Cerita bersambung
Loh kok pada bengong semua nih para cowok, ayo bantuin, ini si Ben berat banget, dari tadi muntah-muntah, lemes jadi tante bantuin mapah ke luar," dan James segera berlari menggantikan posisi bu Minda, mendudukkan papanya di ruang makan. Dan om Ben kembali merasa mual.
Mei segera ke dapur membuatkan teh hangat, untung di kulkas James ada lemon, ia peraskan sedikit untuk menghilangkan rasa mual pada om Ben.
"Minum om biar hangat badan om, ini kok dingin ya ibu badan om Ben?" tanya Mei kawatir.
"Lah, dia dari tadi muntah-muntah lama di kamar mandi, makanya jangan di kamar mandi di washtafel aja yah, biar gak kedinginan. James, papamu bawa jaket, ambilkan sayang," James mengambil jaket papanya dan memakaikannnya.
Selanjutnya Al membantu Meisya menata makanan yang mereka beli tadi, Al melihat Mei yang sangat gesit, ia merasa jika Mei sangat sempurna sebagai seorang wanita. Mei melihat Al menatapnya, namun ia pura-pura tetap menata makanan dan mengambil piring, sendok dan garpu untuk mereka berenam.
Lalu menawari makanan untuk om Ben.
"Carikan yang berkuah ya Mei," pinta om Ben.
"Ini tadi saya belikan om Ben, cream soup, mau ya mumpung masih hangat?" ujar Mei lalu menyuapkan pada om Ben.
"Seandainya seperti ini terus ya James, banyak yang nemenin papa, pasti papa cepet sembuh," ujar om Ben pelan sambil tersenyum pada Mei.
"Besok ibu pulang ke Indonesia, Mei sama kak Ed masih di sini, dua hari lagi kami balik, pasti kami temani om, setelah kami balik, ada Al dan James yang akan menemani om, melewati hari-hari berat, ya kan Al?" Meisya menatap Al yang mengangguk dan tersenyum pada om Ben.
Setelah habis cream soupnya om Ben ingin tidur dan dipapah kembali oleh James ke kamarnya.
Bu Minda mengikuti dari belakang.
"James, ini balurkan ke dada papamu biar hangat dan biar nggak mual lagi, harumnya segar, dan kaki serta tangannya juga James, baluri ya," pinta bu Minda.
***
Mereka makan malam berlima, sesekali terlihat James menawari Al lauk, minuman dan lainnya, James benci jika Mei mengingatkannya agar Al dilayani oleh James, jadi sebelum Mei berkomentar, James sudah melakukan itu, Edwin dan Mei saling pandang saat melihat wajah suka cita Al dilayani oleh James dan Mei menahan tawa saat James meliriknya dengan kesal.
"James kok diam saja, ini sayang nambah lagi," ujar bu Minda melihat James yang lebih banyak diam dan berwajah datar.
"Iya tante, lagi nggak selera aja," James mengakhiri makannya dan memilih masuk ke kamar papanya, manyelimuti papanya lalu duduk di sofa menatap serius pada ponselnya.
Ia melihat ada notifikasi masuk, sebuah pesan singkat dari Kent.
Terima kasih James, telah membuat bahagia saudaraku, dia tersenyum lebih sering sekarang dan hal lain yang dulu jarang ia lakukan, mandi juga lebih sering hahahahaha
James mendengus kesal, ia tidak ingin membalas pesan singkat Kent, dan lebih memilih menghapus pesan itu.
Edwin mendekat ke arahnya saat semuanya telah selesai makan malam,Al dan Mei membawa piring dan gelas kotor ke dapur, sementara bu Minda masih duduk di ruang makan, membersihkan, merapikan meja makan dan menuju ke kamar om Ben, berdiri di pintu dan melihat om Ben yang tidur dengan nyeyak.
"Papamu sudah tidur James, tante juga mau masuk kamar ya," bu Minda menuju kamar sebelah dan mulai merebahkan badannya.
***
"Mei, kamu pinter masak ya?" tanya Alice sambil menata piring bersih pada tempatnya.
"Ya harus, karena aku hidup di panti asuhan, siapa yang mau ngasi makan kami, ya kami bergantian masak setelah kami jadi yang paling tua di sana, ada sebenarnya juru masak tapi kami juga harus bisa," jawab Mei dan mata Alice meredup.
"Maafkan aku Mei," sahut Alice pelan dan Mei tertawa menepuk pundaknya.
"Nggak papa, dulu aku sempat merasa hidup paling tidak beruntung,tapi sekarang justru karena hidup di sanalah, aku jadi terbiasa merasakan kesulitan sebagai teman yang membuat aku berhasil, karena kesulitanlah yang membuat aku jadi berpikir keras untuk hidup lebih baik," Mereka berdua duduk di ruang makan, mengamati Edwin dan James yang entah berbicara apa, keduanya nampak tertawa bersama.
"Aku dibiayai oleh mamanya Edwin sejak kecil Al, saat aku sudah lulus kuliah, aku mulai bekerja sebagai sekretaris mamanya Ed, tak lama, aku dibawa ke rumah bu Minda, huh di sanalah aku untuk pertama kali merasa ditolak, sakit banget rasanya," Meisya bercerita sambil menatap Edwin sambil tersenyum.
"Kok kamu tersenyum sih emang siapa yang nolak kamu?" tanya Alice,Mei memberi kode dengan matanya, menunjuk Edwin dan Al membelalakkan matanya.
"Duh pokoknya awal-awal di rumah bu Minda aku sering sedih dan senang juga, aku mengagumi kak Edwin sejak awal melihatnya, tapi bukan cinta loh Al ya, aku yakin cinta padanya setelah kami menjalani masa pacaran, awalnya yaaa normallah, karena Edwin tampan jadinya aku sering bayanging yang nggak-nggak," Mei dan Al tertawa bersama.
"Kayak kamu sekarang sama Jameslah, awal-awal sering merasa aneh, lama-lama dia yang nolak aku eh malah ngejar-ngejar aku," Mei kembali tertawa. Al tiba-tiba menghentikan tawanya dan mendesah perlahan.
"Kalo kisahku tragis Mei, aku malu mau cerita, kisah kelam, nggak enak diceritain," ujar Al, Mei menggenggam tangan Al.
"Kalo kamu mau cerita nggak papa ceritalah, tapi kalo kamu merasa nggak siap sekarang ya janganlah Al, kapan-kapan kita keluar bareng, kita bisa cerita sepuasnya," ujar Mei perlahan sambil mengusap punggung tangan Al.
"Kamu memang menyenangkan Mei, makanya semua orang menyukaimu, mencintaimu, James masih sulit melupakanmu, Kent yang juga sangat sangat menyukaimu, bahkan papanya James kalo sama kamu kayak sama anaknya aja ya Mei?" Al menatap Mei yang tertawa pelan.
"Aku berusaha cepat menyesuaikan diri dimanapun aku berada Al, mungkin karena terbiasa di panti, jadi ya biasa gitu deh Al, eh udah malem nih, pulang yok Al, aku sebenarnya pusing Al, tapi diem ya jangan bilang siapa-siapa," Mei tersenyum dan berdiri menuju Edwin dan James.
"Pulang yok sayang, aku dan ngantuk," ajak Mei dan diiyakan oleh Edwin.
***
Mei dan Edwin melambaikan tangan pada Al dan James saat akan masuk ke apartemennya.
James mengantarkan Al sampai ke depan pintu apartemennya. Sebelum masuk Al menoleh dan mendekati James.
"James jika nanti Mei dan Edwin pulang, nggak papa aku akan ikut merawat papamu, hubungi aku, kawatir aku ada di galeriku." James mengangguk dan Al berjinjit, lalu mencium pipi James sekilas dan masuk ke apartemennya.
James kaget, mengusap pipinya perlahan, menggelengkan kepalanya dan melangkah sambil memasukkan tangannya dalam saku jaketnya.
Aaaal Aal, aku masih belum bisa menyukaimu, masih belum merasakan apapun....
***
James memasuki apartemennya, melihat bu Minda yang duduk di sofa.
"Tante kok nggak tidur?" tanya James dengan wajah kaget. Bu Minda tersenyum.
"Papamu baru saja tidur, tadi mual lagi."
James duduk di dekat Bu Minda, menatapnya dan meraih tangan bu Minda.
"Tante, tante sudah seperti mama bagi saya, apakah, apakah tante tidak bisa menerima papa kembali, saya akan sangat bahagia jika diakhir hidupnya ada orang yang menemai papa, dan saya yakin papa akan memilih tante yang menemaninya."
Bu Minda menghela napas, membiarkan tangannya ada dalam genggaman James.
"Tante akan selalu mendampingi papamu, sampai kapanpun, ini janji tante, tapi tetap sebagai temannya sayangku, jangan kawatir James, jika terjadi apa-apa pada papamu, tante akan segera menemuinya, tapi jika kamu berharap lebih, tante tidak bisa James, tidak bisa, entah mengapa rasanya perjalanan cinta kami bagi tante sudah selesai, yang ada hanya perasaan sebagai teman."
James mengangguk dan melepaskan tangan bu Minda, menatap bu Minda lagi.
"Kesalahan papa memang sangat besar bagi tante, masih untung tante bisa bersikap wajar lagi pada papa, makanya tante jadi sulit menerima papa lagi," ujar James pelan, dan bu Minda tersenyum lebih lebar.
"Nggak sayang, nggaaak, tante sudah nggak marah, nggak dendam sama papamu, tante sudah melupakan semuanya, hanya untuk kembali menjadi sepasang kekasih rasanya sudah tidak mungkin, cinta tante pada papamu sudah hilang sayang, kalo ditanya cinta tante untuk siapa, ya untuk almarhum suami tante, mas Seno, yang telah berkorban banyak untuk tante, cinta tante padanya tak tergantikan," bu Minda memejamkan matanya saat menyebut nama almarhum suaminya, dan James merasakan sakitnya perasaan papanya.
Tanpa mereka sadari, dari dalam kamar James, om Ben mendengar semua pembicaraan itu, om Ben hanya bisa memejamkan matanya, dan memegang dadanya yang tiba-tiba terasa sakit, ia harus bisa menerima kenyataan bahwa orang
yang dicintai sepanjang hidupnya, tidak akan pernah kembali padanya.
Tiba-tiba suara om Ben yang mual terdengar oleh James dan bu Minda. Mereka bergegas masuk dan mendapati om Ben yang sulit bernapas.
Bu Minda cepat meninggikan bantal, membalur dada om Ben dengan minyak gosok hangat yang ia bawa. Dan seketika om Ben memeluk bu Minda dan menangis di bahu bu Minda.
Bu Minda kaget, James hanya bisa terpana melihat papanya bercucuran air mata.
==========
"Beeen, kamu harus sehat, kamu harus kuat, aku akan ada di sisimu, James juga, ada apa kok tiba-tiba sedih, udah tidur, rebahan, nggak enak ada James, masa kamu meluk aku kayak gini," Bu Minda melepaskan pelukan om Ben dan merebahkannya lagi.
Bu Minda menghapus air mata om Ben sambil tersenyum.
"Kenapa jadi melo Ben, karena aku mau pulang besok?" tanya bu Minda sambil membetulkan selimut om Ben. James mengerti kesedihan papanya, tapi ia hanya diam saja, menatap wajah papanya dengan sedih.
Saat bu Minda akan berdiri, tangan om Ben menahan bu Minda.
"Kamu betul-betul tidak memberiku kesempatan Minda, bahkan saat kondisiku seperti ini?" tanya om Ben menatap bu Minda dengan tatapan putus asa.
"Berapa kali aku harus mengingatkan Ben, aku akan selalu ada di sisimu, sebagai teman, cerita kita sudah selesai Ben, jika mengingat apa yang kamu lakukan padaku, mungkin aku tidak akan ada di sini, tapi apa gunanya mengingat rasa sakit itu, semuanya telah berlalu dan aku memaafkanmu yang telah menelantarkan aku dan anakmu, jadi jika kamu meminta lebih, aku tidak bisa, semuanya telah aku serahkan pada mas Seno, semua, tak tersisa untuk siapapun, aku harap kamu mengerti Ben," bu Minda menepuk lembut punggung tangan om Ben.
"Tidurlah, aku masih di sisimu," bu Minda menatap om Ben dengan perasaan tak menentu, antara kasihan dan sedih, Ben, cerita kita sudah selesai, dan takkan pernah terulang lagi.
"Tidurlah James, besok jam 9 pagi aku ke bandara, kalo ada apa-apa hubungi tante ya," bu Minda menepuk bahu James dan melangkah ke luar.
Bu Minda berganti dengan baju tidur, ke kamar mandi dan merebahkan badannya. Menghela napas panjang, berusaha memejamkan matanya.
***
Pagi-pagi bu Minda bangun, menengok ke kamar om Ben dan bersyukur semalam om Ben tidur nyenyak, berarti kondisi om Ben kuat, ia tidak mual lagi setelah menangis.
Melihat James yang meringkuk di sofa dengan tubuhnya menekuk, ada rasa iba dalam hati bu Minda, anak yang baik, meski tahu papanya tidak pernah mencintai mamanya, ia sangat menyayangi papanya, bahkan lebih mengherankan lagi, memintanya untuk bersama-sama dengan papanya, bu Minda mengerti maksud James, ia ingin bu Minda menikah dengan papanya. Bu Minda tersenyum dan menggeleng pelan. Maafkan tante James, bisik hati bu Minda perlahan.
Bu Minda masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan badannya. Setelah mandi ia menelpon Edwin, memberi tahu bahwa jam 9 akan ke bandara.
***
Tak lama ada ketukan lalu bel berbunyi di pintu apartemen James.
Bu Minda bergegas membuka.
"Alice sepagi ini sayang?" tanya bu Minda, Alice tersenyum malu dan dipersilakan masuk oleh bu Minda, tampak ia membawa banyak makanan. Dengan dibantu bu Minda diletakkannya makanan yang di bawa Alice, di meja makan.
"Untuk sarapan tante, saya kawatir karena om Ben sakit," ujar Alice sambil duduk di ruang makan, ia menoleh ke sofa dan menemukan James meringkuk di sana sambil bersedekap.
Bu Minda masih asik menata makanan, mengambil piring, sendok dan garpu untuk persiapan sarapan.
Alice mendekati James dan menyentuh lengannya perlahan lalu menepuknya dan James bergerak, mulai membuka mata. Kaget saat melihat wajah Alice sepagi ini. James duduk dan menatap Al yang masih saja tersenyum.
"Sepagi ini?" tanya James pelan.
"Ya, aku kawatir papa kamu, aku bawa sarapan, mandilah," Al duduk di lantai di dekat meja, James melihat Al yang tampak segar sepagi ini.
"Aku tidak terbiasa mandi terlalu pagi, masi ngantuk lagi," James masih sulit membuka matanya.
"Mandilah biar segar," ujar Al lagi.
"Sejak kapan kamu rajin mandi?" entah mengapa James baru kali ini merasa mulai bisa berbicara agak banyak pada Alice.
Alice tersenyum malu, membetulkan letak topinya dan tersenyum lagi sambil menyandarkan pipinya pada meja yang ada di depannya.
"Sejak tau kamu dan kenal kamu," ujar Al pelan, dan James tersenyum meski senyumnya hampir tak terlihat.
"Katanya nggak mau menemui aku, cuma mau nunggu," tanya James lagi. Wajah Alice memerah dan duduk di samping James.
"Yah, maunya gitu, ternyata nggak bisa," Al menatap mata James dari jarak dekat. James menunduk dan bendiri.
"Aku mau mandi," ujar James pelan.
Alice terlihat bahagia, ia merasa James mulai memperhatikannya meski hanya berupa percakapan singkat seperti tadi, buktinya James masih mengingat apa yang diucapkan di depan pintu apartemennya.
Bu Minda memperhatikan keduanya dari ruang makan sambil menahan senyum. Terlihat jika Alice sangat menyukai James.
Alice mendekati bu Minda yang sudah selesai menata meja makan.
"Nggak kerja hari ini sayang?" tanya bu Minda.
"Nanti siang tante, ada kelas yang harus saya datangi, ada beberapa peserta baru di galeri saya dan hari ini mereka baru mulai," Alice menjawab sambil duduk di dekat bu Minda.
Muncul om Ben, menatap bu Minda dan bu Minda segera mendekat.
"Butuh apa Ben, mandi dulu ya, trus sarapan," bu Minda menatap wajah om Ben yang masih terlihat enggan berbicara, ia hanya mengangguk dan kembali masuk dalam kamar, bu Minda mengekor di belakangnya.
James ke luar dari kamarnya dan nampak segar setelah mandi, Alice terus melihat wajah James sejak ia melangkah ke luar dari kamarnya.
"Ada apa di wajahku?" tanya James pelan, duduk di dekat Al, Alice menggeleng, dan masih menatap wajah James dari jarak dekat.
"Aku mau sarapan, bisa nggak jangan liat aku terus?" tanya James sambil tangannya sibuk mengambil piring dan sendok, seketika wajah Al memerah.
James menoleh, dan mendapati Al yang masih menatapnya. Cantik, kata James dalam hati, tapi kok belum ngerasa apa-apa ya? James menggeleng pelan.
James mulai menyuapkan makanan ke mulutnya dan menoleh pada Al.
"Aku makan dulu ya, kamu makan sana, biar nggak liat aku?" ujar James, mulai tersenyum meski setelah itu kembali serius menekuni makanannya.
Hati Al terasa menghangat kembali saat James tersenyum padanya.
Bu Minda ke luar bersama om Ben dan mereka pun duduk bersama di ruang makan. Bu Minda melayani om Ben, dan om Ben masih saja tak mengeluarkan sepatah katapun.
Mereka makan dalam diam sampai tak lama terdengar bel berbunyi di pintu dan James membukanya.
"Ah kalian, kenapa nggak buka sendiri, Mei tau kok passwordnya," James menyuruh Mei dan Edwin masuk, lalu mengajak mereka sarapan sekalian.
"Aaaallll wah nggak ngajak-ngajak nih yaaaa sudah di sini ternyata," sapa Mei dengan riang lalu, mencium pipi bu Minda dan om Ben bergantian.
Mei dan Edwin menolak saat diajak makan karena mereka sudah makan saat menuju ke apartemen James tadi.
"Mama pulang hari ini kan ya, kayaknya Edwin sama Mei juga ma, cuman beda jam aja paling ntar malem, mau nungguin om Ben dulu, tadi Edwin di telpon dari perusahaan ada masalah penting, Ed lupa lusa akan datang tamu penting ke kantor, teman lama waktu kuliah di SG, kerja sama dengan perusahaan kita ma, sudah aku suruh sekretaris nyiapin semua dokumen," ujar Edwin pada bu Minda dan dijawab dengan anggukan oleh bu Minda.
"Dan kalian akan membiarkan aku sendiri?" tanya om Ben tiba-tiba.
"Ada Al sama James, om, yang akan selalu menemani om, saat tante Minda dan Mei tidak di sini," sahut Al tiba-tiba, Meisya mendekati om Ben dan memeluk bahunya.
"Kami semua menyayangi om, tapi hidup terus berjalan, kami mau pulang dulu ke Indonesia, dan jangan lupa, Mei masih melanjutkan kuliah di sini, Mei pasti balik ke sini, untuk om, untuk melanjukan kuliah juga tentunya," Mei mencium pipi om Ben dan om Ben tersenyum pada Meisya.
"Dan jangan lupa om, tadi Al sudah bilang, akan merawat om, iya kan Al?" tanya Mei yang dijawab anggukan oleh Al dan melihat James yang masih saja serius dengan sarapannya.
"Jangan lupa besok antar papamu kontrol ya James dan tanyakan ke dokter gimana kalo papamu pakai obat minum saja untuk kemoterapinya," pinta bu Minda yang di jawab dengan anggukan dan senyuman dari James.
***
Jam 9 bu Minda pamit pada om Ben untuk pulang, disentuhnya punggung tangan om Ben.
"Kamu harus kuat, harus sembuh, aku janji, jika kamu benar-benar sembuh, aku akan menuruti keinginanmu untuk berjalan-jalan di kampus," suara bu Minda menjadi pelan.
Om Ben menatap bu Minda penuh harap.
"Benarkah?" ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Bu Minda mengangguk.
"Aku pulang, nanti aku telpon setelah sampai rumah," bu Minda kembali menyentuh tangan om Ben.
***
Bu Minda diantar James ke bandara, sekalian mengantar Al ke galerinya.
Saat akan turun, Al menoleh menatap James.
"Nanti sore jemput aku di sini ya James, mobilku ada di apartemenmu," James kaget dan menghela napas.
"Kenapa tadi kamu nggak bilang, kan bisa naik mobil kamu sendiri ke sini," ujar James terlihat kesal.
"Sengaja, biar kamu jemput aku lagi," ujar Al sambil tesenyum.
"Nggak janji deh, aku agak lama di kampus," jawab James.
"Nggak papa, aku akan menunggumu," ujar Alice, memegang lengan James sekilas dan membuka pintu lalu melangkah cepat menuju galerinya.
***
James terlihat capek setelah seharian menekui pekerjaannya. Saat hari semakin sore dan beranjak malam ia merasakan penat yang amat sangat, ia tadi ditelepon oleh Edwin bahwa akan ke bandara jam 8 malam, untuk kembali ke Indonesia.
James melangkah ke kursi panjang, ia rebahkan badannya, punggungnya terasa pegal setelah mengoreksi pekerjaan mahasiswanya yang seolah menumpuk tiada henti. Setelah semuanya selesai, terasa lega meski penat mulai ia rasakan.
James mulai memejamkan matanya, namun sesaat kemudian ia terbangun saat mendengar pintu dibuka. Ah si Al rupanya. Al melangkah mendekati James dan duduk di sampingnya.
"Aku sudah menduga, kamu pasti masih di sini," Al menatap James yang masih berbaring, tiba-tiba entah mengapa dada Al jadi berdebar saat melihat James terpejam lagi dengan bibir agak terbuka, didekatinya wajah James dan James membuka matanya saat terpaan napas menerpa wajahnya.
"Al," suara James terdengar pelan, lalu ia merasakan bibir Alice menyentuh bibirnya pelan, sekelebat bayang Meisya melintas di matanya, ia balas ciuman Al, lalu ia pegang pipi Alice, ditatapnya mata wanita yang selalu menatapnya penuh cinta.
James menggeleng pelan, dan menatap wajah Alice dengan sedih.
"Jangan lagi, aku belum merasakan apa-apa padamu." Alice menjauh dari James dan menunduk sedih, menatap tas yang ada di pangkuannya, James duduk dan mengajak Alice ke apartemennya karena sebentar lagi Edwin dan Mei akan kembali ke Indonesia.
Saat berjalan menuju mobil, Al menarik lengan James. James menoleh dan mendapati mata Al yang berkaca-kaca.
"Mei begitu kuat di pikiran dan hatimu, saat aku cium kau tadi, nama Mei yang kau panggil..." dan James terperangah..
Bersambung #25
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel