Cerita bersambung
"Mama, om Ben bilang apa, ma?" Edwin menatap mamanya. Bu Minda masih menempelkan ponsel Edwin ke telinganya. Menarik napas panjang, dan..
"Ya, aku akan menemanimu bersama Meisya atau Edwin"
"Terima kasih Minda, terima kasih"
Bu Minda menyerahkan ponsel ke tangan Edwin, setelah memutuskan sambungan ponselnya.
"Mama nggak salah kan Ed, ngambil keputusan kayak gini?" tanya bu Minda dengan wajah bingung dan mata berkaca-kaca.
"Nggak apa-apa mama, nggak papa, toh nanti akan ditemani Mei kan, ato kalo mama sendirian pun, akan ada James yang menemani, mama tidak akan benar-benar sendiri," kata Edwin menenangkan.
"Biarlah aku berangkat sendiri Ed, toh ada James di sana, mama tidak ingin merusak rencana yang sudah kalian persiapkan, pergilah bulan madu Ed, mama tahu bagaimana inginnya kamu pergi berdua dengan Meisya," ujar bu Minda menatap Edwin dengan serius.
"Iya sih, tapi kan Mei liburnya masih sebulan lagi ma, lumayan lama juga, nggak papa mama berangkat bareng Mei, nanti aku nyusul, aku ingin lihat apartemen yang kami dapat dari om Ben," ujar Edwin yang bersiap berangkat dan mencium bibir Mei sekilas.
"Hei dari tadi kok diam saja sayang? " tanya Edwin.
"Nggak tau kenapa Mei agak pusing kayaknya," Mei memijat keningnya perlahan.
"Hah pusing, istirahat aja sayang ya," Edwin terlihat kawatir.
"Hmmm gimana nggak pusing dan capek non Meinya deeen lah wong terus-terusan, untung nggak pingsan, den Ed yang kebangeten ini, hari ini non Mei harus istirahat dari gempuran den Ed," bik Sum tampak melangkah ke sisi Meisya dan mulai memijiti bahu, leher dan kening Meisya.
Edwin tertawa dengan keras dan sekali lagi mencium pipi Meisya.
"Aku berangkat ya sayang."
"Edwin kamu kan belum sarapan gimana sih," ucap bu Minda.
"Udah cukup minuman hangat bikinan Mei ma, ntar siang aja makannya," Edwin pamit pada bu Minda, dan Meisya lalu melangkah ke luar namun sebelumnya sempat menggelitiki bik Sum.
"Eh copot sapi mabur, den Eeed kuwalat orang tua kok dikerjain," bik Sum tampak marah-marah dan tawa Edwin di luar rumah terdengar sampai ke ruang makan.
***
Dua hari lagi Bu Minda berangkat ke Sudney, keputusan akhir, ditemani Meisya, karena menurut Edwin, James sepertinya benar-benar sibuk akhir-akhir ini dan jika ditelpon selalu agak sulit dihubungi.
***
Malam hari saat Edwin dan Mei duduk di ruang keluarga setelah makan malam, bu Minda menghampiri mereka.
"Maaf mengganggu kalian," ujar bu Minda duduk di dekat Meisya.
"Ah nggak kok ma, dari tadi Mei sama aku asik dengan ponsel masing-masing ini," Edwin meletakkan ponselnya dan menatap mamanya.
"Sudah ngubungi Ben kamu Ed, bilang kalo mama ke sana bareng Mei," ujar bu Minda.
"Sudah ma, om Ben bilang makasih, dan minta maaf sudah gangguin aku dan Mei, eh iya ada salam dari om Ben sayang," Edwin menatap istrinya yang tampak mulai mengantuk. Mei hanya mengangguk.
"Kok ngantuk sih Mei, keliatan capek lagi, lagi dapet ya?" tanya bu Minda.
"Nggak ibu, kan pas nikah itu Mei baru aja selesai mens ibu," jawab Mei sambil menutup mulutnya yang menguap berkali-kali.
"Hadeh alamat nih, bakalan cepet dapet cucu nyonyah," kata bik Sum yang tiba-tiba datang dengan pisang goreng yang masih panas dalam piring saji dan meletakkannya di meja. Dan Edwin mencomotnya satu lalu mendesis kepanasan waktu memasukkan pisang goreng ke mulutnya.
"Ya nggak papa bik, aku malah senang Mei cepet hamil," bu Minda terlihat bahagia.
"Ih bik Sum bisa aja," ujar Mei mengambil pisang goreng dan meletakkannya di atas tisu, menekannyanya sebentar untuk menghilangkan sisa minyak goreng yang menempel, lalu memakannya dengan pelan.
***
Jam 9 Mei sudah tidak kuat lagi dan pamit pada Edwin dan bu Minda untuk tidur lebih dulu.
"Tidurlah Mei, istirahatlah yang cukup, dua hari lagi kita melakukan perjalanan lagi," ujar bu Minda dan Mei mengangguk sambil tersenyum dan melangkah menuju kamarnya.
"Edwin, mengapa mama mengajak Mei, mama nggak mau benar-benar berdua sama Ben, mama nggak mau Ben nyentuh-nyentuh mama kayak yang kapan hari, mama merasa papamu mengawasi mama dan mama merasa berdosa padanya, dia laki-laki baik, sabar dan hebat, tidak akan ada laki-laki yang mau mengorbankan perasaannya dan harga dirinya menikahi mama yang kondisi mama seperti itu, makanya saat papamu meninggal, mama sudah memutuskan untuk tidak akan menikah lagi," bu Minda menerawang mengingat kenangan masa lalunya.
"Iya nggak papa ma, Edwin setuju aja, toh nanti Edwin akan nyusul, itung-itung bulan madu ke Sydney, mau ngerasain apartemen baru sama Mei ma, yang dikasi om Ben tuh," Edwin melihat mamanya yang mengangguk.
"Edwin tidur dulu ya ma, besok banyak kerjaan," Edwin beranjak menuju kamarnya.
***
Dua hari kemudian....
Edwin mengantar bu Minda dan Meisya ke bandara, menunggu sampai mereka boarding, baru Edwin melanjutkan perjalanannya ke kantor.
***
Setelah menempuh perjalanan hampir tujuh jam akhirnya sampai mereka di Sydney, ternyata ada James dan Kent yang sudah menunggu mereka. Ternyata Edwin yang berkabar pada James bahwa mamanya dan Meisya menuju Sydney.
James melihat penampilan yang agak berbeda dari Meisya, yang biasanya cerah ceria, kali ini terlihat capek, mungkin efek perjalanan jauh, begitu pikir James.
James membawakan travel bag menuju mobil Kent, setelah sebelummya memeluk bu Minda dan Mei bergantian.
"Sakit Mei, kok kelihatan pucat?" tanya Kent melihat Mei dari samping sambil berjalan menuju mobilnya.
"Ah nggak, kecapean kali, kan perjalanan jauh Kent," ujar Mei sambil berusaha tersenyum.
"Ato kebanyakan lembur kali ya tante, si Mei sama Edwin?" Kent tertawa dan bu Minda serta Edwin hanya senyum-senyum melihat wajah Meisya memerah.
"Ih Kent, ada-ada aja," Mei terlihat malu.
"Nah bener kan tante, dia nggak menyangkal, ntar di sini kamu tiduuuur sepanjang hari pasti balik lagi tuh tenaga," ujar Kent masih saja ngoceh.
"Emang kamu pengalaman gitu, kok ngasi saran ke Mei?" tanya James dan Kent hanya garuk-garuk kepala.
"Yaaah si James, orang ngasi saran itu belum tentu pengalaman, bisa jadi karena banyak baca dan dengerin pengalaman orang," balas Kent dengan cepat.
"Oh ternyata untuk hal itu kamu sampe bela-belain baca dan dengerin orang," James memasang muka datar dan Kent terlihat gemas.
"Heh sudah, sudah, nih dah sampe ke mobil Kent, heran deh, di depan mahasiswa sok galak, sok pelit ngomong eh di sini minta ampuun cerewetnya," Mei menghentikan keduanya dan bu Minda hanya geleng-geleng kepala.
***
Sampai di apartemen Meisya mereka membantu membawakan travel bag bu Minda da Meisya lalu keduanya pamit kembali ke kampus.
***
"Istirahatlah Mei, kamu terlihat capek memang, benar Kent, kurang tidur kamu ya Mei?" bu Minda menatap Meisya yang tersenyum malu.
"Kak Ed gangguin terus bu, tapi nggak papa, Meinya juga mau sih," jawab Mei terlihat malu dan bu Minda akhirnya tertawa juga.
"Meeei Mei, sudah sana mandi, trus tidur, makan nanti aja gampang, tadi di pesawat toh kita sudah makan," ucap bu Minda meletakkan travel bag di sudut kamar. Dan Meisya berganti baju lalu masuk ke kamar mandi.
***
Bu Minda memandang wajah Meisya yang tidur sangat nyenyak, sehabis mandi tadi, Meisya langsung tidur, dan hampir tiga jam, Meisya belum juga bangun.
Ponsel Meisya berbunyi, bu Minda melihat, ternyata Edwin yang menelpon.
"Halo sayaaang"
"Eh kok mama, mana Meisya"
"Tidur Ed, nyenyak baaaanget, hampir tiga jam loh ini, belum juga bangun"
"Wah ya bangunin dong ma"
"Jangan ah kasian, sejak awal mau berangkat kan dia kelihatan capek, kamu apakan saja sayaaang hahahah"
"Mamaaa kok ketawa sih, ya biasalah ma, aktivitas panas hahahah"
"Kamu ini, liat kondisi istri kamu, jangan samakan kayak kamu, Mei itu makan nggak bisa banyak, lah kamu gituin terus ya lemes dia, untung nggak sampe pingsan, dasar kamu"
"Ya nggak lah ma, sudah Ed kasi vitamin"
"Eh vitamin aja tapi makannya kurang ya nggak ngefek sayang"
"Eh iya ngomong-ngomong besok jam berapa nemenin om Ben checkup"
"Nggak tau Ed, biar aja nanti paling James yang ngubungi mama"
"Oh gitu, ya dah ma, salam ke Mei ya ma muah gitu"
"Alah kamu, ya dah"
Bu Minda merebahkan badannya di sisi Mei dan hati-hati agar Mei tidak bangun.
***
Malam semakin larut, saat Mei menggerakkan badannya dan menggeliat, ia melangkahkan kakinya ke luar dan menemukan bu Minda yang melamun sambil memegang mug berisi kopi.
"Ibuuu saya kok nggak dibangunkan sih, lama banget saya tidur," ujar Mei mendekat ke arah bu Minda.
"Itu Mei makanlah kalo lapar, tadi James ke sini ngantar makanan pas kamu tidur," bu Minda bangkit dan melangkah ke ruang makan diikuti Meisya.
"Makanlah, ibu sudah makan tadi," bu Minda membuka kotak yang berisi, lasagnya dan pizza ukuran sedang.
"Makanlah Mei, untuk mengganjal perutmu, ibu tau kamu nggak begitu suka, tapi kasian James yang sudah belikan buat kita," bu Minda menatap wajah Meisya yang sudah tampak segar.
"Iya ibu akan saya makan, seger deh bu, rasanya Mei, udah tidur lama," Meisya duduk, mengambil sepotong pizza dan mulai memakannya. Bu Minda memandangi wajah Mei yang terlihat asik makan pizza.
"Tumben kamu nikmat makan makanan kayak gitu Mei?" tanya bu Minda sambil menghabiskan minumannya.
"Laper banget ibu," Mei tertawa pelan
"Ibu kok dari tadi kebanyakan melamunnya kenapa ibu?" tanya Mei.
"Tadi Ben nelpon ibu, dia ingin besok ibu saja yang menemaninya pemeriksaan lanjutan di rumah sakit, aneh-aneh saja dia, tapi ibu tetep pengen sama kamu aja Mei, ikut besok ya Mei?" ajak bu Minda dan melihat Mei yang menghentikan makannya.
"Ya janganlah ibu, saya jadi nggak enak, biar aja ibu yang antar, mungkin ada yang ingin dibicarakan oleh om Ben sama ibu," Meisya memberi saran pada bu Minda.
Bu Minda mendesah pelan dan ia semakin dalam melamunkan hari esok....
==========
Pagi, James menjemput bu Minda dan Meisya, saat James menawarkan untuk sarapan ternyata bu Minda dan Mei sudah sarapan.
"Tante saya antar ke rumah sakit dulu ya, setelah itu biar Meisya dengan saya ke kampus karena Mei harus merencanakan mata kuliah apa saja di semester selanjutnya," ujar James pada bu Minda dan bu Minda terlihat bingung.
"Apa tidak lebih baik Mei dengan tante saja dulu ke rumah sakit, setelah selesai urusan rumah sakit baru tante antarkan ke apartemen dan Mei ikut denganmu ke kampus?" tanya bu Minda sambil memberi saran.
"Gini tante, biar sama-sama jalan, karena kan menurut tante di sini paling cuman tiga hari, jadi tante nemenin papa di rumah sakit karena lama kan tante urusan rumah sakitnya, dan Mei juga biar selesai urusan kampus, karena tadi malam saya di telpon Edwin, besok malam Edwin sudah sampai di sini, maksud saya biar Edwin bisa bersama-sama Mei jika urusan kampus sudah selesai, kan mareka ini masih pengantin baru tante. gara-gara papa sakit mereka pisah lagi," Edwin terlihat serba salah. Akhirnya bu Minda mengangguk dan menatap Meisya yang tersenyum padanya.
"Iya dah," suara bu Minda terdengar pelan, Mei dan James sama-sama mengerti keengganan bu Minda.
***
James menurunkan bu Minda dan mengantarnya sampai bertemu dengan papa di ruangan dokter Fin Chen Shia yang cantik. Papanya akan kembali melakukan general checkup hari ini, dan beberapa pemeriksan medis berkenaan dengan gangguan kesehatannya.
Lalu berdua James melanjutkan perjalanannya dengan Mei ke kampus.
"Mobil baru James?" tanya Mei riang.
"Hmmm," jawaban singkat James.
"Waaaah kemajuan dong, dulu aja nggak mau kalo di suruh om Ben eh sekarang malah beli yang asik gini, pasti mau berduaan sama Al kaaaan," terdengar tawa Mei memenuhi mobil James. James diam saja dan menoleh sekilas pada Mei.
"Aku menyiapkan mobil ini, agar suatu saat nanti pas kamu hamil, nggak capek jalan ke kampus," suara James pelan, namun sanggup membuat Mei kaget, segitunya perhatian James untuknya.
"Jaaames jangan bilang gitu aku jadi nggak enak sama kamu, nggak ah aku jalan aja meski hamil, aku nggak mau merepotkanmu," suara Mei terdengar merengek.
"Aku yang akan merepotkan diriku tanpa kamu minta," James menjawab pelan dan membelokkan mobilnya ke area parkir.
Mei memegang lengan James saat akan turun, James menoleh.
"Apakah Al tak cukup menarik bagimu?"
"Tidak usah bertanya itu, aku masih harus membiasakan diri, bahwa kamu sudah menikah itu sangat berat, jangan buat aku semakin lelah dengan pertanyaan itu," James menarik lengannya perlahan dan berjalan memutar membukakan pintu untuk Meisya.
"Ayo aku antar kau menuju dosen pembimbing akademikmu, mata kuliah apa saja yang akan kamu ambil pada semester depan," James berjalan menjejeri langkah Meisya.
Sesekali mereka tampak berbicara serius dan James terlihat tersenyum sambil memandang Meisya.
Mereka tak sadar jika dari sudut lain Alice melihat itu sejak mereka baru sampai di area kampus. Alice berencana memberikan sarapan buatannya, berupa sandwich dan cemilan lainnya pada James. Dan sejak pagi Alice berusaha mematutkan dirinya di depan kaca agar ia tampak lebih feminin meski tetap bercelana jeans dan kemeja kotak-kotak.
Alice tetap melangkah menuju ruangan James dan meletakkan yang ia bawa di samping pintu masuk, menatap kembali kotak makan yang ia bawa dan melangkah pelan meninggalkan area itu.
***
James dan Meisya tertegun memandang kotak makan di depan pintu masuk ruangan James, setelah selesai urusan Mei dengan dosennya, mereka segera menuju ruangan James dan menemukan kotak itu.
Mei mengambil dan membuka kotak bekal makan itu dan matanya terbelalak melihat aneka sandwich di dalamnya. James membuka pintu ruangannya dan segera duduk di tempatnya tanpa mempedulikan Meisya yang sibuk makan dengan bekal entah milik siapa.
"Aku yakin ini pasti si Al yang ngasi, siapa lagi kalo bukan dia, kamu nih orang aneh, disukai orang cantik, mapan, menarik lagi, eh cuek aja," ujar Mei sambil sibuk mengunyah.
"Nggak usah banyak omong, makan aja udah selesai," James mulai menghidupkan komputernya dan mulai tekun memandangi komputernya, entah apa yang ia kerjakan.
***
"Terima kasih sudah menemaniku, Minda, dan sendiri sesuai permintaanku, ada yang akan aku sampaikan padamu, jangan potong pembicaraanku sampai aku selesai, ini bukan pembelaaan tapi agar kamu tidak dendam padaku sampai akhir hayat," ujar om Ben sambil menatap wanita yang tetap ia cintai sampai saat ini.
Bu Minda menatapnya sekilas dan pura-pura sibuk mengaduk minumannya. Setelah melalui serangkain pemeriksaan dan diketahui kepastiannya bahwa om Ben memang benar-benar mengidap penyakit kanker getah bening, maka serangkaian pengobatan akan dijalani om Ben, meski masih stadium awal tapi pemeriksaan intensif harus tetap dilakukan.
Dan setelah semuanya selesai om Ben mengajak bu Minda ke sebuah restoran yang tak jauh dari rumah sakit, kini, keduanya duduk berhadapan dan bu Minda diam saja menunggu apa yang akan disampaikan oleh om Ben.
"Maafkan aku jika mengungkit kisah pertemuan terakhir kita yang membuat kita benar-benar berpisah," ujar om Ben.
"Sudahlah, aku memaafkanmu, aku tidak ingin mengingat itu lagi," bu Minda terlihat menghembuskan napas berat.
"Justru itu dengarkan aku Minda, mengapa saat itu aku tidak mengejarmu, karena jika aku mengerjarmu aku akan membunuh mamaku, ia baru saja selesai operasi pemasangan ring di jantungnya, makanya kamu melihat mama duduk di kursi roda kan, ia baruuu saja ke luar dari rumah sakit, tapi tetap aku yang akhirnya membuat mama meninggal, seminggu setelah aku menikah, mama mendatangi rumah ku, di sana ia kaget dan mengetahui jika aku tidak sekamar dengan Melda, dan marah padaku, aku anak laki-laki satu-satunya yang akan meneruskan nama keluarga dan kejayaan keluarga, mama memaksaku sekamar dengan nada marah, saat itu aku katakan, bahwa dalam hidup aku hanya akan menyentuh satu perempuan dan mama memegang dadanya lalu... lalu ya mama meninggal meski sempat dirawat tiga hari di rumah sakit," om Ben menunduk menatap minuman yang belum ia sentuh.
"Meski akhirnya aku mempunyai James itu karena Melda ingat kata-kata mama yang sangat ingin aku melanjutkan nama keluarga, ia mengajakku berhubungan, dan berjanji akan memberiku anak laki-laki, Tuhan menyayangi Minda, ia melahirkan anak laki-laki, aku sempat menangis mengingat mama, karena hubunganku sangat dekat dibandingkan sodara-sodara perempuanku, sejak saat itu hubunganku dengan Melda mulai mencair meski kami tidak pernah sekamar, namun setidaknya, aku mulai menyahut jika ia bertanya sesuatu," om Ben menatap bu Minda.
"Maafkan aku Minda, maafkan aku," ujar om Ben pelan. Bu Minda menatap Om Ben, perlahan meski samar bu Minda tersenyum dan mengangguk. Mata om Ben berbinar ia merasa dadanya menghangat dan matanya berkaca-kaca, senyum yang sangat ingin ia lihat berpuluh-puluh tahun lalu, akhirnya ia temukan lagi.
"Aku merasa sembuh melihat senyummu, senyum yang aku tunggu berpuluh tahun lalu," om Ben menunduk, mengusap air matanya.
"Aku tahu diri Minda, aku tidak menginginkan apapun darimu, seperti ini sudah lebih dari cukup, menemaniku, ada di sisiku saat aku meninggal, dan menutupkan peti matiku nanti," om Ben menatap bu Minda sambil berusaha tersenyum dengan mata basah.
Bu Minda berusaha untuk tidak menangis, berulang ia mengerjabkan matanya yang mulai panas, untuk sesaat ia biarkan tangan om Ben menggenggam jarinya, lalu ia tarik perlahan, mengambil tisu, mengusap mata dan hidungnya.
***
James mengangkat wajahnya dari komputer dan menemukan Meisya yang tertidur di sofa dengan berbantalkan tasnya. James geleng-geleng kepala melihat kotak bekal yang habis isinya tak bersisa.
James melangkah pelan menuju sofa, duduk di samping Mei dan membetulkan posisi kepalanya yang menekuk, memandangi wajah bayinya dengan bibir penuh remahan roti.
James menunduk sambil membersihkan bibir Mei yang berlepotan mayonaise dan pintu terbuka, wajah Al menyembul di sana dan tampak kaget melihat James yang terlihat akan mencium Mei....
***
"Dia sudah menikah dan kamu masih saja ingin menciumnya?" tanya Alice pelan dengan tatapan dingin, mengambil kotak bekal dan menutupnya. James terperangah dan menatap Alice dengan tatapan tak suka.
"Itu yang aku takutkan darimu sejak awal, pengalaman hidupmu akan membuatmu menjadi apriopri memandang setiap hal yang ada di depan matamu, lihat remahan roti dan sisa mayonaise di bibir Mei aku hanya ingin membersihkan itu, dan kalaupun aku menunduk, hanya ingin memastikan remahan itu bersih dari bibirnya, jika aku mau, kapan saja aku bisa menciuminya, jika aku mau, aku bisa membawanya lari dari Edwin, jika aku mau, aku bisa menidurinya sebelum ia menjadi istri Edwin, tapi aku bukan laki-laki brengsek dan dia bukan wanita murahan, pergilah, aku tidak pernah memintamu memberikan apapun padaku," ujar James tanpa melihat Alice dan membersihkan bibir Meisya perlahan dengan telunjuk dan jempolnya. Meisya bergerak dan mengerjab perlahan. Lalu memejamkan matanya lagi.
Mata Alice berkaca-kaca dan melangkah ke luar dari ruangan James.
James menepuk pipi Mei perlahan dan Mei mulai membuka matanya.
"Jaaames, aku tertidur yaaa, kok nggak dibangunin sih," suara Mei merengek manja dan James tersenyum dan menggeleng perlahan.
"Kamu tidur kayak orang pingsan, setelah makan roti sama apa lagi sekotak kamu makan sampe habis," ujar James masih duduk di sisi Meisya dan Mei memukul lengan James. Meisya bangun dan tiba-tiba ia merasa pusing, ia pegang kepalanya.
"Kenapa Mei?" tanya James terlihat kawatir. Mei kembali merebahkan badannya di sofa sambil memejamkan mata.
"Nggak tau nih kenapa tiba-tiba pusing dan sempat gelap tadi bentar," ujar Mei masih memejamkan matanya.
"Udah tiduran dulu," James masih duduk di dekat Meisya saat Kent masuk dan tertegun melihat Meisya dan James di sofa.
"Jadi ini yang bikin Alice tadi berkaca-kaca," ujar Kent tersenyum. Dan Meisya mulai membuka matanya perlahan.
"Loh Alice ke sini tadi ya James?" tanya Mei sambil memijit kepalanya.
James mendengus kesal dan kembali ke mejanya.
"Tadi dia tiba-tiba nyelonong masuk Kent, pas momennya saat aku mau bersihin bibir Mei dari remahan roti dan mayo yang belepotan, kamu tau sendiri kan Mei kalo lagi napsu makan kayak apa, kalo lagi gak napsu semua di tolak, eh dia nuduh aku mau nyium Mei, ya aku bilang kalo aku mau bisa kapan saja nyium Mei, kalo aku mau aku bisa nidurin Mei sebelum jadi istri Edwin, tapi aku bukan laki-laki brengsek dan Mei bukan wanita murahan, salah aku bilang gitu?" ujar James sambil menatap Kent.
"Mungkin kata-katamu menyinggungnya James, bukankah ia pernah... ah sudahlah, akan aku jelaskan nanti pada Alice," Kent hendak ke luar saat James memanggilnya lagi.
Kent membalikkan badannya dan menemukan wajah James yang serius.
"Sejak aku tahu cerita masa lalunya, aku yakin bahwa hal itu yang akan jadi benalu jika ia memaksa menjalin hubungan denganku Kent, ia akan melihat orang dari kisah masa lalunya, dan selalu mengaitkan kata-kata orang juga dengan masa lalunya, akan sangat sulit baginya memulai hubungan dengan siapapun jika dia belum move on," James duduk dan kembali menekuni komputernya.
Kent menghembuskan napas dan melangkah meninggalkan ruangan James.
"Ada apa dengan masa lalu Al, James?" tanya Mei yang masih memejamkan mata di sofa.
"Istirahatlah, tidak penting bagimu," James masih saja mengetik dengan cepat dan sesekali melihat hasil ketikannya.
Meisya merasa bersalah pada Alice.
"Seharusnya kamu tidak...," Mei tidak melanjutkan ucapannya saat James menyambar ucapannya.
"Sudahlah, bukan salahmu, dia yang punya pikiran negatif dan membiarkan pikirannya sakit, aku tidak suka perempuan yang menyerangku, mendekatiku lebih dulu, aku lebih duka hubungan yang terjalin karena alunan waktu," James menghentikan kalimatnya saat ponselnya berbunyi ternyata dari om Ben yang memintanya menjemput ke rumah sakit.
James menyimpan ponselnya di saku bagian depan celananya, dan berdiri, berjalan mendekati Mei dan duduk di sofa.
"Mengapa aku agak sulit melupakanmu, selain karena kamu masih saja ada di sekitarku juga karena perasaan sukaku padamu yang tidak serta merta, ada proses yang aku nikmati sampai akhirnya aku menyimpulkan bahwa aku mencintaimu, tapi yakinlah Mei, saat ini aku juga dalam proses mengubah cintaku padamu, menjadi cinta kakak pada adiknya, meski sulitnya setengah mati," James berusaha tersenyum, dan membantu Mei bangun untuk segera ke rumah sakit menjemput papanya dan bu Minda.
***
Selama perjalanan ke rumah sakit Mei memejamkan matanya. James sesekali menoleh, memastikan Mei baik-baik saja.
"Masih pusing Mei?" tanya James.
"Aku lapar," jawab Mei dan James tertawa karena antara pertanyaannya dan jawaban Mei yang tidak nyambung.
"Lah kamu sudah sarapan, tadi sandwich Al sekotak bekal kamu habiskan, lah sekarang bilang lapar, akivitasmu dengan Edwin yang membiasakan kamu makan banyak ya Mei?" James tertawa pelan.
Mei tidak menjawab dan hanya tersenyum.
***
Sesampainya di rumah sakit terlihat om Ben dan bu Minda duduk di gazebo yang tak jauh dari area parkir, Mei dan James agak kaget melihat bu Minda dari jauh yang berbicara dengan om Ben, sambil sesekali tersenyum.
"Aaah akhirnya, aku menemukan senyum ibu saat duduk dekat papamu," ujar Mei terperangah.
Apa yang terjadi dengan keduanya hingga keduanya seolah bisa tersenyum lebih lebar? Tanya James dalam hati, ia melihat sinar kebahagiaan di mata papanya yang tak ia temukan saat dulu berada di dekat mamanya.
Mei berjalan mendekati bu Minda dan bu Minda berdiri bersiap untuk kembali ke apartemen.
"Ayo Ben kita kembali dulu, lusa kita balik ke sini, aku antar kamu kemoterapi, setelah itu aku balik ke Indonesia, Mei dan Edwin akan di sini selama dua hari lagi," ajak bu Minda dan om Bem mengangguk tersenyum dan mereka melangkah ke mobil.
Mei menatap bu Minda dan om Ben dengan takjub karena mereka sepertinya baru saja melepas beban berat, biasanya wajah dingin bu Minda berbanding terbalik dengan wajah om Ben yang terlihat pasrah dan agak canggung.
***
Dalam mobil mereka sesekali juga berbicara, sementara Mei dan James jadi pendengar.
Mei dan bu Minda turun di depan apartemen Mei sedang James dan om Ben melanjutkan perjalanannya ke apartemen James.
James melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
"James ikut bahagia papa bisa baikan sama tante Minda," ujar James tersenyum memandang jalanan.
"Yah papa menjelaskan hal yang terlewat dari masa lampau dan dia terlihat benar-benar memaafkan papa, rasanya papa sudah lega, seandainya papa mati besokpun, papa sudah siap," ujar om Ben lirih.
"Jangan papa, James tidak punya siapa-siapa, aku ingin saat aku menikah nanti, papa masih sehat,"ujar James melihat papanya sekilas. Dan om Ben tersenyum bahagia dengan pandangan lurus ke depan.
***
"Mei senang deh liat ibu wajahnya bisa santai ada di dekat om Ben," ujar Mei setelah mereka sampai di apartemen Mei.
Bu Minda masuk ke kamar Mei dan meletakkan tasnya diikuti Mei dari belakang.
"Kami berbicara banyak tadi Mei, sampai pada kesimpulan sudah seharusnya ibu tidak menyimpan sesal dan marah yang amat sangat, biarlah kami kembali jadi teman, teman tak lebih," ujar bu Minda mengambil bathrobe dan menuju kamar mandi.
Tak lama bu Minda ke luar dan Mei menggantikan. Mei ke luar dari kamar mandi dan melihat bu Minda yang sudah tidur sangat nyenyak.
Mei masuk ke kamar sebelah dan merebahkan badannya setelah sebelumnya ia mengambil ponsel dan hendak menelpon Edwin, bolak balik ia menelpon ternyata tak bisa dihubungi.
Kemana sih, nggak tau apa kalo aku kangen.
Mei mengirim pesan singkat pada Edwin.
Semoga di baca, kali sibuk banget suamiku. Pikir Mei dan tersenyum geli mengingat ia sudah menikah, sudah bersuami.
Tak terasa Mei tertidur, setelah lamunan panjangnya tentang Edwin.
***
Mei terbangun saat dirasakannya tepukan halus dipipinya. Ia membuka matanya dan wajah bu Minda yang tersenyum.
"Ayo bangun, makan dulu Mei," bu Minda terlihat melangkah ke luar kamar.
Mei menyusul dan menemukan James dan om Ben yang duduk di sofa.
"Om Beeen, maaf Mei ketiduran om," suara Mei masih terdengar serak dan mengucek matanya. Terdengar tawa om Ben dan James yang menatapnya sambil geleng-geleng kepala.
"Makan dulu, tuh aku belikan banyak kawatir kamu kayak tadi, makan sampe kalap gitu," James menahan tawa dan terdengar hanya desahannya saja.
Mei terlihat malu dan berjalan mendekati om Ben dan memeluknya sekilas.
"Makanlah Mei, kamu terlihat capek, padahal kata James kamu sudah tidur di ruangan James dan sekarang ini juga baru bangun tidur," om Ben terlihat bisa tersenyum lepas.
Bu Minda menata makanan dan piring untuk mereka berempat.
Ada sinar bahagia dalam mata papanya yang ditangkap oleh James saat bu Minda melayaninya selama mereka makan, bahkan papanya mau menambah makanan yang ia makan.
James dan Mei saling memberi kode lewat mata mereka tentang perubahan raut wajah antara bu Minda dan om Ben.
"Mei kamu nggak selesai-selesai makannya sayaaang?" tanya bu Minda sambil tertawa.
"Biarlah Minda, biar Mei sehat, karena menurut James biasanya dia nggak pernah banyak makannya," om Ben menimpali kata-kata bu Minda.
Mei hanya tersipu-sipu malu, sambil terus makan tanpa henti. James hanya geleng-geleng kepala.
Malam semakin larut saat om Ben dan James pamit. Bu Minda dan Mei mengantar sampai pintu.
Mei meraih ponselnya lagi dan mencoba menelpon Edwin lagi.
"Kenapa Mei, kok keliatan kesal?" tanya bu Minda.
"Mangkel deh ibu, kak Ed nggak bisa ditelpon, masa sibuk banget," ujar Mei tangannya masih berusaha menghubungi Edwin. Bu Minda hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum, menyadari Mei yang masih pengantin baru pasti kangen pada Edwin meski mereka baru sehari terpisah.
"Ibu tidur dulu ya Mei, capek, kamu tidur juga loh Mei," ujar bu Minda masuk ke kamar meninggalkan Mei di sofa.
Mei melangkah pelan ke kamar sebelah. Ia merebahkan badannya, berusaha memejamkan matanya, namun wajah Edwin seolah semakin menjadi membayangi pikirannya.
Mei mendesah berkali-kali karena ia tidak bisa menghubungi Edwin.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Nama Edwin tertera disitu...
"Kaaak ke mana aja sih"
"Hmmm kan ngambek nih
"Mei kangen"
"Jangan keras-keras ntar mama dengar"
"Biarin"
"Loh kok"
"Ibu ada di kamar satunya"
"Kamu sendirian nih sayang"
"Iyaaaaa makanya Mei mangkel banget nelpon kakak sejak tadi nggak bisa"
"Kok nggak tidur, ini dah larut banget loh"
"Biarin, Mei mau ngobrol sama kakak ampe pagi"
"Beneran kangen nih, Mei Mei"
"Eh apa kak, nggak tadi kayaknya ibu buka pintu"
"Oooh, bener nih kangen"
"Iyaaaa"
"Coba matikan dulu ponselnya"
"Napaaa kakak mau kemana lagi kok suru matiin ponselnyaaa"
"Ayolah nurut kakak, ntar lagi kakak telpon lagi"
"Iya deh"
Mei meletakkan ponselnya dan tidur menelumgkupkan wajahnya pada bantal, baru kali ini rasanya Mei ingin menangis karena kangen pada Edwin.
"Meisya sayaaaang...."
"Mei menoleh ke pintu kamar dan matanya terbelalak,"
"Kaaaaak...."
Bersambung #22
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel