Cerita bersambung
Meisya berlari memeluk Edwin dan Edwin mendekap kepala Meisya ke dadanya.
"Kakak jahat, nggak bilang-bilang kalo mau ke sini," Mei menengadah menatap wajah Edwin dan Edwin mencium bibir Meisya sekilas. Bu Minda menepuk pundak Edwin.
"Kamu ini ya, bilang kek kalo mau nyusul, tuh istrimu sejak sore ngubungi kamu nggak bisa, kok mendadak datang sih Ed?" tanya bu Minda.
Edwin melepas pelukannya pada Meisya dan mendorong travel bag berikut tasnya ke dalam kamar, dan mulai membuka jaketnya.
"Masa om Ben nggak cerita, aku kerja sama dengan perusahaan om Ben, sekalian mau mengenalkan James ke dunia bisnis, jadi aku mau ngantar dokumen-dokumen penting ke om Ben, besok janjianya," ujar Edwin menuju ke kulkas dan mengambil air minum.
"Nggak tuh tadi Ben nggak bilang apa-apa sama mama," ujar bu Minda lalu duduk di ruang makan.
"Iyah bener, padahal om Ben ke sini tadi sama James ya ma," Meisya ikut menimpali ucapan bu Minda.
"Lupa paling om Ben, ato mau ngasi kejutan ke James," Edwin masuk kamar, mulai membuka bajunya, dan menuju kamar mandi.
"Udah malem Mei, tidurlah, ibu ngantuk banget," bu Minda melangkah ka kamar dan menutupnya. Mei pun melangkah masuk dan mendengar bunyi air yang mengalir dari kamar mandi.
Mei masih memainkan ponselnya saat Edwin ke luar dari kamar mandi, hanya menggunakan celana pendek dan bertelanjang dada, terlihat mencari kaos dalam travel bagnya.
"Kaos kakak ada beberapa di kamarku kak, Mei ambilkan ya?" tanya Mei sambil meletakkan ponselnya di meja rias.
"Nggak usah, kasian mama, ntar keganggu, kakak bawa kok satu," ujar Edwin sambil memakai kaosnya dan merebahkan badannya, memeluk Mei dan menciumi kepala.
Mei menatap wajah Edwin yang mulai memejamkan mata. Mei pandangi lama wajah orang yang sangat dirindukannya dan akhirnya Mei ikut tertidur.
Mei terbangun saat melirik jam, masih pukul 3 dini hari. Mei berbalik memunggungi Edwin karena dirasa tangannya agak kebas setelah memeluk Edwin dan belum bergerak bebas sama sekali, dan kembali memejamkan matanya.
"Ih kak sakit," Mei tiba-tiba menjerit tertahan saat tiba-tiba Edwin menggigit tengkuknya, terdengar tawa Edwin, Mei segera berbalik dan memukul dada Edwin.
"Kangen kok gigit-gigit sih," ujar Mei mencubit perut Edwin.
"Siapa yang bilang kakak kangen kamu?" ujar Edwin, wajah Mei berubah seketika dan berbalik memunggungi Edwin. Edwin memeluk Mei, tapi ditepis dan berusaha dilepaskan oleh Mei.
Edwin berusaha membalik badan Mei namun Mei malah menelungkupkan wajah dan badannya. Dan bahunya terlihat naik turun dan terdengar isakan pelan.
"Heeei heeei kok nangis sih, kakak cuman bergurau, kalo nggak kangen ngapain kakak capek-capek sekarang nemuin kamu, proyek dengan om Ben bisa kapan saja kakak antar dokumennya," Edwin membalik badan Mei menghadapnya, Edwin tersenyum geli saat melihat air mata Mei yang masih berderai dan wajahnya penuh air mata. Edwin memeluk dan mendekap kepala Meisya ke dadanya.
"Maafkan kakak, kakak kangen Mei, bener, makanya kakak segera nyusul kamu, meminta sekretaris untuk segera menyelesaikan seluruh dokumen perjanjian dengan om Ben," Edwin memegang dagu Meisya, menciumnya perlahan dan Meisya diam saja tak membalas, membuat Edwin semakin gemas.
Edwin mulai mencium leher dan dada Meisya, namun tak ada balasan, akhirnya Edwin duduk dan membawa Meisya ke pangkuannya ....
"Kak," Meisya menatap Edwin dengan ragu dan malu, tanpa Mei sadari entah kemana kaos mereka berdua, Edwin hanya tersenyum dan merapatkan pinggang Meisya pada pangkal pahanya sekali hentak, lalu.....
***
Meisya menjatuhkan kepalanya ke bahu Edwin, menormalkan kembali napasnya lalu Edwin merebahkan Meisya ke kasur, menyelimuti Mei sampai ke lehernya, diciumnya kening Mei yang masih menyisakan keringat. Tak lama Mei tertidur pulas.
Dipandanginya wajah mungil Meisya, ah terkadang kamu kayak remaja saja Mei, ngambek...Edwin tersenyum dan melangkahkan kakinya ke kamar mandi.
***
Saat Edwin ke luar dari kamar mandi dilihatnya Meisya tidur menyamping, terlihat punggung Mei yang terbuka, Edwin mendekat dan dibenahinya selimut yang sudah tidak pada tempatnya.
Mei berbalik, membuka matanya dan menjerit perlahan, lalu cepat-cepat menutup dadanya dengan kedua tangannya.
Edwin terbahak dan menarik selimut yang sempat ia benahi tadi.
"Ngapain kamu tutupi, kakak sudah liat semua," Edwin tertawa lagi. Dan Mei berlari ke kamar mandi diiringi tawa Edwin yang semakin keras.
***
Edwin ke luar kamar, menuju kulkas, mengambil air minum dan meneguknya agak banyak, dilihat mamanya yang juga menuju kulkas dengan langkah pelan dan terlihat masih mengantuk.
"Kamu brisik banget heran deh sampe kedengaran ke kamar mama, padahal kamar kamu sama kamar mama ya tertutup, Edwina sama suaminya ya pernah jadi pengantin baru, nggak berisik kayak kamu, mama sampe malu dengernya," bu Minda memukul lengan Edwin dan Edwin tertawa sambil meletakkan botol minum di meja makan.
"Mama bikin malu aja, gitu kok dibilangin ke Ed, itu namanya ekspresi maaa ekspresiiii," Edwin masih saja tertawa.
"Besok mama pindah ke hotel aja, pasti besok kamu gitu lagi, untung di rumah kamar kamu ada di atas, mau ngapain aja nggak ada yang dengar," ujar bu Minda masih terlihat sewot.
"Mamaaaa jangan pindah ke hotel, biar besok Edwin akan nahan, nggak akan bersuara, biar Mei nutup mulut Edwin sementara Edwin yang gerak-gerak," bu Minda langsung mencubit bibir Edwin dengan gemas.
"Heraaan deh sama mama kok ngomongnya vulgar bangeeet nih anak," bu Minda cepat-cepat minum dan melangkah masuk ke kamarnya.
Mei ke luar dengan rambut basah dan terlihat menoleh ke kamar bu Minda.
"Kayaknya tadi ada suara ibu deh," ujar Mei pelan. Edwin mengangguk dan menahan tawa.
"Mama masuk lagi, ngantuk katanya, eh sayang bener nggak sih aku kalo lagi makeout suka brisik?" tanya Edwin pelan. Dan Mei mengangguk dengan wajah polos.
"Aduuuh kok Mei nggak pernah negur kakak sih, kakak malu tadi sama mama," ujar Edwin menggaruk kepalanya.
"Nggak papa, Mei sukak, bikin semangat," Mei terlihat malu, menatap wajah Edwin dan Edwin kembali tertawa, tangannya mengacak rambut basah Mei.
"Aduuuh sayang, kamu kok nggak...nggak keganggu sih, tuh mama sampek sewot gak bisa tidur katanya," Edwin menarik Mei masuk ke kamarnya lagi.
Mei sempat meraih air minum dan membawanya ke dalam kamar, setelah meneguk sampai separuh botol, barulah Mei merebahkan badannya dan memeluk guling, mulai menguap, lalu memejamkan matanya, disusul oleh Edwin yang ikut merebahkan badannya di sisi Mei.
***
Terdengar suara bel berulang di pintu apartemen Meisya, diikuti oleh ketukan pintu, bu Minda bergegas membuka, siapa sih pagi banget, pasti nih si Ben, nggak tau semalem ada gangguan badai.
Ternyata dugaan bu Minda benar, om Ben bersama James tak lupa membawa makanan, entah apa saja sampai dua tas besar.
"Apa saja itu James, sampe terlihat berat?" tanya bu Minda.
"Nggak tau tante, papa tuh bawa yang masak iya, bawa mentahnya juga, kawatir Mei nggak sempat ke supermarket katanya," James menuju dapur dan mengeluarkan makanan siap makan di meja bersih dapur dan bahan mentah ia masukkan dalam kulkas.
Mei mana Minda, biasanya anak itu pagi-pagi sudah cantik?" tanya om Ben menoleh ke kamar Mei.
"Itu tidur di kamar sebelah, Edwin datang semalam, paling nanti siang bangunnya," ujar bu Minda menuju dapur membantu James yamg sedang berkutat dengan bahan masakan mentah, mengatur agar terlihat rapi di kulkas.
Terdengar tawa om Ben, dan melihat James yang wajahnya berubah.
"Edwin memang ada janji dengan ku Minda, tapi aku tidak mengira akan secepat ini," om Ben terlihat masih saja tertawa.
"Ayo Ben kalo kamu mau sarapan, aku siapkan ya?" tanya bu Minda.
"Bangunkan Mei dan Edwin, kita makan bareng, ada yang akan aku sampaikan," om Ben menjawab sambil beranjak ke ruang makan.
Bu Minda mengetuk perlahan kamar yang ditempati Mei dan Edwin, memanggil mereka. Muncul wajah ngantuk Edwin dan melebarkan senyumnya saat melihat wajah om Ben dan James di ruang makan.
"Ayolah Ed sarapan bareng, cepat cuci mukamu," ajak om Ben,
"Ok bentar om, Ed ke kamar mandi dulu ya,udah mandi kok tadi cuman tidur lagi," Edwin kembali menutup pintu kamar dan melangkah menuju kamar mandi.
Setelah dari kamar mandi dibangunkannya Mei yang masih sangat pulas.
"Apaan sih kak, Mei capek, beneran nih, kakak sih aneh-aneh, pake dipangkulah, Mei lapar sebenarnya, tapi mata masih lengket banget," Mei berbicara dengan mata masih terpejam. Edwin mencium kening dan pipi Mei.
"Ada om Ben tuh di depan, sama James, ngajak sarapan," Edwin masih membelai pipi Mei dan mengelus bahu serta punggungnya.
Akhirnya Mei bangun meski sebenarnya ia masih ingin tidur. Mei Menuju kamar mandi, cuci muka dan keluar beriringan dengan Edwin.
"Waaah Meeeei, wajahmu terlihat kalo kamu ngantuk banget," om Ben tertawa dan menarik kursi agar Mei duduk di dekatnya. Mei duduk dan merebahkan kepalanya ke bahu om Ben.
"Meisyaaaa," panggil bu Minda pelan dan Mei menegakkan kepalanya lagi.
"Iya ibuuu maaf, Mei nggak sopan, tapi om Ben sudah kayak papa kalo sama Mei, iya kan om?" tanya Mei dengan mata yang diusahakan terbuka namun kantuk masih saja datang.
"Iyaaa, itu yang sejak awal bikin om jatuh cinta sama kamu Mei, cepet akrab, ramah, menyenangkan," om Ben mengusap kepala Meisya.
"Ayo-ayo sarapa nih piringnya, Edwin ambil kursi lagi sayang, kurang satu nih, James nggak ada tempat duduknya," pinta bu Minda pada Edwin.
Edwin melihat dengan takjub pada mamanya dan om Ben, keduanya seolah teman lama yang lama tak bertemu, bisa berbicara santai dan lepas tanpa beban. Edwin merasa sangat bersyukur.
"Hei ayo makam Ed," James menepuk pundak Edwin, dan Edwin mulai meraih piring.
***
Setelah makan semuanya duduk di sofa ruang tamu.
"Ngantuk lagi Mei, makan kebanyakan sih kamu tadi," om Ben memandang Mei dan menahan tawa.
"Hmmmm gimana nggak ngantuk Ben, semalam mereka berdua ganggu aku, sampe akunya nggak bisa tidur, bukan si Mei sih, Edwin lebih tepatnya," ujar bu Minda menjatuhkan badannya di sofa dekat Meisya.
"Mamaaaa, jangan bikin malu Edwin, namanya anak muda ya om?" Edwin menggaruk-garuk kepalanya sedang Mei yang tadinya mengantuk jadi merona wajahnya karena malu. James hanya menunduk sambil tersenyum.
"Ah sudahlah gini, sebenarnya aku ingin semuanya ada, pengacaraku, dan Edwina juga, tapi nggak papalah sebagai pembicaraan awal, aku ingin memberitahu bahwa aku sudah membagi hartaku untuk aku wariskan pada James, dua perusahaan, satu di Perth dan satu di Sydney, serta rumah yang di Perth dan ranch juga di Perth, sebuah resort di Klunkung Bali, maaf James papa tidak pernah bercerita tentang ini, aku berikan pada Edwina, biar dia yang mengelola, lalu sebuah hotel lengkap dengan vasilitasnya di Melbourne aku berikan padamu Minda," ujar om Ben menatap bu Minda yang terkejut.
"Tidak, tidak Ben, aku bukan apa-apamu, berikan pada James, dia berhak dapat bagian terbanyak, tidak jangan Ben, aku menerima pertemanan kita bukan berarti aku mau menerima yang bukan hakku," bu Minda memohon dan om Ben tersenyum lembut.
"Baiklah hotel di Melbourne aku berikan pada Edwin dan Meisya, jiwa bisnis Edwin akan membuatnya menjadi lebih maju dan lebih besar, tapi ijinkan aku untuk tetap memberimu satu milikku padamu Minda, aku punya rumah peristirahatan di Paris, jika aku sedang jenuh pasti aku ke sana kadang bisa seminggu, rumah itu sebenarnya memang aku persiapkan untukmu, beberapa puluh tahun lalu, tapi ah sudahlah, ok sudah jelas ya, James, Edwin, Mei?" ujar om Ben. James terlihat bingung dan menunduk lama tanpa melihat papanya. Hembusan napasnya yang berulang dan berat, menandakan hal yang menyesakkan dadanya.
"Ada apa James, kamu tidak suka dengan keputusan papa?"
==========
Papa, mengapa begitu banyak bagianku dan aku tidak tau harus diapakan semua warisan dari papa, aku bukan orang yang tepat papa warisi semua itu, ok lah kalo rumah dan ranch, tapi kalo perusahaan, aku pikir papa salah orang, perusahaan papa yang di Sydney dan Perth adalah perusahaan besar, benar-benar besar papa, apa jadinya jika aku yang pegang, tidak pa, aku tidak sanggup," James terlihat bingung.
Edwin menepuk bahu James.
"Jalanilah dulu, kamu orang cerdas, tidak akan membutuhkan waktu lama untuk belajar," ujar Edwin menenangkan.
"Orang itu cerdas dibidangnya masing-masing Ed, jika berbicara masalah penelitian dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kampus mungkin aku jagonya tapi jika berhubungan dengan dunia bisnis, aku jadi keliatan bego banget, bukan duniaku itu Ed," James menggelengkan kepalanya. Om Ben menatap James dengan sedih.
"Belajarlah pada Edwin, James, belajarlah," ujar om Ben pelan.
"Aku sibuk papa, sebentar lagi aku akan diangkat ketua jurusan, pekerjaanku akan semakin banyak, tidak ada waktu untuk itu, penelitian yang masih aku kerjakan, mengoreksi tesis mahasiswa dan entahlah apa lagi..," ujar James terdengar putus asa.
"Biarlah Edwin yang mengurus kedua perusahaan besar papa, aku tidak mampu, atau lebih baik aku di komisaris saja, tolonglah aku Ed," pinta James pada Edwin.
Sekali lagi Edwin menepuk pundak James.
"Aku bantu pasti, belajar sedikit demi sedikit, pasti bisa, yakin aja James, oh ya gimana kalo kita rame-rame liat apartemen baru hadiah dari om Ben," ajak Edwin.
"Ok lah aku antar kalian, tapi jangan lama-lama ya, siang nanti aku ke kampus," ujar James.
***
Berlima mereka memasuki area aparemen mewah. Meisya memandang takjub sepanjang koridor menuju flat mereka.
"Di luar aja bagus gini ya kak, apalagi ntar di dalam," ujar Mei dengan riang. Om Ben tersenyum melihat wajah riang Meisya.
Meisya memencet password sesuai tanggal pernikahan mereka dan Mei terpekik girang melihat warna peach yang mendominasi, warna kesukaannya. Mei memeluk om Ben, dan om Ben mengelus kepala Meisya. Bu Minda hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah Mei.
"Makasih om, sangat bagus, cocok untuk kami pengantin baru, dan yang jelas ini lebih luas dari apartemen Mei yang sebelumnya om," ujar Edwin mengamati sekelilingnya.
Edwin menoleh saat James terdengar menyapa seseorang. Dilihatnya ternyata Kent.
"Kamu pindah ke sini Kent?" tanya James dan Kent menggeleng.
"Aku menjenguk Al, dia sakit, sepertinya dia memikirkan kata-kata mu James," ujar Kent pelan dan berusaha tersenyum.
James merasa tak enak pada Kent.
"Kent kalo boleh tau di flat mana Alice?" tanya James dan Kent memberi tahu James.
Kent segera pamit pada Edwin, Mei dan semuanya karena akan ke kampus, Kent ada jadwal pagi.
Saat semuanya masih berkeliling melihat-lihat apartemen Mei dan Edwin, James pamit pada Edwin.
"Ed, aku ke apartemen Al dulu ya, ada perlu dikit, tidak akan lama," ujar James melangkah menuju lift hendak ke lantai tiga.
Didepan apartemen Al, James sempat ragu. Namun akhirnya ia tekan bel, berulang dan saat terbuka, Al terlihat kaget.
"Ada apa?" tanyanya dengan wajah murung.
"Boleh masuk?" tanya James dan Al mengangguk.
Mereka duduk berhadapan. James kaget melihat wajah Al yang tumben bersih. Al menatap wajah James, James merasa bersalah jika mengingat kata-kata terakhirnya pada Al, ia telah mengusirnya secara kasar.
"Maafkan aku, maaf jika aku..," belum selesai James berbicara Al memotong.
"Aku yang salah, aku terlalu memburumu, seharusnya aku sadar jika aku jauh di bawah standarmu, kamu laki-laki bersih tak sepantasnya wanita sepertiku terlalu berharap kamu menoleh padaku, aku yang pernah hamil tidak sepantasnya berharap kamu akan menerimaku," Alice menatap James dengan mata berkaca-kaca.
James hanya diam menatap Al yang akhirnya menyusut airmatanya perlahan.
"Maaf aku, aku sudah membuatmu tidak nyaman, aku tidak akan menemuimu lagi," Alice menunduk dan meneguk salivanya yang terasa sulit masuk ke tenggorokannya.
"Aku juga minta maaf Alice, akuuu... aku masih sulit melupakan Mei, aku mencintainya tidak serta merta, butuh waktu, saat aku benar-benar mencintainya ternyata dia sudah memiliki seseorang, saat ini aku berusaha mencintainya sebagai kakak, sulit memang.... mungkin kita lebih baik berteman Alice," James menatap Alice yang mengangguk dan menunduk.
"Aku kembali ke apartemen Mei dan Edwin dulu ya Al," James pamit, Al mengantarnya sampai pintu.
"James," Al memanggil James dan James sekali lagi menatap Alice yang sebenarnya cantik dengan tampilam bersih hari ini.
"Aku, tidak akan mengganggumu lagi," suara Al terdengar tercekat.
"Aku tidak melarangmu menemuiku, maaf jika kata-kataku menyinggungmu, aku sibuk akhir-akhir ini Al, jadi pikiranku kalut, hanya jangan terlalu sering ke tempatku," James sekali lagi menatap Alice dan berlalu dari hadapan wanita yang masih menatap punggungnya hingga hilang dari pandangan mata Alice.
***
"Dari mana James?" tanya om Ben, saat James bergabung kembali di apartemen Mei.
"Dari sodaranya Kent pa?" jawab James.
"Asik dong James, Al juga di sini, kita bisa berempat ke luar bersama ya kak?" goda Mei sambil melihat Edwin dan James.
"Yah bener, ntar malem yok James," ajak Edwin dan James tidak menjawab hanya menatap Edwin dan tersenyum dengan terpaksa.
"Aku sama Mei mau nyoba nginep di sini ntar malam James, kasian mama, keganganggu ya ma?" Edwin tertawa dan bu Minda mencebikkan bibirnya pada Edwin.
"Tapi kita pulang dulu ya kak, ambil baju dan kosmetikku dulu," ujar Mei.
"Ya iyalah sayang, kakak juga mau ambil dokumen perjanjian kerja sama dengan perusahaan om Ben," Edwin masih melihat James yang terlihat bingung.
"Eh James, aku tunggu bener ya ntar malam, jam 8 nggak pakek lama, ok," Edwin menepuk pundak Edwin dan James mengangguk pelan.
"Ayo kita balik ke apartemen dulu, eh iya Ben, jangan lupa ya besok jadwal kemoterapi pertamamu," bu Minda mengingatkan om Ben. Om Ben mengangguk dan semuanya melangkah untuk pulang.
***
James mengantarkan Mei, Edwin dan bu Minda ke apartemen Mei, sedangkan om Ben untuk sementara berada di apartemennya, agar memudahkan jika akan ke rumah sakit dengan bu Minda besok.
***
Selama di kampus James resah, bagaimana caranya menyajak Al nanti malam. Dari tadi ia memandangi ponselnya, tadi saat meminta nomor Al pada Kent ia sudah di ledek habis-habisan oleh Kent.
Akhirnya James beranikan diri menelpon Al..
"Halooo"
"Aku Al"
"James?"
"Yah, eeemmm nanti malam, mau ikut aku?"
"Ke mana?"
"Jalan, eh Edwin dan Mei ngajak kita makan, mau ya Al?"
"Kamu tidak malu mengajakku?"
"Mau nggak Al?"
"Aku harus pakai baju apa?"
"Sembarang, asal kamu nyaman aja"
"Kamu tidak malu mengajakku James"
"Pertanyaan itu lagi, mau kan Al?"
"Iya"
"Jam delapan kurang aku ke tempatmu"
"Ya
James menutup ponselnya dan menghembuskan napas lega. Wanita aneh pikirnya, pertama kayak jagoan lagaknya eh sekarang malah kayak orang sakit.
***
Jam delapan kurang, James memencet bel di apartemen Al, agak lama baru dibuka, James agak kaget melihat penampilan berbeda Al.
"Masuklah, aku mau ambil tasku," ujar Al pelan. James mengekor di belakang Alice. Saat sudah di depan James lagi, James menatap Al dari atas ke bawah.
Rambutnya diikat, meski disisi kanan kiri rambutnya berjatuhan namun justru terlihat menarik dan bibirnya disapu lipstik tipis.
"Aku tidak memaksamu tampil sebagai orang lain, kalo kamu merasa nyaman pake celana dan kemeja, nggak papa Al," ujar James lagi.
"Aku kawatir kamu malu, aku kawatir kamu...," belum selesai Al bicara James memotong.
"Kalo gini terus kamu nggak akan nyaman memulai sebuah hubungan Al, jadilah diri kamu sendiri,"ujar James lagi.
"Tapi nggak papa kok James, ini nyaman juga, kita berangkat aja," Al membawa tas selempang dan membuat James menahan tawa, dressnya sudah cantik eh tasnya tetap tas model cowok.
Keduanya berjalan menuju pintu, Al berusaha memakai stilletonya, dan berusaha menyeimbangkan diri, James kawatir melihat Al dan benar dugaan James, Al oleng dan hampir jatuh, James menangkap bahu Al dan keduanya saling menatap dengan pandangan bingung.
Bersambung #23
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel