Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 09 Juli 2021

Soto Untuk Kakak #25

Cerita bersambung

Sepanjang perjalanan menuju apartemen James keduanya diam, hanya menatap lurus jalanan di depannya.
Saat turun dari mobil James melihat Alice yang berjalan mendahuluinya,  setelah memarkirkan mobil, James melangkah lebar mengejar Alice.
Saat sudah dekat, ditariknya lengan Alice dan keduanya saling menatap.
Dilihatnya mata Alice yang masih memerah.

"Sejak awal aku sudah katakan padamu, bahwa aku dalam proses melupakan Mei, jadi, aku tidak bermaksud menyakitimu," James berusaha menjelaskan pada Alice, meski ia belum ada perasaan apapun pada Alice, ia mulai ada rasa tak tega menyakiti Alice.
Alice terlihat menunduk lalu menatap James lagi.

"Apakah kamu pernah menciumnya?" tanya Alice lagi dan James mengangguk.
"Yah,  aku pernah menciumnya,  dengan sepenuh hatiku, tapi jawabannya sangat menyakitkan,  ia tak merasakan apapun," James melepaskan tangannya pada lengan Alice.
"Sama dengan yang kamu rasakan tadi James,  kamu tidak merasakan apa-apa dengan ciumankukan, malah yang hadir dalam bayanganmu pasti wajah Meisya," Alice menunduk, menatap ujung snikersnya.
"Apakah kamu sangat mencintainya?" tanya Alice lagi dengan tatapan sedih.
"Yah, sangat, Mei memiliki semua hal yang laki-laki inginkan pada seorang wanita,  ramah, sabar, mengalah, ceria,  manja, dan cantik, yang jelas aku selalu merasa nyaman jika berada di sisinya, satu kelebihan dia lagi,  pandai memasak, Al, aku bilang bengini bukan mau membandingkan kamu dengan Mei, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan,  jadilah dirimu sendiri, kamu tidak akan bisa sama dengan siapapun," James menatap wajah Alice dengan perasaan iba.
"Ayolah kita masuk, Edwin dan Mei akan segera ke bandara, aku akan mengantar mereka," ujar James menarik tangan Alice.
***

Edwin dan Meisya pamit pada om Ben dan diantar James ke bandara. Sedangkan Alice menemani om Ben di apartemen James.
***

"Om tidur saja,  ini sudah malam,  takut om capek," ujar Alice yang melihat om Ben masih melihat beberapa dokumen di ruang tamu.
Sekilas om Ben tersenyum dan memasukkan dokumen-dokumen perjanjian yang ia tandangani dengan Edwin.

"Alice, kamu mencintai anak om?" tanya om Ben dan menangkap keterkejutan Alice.
"Yah sejak awal saya melihatnya om, entah mengapa sejak itu saya tidak pernah bisa melupakan wajah James," suara Alice terdengar pelan.
"Satu saran om, bertahanlah di sisinya, jika kau mau bersabar menunggu perasaan James padamu, cintanya pada Meisya terlalu besar,  dan James harus segera disadarkan bahwa Meisya sudah ada yang memiliki, dia harus melanjutkan hidup, harus belajar mencintai wanita lain," om Ben manatap Al yang masih saja menunduk.
"Mau kan Al mengikuti saran om, bersabarlah,  satu lagi,  dia tidak suka terlalu di kejar," om Ben tersenyum menatap wajah Alice yang menurutnya juga cantik, dan Alice mengangguk perlahan.
***

Om Ben merebahkan badannya, Al membenahi selimut om Ben.
"Selamat tidur om,  besok jika James sibuk,  biar Al yang antar ke rumah sakit, om harus sehat,  om harus melihat kami, saya dan James menikah," Al tersenyum menahan malu, om Ber terkekeh perlahan.
"Om kagum pada kegigihanmu,  terkadang ada tipe laki-laki yang memang harus dikejar, om akan mendukungmu," om Ben menepuk lengan Al sekilas.

Al ke luar kamar om Ben dan duduk di sofa menunggu James datang, sambil memainkan ponselnya.
***

Jam 10 malam James sampai di apartemennya, ia mendapati Alice yang tidur meringkuk di sofa. James mengambil selimut dan menyelimuti badan Al. Saat akan masuk ke kamarnya lagi,  ia mendengar suara papanya yang sepertinya, mual-mual. Bergegas James mendatangi papanya dan duduk di sampingnya.

James meninggikan bantal om Ben dan membalur obat gosok hangat pemberian bu Minda, ke dada dan perut papanya. Om Ben memandang wajah James dengan iba,  wajah James mengingatkan ia pada almarhum istrinya.

"Makasih James,  kamu mau merawat papa," ujar om Ben. James tersenyum dan berdiri hendak ke luar namun om Ben memanggilnya, James menoleh.
"Al terlihat sangat mencintaimu James," ujar om Ben. Dan James berbalik menghadap papanya.
"Tak ada salahnya mencoba James,  dia anak baik, kamu harus melupakan Meisya dan belajar mencintai wanita lain,  belajarlah dari pengalaman papa,  jangan seumur hidup kamu terikat pada cinta lama,  akan sangat menyakitkan anakku," om Ben menatap James dengan pandangan sedih. James mengangguk.
"Yah, aku memang belajar melupakan Mei papa, tapi aku belum merasakan apapun pada Alice, biarlah waktu yang nantinya menjawab,  akan seperti apa perjalananku dengan Alice, akan berlanjut atau tidak," sahut James dan ke luar dari kamar papanya.

James bingung dia harus tidur di mana, mau tidur di kamar sebelah,  kasian Alice yang meringkuk di sofa, sementara sofa sudah ditempati Alice.

Akhirnya, James menggendong Alice dan membawanya ke kamar sebelah. Saat akan membaringkan ke kasur tiba-tiba Alice membuka mata dan memeluk leher james. James menatap wajah Alice dari jarak dekat dan dilepaskannya kedua tangan Alice yang melingkar di lehernya.

"Aku tidak ingin menyakitimu lagi, aku tidak ingin kamu mendengar aku memanggil nama Mei lagi,  tidak untuk saat ini Al, tidurlah," saat James akan ke luar, tiba-tiba Al menarik tangan James dan seketika Al bangun dan memeluk James.
James diam saja. Tak lama,  ia hanya mendengar isakan Alice.
"Aku mencintaimu James," suara Al hampir tak terdengar. James tak berkata apapun, perlahan dan ragu James memegang kedua bahu Alice lalu mengusap rambut Al perlahan.
"Aku,  aku tidak bisa menjawab apa-apa Al untuk saat ini," ujar James.
"Tak apa, yang penting kamu tahu,  kalo aku mencintaimu," Alice mengeratkan pelukannya.
"Tidurlah,  aku ambilkan kaosku agar kamu bisa ganti baju besok pagi-pagi aku antar kamu ke apartemenmu dan aku akan mengantarkan papa ke rumah sakit," ujar James melepaskan pelukan Al.
***

Jam lima pagi, Edwin dan Mei tiba di rumah dengan wajah lelah,  meski dalam perjalanan mereka berdua tidur nyenyak namun karena selama di Sidney aktivitas pengantin baru yang tiada henti, membuat mereka tetap terlihat lelah,  terutama Meisya.

Sesampainya di Kamar Edwin, kedua melanjutkan tidurnya.
***

"Bik Sum,  tadi Mei dan Edwin ya yang datang,  aku dengar samar-samar suara Edwin ?" tanya bu Minda sambil melihat-lihat yang di masak bik Sum.
"Iya nyah, capek kayaknya dua orang itu,  langsung tidur paling,  nggak denger suaranya lagi tuh," jawab bik Sum asik memetiki daun kangkung untuk teman sambel pecel.
"Heeeh nggak capek gimana,  lah selama di sana Edwin nggak ada capeknya biiik ngerjain Meisya,  mangkel bener,  sampek pernah aku keganggu dan nggak bisa tidur," bu Minda terlihat kesal.
"Leh masak gituan sampek ganggu tidur nyonyah,  aneh to?" ujar bik Sum terkekeh.
"Heeeh bik Sum nggak tau,  aku ya baru tau kalo Edwin sampek gitu suaranya, pengen tak gedor pintu kamarnya,  cuman kasian Mei saja,  untung punya istri penurut, diem aja diapa-apain,  kalo aku bik,  heeemm, " bu Minda terlihat jengkel.
"Alaaah wong dulu nyonya ya manut sama tuan Seno," ujar bik Sum terkekeh.
"Mas Seno suabar gitu bik, suaranya selalu lembut,  siapa yang nggak akan manut, selalu menatap dengan mesra, selama jadi istrinya, aku nggak pernah dimarahin, dibentak apalagi, makanya waktu mas Seno meninggal,  aku nggak ada pikiran buat nikah lagi bik,  sudah selesai semua," bu Minda menghela napas,  tiba-tiba ia mengingat om Ben dan tetap berharap padanya.
***

Bu Minda mengetuk kamar Edwin,  muncul wajah lelah Edwin.
"Bangun Ed, nggak ngantor kamu?" tanya bu Minda.
"Iya ma,  ngantor, ntar lagi, jam 8 paling aku ke kantor, mau nyiapin dokumen perjanjian sama perusahaannya Alfa, besok Alfa datang," jawab Edwin sambil tiada henti menguap.23
"Alfa teman kamu yang ganteng itu,  ah iya iya mama,  ingat pernah kamu ajak ke sini dulu kan nginap di sini, sekarang di mana dia?" tanya bu Minda.
"Ya tetep di SG ma,  keluarganya di sana semua, perusahaan keluarganya ya di sana, ya dah, aku mandi dulu," ujar Edwin dan terlihat Mei yang baru selesai mandi.

Mei dan bu Minda menuju ruang makan dan menata sarapan yang sudah disiapkan bik Sum. Sarapan sederhana yang menggugah selera,  ada sambel pecel plus sayur kangkung, kecambah dan kacang panjang rebus, tahu tempe goreng,  ayam goreng dan telor ceplok.

Bel pintu depan berbunyi, sepagi ini apa tamu, Mei dan bu Minda saling pandang, Mei bergegas menuju pintu dan mendapati seorang laki-laki jangkung yang menatapnya dengan kaget, diantar oleh Pak Sarpin, petugas keamanan yang biasa berjaga di pintu depan,  Pak Sarpin pamit kembali ke pos depan.

"Edwin atau mamanya ada,  kamu siapa?" tanyanya ramah, sambil tersenyum dan Mei hanya mengangguk.
"Ada, ada,  ibu sama kak Ed ada, mari silakan duduk, saya panggil ibu sama kak Ed," ujar Mei menyilakan tamunya duduk tanpa menjelaskan siapa dirinya.

Mei bergegas ke ruang makan dan terlihat Edwin yang segar dengan kaos putih dan celana jins.
"Kaaak tuh ada tamu nanyain kakak,  kayak kakak orangnya, tinggi," ujar Mei menunjuk ruang tamu.

Edwin bergegas ke ruang tamu,  siapa sepagi ini sudah bertamu. Sesampaimya di ruang tamu ia terkejut dan merentangkan tangannya, mereka berpelukan dengan erat.

"Alfa,  kamu kok nggak ngasi kabar kalo hari ini mau datang,  katanya besok, tapi nggak papa deh, lama banget nggak ketemu,  makin ok aja," ujar Edwin menyilakan Alfa duduk kembali.
"Emang mau kasi kejutan,  makin ok apanya,  tetep nggak laku gini,  eh tadi ada gadis mungil cantik,  adik angkat kamu apa gimana,  setauku kamu cuman berdua sama kak Edwina,  dia tadi bilang kak Ed deh kayaknya pas buka pintu, kenalin aku ke dia Ed," ujar Al yang membuat Edwin terbahak dan ingin meninju wajah Alfa.
"Kamu ya tetep aja main embat,  itu istriku tahu, Mei sayaaang, mamaaa ini si Alfa datang," Edwin masih saja terbahak dan memanggil mamanya serta Meisya.

Alfa kaget dan tertawa-tawa juga.
"Eh pedofil kamu ya,  anak kecil kamu jadikan istri," ujarnya sambil tertawa.
"Dia ambil magister di Aussie, Alfa,  bukan anak-anak lagi, wajahnya aja yang nggak boros," ujar Edwin yang menarik lengan Mei untuk duduk di dekatnya.
"Ini temen kuliah kakak Mei,  Alfa namanya, ini istriku, nggak usah pakek acara salaman,  ngerti," Edwin menatap Alfa yang masih saja tertawa.
"Ya mana aku tahu kalo ini istrimu Ed, lah kamu nggak ngundang aku pas nikah," ujar Alfa masih sesekali melihat pada Meisya yang tak percaya itu istri Edwin karena wajahnya yang seperti gadis remaja.

Meisya hanya mengangguk dan tersenyum pada Alfa,  lalu bu Minda yang datang memeluk Alfa dan mengajak mereka semua sarapan. Alfa menolak karena sudah sarapan tadi di bandara. Akhirnya mereka bercerita sambil sarapan,  sedang Alfa menikmati teh hangat buatan bik Sum.
***

James membangunkan Alice sambil menepuk bahunya perlahan. Alice bangun dan menatap James yang duduk di sampingnya.

"Bangunlah,  aku antar kamu dulu,  nanti aku ke rumah sakit bareng papa, mobilmu akhirnya ada di mana Al?" tanya James.
"Di galeri ku," jawab Al singkat, James hendak bangun namun lengan James di tarik lagi oleh Alice sehingga James terduduk lagi dan badannya hampir menindih badan Al. Jarak mereka jadi sangat dekat.
"Jangan bergurau Al, nanti aku nindih kamu," ujar James tanpa senyum namun justru Al memegang pipi James dan mendaratkan bibirnya pada bibir James. James diam saja saat ciuman Alice semakin menjadi, lengan James menopang di kasur kawatir badannya benar-benar menindih Alice, saat tangan Alice menahan tengkuknya,  James mengerang perlahan dan berusaha melepaskan diri....

Jaaames...," suara papanya tiba-tiba berada di belakangnya....

==========

James cepat melepaskan pelukan Alice di tengkuknya. Dan berdiri melihat papanya yang telah melangkah menjauhi pintu kamar yang memang tidak ia tutup. Ada rasa malu dan canggung saat James akan ke luar menemui papanya.

"Ya pa,  ada apa?" tanya James sambil menggaruk kepalanya.
"Nanti jam berapa ke rumah sakit?" tanya om Ben duduk di ruang makan
"Sekitar jam 9 lah pa,  aku antar Al dulu ke apartemennya," jawab James.
"James,  jangan Alice kamu gunakan sebagai pelampiasan,  kamu tak mencintainya,  tapi menciumnya," om Ben tak melihat wajah James. Dan James terbelalak.
"Papa,  yang mulai duluan Alice, bukan aku, " ujar James dengan suara lirih.
"Yah tapi kamu menikmatinya," ujar om Ben dan James hanya menggeleng-geleng kepalanya.
***

Tak terasa telah dua minggu om Ben menjalani hari-harinya yang ia rasa agak berat, padahal efek kemo pertama ternyata tidak terlalu parah hanya mual saja dan terkadang saja muntah, gejala tiap orang memang tidak sama, om Ben mulai merasakan efek dari kemo pertamanya yaitu rambutnya mulai rontok,  meski tidak banyak, dan kukunya juga mulai menghitam.

Om Ben,  tetap melaksanakan aktivitasnya seperti biasa,  bahkan sempat kembali ke Perth untuk kembali aktif di perusahaannya meski kadang ia cepat lelah.
Dan memasuki minggu ke tiga,  akan dijawal lagi untuk kemo kedua, om Ben telah menjalani pemeriksaan lengkap,  karena semua hasil dari general checkup baik, sehingga kemoterapi kedua akan segera dijdwalkan.
***

Edwin dan Meisya sempat berbulan madu ke Bali, meski hanya lima hari, mereka benar-benar memanfaatkan bulan madu singkat itu karena jadwal kerja Edwin yang semakin sibuk,  apalagi sejak om Ben meminta bantuan Edwin agar ikut mengelola perusahaan om Ben yang di Sydney, sementara yang di Perth masih diikelola langsung oleh om Ben.

Meisya merasakan Edwin yang mulai mengabaikannya. Bu Minda merasakan Meisya yang terlihat sering melamun di kursi yang menghadap ke kolam. Edwin semakin tengggelam dalam pekerjaan yang seolah tiada henti.
***

Malam saat Edwin baru datang,  ia melihat Mei yang tengah melipat baju-bajunya dalam travel bag. Ia dekati istrinya, Mei diam saja.

"Ada apa kamu memasukkan baju-bajumu sayang?" tanya Edwin sambil membelai rambut Mei.
"Besok aku kembali ke Sydney," suara Mei hampir tak terdengar,  namun sanggup membuat Edwin kaget.

Edwin berjongkok menatap wajah Mei, dipegangnya paha istrinya, dan Mei masih saja menunduk, melipat dalamannya.

"Kok tiba-tiba sayang,  bukankah masih seminggu lagi kuliahmu mulai?"  tanya Edwin menatap Mei dengan bingung.
Mei hanya diam saja melepaskan tangan Edwin di pahanya, dan merebahkan dirinya,  menarik selimut dan memunggungi Edwin yang masih berjongkok dengan jas lengkapnya.
Edwin diam saja,  ia mengerti Mei marah,  dua minggu ini ia sangat sibuk,  kerja sama dengan perusahaan sahabatnya,  menangani perusahaan om Ben,  belum lagi perusahaannya sendiri.

Dalam dua minggu, mungkin hanya dua kali mereka sempat melakukan aktivitas yang mendebarkan itupun karena Mei saat itu memancing Edwin dengan kado pengantin dari Edwina,  lingerie yang mengerikan menurut Meisya. Selebihnya,  Edwin lebih sering pulang larut,  langsung tidur dan pagi-pagi sudah bergegas ke kantor.

Edwin segera membuka jas dan kemejanya, lalu masuk ke kamar mandi. Edwin ke luar dari kamar mandi, memakai kaos serta celana pendeknya.
Kemudian ia mulai merebahkan badannya,  memeluk tubuh Mei, dan menyibak rambut yang menutupi wajah istrinya, ia tahu Mei belum tidur.

Maafkan kakak, kakak sibuk dua minggu ini, banyak pekerjaan yang harus segera diselesaikan sayang,  kakak juga capek, pingin cepat pulang nemuin kamu, tapi karena larut malam,  kamunya sering sudah tidur," Edwin merasakan bahu Meisya yang naik turun perlahan.

"Mei cuman ngerasa kakak mulai jauh, lalu buat apa nikah kalo nggak ada komunikasi," suara Mei terdengar serak dan sengau.
"Makanya lebih baik Mei balik ke Sydney, di sana Mei dah biasa sendiri," ujarnya masih menyisakan isak.

Edwin semakin mengeratkan pelukannya. Ia tidak tahu harus berkata apalagi,  memang dia yang salah,  harusnya Edwin bisa mendelegasikan pada wakil direkturnya atau para manajer yang lain. Tapi proyek kerjasama kali ini membutuhkan pengawasan darinya langsung karena bekerja sama dengan perusahaan dari luar negeri.

"Maafkan kakak,  maafkan kakak Mei,jangan balik besok ke Sydney, besok kakak sudah terlanjur ada jadwal meeting yang sangat penting, kakak nggak bisa ngantar kamu," Edwin mengangkat dagu Mei melihat wajahnya yang masih penuh air mata.
"Mei bisa berangkat sendiri," Mei berbalik memunggungi Edwin, menepis tangan Edwin yang berusaha memeluknya. Lalu meringkuk memeluk guling sambil menangis.

Edwin hanya menatap punggung Mei dengan perasaan bersalah. Ia mengusap punggung istrinya perlahan.

"Dulu waktu kita belum nikah kakak selalu ada waktu buat Mei,  bahkan saat di Sydney, kakak bisa bolak balik nemui Mei, tapi justru setelah kita nikah, kakak malah jadi jauh,  kayak asing dan aneh bagi Mei," suara Meisya masih menyimpan tangis.

Sekali lagi Edwin peluk Mei dengan erat. Matanya berkaca-kaca,  Edwin ingat pada janjianya yang akan membahagiakan Mei, tapi karena kesibukannya malah jadi begini.
***

Pagi, Edwin terburu-buru ia ada beberapa meeting hari ini dengan beberapa divisi yang berbeda, ia hanya sempat mencium kening istrinya tanpa sempat sarapan.

Mei hanya menatap sedih badan jangkung Edwin yang menghilang. Bu Minda menyentuh tangan Mei dan Mei tersenyum pada bu Minda.
***

"Mei pamit ibu,  mau balik ke Sydney," ujar Mei mengagetkan bu Minda yang ada di ruang makan.
"Loh bukannya masih seminggu lagi sayang?" bu Minda terlihat bingung.
"Iyah tapi ada beberapa mata kuliah yang harus saya tanya ke James ibu,  karena berhubungan dengan tesis saya nanti," ujar Mei mencoba mencari alasan.
"Edwin tahu kamu berangkat hari ini?" tanya bu Minda.
"Sudah ibu, saya sudah bilang semalam," ujar Mei sekuat tenaga menahan tangis.
"Baiklah,  naik mobil ibu saja, mumpung sopir ibu sudah siap di depan sayang, baik-baik ya di sana, nanti kasi kabar ibu kalo sudah sampai ya," bu Minda memeluk dan mencium Mei. Lalu Mei menghampiri bik Sum yang sejak tadi memandang wajahnya dengan sedih, memeluk serta mencium pipi bik Sum.

Mei melangkahkan kakinya dengan pelan, mendorong travel bag mungilnya menuju mobil.
***

Sepanjang perjalanan menuju bandara air matanya menetes deras,  ia hanya sedih karena Edwin benar-benar jauh. Mei baru menyadari bahwa pernikahan tidak semudah yang ia pikirkan.
***

"Nyah, perasaan saya kok ndak enak ya, anak itu kok sedih baget wajahnya, awas ndak pamit ke den Ed, den Ed juga,  lah wong masi manten anyar kok siubuk terus, biar dah ditinggal gal," kata bik Sum menatap sedih ke arah bu Minda.
"Saya juga kepikiran lihat wajahnya, biar minggu depan saya susul saja bik," ujar bu Minda sambil mencoba menelpon Edwin,  namun terdengar nada tunggu berulang.
***

Hampir jam dua belas malam mobil Edwin memasuki parkir rumahnya. Ia berjalan  gontai dan melihat mamanya di ruang makan,  tumben mamanya belum tidur. Ia mencium mamanya sekilas,  lalu melangkah naik ke lantai dua. Bu Minda masih menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Mamaaa Mei mana?" pertanyaan Edwin yang sudah diduga oleh bu Minda.
"Kamu kan suaminya, harusnya mama yang tanya sama kamu kalo ada apa-apa pada Mei," bu Minda terlihat serius menatap wajah Edwin yang setengah berlari turun ke ruang makan.
Ia terlihat bingung dan sedih.
"Aku menelponmu lebih dari lima kali," ujar bu Minda menahan marah.
"Aku mamamu,  menelpon bolak balik berarti itu penting, mamamu kau abaikan,  apalagi istrimu."
"Jadi,  Mei ke Sydney ma, sendirian dia?" tanya Edwin dengan mata memerah.
"Oh,  jadi kamu tahu, berarti kamu memang nggak niat ngantar Mei," bu Minda bangkit dari duduknya,  masuk ke kamarnya, sambil membanting pintu kamarnya.

Edwin mencoba menelpon Mei,  namun lebih lima kali tidak ada jawaban,  terhubung sebenarnya , namun tak diangkat.
***

Sementara Mei di Sydney,  hanya menatap ponselnya yang terlihat nama Edwin sedang melakukan paggilan berulang... ia biarkan... ia pejamkan matanya meski ia yakin tak akan dapat tidur malam ini...

Bersambung #26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER