James melepaskan pegangan tangannya pada bahu Alice dan Alice kembali akan jatuh.
"Tuh kan, apa aku bilang, sudah pakai snikersmu sana," ujar James terlihat kesal.
"Nggak lucu James, dressku gini, masa pakai snikers?" sahut Al pelan dan terlihat bingung.
"Lebih nggak lucu lagi, kalo sepanjang perjalanan kamu minta aku pegangin, udah ah kita ditunggu Mei dan Edwin," James menatap Al dengan pandangan kesal.
Akhirnya Al menurut, ia memakai snikersnya.
Dan beriringan menuju lift turun ke lantai dua.
Saat akan memasuki lift, Al terlihat ragu sementara James sudah masuk, hingga James menarik tangan Al, dan pintu lift tertutup, keduanya hampir bertubrukan di dalam, untung hanya ada mereka berdua.
James melepaskan genggaman tangannya pada Alice. Keduanya diam sampai turun di lantai dua dan ke luar bersamaan.
James berjalan agak cepat meninggalkan Al dibelakangnya.
"James tunggu," Al memanggil James. James berhenti dan menoleh.
"Ayolah cepat, ini sudah jam 8 lewat, aku nggak biasa ngaret."
"Harusnya kamu terbiasa berjalan cepat, kan gayamu kayak cowok," ujar James melangkah di sisi Alice.
"Dress ini yang bikin langkahku nggak bebas," sahut Alice mempercepat langkahnya.
James menggelengkan kepalanya, meraih tangan Alice dan menariknya agar berjalan agak cepat, sambil berlari kecil Alice mengimbangi langkah lebar James.
Alice tersenyum samar melihat tangannya ada dalam genggaman James. Aku ingin ini bisa lebih lama lagi, pikiran Alice jadi mengembara melihat tangannya ada dalam genggaman James.
Dari jauh, di depan pintu apartemen, Edwin dan Meisya terbelalak melihat James menyeret-nyeret Alice, namun Edwin menahan tawa melihat wajah jengkel James dan Alice yang senyum-senyum sendiri. Meisya pun menutup mulutnya menahan tawa. Benar-benar pasangan aneh.
"Aliiice kamu cantik banget deh," terlihat wajah Mei memandang wajah Alice dengan takjub.
"Cantik ya James?" tanya Meisya sambil melihat James yang merapatkan bibirnya dan memandang Mei dengan tatapan jengkel.
"Ayolah, kita makan di mana, nih?" tanya Edwin dan mereka berjalan beriringan.
"In cafe restouran," jawab James.
"Jam segini sudah nggak ada tempat di sana James," ujar Alice.
"Aku sudah reservasi ," James menjawab dan melangkah menjejeri langkah Edwin.
***
Setelah James memarkirkan mobilnya, berempat mereka masuk.
Secepatnya Edwin duduk berhadapan dengan Mei, mau tidak mau, James duduk di depan Alice.
"Mau pesan apa ini James?" tanya Edwin.
"Sudah aku pesankan, ini kado khusus dariku untuk pengantin baru,"jawab James tersenyum pada Edwin dan Mei.
Tangan Edwin dan Mei saling menggenggam, dan menatap dengan mesra.
"Semoga kebahagiaan yang kami alami, akan menular pada kalian," ujar Edwin lirih sambil memandang Meisya.
James dan Alice saling memandang dengan wajah bingung.
Alice menunduk dan mempermainkan tali tas yang menyilang di dadanya.
"Alice, tasmu taruk aja di meja, biar gak ganggu nanti pas makan," ujar Mei, Alice meletakkan tasnya di meja dan tersenyum pada Mei.
Tak lama makanan pembuka datang.
"Ih lucu banget James, apaan nih?" tanya Mei tetarik.
"Makanlah, itu ikan salmon yang ada diantara roti Mei," jawab James.
Edwin mengambil satu dan menyuapkan ke mulut Mei. Edwin memandang wajah Mei dan membersihkan bibir Mei dari remahan roti dengan jarinya.
James dan Alice jadi berpandangan melihat tingkah kedunya. Al menoleh melihat sisi lain dari rumah makan itu.
"Al," panggil James. Al menoleh, menatap wajah James.
"Makanlah," James menyodorkan makanan pembuka pada Alice, Alice mengambil satu dan memakannya pelan, mereka kembali saling pandang dan segera mengalihkan pandangannya ke sisi lain. James menghembuskan napasnya yang terasa sesak.
Tak lama berselang datang menu utama, berupa bebek saus pepperoni.
Mei makan dengan lahap sampai saus berlepotan. Edwin tertawa dan membersihkan bibir Mei.
"Dia mesti gitu Ed, kalo makan suka kalap, dan belepotan," ujar James dan menoleh pada Alice yang ternyata tak beda jauh dengan Meisya.
"Kamu juga Al, tuh belepotan, nih tisunya," James memberikan tisu dan Al membersihkan bibirnya.
"Bukan di situ Al, sebelahnya, bukaaan ah yang sebelah kiri bibirmu nih," ujar James lagi dan Al jadi bingung. Akhirnya James membersihkan bibir Al dengan jarinya lalu James membersihkan jarinya dengan tisu.
Edwin dan Mei menahan tawa melihat tingkah dua orang yang aneh ini, James yang melakukan semuanya dengan tenang dan tanpa perasaan, sementara wajah Al memerah setelah James membersihkan saus pepperoni di bibirnya.
Saat meneguk minuman, James sempat memandang wajah Al, saat itu baru ia sadar jika tindakannya tadi membuat wajah Al merona. James menghela napas melihat Edwin dan Mei yang menahan tawa, James jadi agak jengkel karena keduanya seolah menertawakannya. Kembali James dan Alice saling pandang dengan wajah bingung.
Makanan penutup datang dan paling tidak membantu James dari siksaan tawa Edwin dan Meisya.
"Duh kenyang dah James tapi aku tetep mau," ujar Mei menatap makanan yang menerbitkan selera makannya lagi.
"Makanlah, kecil kok ukurannya, apple pai itu Mei," James mengambil satu dan memberikannya pada Al.
"Jangan belepotan lagi, nanti kamu malu lagi, tumben deh kamu diam saja," ujar James menatap Al.
Al hanya diam dan tersenyum menatap wajah James yang sedari tadi selalu terlihat jengkel.
Setelah makan mereka tidak langsung pulang tapi menyusuri taman berlampu redup yang ada di sekitar rumah makan itu.
Ada beberapa pasang kursi, dan Mei duduk dengan Edwin yang merengkuh bahunya, Mei menyandarkan kepalanya pada bahu Edwin.
James dan Al terpaksa duduk, dan keduanya terlihat canggung. James mengeluarkan ponsel dan asik menekuni ponselnya. Al hanya duduk, merapatkan kakinya dan bersedekap, lalu mengusap-usap bahunya sendiri.
James menoleh, melihat rambut Al yang meski diikat tetap tertiup angin.
"Kamu kedinginan?" James membuka jaketnya dan memberikan jaketnya pada Al. Al menerima dan memakainya. James bersedekap dan ia merasakan hawa dingin yang menusuk, James heran Edwin dan Mei tidak kedinginan, apa karena mereka berpelukan? Entahlah.
"Kemejamu tipis, nanti kamu kedinginan juga, pulang saja yok James," tanpa sadar Al memegang lengan James, James menoleh dan melihat Al yang memegang lengannya.
Al cepat melepaskan dan menatap wajah James dengan takut.
"Yah, aku memang mulai merasa dingin," ujar James. Al akan membuka jaketnya namun ditahan oleh James.
"Pakailah, kita akan pulang," ujar James lagi. Alice tersenyum dan James tidak menyukai itu.
"Edwiiin, Meeei, pulang yuk, Alice kedinginan nih, eh aku juga sih," ajak James pada mereka berdua. Keduanya menoleh dan mengangguk menahan tawa.
Mereka berjalan menuju mobil James. "Al, gampang caranya biar nggak dingin," ujar Mei. Alice menatap Mei.
"Minta peluk sama James, pasti hangat," suara tawa Mei dan Edwin berderai, wajah Al memerah, James membuka pintu mobil sambil melotot pada Mei.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, Edwin dan Mei semakin jadi mengolok keduanya, James diam saja tak menanggapi, sedang Alice hanya tersenyum.
***
Edwin dan Mei melambaikan tangan pada James dan Al, lalu masuk ke apartemen mereka.
Sedang James mengantar Al sampai di depan pintu apartemennya. Al mengembalikan jaket James dan tersenyum.
"Makasih James, jaketnya, makan malamnya," James hanya mengangguk. Dan saat jaket akan diambil dari tangan Al, Al memegang tangan James, menatapnya sekali lagi dan James menarik tangan serta jaketnya perlahan.
"Terima kasih juga, kamu berusaha jadi normal," James memandang Al dan melangkah meninggalkan Al yang selalu saja menatap punggung James sampai menghilang dari pandangannya.
***
Al menyandarkan kepalanya pada pintu, memejamkan matanya dan memegang tangannya, seolah tangan James masih ia rasakan.
Sedang James berusaha memejamkan matanya, sesampainya ia di apartemennya.
Perempuan aneh, pikir James.
Tak lama ia mendengar notifikasi masuk ke ponselnya. Ia buka ponselnya, dan mendapati pesan singkat dari Al
James, mungkin bagimu apa yang kita alami tadi hanyalah hal biasa, lewat begitu saja, tapi bagiku adalah awal untuk mengenalmu lebih jauh..aku akan memenuhi janjiku untuk tidak mengganggumu, tidak akan datang lagi padamu, aku hanya akan menunggumu... Selamat tidur....
Dan James benar-benar tidak bisa tidur...
==========
Edwin dan Mei mulai memejankan matanya, namun tiba-tiba Edwin bangun dan menatap Mei yang tidur menyamping.
"Sayang, tadi aku kasihan banget sama Al, dia kayaknya emang cinta sama James, trus Jamesnya gitu ya kayak gimana gitu wajahnya," ujar Edwin sambil mengelus pipi Meisya. Mei membuka matanya dan membalikkan badannya.
"Emang iya kan kak, kelihatan banget si Al nya kalo sukak sama James, apalagi waktu diseret-seret itu, kan si Alnya senyum-senyum senang, sementara Jamesnya duh aku gemes deh, belajar sukak gitu sama Alice, cantik gitu padahal, huh dasar," Mei mengusap pipi dan rahang Edwin.
"Enak aja kamu ngomong ya, nggak tau kalo si James itu proses ngelupain kamu sayang, dikira gampang apa?" Edwin mendekatkan wajahnya ke arah Mei dan mencium Meisya dengan lembut, Mei membalas pelukan Edwin dan tangannya menyusuri dada Edwin, terus mengusap ke bawah, ke pangkal paha Edwin. Edwin kaget dan tersenyum sambil membuka baju tidur Mei perlahan, menciumi bahunya yang terbuka.
"Baiklah aku lanjutkan, kamu yang meminta lebih Mei sayang," Edwin membuka kaosnya dan tangannya menjangkau ke semua tempat yang bisa ia jangkau...Mei menahan napas saat kepala Edwin menghilang diantara pangkal pahanya dan mendesah perlahan...
***
Pagi hari Mei membuka matanya dan merasakan badannya yang sulit bergerak, terasa pegal dan sakit dibeberapa tempat, mungkin karena terbawa suasana rumah baru, Edwin jadi tanpa henti semalam.
Mei memandang wajah nyenyak Edwin, diliriknya jam masih pukul empat pagi. Diusapnya pelan pipi Edwin dan Edwin menggerakkan badannya, memeluk pinggang Mei dan mulai membuka matanya.
"Masih pagi banget sayang, mau lagi?" tanya Edwin dengan suara serak. Mei memukul dada Edwin.
"Ih, laaagi, nggak, ancur rasanya badanku," Meisya merapatkan selimut ke badannya saat ia merasakan kulit mereka bersentuhan.
"Alah ancuur, tapi tetep aja semangat juga meski bolak balik," Edwin tertawa pelan sambil menciumi leher Mei.
Mei diam saja tak bersuara membalikkan badannya dan tertawa memunggungi Edwin.
Mei menjerit pelan saat jari Edwin menarik-narik ujung dadanya, menciumi punggungnya dan merapatkan badannya pada badan Mei, dan Mei merasakan gelombang itu lagi... membuatnya hampir pingsan karena lelah dan nikmat yang datang bersamaan.
***
Edwin menjatuhkan kepalanya di bahu Meisya, memeluknya dari belakang dan merasakan deru napas Mei yang masih memburu.
Mei membalikkan badannya menatap Edwin yang masih memejamkan mata, menormalkan napasnya. Mei mencubit pipi Edwin.
"Mau bunuh Mei ya?" Meisya terlihat jengkel.
"Alah mau bunuh gimana, posisi kayak tadi desahan kamu makin jadi aja," Edwin tertawa dan terlihat napasnya masih memburu. Mei memukul dada Edwin.
"Kakak capek Mei, bener, jangan mukul-mukul," Edwin terlentang dan membiarkan selimutnya diambil Mei.
Mei segera melilitkan selimut ke badannya dan melangkah perlahan ke kamar mandi, jika mereka terus bergelung berdua, Mei yakin ia akan benar-benar pingsan.
Dipaksakannya melangkah meski badannya terasa pegal, ia hidupkan kran untuk mengisi bathup dengan air hangat dan merendam badannya perlahan.
Mei ke luar dari kamar mandi dan melihat Edwin yang masih tidur dengan nyenyak. Didekatinya Edwin,Mei cium kening Edwin perlahan.
"Mandi dulu kakak sayang, kita ke ibu dulu yuk, aku mikir sarapan ibu gimana?" tanya Mei.
Edwin berusaha membuka matanya yang terasa lengket.
"Aduh, kakak masih ngantuk Mei, capek lagi, mama pasti ntar makan sama om Ben, apartemen ini agak jauh loh sama apartemen kamu itu, biar aku mau nelpon mama, biar nyari sarapan sendiri, nanti kita nyusul ke rumah sakit ya sayang, " Edwin meraih ponsel di sisi kanan tempat tidur dan menelpon mamanya.
***
Bu Minda menemani om Ben kemoterapi hari ini.
"Tidak usah mikir efek kemonya Ben, pikirkan kamu harus sembuh, aku akan menunda kepulanganku, harusnya hari ini setelah kamu kemoterapi, aku hanya ingin tahu efeknya, aku akan menemanimu melewati itu," bu Minda menatap om Ben yang memejamkan mata, obat kemo sudah dimasukkan melalui jarum infus, sebenarnya ada obat kemo yang tinggal telan saja, tapi entah mengapa om Ben lebih memilih yang seperti ini.
"Aku yang jelek gini, akan semakin jelek saat gundul nanti," om Ben tertawa pelan di pembaringan.
"Kapan kamu pernah tampan?" ledek bu Minda. Om Ben tertawa lagi.
"Duluuu waktu masih aktif di organisasi kemahasiswaan dan ada adik kelas yang selalu menguntitku, saat itu aku merasa tampan," sahut om Ben tetap memejamkan matanya sambil tersenyum.
"Alaaah cerita lalu, dan aku tidak menguntitmu, kurang kerjaan apa?" sahut bu Minda cepat.
"Yaaah tidak menguntit, hanya mengikuti hampir semua kegiaanku," om Ben menahan senyumnya. Bu Minda menatap wajah om Ben dan matanya memanas.
Om Ben membuka matanya, menoleh pada bu Minda dan mendapati bu Minda yang menyusut air matanya.
"Maafkan aku," suara om Ben terdengar pelan dan bu Minda menggeleng.
"Ah tidak Ben, aku hanya tiba-tiba saja ingat suasana kampus dan dadaku sakit," bu Minda menutupkan tisu pada matanya dan menekannya pelan.
Om Bem masih menoleh, menatap bu Minda, ada keinginan yang kuat untuk memeluk wanita yang telah mengisi hatinya bertahun-tahun, tapi hal itu tidak mungkin ia lakukan. Om Ben kembali memejamkan matanya.
"Aku ingin suatu saat kita ke kampus berdua Minda, menyusuri sepanjang koridor kampus kita dan...,"om Ben menghentikan kalimatnya saat didengarnya tangis bu Minda yang tertahan. Kedua tangan bu Minda ditutupkan ke wajahnya dan bu Minda ke luar dari ruangan om Ben.7
Di luar bu Minda menumpahkan tangisnya, dia tidak menyesali apa yang terjadi, hanya entah mengapa jika ingat kampus maka ia akan ingat semua kisah mereka berdua, setiap sudut kampus seolah mampu menceritakan segalanya.
Setelah agak reda tangis dan emosinya, bu Minda menghapus air matanya.
Duduk di kursi yang ada di luar ruangan om Ben dan menatap lurus ke depan.
Dari jauh Edwin dan Meisya melihat bu Minda yang sejak awal ke luar dari ruangan om Ben, menangis dan melamun di luar.
"Kenapa ibu ya kak, masak nggak teguran lagi ntar sama om Ben, duh Mei jadi ikut sedih," Mei menatap Edwin, Edwin menarik tangan Mei dan mengajaknya melangkah mendekati mamanya.
"Mama, kok di luar, di mana tempat om Ben kemo?" tanya Edwin, bu Minda berusaha tersenyum pada keduanya, meski matanya masih sembab dan ada sisa air mata.
"Ayo masuk, mama antar," mereka berjalan beriringan dan melihat om Ben masih terbaring.
Om Ben tersenyum melihat Edwin dan Mei datang, keduanya bergantian mencium pipi om Ben.
Dan sekilas om Ben melirik bu Minda.
"Ben nanti aku tungguin kamu di apartemen James ya, aku mau lihat reaksi pasca kemo, kita beli makan dulu, yang kamu sukai apa, karena efeknya kata dokter tadi, mual dan selera makan jadi menurun," bu Minda duduk di kursi samping om Ben, om Ben mengangguk dan tersenyum.
Tak lama, terdengar ponsel Mei berbunyi, tampak ia berbicara dengan seseorang, lalu ke luar dari ruangan om Ben dan tampak melambaikan tangannya pada seseorang.
Tak lama Meisya masuk ke ruangan om Ben dengan Alice. Edwin tersenyum ia mulai mengerti rencana Meisya.
"Om, kenalkan, ini Alice, pacarnya James, ya kan Alice," Meisya mengenalkan keduanya dan Alice tersenyum pada om Ben, lalu mencium pipi bu Minda.
Alice ini, apartemennya tetanggaan sama Mei yang dikasi om tuh, jadinya asik kami bisa janjian kalo kemana-mana berempat," Mei mengerlingkan matanya pada Edwin.
***
James datang bertepatan dengan kemoterapi pertama om Ben selesai. Mereka menuju rumah makan yang menyediakan chines food tak jauh dari rumah sakit.
Saat akan duduk Mei mengatur sedemikian rupa agar Alice berdampingan dengan James.
Mereka makan siang penuh canda, terutama Mei dan Edwin yang selalu memancing James agar melayani Al dengan baik.
"James kamu jangan makan sendiri, tuh si Al tawarin, dia kan orang baru di keluarga kita, masa pacar dicuekin aja, alah James nggak usah ngomomg cepet gih ambilkan lauk buat Alice," Meisya menyuapkan koloke ke mulut Edwin.
James terlihat kesal pada Mei, ia akan membantah ucapan Mei tadi yang menyebut Al adalah pacarnya tapi tidak diberi kesempatan oleh Mei, sehingga James hanya mendengus kesal. Akhirnya karena melihat Al canggung, James menawari beberapa lauk pada Alice dan Alice menatap wajah James, keduanya saling menatap, kembali James kesal saat melihat Al tersenyum padanya.
Saat akan mengambil lauk untuk dirinya, tak sengaja James menumpahkan air ke celana Alice, dengan segera James membersihkan celana Alice, namun tangan Alice memegang tangan James.
"Nggak usah, nggak papa, cuman air, ntar kering sendiri, aku perupa, biasanya yang tumpah lebih parah dari ini," Alice masih menggenggam tangan James dan James menariknya perlahan.
Semua yang melihat adegan canggung itu, menahan tawa.
Om Ben hanya senyam-senyum melihat wajah anaknya yang memerah menahan malu, sempat melihat ke arah om Ben dan om Ben pura-pura asik makan.
Tiba-tiba om Ben merasa agak mual, bu Minda cepat memberi lemon tea hangat.
"Gimana Ben, sudah enakan?" tanya bu Minda cemas. Om Ben mengangguk
"Nggak papa, aku harus terbiasa dengan ini, biar nanti aku telpon dokternya, gimana kalo aku pake obat saja, karena kemoterapi kayak tadi buang waktu juga Minda," ujar om Ben melanjutkan makannya.
"Iya bener, lebih baik yang obat aja, tanya juga kelebian dan kekurangan keduanya Ben," bu Minda kembali menyodorkan lemon tea hangat pada om Ben.
***
James mengantar om Ben dan bu Minda ke apartemennya.
"Tante biar di kamar sebelah saja, papa di kamar saya, biar saya tidur di sofa," ujar James.
"Sembarang sayang, tante cuma mau memastikan papa kamu baik-baik saja, besok siang tante harus balik ke Indonesia, nggak baik juga terlalu lama meninggalkan bisnis tante di Indonesia meski ada orang yang tante percaya untuk menghandle semuanya, dan kamu cepat pulang ya James, tante nggak enak juga berdua dengan papamu, sementara kami tidak ada hubungan apa-apa," ujar bu Minda sambil memegang lengan James.
"Iya tante, nanti malam saya akan mengajak Edwin dan Meisya ke sini juga, " James menatap wajah bu Minda yang terlihat sungkan.
"Iya iya betul, nanti malam, makan malam sama-sama aja yah, ajak Al juga James, dia terlihat masih canggung, biasakan berkumpul dengan kami," bu Minda menepuk bahu James dan James terlihat bingung namun menganggukkan kepalanya.
***
James mengetuk pintu apartemen Mei dan Edwin, tak ada sahutan, ia tekan bel. Muncul wajah Edwin dengan rambut basah dan bertelanjang dada.
"Waduh sorry James, lebih baik kamu jemput Alice dulu ke flatnya, nanti kita berempat ke apartemen kamu, makan bareng di sana, Mei masih mandi, makanya kamu ke Al dulu, trus ke sini, trus kita berangkat deh," Edwin mengibaskan rambut basahnya. James menghela napas dengan kesal.
"Aku nggak ngajak Al, Ed," ujarnya tanpa senyum.
"Loh Meisya sudah nelpon dia tadi, jam 6 ato 7 akan dijemput kamu biar makan bareng, sudah sana jemput," Edwin menutup kembali pintu apartemennya.
James melangkah dengan kesal, apa maksud mereka semua mendorongnya mendekati Al.
***
James memencet bel, tak lama muncul wajah Al, ia tersenyum dan James terperangah, lama-lama cantik juga ternyata si Al..James menggaruk-garuk kepalanya..
"Tunggu ya, aku ambil tasku dulu, kita langsung ke flatnya Mei," ia melesat ke dalam dengan mengangkat sedikit dressnya, James menggelengkan kepalanya pelan.
harus James akui, Al lumayan cantik jika berdandan ala manusia normal.
Berdua mereka menyusuri koridor menuju lift, kebetulan lift agak rame, James masuk dan menarik Alice, menempatkannya pada posisi aman dari desakan para pengguna lift lainnya, mereka berhadapan, tangan James menekan dinding agar tidak mengenai badan Alice yang hanya berjarak beberapa centi di depannya.
Alice memandang wajah James dari dekat, menikmati momen yang akan sulit ia dapatkan.
Lift terbuka saat akan ke luar, tiba-tiba ada seseorang yang tanpa sengaja menubruk badan James, hingga James hampir menyentuh badan Alice, untung James bisa menekan tangannya pada dinding lift, sehingga hanya jarak mereka saja yang menjadi lebih dekat, sesaat mereka saling pandang dengan wajah sama-sama memerah dan James jadi benci pasangan pengantin baru yang selalu menyiksanya itu.
***
James menekan bel dan wajah Mei yang menjengkelkan muncul dihadapannya.
"Ayo kita berangkat James, bentar aku panggil Edwin, sayaaang ayoo," Mei berteriak memanggil Edwin.
Berempat mereka menuju apartemen James.
"Ben kamu baik-baik saja kan," bu Minda mengetuk pintu kamar mandi, bu Minda cemas karena dari tadi ia mendengar suara om Ben yang muntah-muntah.
Om Ben keluar, sambil memegang dinding dengan lemas, dan berjalan pelan, napasnya terlihat tersengal-sengal. Bu Minda mendekat. Om Ben memeluk bahu bu Minda.
"Minda aku lemas banget rasanya, aku mau makan, karena tadi keluar semua, aku harus kuat, aku harus sembuh," om Ben ke luar kamar di papah bu Minda.
Saat ke luar kamar, bu Minda agak kesulitan juga memapah om Ben yang tinggi besar. Om Ben menatap bu Minda dari samping. Bu Minda menghela napas.
"Nggak usah liat-liat aku, kamu sakit, aku ngerawat kamu, besok aku pulang, kamu harus sehat, ngerti," bu Minda berkata dengan ketus, om Ben mendekatkan wajahnya pada bu Minda bersamaan dengan pintu terbuka dan...
Wajah Edwin, Mei, dan James kaget melihat om Ben memeluk bahu bu Minda... Sedang Al hanya diam tak mengerti apa yang terjadi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel