Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 04 Juli 2021

Soto Untuk Kakak #20

Cerita Bersambung

Edwin melepaskan pelukannya pada Meisya dan melangkah menuju pintu. Muncul wajah yang menyebalkan bagi Edwin saat ia sudah membuka pintu.

"Apaan lo, gangguin aja, baruuu aja gue mau mulai nih nggak jadi dah," Edwin tak menyilakan masuk tapi Zaki sudah masuk duluan ke kamarnya sambil tertawa dengan keras.
"Lo tau, gue langsung ke sini dari bandara, demi lo," ujar Zaki mengitari pandangannya ke suite room yang sangat luas, yang ditempati Edwin dan Meisya.
"Gak ngurus gue, cepet mana kado lo, trus pulang sana," suara Edwin terdengar jengkel tapi dia mengambilkan softdrink dan beberapa kudapan yang dibawa oleh mamanya tadi.
"Tunggulah gue napas dulu, weh nih kamar enak banget Ed,  luas, berapa semalem nih, enak bener lo, bisa eksplor dimana-mana ya sama istri lo?" suara tawa Zaki semakin keras.

"Emang lo, maniak, hiper, gue makhluk normal man, istri gue masi hijau urusan gituan, kalo sejak awal gue aneh-aneh,  kasian dia bisa trauma, nih minuman sama makanan mama yang bawa,  makanlah," Edwin memberi kode dengan matanya.

Zaki meneguk minumannya dan terlihat mengeluarkan sesuatu.
Diambilnya tangan Edwin, dan diletakkan sebuah amplop sedang berwarna coklat.

"Maaf gue gak bisa ngasi apa-apa, cuman ini, itupun kalo lo mau, bulan madu ke Bali lima hari, cepet bilang ke gue kalo lo mau, gue langsung telpon pihak hotelnya, kapan lo ke sana," ujar Zaki dengan suara terdengar serius, sesaat Edwin terperangah.

"Zak, lo serius kan?" ucap Edwin menatap wajah Zaki.
"Ed, lo dah kayak sodara bagi gue, gue ingat sejak dulu kalo gue susah lo yang bantuin, nggak ada yang bisa gue bales ke lo dan mama Minda juga, mau ya Ed biar utang gue ke lo gak banyak-banyak amat," Zaki menatap Edwin tanpa senyum dan menghabiskan sisa minumannya.
"Makasih Zak, gue mau, gue emang mau ngajak Mei bulan madu, rencananya ke luar lah, eh dia nggak mau, gue maunya ke Paris biar rada romantis eh si Mei bilang di sini aja dah kayak bulan madu, tapi omong-omong ada duit lo buat bayarin gue Zak?" tanya Edwin menahan tawa.

"Lo pikir gue miskin amat sampe gak kuat bayarin lo, tapi gue mampunya ya Bali man, kalo ke Paris weh bukan kelas gue lah, lo emang banyak uang tapi setidaknya kado dari gue ini biar bikin kenangan ke lo sama istri, ntar kalo lo punya anak,  paling tidak ingat gue bahwa proses bikinnya karena kado dari gue," tawa Zaki kembali memenuhi ruangan
"Bangke lo," Edwin meninju lengan Zaki.
"Ya dah gue pulang,  eh mana nih istri lo,  lo sembunyiin aja," Zaki terlihat melihat ke arah dalam.
"Mei sayaaaang ini ada bangsa dedemit mau pamit pulang," Edwin memanggil Mei dan Mei ke luar sambil tersenyum dan bersalaman pada Zaki.
"Selamat ya Mei, ati-ati sama nih orang jangan mau kalo disuruh gaya aneh-aneh," Zaki didorong ke luar oleh Edwin dan Mei terlihat menahan tawa.

Sesampainya di luar, Zaki masih saja tertawa.
"Weh beruntung banget lo man dapet yang gres gitu, main berapa ronde looo ampe keliatan kalo istri lo capek wakakakak," Zaki menghindar dan melambaikan tangan saat Edwin hendak memukul lengannya.

Edwin masuk ke kamarnya dan geleng-geleng kepala.
"Sayaaang di mana kamu?" tanya Edwin mengambil amplop coklat dari Zaki dan mengeluarkan isinya, ada brosur tentang hotel yang akan mereka tuju.
"Di sini, di kamar, capek, mau ngelanjutin tidur aja," sahut Mei, dan melihat Edwin memperlihatkan brosur hotel.
"Sayang kita dapat ini dari Zaki, kita bulan madunya ke Bali aja ya, ato setelah ke Bali lalu ke Paris aku pengen banget kita ke sana," ujar Edwin merebahkan badannya di sisi Mei.
Mei diam saja, mengambil brosur dari Edwin dan melihat sekilas.

"Kalo Mei sih pengennya nggak ke mana-mana, berdua aja di kamar, nggak ngapa-ngapain, Mei maleees perjalanan jauh, bagi Mei yang penting dekat sama kak Ed, udah kayak bulan madu," Mei tiba-tiba berada di atas badan Ed dan mencium Edwin, Edwin kaget dan ia merasa Mei mulai berani memancingnya.

Ia balik badan Mei berada di bawahnya. Mei melihat wajah Edwin dengan agak takut.
"Kau memancingku, Mei, menindihku hmmmm," Edwin mulai menciumi Meisya.. Meisya baru menyadari jika gurauannya akan mengakibatkan ia harus ke kamar mandi lagi...
***

"Ih kakak, kan Mei cuman pengen nyium aja, kenapa ujung-ujungnya gini lagi," ujar Mei menelungkupkan badannya dan Edwin terkekeh pelan, memejamkan matanya dan kembali mencium punggung terbuka Mei sekilas.

"Mei ngeri deh kalo lima hari di Bali, ntar giniiii terus, bisa ancur nih badan, nggak usah ke Bali ya kak?" pinta Mei setengah memohon.
"Aku nggak enak ke Zaki sayang, nggak usah lima hari, tiga hari aja, gimana?" tawar Edwin.
"Ato nggak papa lima hari tapi ngajak ibu," Meipun memberi penawaran dan Edwin tertawa dengan keras sambil menciumi kepala Meisya.
"Kalo ngajak mama namanya bukan bulan madu sayang, rekreasi, nggak dah, tiga hari aja ya, mau ya sayang?" Edwin memeluk Meisya yang masih menelungkupkan badannya.
Mei mengangguk pelan.
"Iya daaah," Mei memunggungi Edwin dan menarik selimut sampai ke dadanya.
Terdengar langkah Edwin menuju kamar mandi dan suara shower yang dihidupkan.

Saat Edwin masih di kamar mandi terdengar ponsel Edwin berbunyi.
Mei bangun melilitkan selimut ke badannya dan melangkah ke meja, meraih ponsel dan terlihat nama bu Minda di sana.

"Halo ibuuu"
"Noooon mana den Ed ya Allah gusti, nyonyah non nyonyah"
"Ada apa biiiik kenapa ibuuu ada apaaa"
"Ndak tauu pokok nya cepet pulang ini nyonyah tiba-tiba pingsan,  untung tadi sempat saya pegangin.."
"Iyah iyaaa saya akan ke sana sama Edwin biii"

Meisya meletakkan ponsel dan segera mengggedor pintu kamar mandi.
"Kak, cepet mandinya," teriak Meisya. Edwin muncul dengan rambut basah dan keheranan.
"Ada apa sayaaang, mau pipis?" tanya Edwin.
"Ibu kaaak, ibu, tadi bik Sum nelpon, ibu pingsan, bik Sum bingung, nangis tadi, aku mandi dulu, tunggu aku kak," Mei melesat ke kamar mandi. Edwin terlihat bingung....

Ada apa dengan mamanya, setahu Edwin mamanya tidak mempunyai penyakit serius, ada sih hipertensi tapi karena mamanya selalu rutin kontrol ke dokter, hampir tidak pernah jadi masalah, apa tadi bertemu om Ben di bandara atau ada masalah lain yang tidak ia ketahui....
***

Edwin akhirnya memutuskan checkout dari hotel hari itu juga, selama perjalanan menuju rumahnya, ia melamun.
Mobil kantor yang dikemudikan oleh sopirnya terasa lamban oleh Edwin meski berkali-kali ia menyuruh agar sopir menambah kecepatannya.
Sesekali Edwin terlihat menelpon Zaki agar segera ke rumahnya, untuk memastikan mamanya baik-baik saja.
***

Sesampainya di rumah, Edwin dan Meisya bergegas ke kamar bu Minda.
Terlihat Zaki yang duduk di samping bu Minda yang memejamkan mata.
Zaki memberi kode agar Edwin dan Mei tidak bersuara. Dan Zaki melangkah ke luar kamar. Meninggalkan Mei berdua dengan bu Minda yang masih memejamkan mata.

"Kenapa mama gue Zak?" tanya Edwin gelisah.
"Tensinya tinggi Ed,  untung mama kuat, nggak papa, cuman ya itu, efeknya pingsan, mungkin baru kali ini tensinya tinggi ampe 220/95, sempat sesak napas tadi tapi sudah nggak sekarang  setelah sadar nggak papa kok,  enak tadi ngomong sama gue, meski pelan dan sesaknya dah berkurang, ternyata mama lo dah lama nggak ngonsumsi obat hipertensinya karena dirasa aman-aman aja katanya,  wah ya nggak bisa gitu,  harus rutin tiap hari, sudah gue resepin,  masi nyuru satpam lo ke apotek," Zaki menjelaskan panjang lebar.
"Eh Ed, kayak ada yang dipikir sama mama lo, ada apa?" tanya Zaki.
"Gue juga gak tau, tadi kan ke hotel, ke gue, baik-baik saja kok, itu yang gue pengen tahu, ada apa?" tanya Edwin heran.

Tak lama obat yang dibeli sudah datang.
"Nih Ed obat mama, kasi ya sesuai aturan," ujar Zaki memberikan obat bu Minda ke tangan Edwin.
"Makasih Zak, sorry ngerepotin lo, lo baru nyampe dah gue siksa lagi," ujar Edwin menatap Zaki dengan wajah serius.
"Tumben lo waras," ujar Zaki menahan tawa.
"Ah lo, eh tawaran lo yang ke Bali di cancel dulu ya Zak,  tapi gue dan Mei mau," ujar Edwin lagi.
"Iya dah gampang itu,  gue pulang dulu ya Ed,  salam sama mama, jangan lupa obatnya diminumkan," Zaki mengambil tasnya dan melangkah ke luar diantar oleh Edwin.
***

Edwin masuk ke kamar mamanya,  melihat mata sembab Mei, Edwin bertanya dengan memberi kode lewat matanya,  Mei hanya menggeleng pelan.

Tak lama bu Minda membuka matanya. Orang pertama yang ia lihat adalah Meisya lalu Edwin.

"Mei?" suara bu Minda terdengar lemah.
"Iya ibu,  ibu ingin apa?" suara sengau Mei membuat bu Minda menatap wajah Mei agak lama.
"Kamu menangis, ibu tidak apa-apa, bik Sum suru buat bubur ya," pinta bu Minda dan memejamkan matanya kembali. Mei melangkah ke dapur mencari bik Sum.

Edwin mendekati mamanya, memegang tangan mamanya. Dan terlihat air mata mengalir dari mata mamanya yang terpejam.

"Ada apa mama, ceritakan sama Ed,  jangan mama pendam, pasti ada yang mama pikir," ujar Edwin pelan. Bu minda membuka matanya.
"Ben,  Ben,  Edwin," suara bu Minda terdengar lirih. Edwin kaget, mendekatkan wajahnya pada mamanya.
"Ada apa dengan om Ben, mama?"
***

Edwin memandang wajah mamanya dengan cemas.
"Mama, maaf apa mama masih menyimpan rasa pada om Ben?" tanya Edwin pelan.
Bu Minda menggeleng dengan kuat.

"Tidak, tidak lagi Ed, selesai sudah semuanya saat ia membiarkan mama melangkah sendiri, keluar dari rumahnya dan dia hanya melihat mama dengan mata sedihnya, mama menyesal pernah mencintai laki-laki lemah, mama salah mengira dia akan kuat memperjuangkan mama, hanyaaa hanyaaa," bu Minda memejamkan mata dan air matanya mengalir lagi dengan deras.
"Nggak usah dipaksakan cerita mama, biar mama tenang dulu, bisa nanti ato besok mama cerita ke Ed ato Mei, mama istirahat dulu ya, Edwin mau ke dapur nyusul Mei,  kali buburnya dah siap," Edwin beranjak bangun meninggalkan mamanya.

Edwin ingin menelpon Edwina, tapi melihat jam ia kawatir Edwina belum sampai ke Singapura, ia ingin tahu apa yang terjadi di bandara.

Sampai di dapur ia melihat bik Sum yang baru saja menyelesaikan membuat bubur dan Mei yang menyendokkan bubur ke piring.
Mei melihat Edwin yang memandangnya dari ruang makan.
"Apa sayang, mau bubur juga?" kata Mei mendekati Edwin sambil membawa piring berisi bubur. Edwin hanya tersenyum.
"Nggak, maaf ya sayang, bulan madu kita jadi tertunda,  aku jadi kepikiran," ujar Edwin masih menatap Mei dengan mesra.

Tiba-tiba bik Sum sudah di dekat mereka.
"Bulan madu di sini dulu den Ed, tuh di kamar non Mei,  kan kamar penuh kenangan," bik Sum berlalu meninggalkan mereka dengan menahan tawa.
Meisya dan Edwin pun tertawa bersama.

"Ih bik Sum bikin malu aja,  aku ke kamar ibu dulu ya sayang," Meisya melangkah menuju kamar bu Minda dan Edwin duduk di ruang makan, mengeluarkan ponselnya.
***

Mei membuka kamar bu Minda pelan,duduk di sisi kasur dan bu Minda membuka matanya.

"Makan dulu ya ibu,  biar Mei suapi," Mei melihat bu Minda yang berusaha bangun, cepat ia letakkan piring bubur dan membantu bu Minda menata bantal agar agak tinggi dan bisa untuk sandaran.

"Ibu makan sendiri aja Mei,  pusing ibu sudah berkurang, tungguin ibu aja di sini," ujar bu Minda mengambil bantal dan diletakkan dipangkuannya, lalu meraih selembar tisu disampingnya dan meletakkan piring bubur di atas tisu. Pelan bu Minda menyuapkan bubur ke mulutnya.

Mei menatap bu Minda yang terlihat lelah.
"Ibuuu ibu harus sehat ya, selama libur Mei nggak akan kemana-mana, mau nungguin ibu aja sampe sehat," ujar Mei pelan, bu Minda tersenyum.
"Maafkan ibu ya Mei, ibu mengganggumu dan Edwin juga, ibu nggak papa kok, jika kalian berniat bulan madu, berangkatlah, ibu ada bik Sum di sini," bu Minda kembali menyuapkan bubur ke mulutnya sedikit dan berusaha meraih air di dekatnya, Mei mengambilkan air dan memberikan pada bu Minda.

Mei kembali meletakkan gelas setelah bu Minda selesai minum, dan bu Minda memberikan piring bubur pada Mei.

"Sudah Mei, nanti ibu makan lagi, yang penting ada bubur hangat masuk ke perut ibu," ujar bu Minda. Dan kembali membenahi bantal.
"Nggak ibu, Mei sama kak Ed nggak akan kemana-mana sebelum ibu benar-benar sehat," ujar Mei membantu bu Minda untuk membaringkan badannya lagi.
"Jangan sayang, kasian Edwin, dia sangat ingin berbulan madu, waktu kamu masih di Australia, dia bolak balik bilang bilang sama ibu pengen ngajak kamu ke Paris, pengennya seminggu di sana," ujar bu Minda sambil memandang Mei yang terlihat enggan.
"Mei nggak suka perjalanan jauh ibu, biar aja di rumah,  deket sama kak Ed sudah kayak bulan madu, kan Mei sudah lebih sering jauh sama kak Ed,  jadi berdua di sini sudah cukup, tapi tadi mas Zaki teman kak Ed ngasi kado berlibur ke Bali lima hari,  kayaknya itu aja ibu, saya akhirnya nggak tega buat nolak," kata Mei memandang bu Minda sambil tersenyum.
"Nah bener Mei berangkat aja, kasihan Ed," bu Minda menggapai Mei dan Mei mendekat.
"Cepet kasi ibu cucu yah," ujar bu Minda mengelus lengan Mei pelan. Dan wajah Mei memerah.
"Iya ibu, tapi Mei kadang capek, kak Ed emmm itu, terus-terusan sih," Mei menundukkan wajahnya dengan wajah memerah dan bersamaan dengan Edwin masuk ke kamar mamanya dan tertawa memenuhi kamar.

"Sayaaaang bikin malu aja, kan nggak papa ya ma, biar mama cepet dapat cucu ntar ya ma?" Edwin mendekati Mei dan mengacak rambut Mei.
"Iyaaa tapi Mei kan capek," ujar Mei pelan dan bu Minda menahan senyum, Edwin menutup bibir Mei dengan tangannya.
"Ayo kita ke luar saja sayang, biar mama istirahat, nanti Edwin balik lagi ya ma, kalo mama dah lumayan istirahatnya," ujar Edwin menatap mamanya sekilas dan menarik Meisya ke luar dari kamar mamanya, sambil membawa piring bubur ke dapur.
***

Edwin memeluk Mei berjalan menuju kamarnya.
"Loh kak mau ke mana?" tanya Mei bingung.
"Ya ke kamar kita sayang, semua barangmu dah pindah ke kamarku," Edwin mencium ujung kepala Meisya berkali-kali. Mei terlihat bingung.

"Oh yaaa,  aduh ke kamarku dulu yuk kak, liat-liat bentar," Mei menarik Edwin ke arah kamarnya di sisi kolam renang. Mereka berdua menyusuri pinggiran kolam renang berjalan pelan dan Mei memeluk Edwin dari samping. Mei menarik Edwin duduk di pinggiran kolam renang.

"Ngapain duduk di sini, masuk aja lah ke kamar kamu," ajak Edwin berdiri dan menarik Mei masuk ke kamarnya dan ternyata benar, barang-barang Meisya telah pindah tempat, Mei melihat isi lemarinya pun sudah kosong.

Mei mengitari pandangannya ke seluruh kamar dan duduk di kasur yang masih bersih terawat, ia elus perlahan kasur itu dan merebahkan badannya.

"Ngapain sayang, kalo mau tidur ayo ke kamarku aja yuk?" ajak Ed lagi.
"Bentarlah kak, aku jadi ingat pertama aku masuk ke rumah ini, dibentak kakak lalu malemnya liat kakak renang ih nakutin," kata Meisya sambil tersenyum malu.
Edwin mendekati Meisya dan tidur di sisinya, memeluk Mei lalu mendekatkan hidungnya pada pipi Mei.

"Iyaaa lalu kamu nulis di buku harian kamu, pengen meluk aku, pengen gigiti badanku dan apa lagi semua kamu nulis yang gitu itu," Edwin menciumi Mei dan Mei menutup mulut Edwin dengan kedua tangannya.

"Nggak usah ngomongin ituuuu, itu kan cuman khayalan anak labil ih kakak, Mei kan seumur-umur baru liat cowok cuman pake daleman doang ya pas itu, pasti kagetlah," Meisya menahan malu dengan tangan tetap di mulut Edwin.

Edwin melepaskan tangan Mei, mendekatkan bibirnya pada bibir mei dan mengecupnya perlahan, tanpa Edwin duga Meisya memeluk leher Edwin dan memperdalam ciumannya, Mei semakin hilang kesadaran saat tangan Edwin menjelajah semampunya dan bibir Edwin mencari tempat yang bisa ia jangkau....

***

Edwin menyelimuti badan Meisya dengan selimut yang ada di kasur Mei, dan Mei tertidur sangat nyenyak, untunglah bik Sum masih menyisakan selimut di kamar ini, pikir Edwin, akhirnya Edwin hanya memakai celananya dan bertelanjang dada menuju kamarnya, saat melewati dapur ia berpapasan dengan bik Sum.

"Hmmm bener kan kejadian dah den Ed, bulan madunya di kamar non Mei," bik Sum tertawa sambil menutup mulutnya. Edwin tertawa dan melangkah menuju kulkas mengambil minum dan meneguknya sebanyak mungkin.

"Bik Sum nggak nyisakan apa-apa di sana, ini Ed terpaksa ambil handuk untuk Mei dan ED mandi, untung masi ada selimut untuk nyelimutin Mei," Edwin melangkah menuju kamarnya,
"Den mana non Mei nya?" tanya bik Sum.
"Tidur bik, kecapean kayaknya," teriak Edwin sambil menaiki tangga menuju kamarnya.
"Ya Allah Gusti, den Ed yaaaa, non Mei sampe dibuat capek," bik Sum kembali tertawa memenuhi dapur, terdengar tawa Edwin yang tak kalah keras.
***

Sore Edwin menelpon Edwina, dia bertanya apa yang terjadi di bandara dan memberi tahu keadaan mamanya saat ini.
Edwina hanya bercerita bahwa saat ia boarding memang sempat melihat om Ben yang memegang lengan mamanya sambil memandang dengan tatapan memelas, dan melihat om Ben berbicara lalu wajah mamanya yang terlihat kaget sambil menutup mulutnya, setelah itu Edwina tidak tahu kejadian selanjutnya.
Edwina kaget saat mendengar dari Edwin kondisi mamanya yang sempat pingsan.
Namun sampai saat ini apa yang membuat mamanya limbung, belum ada yang tahu.
Edwin menghela napas, Edwin yakin meski mamanya mengatakan berkali-kali sudah hilang rasa cinta pada om Ben, tidak akan semudah membalikkan tangan menghilangkan rasa cinta pada orang yang telah memberikan kengan manis, menjalin hubungan yang lama bahkan mereka telah memiliki anak, hubungan mereka terlampau jauh dan dalam, sesakit apapun akhir kisah mereka, pasti akan menyisakan sedikit rasa yang sulit diungkapkan...

Edwin melangkah pelan,  membuka kamar mamanya, dan kembali melihat mamanya berbaring,  memejamkan mata dan lelehan air mata membasahi pipinya...

"Mama,  mama cerita ke Ed ya," bu Minda kaget saat tiba-tiba Edwin ada di sampingnya.
Bu Minda menghela napas.
"Ben, Edwin,  dia bilang ke mama, ia  ingin mama menemani meski hanya sekali saja,  saat kemoterapi pertama.....  Ben ..... baru tahu jika ia kena kanker kelenjar getah bening dan James belum tahu tentang hal ini... "

==========

Edwin terperangah menatap wajah mamanya. Ia bingung harus berkata apa, Edwin hanya menggenggam tangan mamanya.
"Lalu mama,  mama bilang apa ke om Ben?" tanya Edwin.
"Mama hanya sempat bertanya, seberapa parah, ia hanya mengatakan, parah atau tidak aku hanya butuh kamu sekali saja menguatkan aku, mama benci pada diri mama Ed, mama harusnya mengacuhkannya, membiarkannya kesakitan, seperti saat mama kesakitan melangkah meninggalkan rumahnya seorang diri, tapi mama malah kawatir pada nyawanya, kawatir bagaimana dia menahan sakit seorang diri," bu Minda menangis dan Edwin memeluk mamanya, menenangkannya di dada Edwin.
"Mama masih mencintai om Ben kan, jika mama tidak mencintainya, mama tidak akan sakit seperti ini," ujar Edwin mendekap erat mamanya.
"Tidak Ed,  tidak,  tidak ada cinta yang tersisa, mama hanya kasian di saat usia tuanya, dia sakit seorang diri, tidak ada istri dan anak yang menemaninya," bu Minda masih saja terisak pelan.

Edwin tidak berkata apa-apa lagi ia hanya memeluk mamanya dan merasakan isak mamanya yang semakin menghilang.
***

Edwin melihat Mei yang menemani mamanya makan malam di kamar. Mengambilkan air minum dan membawa piring kotor ke dapur.

"Mama, tidak menghubungi om Ben lagi?" tanya Edwin dan bu Minda menggeleng.
"Edwin jadi ingin menghubungi om Ben ma, papa teman Edwin ada yang sembuh dari vonis kanker kelenjar getah bening, maksud Ed kalo memang baru gejala awal bisa secepatnya kita carikan obat untuk penyakit om Ben, kanker kelenjar getah bening ato limfosit gitu kalo orang medis bilangnya, ato entahlah Ed kurang tau juga, maksud Ed, akan Ed pertemukan papa teman Ed dan om Ben," ujar Edwin dan terlihat wajah mamanya yang berubah penuh harap.
"Oh iya Ed mama juga sedikit ngerti penyakit itu, mama ingat orang tua teman mama ada yang mengidap penyakit itu, udah rutin kontrol, kemo juga eh ternyata ya akhirnya meninggal juga Ed, mungkin kamu bisa ngubungi Ben, mama jadi sakit semua rasanya jika ingat ia sakit sendiri di saat tua seperti ini," tanpa sadar mamanya mengucapkan kekawatirannya.
Edwin melepas pelukannya dan sekali lagi menatap wajah mamanya.

"Kita kuatkan om Ben ma, meski mama hanya bagian dari masa lalu om Ben, kita bisa berbuat baik untuk kehidupan om Ben, entah mama masih mencintai atau tidak tapi keresahan dan kekawatiran mama hingga sakit seperti ini menandakan mama masih memperhatikan om Ben, jika mama memang ingin menemani om Ben berobat silakan saja, tidak usah berpikir tentang perasaan mama atau menoleh kebelakang lagi saat mama dibuat menderita oleh om Ben, janganlah ma, jika mama selalu menoleh ke sana, mama hanya akan menyakiti diri sendiri, mama ingin berbuat baik untuk om Ben tapi di satu sisi seperti ada yang menarik mama untuk selalu kembali ke masa lalu,  ya jadinya gini efek ke mama,  sakit,  tensi jadi tinggi dan kerja jantung mama jadi berat, keliatan kan sebenarnya kalo mama mikir om Ben?" tanya Edwin setelah pendapat panjang lebarnya ia ungkapkan.

Bu Minda hanya terpaku, ia ingin membenarkan semua kata-kata Edwin, tapi ia bungkam, ia tak punya keberanian untuk mengiyakan pendapat Edwin.

Edwin kembali menggenggam tangan mamanya, menatap mata mamanya
"Mama harus kuat melawan perasaan mama sendiri, berdamailah dengan hati mama, Ed tahu kalo mama nggak akan pernah lupa pada rasa sakit itu meski berpuluh tahun telah lewat, tapi mama orang baik yang nggak mungkin meninggalkan seseorang yang butuh perhatian mama, bagaimanapun om Ben pernah menjadi bagian dari hidup mama," Edwin mencium kening mamanya dan berdiri,  menatap mamanya sekali lagi, lalu ke luar, ia membiarkan mamanya berpikir tentang apa yang akan dilakukannya selanjutnya.
***

Edwin merogoh ponsel dari saku celanya. Ia akan menelpon James, James harus tahu, bukan ia lancang memberitahu mendahului om Ben, tapi kanker jenis apapun, stadium awal sekalipun tidak bisa dianggap main-main.
Berkali-kali ia telpon James namun tidak diangkat, pada paggilan ke lima barulah terdengar suara James.....

"Halooo Ed, maaf aku baru dari kamar mandi, baru datang dari kampus, banyak kerjaan Ed, skripsi dan tesis mahasiswa yang masih aku koreksi, ada apa Ed?"
"Aku bingung juga mulai dari mana ngomongnya James ... gini duh,  cerita dari awal sajalah ... mamaku tiba-tiba pingsan setelah dari bandara ... trus"
"Sbentar, sbentar Ed, apa karena papaku ya, kan gini Ed, aku melihat mamamu menurunkan kak Edwina sekeluarga tapi aku melihat anak kak Edwina yang kecil nangis, akhirnya aku liat mama kamu markir mobilnya, trus turun bareng, nah pas kakakmu boarding itu kan tante mau pulang kok papaku nekat berjalan mendekati dan megang lengan mamamu, aku hanya bisa terpana dari jauh, entah mereka ngomong apa yang jelas mamamu terlihat kaget dan setengah berlari ke parkiran dan wajah tante Minda terlihat sedih, maafkan papa ku Ed"
"Aduh bukan masalah itu James, ini lebih penting lagi dan kamu harus segera tahu, sampaikan permohonan maafku pada om Ben jika dianggap lancang, papamu sedang sakit James, beliau... beliau mengidap kanker kelenjar getah bening.. "
"Kata siapa Ed? Tante Minda yang bilang? Masa karena itu mamamu terlihat kaget, lalu setengah berlari ke parkiran"
"Gini aku cerita kronologinya, jadi kata mama, papamu bilang kalo beliau ingin mama menemani, memberi kekuatan meski cuman sekali, dengan mendampingi papamu saat kemoterapi pertama, nah ini yang bikin mamaku dilema James..."
"Akuu... aku ngerti kok Ed"
"Maaf kalo kamu tersinggung James, kadang aku merasa kalo orang tua kita ini sebenarnya masih sama-sama memendam rasa tapi ya itu, kisah masa lalu yang membelenggu mereka, maaf sekali lagi ya James, aku kawatir kamu masih ingat almarhum mamamu sehingga sakit hati dengan kata-kataku."
"Ah tidak, tidak Ed aku tahu kok, kalo papa sejak dulu hanya ada mamamu di hatinya"
"Aku bilang sama mama, silakan kalo mau menemani om Ben saat berobat, eh malah nangis nggak mau, masih sakit hati dengan kisah masa lalu,  tapi mama malah sakit, tensinya sampe 220 kan artinya mamaku kepikiran sama papamu, aduh nih dia yang bikin bulan maduku tertunda."
"Hahahahah Eeeed, Ed orang tua sakit malah kamu mikir bulan madu, eh omong-omong penyakit papa, aku jadi ingat, akhir-akhir ini papa memang mudah capek, besok aku akan menelponnya,  kebetulan papa masih di Sydney, dia di apartemennya sendiri, nggak mau tinggal sama aku.."
"Aku cuman gurau kok, Ed,  bagiku dan Mei, mama lebih penting, bulan madu kan bisa ditunda, Eh James suaramu kok nggak kaget sih waktu aku bilang penyakit papamu?"
"Loh kaget sih pasti Ed,  masa aku harus teriak-teriak, tapi besok aku pasti menemuinya"
"Gini maksudku James tanyakan sejauh mana penyakitnya, separah apa gitu, karena ada orang tua temanku ada yang sembuh dari penyakit kanker kelenjar getah bening, aku akan tanya-tanya gimana caranya pengobatannya."
"Ok ok besok aku ke papa Ed'
'Oklah James besok aku telpon kamu lagi"

Edwin mematikan sambungam telponnya. Dan melangkah ke kamarnya, ia melihat Meisya yang sudah menggunakan baju tidur dan menatapnya saat menutup pintu.

"Belum tidur sayang?" tanya Edwin sambil melihat Mei yang merebahkan diri di kasurnya.
"Luas ya Mei kasurnya, memang aku ganti sama yang lebih besar," terlihat Edwin menggati kaosnya dengan kaos yang lebih tipis dan ikut merebahkan diri di samping Mei.

"Terlalu besar ini kak, muat tiga orang," ujar Mei memeluk guling dan membelakangi Edwin.
Edwin memeluknya dari belakang dan menciumi telinga Mei.
"Kaaaak aku mau tidur, udah kan di kamarku, masa lagi," suara Mei terdengar merengek.
"Kan di sini belum, belum merasakan kasur baru," Edwin mulai mengelus perut rata Mei. Tapi Edwin memahami jika Mei masih lelah, ia peluk Mei dengan erat.
"Tidurlah, kakak tidak akan mengganggu," ujarnya pelan dan memejamkan matanya.
***

Pagi Edwin bangun sudah tidak melihat Mei di sisinya.
Kemana Meisya, pagi amat bangunnya.
Edwin melangkah turun dan melihat istrinya asik di dapur dengan bik Sum.

"Sayaaang kok aku ditinggal sih?" tanya Edwin berdiri di sisi Mei.
"Aduuuh den Ed manjanya, bentar aja ditinggal malah nyusul, jadi sesak nih dapur, sana dulu mandi,  nanti tak siapkan sarapannya," ujar bik Sum tertawa memenuhi dapur.
"Bentar lagi sudah selesai kok, sana mandi dulu, sayangku cintaku," ujar Meisya sambil mencium bibir Ed sekilas. Edwin tersenyum dan melangkah menaiki tangga menuju kamarnya.
***

Saat Edwin baru ke luar dari kamar mandi, Meisya masuk dan mengambil bathrobe hendak ke kamar mandi.

"Loh bukannya udah mandi sayang?" tanya Edwin.
"Iya, tapi mau mandi lagi, nggak enak keringetan lagi setelah dari dapur," Mei masuk ke kamar mandi dan Edwin menyusul masuk, Meisya berteriak dan bibirnya langsung di tutup oleh Edwin.

"Kaaak ngapain ikut masuk, kakak kan sudah mandi," ujar Mei setelah menarik tangan Edwin yang menutup mulutnya.
Mei semakin takut saat Edwin mendekat dan menjatuhkan handuk yang melilit dipinggangnya.

Mei terpekik pelan dan Mei tak tau harus berbuat apa lagi saat Edwin mencium bibirnya dengar kasar dan tangan Edwin yang menjelajah ke mana-mana.
Meisya akhirnya menikmati elusan dan ciuman Edwin yang selalu membuatnya hangat...
***

"Kemanaaaa tuh dua orang, katanya mau sarapan, dah disiapkan kok nggak turun-turun, mandi apa sambil nguras bak bak mandi ya, eh nggak ada baknya sih apaan dah tuh namanya betap bettap apah," bik Sum terdengar berbicara sendiri sambil menata hidangan di meja.
Bu Minda yang tiba-tiba berdiri di sisi bik Sum hanya bisa tersenyum.

"Eh nyonyah, aduh Alhamdulillah sudah sehat, makan bersama di sini ya nyah saya siapkan piring satu lagi," bik Sum bergegas ke dapur.

Edwin muncul dengan jas lengkap dan Mei mengiringi langkah Edwin di belakangnya.

"Halaaaah yoooo lamaa mandinya, ternyata main hujan-hujan berdua nyah," bik Sum tertawa sambil menutup mulut, sedang bu Minda hanya menahan senyum menatap Mei yang wajahnya merona merah.

"Ya gini ini bik, kalo bulan madu gak kesampaian akhirnya bulan madu terus di rumah," tawa Edwin pun memenuhi ruang makan.
Edwin duduk dan Meisya menuangkan air minum untuk Edwin dan bu Minda. Serta menyiapkan moccacino hangat untuk Edwin dan teh madu hangat untuk bu Minda.

"Kamu sudah mau masuk Ed?" tanya bu Minda.
"Iya ma, soalnya ntar mau cuti lagi kalo mama dah sehat, bulan madu maaaa," ujar Edwin menaik turunkan alisnya.

Tiba-tiba ponsel Edwin berbunyi, dilihatnya nama om Ben di sana...
"Halo om Ben"
"Selamat pagi Ed, maaf mengganggu, om boleh bicara dengan mamamu?"
"Oh iya iya om, ini mama"
(Edwin memberikan ponselnya pada mamanya)

"Minda, aku mohon, datanglah ke Sydney meski hanya sekali, aku butuh kamu di sisiku sekali saja, jika akhirnya aku meninggal karena penyakit ini, aku akan tenang meninggalkan dunia ini"

Bu Minda menatap mata Edwin dengan tangan bergetar dan mata yang mulai berkaca-kaca

Bersambung #21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER