sakit?" tanya Edwin lagi. Mei membuka matanya.
"Nggak gitu sakit, tapi jangan lagi ya kak, Mei capek," Mei menyusupkan kepalanya ke dada Edwin. Edwin tertawa perlahan dan mengusap rambut Meisya.
"Kakak mandi dulu ya Mei, ato kita bareng aja?" tanya Edwin sambil menggoda Mei.
"Nggak nggak, ih kakak," wajah Mei jadi merah menahan malu.
"Alah sekarang kalo dah kejadian malu, dulu pas awal di rumah, nulis apaan coba di buku harian, pengen gigit lah, pengen itu lah," Edwin tertawa melihat Mei menutup wajahnya dengan selimut.

Edwin melangkah ke kamar mandi. Dan Meisya memekik pelan,
"Ih kak, pake apa kek, selimut, ato apa gitu, gak malu kayak gitu," ujar Mei sambil sesekali mengintip dari balik selimut.
Edwin berbalik menghadap Mei dan Mei kembali memekik dan menutup wajahnya dengan selimut. Terdengar tawa Edwin yang menutup pintu kamar mandi.

Dengan cepat Mei bangun dan memakai baju tidurnya, duduk di meja rias dan menatap wajahnya yang terlihat lelah.
Tak lama Edwin ke luar dengan rambut basah dan handuk yang melilit pinggangnya.

"Sana kalo mau mandi, trus kita makan, aku tunggu," ujar Edwin berlalu di hadapan Mei. Meisya menggantkkan Edwin ke kamar mandi.

Tak lama Meisya ke luar dari kamar mandi, melihat Edwin yang sudah berpakaian lengkap, duduk di sisi ranjang dan memunggunginya, terlihat sedang asik dengan ponselnya.

Mei megambil baju dan melihat pada Edwin.
"Kak, kita mau makan di mana? Kok kakak bajunya kayak gitu?" tanya Meisya.
"Makan di buffet hotel ini sayang, kenapa, kalo kamu mau makan di sini nggak papa, biar aku pesankan, masih sakit kalo di buat jalan?" tanya Edwin menatap Mei yang masih menggunakan baju tidur.
"Nggak papadah, masih agak sakit sih," jawab Mei mengambil baju yang berwarna senada dengan Edwin.

Edwin berjalan mendekati Mei dan memeluknya dari belakang,
"Kalo masih sakit nggak usah ke luar nggak papa, di sini aja," Mei membuka pelukan Edwin dan membalikkan badannya.
"Nggak papa, cuman makan kan, trus balik lagi?" tanya Mei. Edwin mengangguk. Meisya memakai celana jinsnya dan memakai kaos berlengan panjang. Lalu menyapu wajahnya dengan makeup tipis.

Mereka berjalan beriringan menuju buffet dan menemukan om Ben dan James di sana. Akhirnya mereka bergabung.

"Gimana om sudah sehat?" tanya Meisya menatap om Ben yang terlihat capek. Om Ben tersenyum ramah.
"Lumayan, besok om pulang Meisya, Edwin, oh iya, ini kado dari om untuk kalian," om Bem menyerahkan kotak kecil berwarna putih ke sisi Meisya.
"Bukalah, itu kunci apartemen, om membelikan yang lebih nyaman dari yang ditempati Meisya, meski Meisya tidak akan selamanya di Sydney, tapi karena kalian sudah menikah om pikir perlu tempat yang bagus untuk kalian tempati sebagai pasangan baru, kalian bisa menjualnya jika Mei menyelesaikan studynya," ujar om Ben sambil menatap Edwin dan Mei bergantian.8
"Makasih banyak om, kami nggak akan menjualnya, ini hadiah dari om," ujar Edwin.
"Tadi emang papa bingung Ed gimana caranya ngasi kadonya, karena papa nggak ingin ganggu kalian," ujar James yang melihat wajah Mei mulai merona.
Edwin tersenyum dan menggenggam jemari Meisya.

"Nggak papa sebenarnya kamu telpon aku James, kami dari tadi cuman tiduran kok," jawab Edwin yang memahami perubahan wajah Meisya yang terlihat malu.
"Makasih kadonya ya om, nggak akan kami jual meski aku ntar pindah ke Indonesia setahun lagi," ujar Mei menatap om Ben yang sejak tadi tersenyum melihat wajahnya.
"iya, terus terang om bingung juga mau ngasi apa, om carikan yang nyamanlah dan persiapan nanti jika Mei memiliki anak selama di Sydney," om Ben kembali tersenyum pada Meisya.

Mereka berempat makan, sesekali tampak James menatap wajah Meisya yang terlihat lelah, ada rasa sakit didadanya saat Edwin melayani Meisya makan dan perlakuan Edwin yang semakin mesra pada Meisya.

"Ok, om masuk dulu ke kamar ya, om salaman sekarang aja, takut besok pas akan ke bandara nggak ketemu kalian, pengantin baru nggak akan bangun pagikan?" om Ben terlihat menggoda Mei dan Edwin, terdengar tawa Edwin dan Meisya yang terlihat malu, Edwin dan Meisya bergantian memeluk om Ben.

Tampak Meisya yang memeluk om Ben agak lama.
"Om harus sehat ya, om harus melihat James menikah dan memiliki cucu dari James," ujar Mei setelah melepas pelukannya, om Ben mengangguk dan kembali memeluk Mei sesaat, terlihat mata om Ben yang berkaca-kaca.

Om Ben pamit masuk ke kamarnya dan tinggallah mereka bertiga melanjutkan obrolan mereka, Edwin merengkuh bahu Mei dan sesekali memainkan rambut Meisya.

"Ed, kamu nih jangan bikin aku pusing, masa bermesraan di depanku," ujar James yang di balas tawa Edwin yang keras.
"Aku ini nyemangatin kamu biar segera nikah, masa nggak pengen?" tanya Edwin lagi dan masih menyisakan tawanya.
"Siapa yang nggak pengen nikah, masalahnya, mempelai wanitanya nggak ada," ujar James tertawa sumbang.
"Itu tuh mempelainya berjalan ke arah kita," Edwin memberi kode dengan menaikkan alisnya menuju ke arah belakang James.

James menoleh dan seketika wajahnya berubah....

==========

Kamu,  Mei,  Kent sama saja, nggak ada calon lain apa?" ujar James dengan nada kesal.
"Apa yang kurang dari dia James?" tanya Edwin. Mei menganggukkan kepalanya.
"Iyah bener apa yang kurang dari Alice, cantik,  mandiri dan mapan,  meski agak tomboi," ujar Mei menambahkan.
"Dia punya masa lalu yang nggak enak,  aku kawatir masa lalunya akan mengganggu hubungan kami ke depannya," ujar James pelan. Mei dan Edwin berpandangan.
"Kamu tahu dari siapa?" tanya Edwin.
"Kent ," James menjawab pendek.

Mereka menghentikan pembicaraan saat Kent dan Alice bergabung. Kent menatap wajah Edwin dan Meisya bergantian dengan wajah ceria.

"Waaaah nih pengantin baru kok ada di sini,  aduh nggak nyangka masih sempet ke luar kamar," Kent tertawa geli melihat Mei melotot padanya.
"Kamu kira kami mau di kamar sepanjang hari?" tanya Mei menahan malu.
Edwin dan Kent tertawa bersamaan. James hanya tersenyum sedang Alice nampak bingung mau duduk di mana.

"Sini Alice dekat aku,  sini," panggil Mei yang sengaja mendekatkan Alice dengan James, James menggeser kursinya agak menjauhi Alice.
"Malam kayak gini kalian baru mau makan?" tanya Meisya.
"Lah si Al baru enakan, tadi dia sempat sakit perutnya," ujar Kent dan Mei membelalakkan matanya.
"Lah kok bisa?" tanya Mei.
"Biasa dalam rangka diet," jawab Kent asal, Al menatap Kent sambil memberengut.

Mei dan Edwin menunggu Kent dan Al selesai makan, barulah mereka pamit untuk masuk kamar.

"Mei,  kamu kenapa kok jalannya kayak gitu?" Kent berteriak dan menahan geli saat Mei melotot lagi padanya.
"Biasalah Kent,  efek baru buka segel," Edwin terbahak dan menahan tawa saat Mei memukul bahunya perlahan.
James hanya tersenyum sambil menunduk dan pura-pura sibuk menghabiskan ice lemon teanya.

Edwin memeluk Mei dan melangkah ke arah kamar mereka. Jam 12 tepat mereka baru masuk kamar.
Edwin terlihat sudah berganti kaos dan celana pendek, ia sempat mengaduk-aduk baju apa saja yang disiapkan mamanya dan sempat terkekeh geli melihat piyama berwarna offwhite.

"Mama ini aneh-aneh aja,  masa aku dibawain piyama model gini, mending gak usah pake baju dari pada keliatan aneh," ujar Edwin memperlihatkan piyama pada Mei.
"Ya sama, yang Mei ya gitu,  masa baju tidur kok model nakutin semua, duh jadi nggak nyaman deh,  mending besok kita pulang ya kak?" Mei merengek pada Edwin. Edwin menggeleng dengan cepat.
"Kamu ini gimana sih,  kalo untuk kamu, itu model bagus baju tidurnya,  bikin nggak bisa tidur yang liatin, dan kita nih sayang harus ngehargain mama kalo masalah hotel,  dia yang booking nih hotel jauh-jauh hari, masak cuman sehari,  masih dua lagi lagi kita di sini, ayo cepet ganti baju,  trus sini, deket kakak," Edwin berbaring sambil menepuk kasur agar Mei mendekat, Mei hanya melotot dan berganti baju membelakangi Edwin.
Edwin menatap Mei yang terlihat malu dan ragu membuka bajunya.

"Cepet ah buka aja, kakak nggak akan gangguin, kalo lama ntar kakak samperin loh," Edwin menahan tawa, melihat Mei patuh segera mengganti bajunya dengan baju tidur yang dirasa aneh oleh Mei.

Dengan menahan malu Meisya berjalan menuju kasur dan menenggelamkan badannya dalam selimut. Edwin dengan gemas memeluk erat Meisya sambil menciuminya dan Meisya menjerit-jerit sejadinya.

"Apaan sih Mei?" tanya Edwin sambil tertawa.
"Aaaah kakak sih meluk-meluk sambil gelitiki Mei geli tau, Mei nggak suka di gelitiki, peluk aja, ato cium aja," Meisya terlihat kesal.
"Iya iyaaaaa, sini dekat kakak," Edwin memeluk Meisya dengan lembut,  menciumi telinganya dan..
Ponsel Edwin berbunyi....aduuh gangguan lagi,  pikir Edwin, ia beranjak dengan malas dilihatnya eh ternyata mamanya..

"Iya mamaaa"
"Belum tidur Ed"
"Baru makan sama Mei ma,  ketemu om Ben,  James juga"
"Eh sempat ke luar juga kalian"
"Iya maaa cuman sekitar hotel aja"
"Emmm Mei gimana sayang"
"Yaaa baik-baik saja maaaa"
"Emmm maksud mama, Mei nggak papa kan?"
'Ya nggak papa maaa hahahah mama nih ya, ya biasalah ma, Mei kan gitu merengek-rengek aja,  tapi ya tetep mau juga kok ma"
"Ih kamu ini, titip Mei ya sayang,  jangan aneh-aneh, jangan capek-capek, jangan sering-sering maksud mama, kasian kan dia baru pertama Ed"
"Lah Ed juga baru pertama maaa gimana sih, dulu juga gak ngapa-ngapain sama Freya, kayak nggak tau Freya aja, nyium aja maunya kening doang, lagian kalo Meinya mau kan gak papa maaa hahahah"
"Iiisshh nih anak,  ya udah tidur sana,  salam sama Mei yah"
"Iya maa"

Edwin menutup sambungan telponnya dan meletakkan di meja. Kembali mendekati Mei yang sudah mulai memejamkan matanya. Edwin memeluk Mei dan membiarkan istrinya beristirahat. Keduanya akhirnya tertidur.
***

Edwin bangun saat jam menunjukkan pukul empat pagi, dilihatnya baju tidur Mei yang sudah tidak pada tempatnya, diciumnya perlahan bahu Mei yang terbuka.
Edwin geleng-geleng kepala, nih anak tidur apa pingsan, dari tadi diciumi nggak bangun juga.

Perlahan Edwin menyentuh dada Mei dan Mei mulai bergerak.
"Iiih kakak, ngantuk masiiih, nggak usah pegang-pegang sumpah Mei capek," Mei memejamkan matanya lagi, namun ia terbangun lagi saat tangan dan ciuman Edwin kemana-mana.....

"Maaf Mei," hanya itu yang Edwin ucapkan saat Mei lemas dalam pelukannya. Meisya masih memejamkan matanya yang semakin berat.

"Heran deh kak, kok kakak nggak capek, akunya capek banget, udah ya, jangan lagi," Mei masih memeluk Edwin dan Edwin tersenyum melihat keringat Mei yang masih mengalir dipelipisnya.
"Kakak mandi duluan ya, ntar kalo Mei masih capek, biar kakak yang mandiin," Mei masih saja memejamkan matanya, sedang Edwin menuju kamar mandi.
Selesai mandi Edwin menggendong Mei yang masih terlihat capek menuju kamar mandi dan menurunkannya di bathup yang telah diisi air hangat oleh Edwin.

"Mandilah, kakak tinggal ya eeeh kok masih merem, ayo kakak mandiin?" Edwin terkekeh saat, Mei berusaha membuka matanya.
Edwin keluar dari kamar mandi dan terdengar menelpon untuk memesan sarapan.

Agak lama Mei di kamar mandi barulah ia ke luar dengan menggunakan bathrobe. Ia melihat sarapan yang sudah tersaji di atas meja.

"Kapan pesannya kok sudah datang kak?" tanya Meisya duduk di depan meja rias.
"Baruuu aja dateng, kamu lama banget di kamar mandi, kakak pikir dah pingsan di sana," tawa Edwin terdengar dan Mei yang terlihat jengkel.
"Iyaaa kakak yang bikin pingsan, ih bikin mangkel bener, dah dibilangin, masih capek kok masiiii aja terusan, apaan tuh sarapannya, Mei laper, sumpah," Mei berjalan mendekati Edwin dan melihat dua porsi nasi goreng dengan lauk telur ceplok dan ayam goreng plus irisan timun dan tomat serta dua gelas besar coklat panas.

"Iyah dah gak papa untuk sementara ini,  ntar kalo Mei masi laper kita ke luar kamar aja ya Kak?" Mei mulai menyendokkan nasi ke mulutnya,  Edwin gelemg-geleng kepala tumbeeen Mei mau makan banyak.

Saat keduanya hampir selesai sarapan, bel di pintu berbunyi,  keduanya saling tatap.
"Siapa ya Mei perasaan aku nggak pesan apa-apa lagi,  masa mama pagi-pagi ke sini, kayaknya nggak mungkin deh," ujar Edwin berjalan ke arah pintu dan bel berbunyi lagi...
"Sayang ganti baju ya, takut ada tamu ato siapa nggak enak kayaknya kalo liat kamu pake bathrobe kayak gitu," Edwin menahan tawa saat wajah Mei mulai memerah.

Edwin membuka pintu dan terbelalak melihat siapa saja yang datang,  pagi-pagi kok dah nyerbu,  emang sengaja mau gangguin aku dan Mei nih pastinya, datang kok rombongan...
***

Terlihat wajah-wajah ceria, Edwina, suaminya, anak-anaknya dan terakhir bu Minda juga turut serta.
"Yuhuuuu apa kabar pengantin baruuu, sempat mandi nggak yaaa, sempat ke luar kamar nggak yaaa?" tawa Edwina memenuhi kamar Edwin dan Meisya.
"Huus Edwina, ramenya, pintu belum ditutup sama Edwin tuh," kata bu Minda. Suami Edwina terdengar tertawa.
Anak-anak Edwina berlarian di dalam kamar hotel itu.

"Hei hei ayo duduk nih om punya cekelat dua, ayo duduk yang manis," ujar Edwin, sambil memberikan cokelat yang ia beli tadi malam di minimarket hotel saat akan masuk ke kamarnya.
"Weh tumben nyediain cokelat segala,apa ntar mainnya sambil makan cokelat biar sensasinya beda?" tanya Edwina yang di sambut tawa Edwin.

Meisya ke luar dan bergabung bersama tamu-tamu yang telah membuatnya pontang panting ganti baju.

"Waduuuh Mei tambah cantik aja," ujar Edwina memeluk Mei dan mencium pipi Mei kanan kiri, lalu Mei juga memeluk bu Minda yang mendekapnya dengan erat dan lama.
"Maaa maaaa, duduk dulu, kasian Mei kayaknya dia kecapean banget," kata Edwina dan Mei tersenyum dengan wajah memerah.
"Loh ini kok nggak dihabiskan makannya, punya siapa ini, kalo masih lapet ini mama bawa makanan, ayo kita makan semua yok, sekalian," ajak mama pada Mei dan Edwin.
"Ini nasi saya ibu mau saya lanjutkan emang eeemmm saya lapar banget," Mei meraih piring di meja dengan malu-malu. Dan tawa Edwina meledak.
"Ya ampun Eeed segitunya sampe Mei dibuat kelaperan, kasi jedalah ato gimana kek, keasikan paling tuh si Ed, ya Tuhaaan sekian lama menahan hasrat jadinya membabi buta," Edwina kembali tertawa terbahak-bahak, Edwin hanya geleng-gelemg kepala sambil menahan tawa.
"Sudah kaaak kami makan teratur, cuman tumben aja Mei makan banyak," ujar Ed menjelaskan sambil menatap Meisya yang wajahnya semakin memerah.
"Sudah sudah, ayo makan, bentar lagi Edwina sekeluarga ini mau ke bandara, balik ke Singapura," ujar bu Minda menata kotak-kotak nasi lengkap dengan sendok dan garpu.
"Anak-anakmu suapi duluan Wina biar cepet selesai, ayo Ed ini makan, Wina, ambilkan suamimu dulu nasinya,"bu Minda terlihat mulai makan.
"Aku mau makan juga ya ma, masih laper," Edwin meraih kotak nasi dan membukanya.
" Wah ini lebih asik pake tangan aja, ayam panggang kayak gini nggak seru kalo pake sendok," ujar Edwin mulai mencocol ayam pada sambel yamg ada dalam kotak.
"Heeeeem ternyata dirimu juga laper banget," ujar Edwina mulai menyuapi anaknya satu persatu. Terdengar tawa Edwin yang keras.
"Biasalah kak, kayak nggak ngerti penganti baru aja, kayak nggak tau jadi pengantin baru," Edwin kembali makan dengan lahap.
"Heeem makan kok ya sambil ngomong, nih Mei ayo makan lagi, ini punyamu, kan sudah habis nasi gorengnya, ayo ayo ngak usah malu, ibu lihat meski baru selesai mandi, wajahmu terlihat kalo capek, ayo makan," bu Minda memaksa Mei menerima kotak nasi yang ia berikan dan Mei melanjutkan makan dengan malu-malu, Edwin terlihat menahan tawa.
"Laper bener ya sayang?" tanya Edwin. Dan Mei mengangguk pelan. Tawa Edwina membahana memenuhi kamar.
"Huus ini," ujar bu Minda meletakkan kotak nasi dan mulai mengambil minum.
"Lah liat tingkah mereka berdua lucu ma, efek melakukan huru-hara keliatan kalo kelaperan banget," Edwina masih saja tertawa dan melanjutkan makan setelah menyuapi anak-anaknya.
"Ayo kamu cepetan makannya bentar lagi kita ke bandara," bu Minda mengingatkan Edwina.

Ponsel Edwin berbunyi dan Edwin meraih ponselnya dengan tangan kiri...
"Hai James"
"Aku mau pamit, hari ini kami kembali ke Aussie"
"Ok ok nih di kamar ku rame, kak Wina juga mau balik ke SG, nggak mau ka kamarku James"
"Ah nggak lah Ed, papa kayaknya nggak enak sama mamamu, biarlah titip salam saja sama Meisya, mama dan kak Wina"
"Ok ok deh eh kamu bareng Kent dan Alice juga"
"Yah"
"Hahahhaah suaramu jadi terdengar aneh"
"Ah kamu ada-ada saja, ok Ed aku pamit ya"
"Ok"

Edwin meletakkan ponselnya dan melanjutkan makannya yang tinggal sedikit.
"James tadi ya Ed?" tanya Edwina. Edwin menggangguk, dalam hati ingin rasanya ia menanyakan om Ben tapi apa daya ada mamanya, ia tahu bahwa mamanya tidak akan berkenan jika James dan om Ben juga ada di kamar Edwin di hotel ini.

"Sayang kita berangkat yok ke bandara," ajak Edwina pada suaminya.
"Kok?" tanya bu Minda tiba-tiba.
"Nggak papalah ma, meski masih kurang dua jam, aku pengen ketemu papa Ben," ujar Edwina pelan dan bu Minda diam saja.

Edwina, suami dan anak-anaknya pamit pada Edwin dan Meisya.
"Mama hanya akan menurunkanmu di tempat parkir ya, udah gitu mama langsung balik," ujar bu Minda, anak-anaknya diam saja, seolah tahu apa yang ada dalam pikiran bu Minda.
***

Setelah semuanya berangkat, Edwin dan Meisya tiduran di kasur. Mei merebahkan kepalanya ke dada Edwin.
"Ibu kayak masih gimana gitu ya kak, kalo ketemu om Ben, tapi aku nggak nyalahin ibu juga dalam masalah ini, meski memaafkan tapi, wajahnya tetep dingin kalo ada om Ben," ujar Mei sambil sesekali mengusap dada Edwin. Edwin menghembuskan napas berat.
"Entahlah aku juga nggak tau harus ngomong apa, kita kan nggak tau menderitanya mama dulu kayak apa, eh sayang, kamu kok tetep aja manggil ibu ke mama, sudah dibilangalin panggil mama sayaaang ke aku juga tetep aja panggil kakak, jadi nggak enak ditelinga, masa istri panggil kakak ke suaminya, aneh deh kayaknya," Edwin mengusap kepala Meisya dan sesekali mencium kepala Mei. Mei hanya tersenyum.
"Aku nggak bisa deh kayaknya kak kalo ikutan panggil mama, kayak nggak pantes aja, orang yang begitu baik dan aku hormati, trus kalo ke kakak, aku harus panggil apa, bingung juga kan, apa panggil sayang aja ya?" tanya Mei sambil tertawa geli.
"Kamu selalu gitu, kamu itu sudah dianggap anak sama mama, kayaknya mama lebih sayang kamu deh daripada aku, trus kalo ke aku iya dah panggil sayang aja, manggil mas kayaknya kok kayak gimanaaa gitu," Edwin tertawa lalu mencium kening Mei pelan.
"Nanti aja kalo kita sudah punya anak, Mei akan mengubah panggilan pada kakak dengan panggilan yang lebih manis," Mei memeluk Edwin dengan erat. Edwin mengusap lengan Mei perlahan.
"Anak, memang kamu mau kita segera punya anak, kamu kan sempat nggak mau kita segera nikah, aku pikir kamu keberatan kalo kita segera punya anak?" tanya Edwin menatap Mei dari jarak dekat.
"Nggak papa, kak, nggak papa kita segera punya anak, aku nggak mau nunda, usia kakak juga sudah lewat 31, kejauhan ntar jarak usia kakak sama anak kita kalo aku masih nunda-nunda," kata Mei pelan, dan Edwin semakin mengeratkan pelukannya.
"Makasih," sahut Edwin dengan suara tercekat menahan haru dan mencium kepala Mei berkali-kali.
"Kamu mau kita bulan madu?" tanya Edwin menatap Mei dan menggesekkan hidungnya pada hidung Mei.
"Bagiku kayak gini sudah kayak bulan madu kak, meluk kakak, nyiumin kakak aaaah sudah segalanya bagi Mei,"ujar Mei masih memeluk Edwin dan memejamkan matanya sambil tersenyum.

Edwin memegang dagu Mei mendekatkan bibirnya pada bibir Meisya yang terbuka, menciumnya dengan penuh perasaan dan...

Bel dipintu kamar mereka berbunyi lagi...
Haduuuuuuh siapa lagi sih nih..nggak tau apa kalo pangantin baru pinginnya....

Bersambung #20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER