Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 10 Juli 2021

Soto Untuk Kakak #26

Cerita bersambung

Pagi, Meisya bangun dengan perut perih, ia berjalan membungkuk menuju ruang makan sambil memegangi perutnya, dan meraih roti yang sempat ia beli di bandara.
Perutnya terasa melilit, ia tidak ingin penyakit lamanya kambuh, ditekannya perutnya berkali-kali.
Ia kunyah perlahan roti yang terasa pahit di mulutnya, Mei cepat membuat madu hangat, diminumnya sedikit demi sedikit.

Setelah agak reda nyeri perutnya, ia segera mandi, setelah itu mencari sesuatu yang bisa dimakan di kulkasnya, ia menemukan spageti dan jamur shitake.
Mei membuat spageti dengan cekatan, serta toping seadanya, untung ada keju di kulkasnya serta saus tomat yang selalu siap di meja makan.

Saat menikmati spagetinya sendiri,  kembali ia ingat wajah Edwin, terasa sakit dadanya, saat ia bangun tidak ada Edwin di sisinya, hampir tiga minggu ia terbiasa tidur memeluk Edwin dan tadi pagi ia merasakan perih berlipat saat di sisinya kosong tak ada siapapun.

Perlahan air mata Mei mengalir lagi, mengingat kembali kenangan tiga minggu di rumah bu Minda, ciuman lembut tiap pagi, dekapan hangat saat ia tidur dan lengan Edwin yang melingkar di pinggangnya saat tiba-tiba terjaga malam hari.
Perlahan Mei hapus air matanya, dengan cepat ia habiskan spagetinya. Lalu mencuci piring kotor dan bergegas ke kamarnya. Terlihat Mei menelpon seseorang.
"Ya, saya akan ke sana sekarang, pagi ini"

Mei menutup ponselnya bergegas  membuka travel bagnya. Menghela napas merasakan nyeri tiba-tiba di dadanya saat wajah Edwin kembali melintas.

Mei merasakan sakit yang teramat sangat, merindukan suami lebih sakit dari pada saat mereka berpacaran. Mei mengambil jaket, memasukkan dalam travel bag yang belum sempat ia keluarkan isinya.

Mei berganti baju dan segera ke luar dari apartemennya,  menuju bandara.
***

"Ed berangkat ma," wajah Edwin terlihat lelah seperti kurang tidur. Ia mencium mamanya dan melangkah perlahan tanpa sarapan.
"Jadi kamu tidak berniat menyusul istrimu?" bu Minda bertanya tanpa melihat Edwin.
Edwin menatap mamanya dengan pandangan bingung dan mata berkaca-kaca.

"Ed bingung ma, dua hari ini Ed sibuk, semuanya kadung terjadwal, Ed harus bagaimana mama, tidak bisakan jika semuanya tiba-tiba harus diundur? " tanya Edwin menyugar rambutnya dengan kasar.
"Kamu pemilik perusahaan, kamu bisa mendelegasikan wakilmu, manajermu, atau bisa jadwal ulang meetingmu, jangan ajari mama untuk hal seperti itu, mama hanya mengingatkan, jangan sampai kamu kehilangan untuk kedua kali," bu Minda berdiri dan meninggalkan Edwin yang terhenyak dan kebingungan, mengeluarkan ponselnya dan kembali ia tidak bisa menghubungi Mei. 'Angkat sayang, angkat, kemana kamu sejak semalam.'

Edwin berjalan menuju mobilnya dan menghubungi James, ternyata James juga tidak tahu keberadaan Mei bahkan James kaget Mei sudah di Sydney.
***

Siang Edwin kembali menghubungi James, dan James mengatakan Mei tidak ada di dua apartememnya.
Edwin benar-benar kalut.
Ia tidak bisa bekerja dengan maksimal, ia tidak akan memaafkan dirinya jika sampai terjadi apa-apa dengan Mei.
***

Sore hari Mei menapakkan kakinya di rumah megah om Ben,  ia disambut hangat. Mei memeluk om Ben dan menangis sejadinya.

"Hei Meeei ada apa sayang, ayo masuk, masuk,  ke ruang makan saja," om Ben mendekap bahu Mei, melangkah bersama ke ruang makan.
"Ayo duduklah, duduk sayang, kamu, kamu sendirian?" om Ben melihat Mei mengangguk dan masih bercucuran air mata, om Ben memberi tisu pada Mei dan Mei menutup tisu pada wajahnya, menangis sejadinya.

Om Ben berdiri di samping Mei dan mendekap kepala Mei, Meisya memeluk pinggang om Ben.

"Menangislah jika kau merasa akan lebih baik setelah itu, satu hal yang perlu kamu sadari anakku,  rumah tangga adalah tempat belajar yang sesungguhnya, kamu akan banyak menemukan kejutan di dalamnya,  jika kamu sabar dan dapat bertahan lima tahun pertama, makan akan aman-aman saja ditahun-tahun berikutnya, om yakin,  kamu dan Edwin akan melewatinya dengan aman," om Ben mengusap kepala Mei.
"Ayo om antar ke kamarmu,  om yakin kamu pasti capek, di sebelah kamar om saja,  biar kalo ada apa-apa tinggal panggil om, om akan panggil maid untuk menyiapkan makanan untukmu," om Ben memeluk Mei dan mengantar ke kamarnya.
"Istirahatlah," om Ben tersenyum dan meninggalkan Mei sendiri. Sesampainya di dalam kamar, om Ben menelpon bu Minda dan ia tersenyum, om Ben sudah mengira bahwa ada sesuatu antara Mei dan Edwin.
***

Makan malam dilalui berdua dengan om Ben, om Ben menatap mata sembab Mei,  ada rasa iba,  Mei yang sudah ia anggap anak sendiri,  datang padanya seolah ingin mengadu dan mencari perlindungan padanya.

"Tidak Kangen Edwin sayang?" tanya om Ben tiba-tiba, Mei menatap om Ben dan meletakkan sendok dan garpunya.
"Kangen om, sangat, baru kali ini saya sangat ingin memeluknya, sebenarnya meski ia sibuk, saya masih bisa merasakan pelukannya saat malam tiba, hanya yang saya sesalkan ia tidak berusaha berkomunikasi dengan saya selama dua minggu itu, dia seolah tenggelam dalam kesibukannya setelah kami dari Bali, masa dia tidak ada waktu untuk sekadar bertanya keadaan saya di rumah, yang menunggunya pulang dari kantor tiap hari," Mei kembali menitikkan air mata. Om Ben mengusap rambut Mei.
"Sayaaaa, saya kangen kak Ed om," dan Mei kembali menangis.
Om Ben berdiri dan mengajak Mei duduk di belakang rumah,  menghadap taman dan cahaya lampu yang memantul di kolam renang.

"Om telpon Edwin ya sayang?" tanya om Ben, sambil duduk dan kepala Meisya masih bersandar pada bahunya, serta isak Mei yang masih saja terdengar.
"Nggak om,  jangan,  biar saja seperti ini dulu,  biar kami belajar bagaimana meredakan emosi, belajar memahami apa yang sebenarnya terjadi, mungkin saya yang egois, mungkin saya yang kekanakan, tapi saya ingin kak Ed tahu bahwa saya adalah istrinya yang tidak hanya pada saat ia perlu saja datang pada saya, saya ingin ada komunikasi seimbang,  bukan hanya saya yang harus selalu melapor tiap saya ngapain, dia harusnya juga begitu, jadi saya tahu bahwa ia baik-baik saja," Mei mengusap air matanya.
"Oh ya kapan om Ben kemoterapi lagi?" tanya Mei mengalihkan pembicaraan sambil mengusap air matanya.
"Rencananya dua tiga hari lagi, mau menemani om?" tanya om Ben,dan Mei mengangguk dengan cepat.
"Tidurlah sudah malam, sepertinya kamu perlu istirahat, wajahmu terlihat tirus, matamu cekung sayang," om Ben mengajak Meisya masuk.
***

"James,  aku harus mencari ke mana?" Edwin terlihat bingung, wajahnya memerah, menahan tangis dan lelah. Edwin baru saja datang dan menuju apartemen James, setelah sebelumnya mendatangi dua apartemennya dan tidak mendapati Mei di sana.

Alice dan Kent juga sudah dihubungi keduanya sama-sama tidak tahu. Edwin meremas rambutnya dengan kedua tangannya.

"Aku tahu, aku yang salah James, tapi Mei menghukumku dengan cara menghilang seperti ini akan membuat aku gila, aku tidak ingin dia kenapa-napa, Mei kemana kamu?" mata Edwin mulai berkaca-kaca, air matanya meluncur tanpa ia sadari.

James menepuk bahu Edwin. Dan menatapnya dengan tatapan iba.

"Maafkan aku, James sudah menyusahkanmu malam-malam begini,  kamu pasti capek setelah merawat om Ben," ujar Edwin.
"Ed,  bisa jadi Mei menemui papa, papa sudah dua hari ini ada di Perth," James dan Edwin seketika berdiri,  James menyambar kunci mobil dan keduanya bergegas ke bandara.

Edwin menelpon om Ben berkali-jali tidak diangkat,  mungkin om Ben sudah tidur pikir Edwin.
***

"Bicarakan baik-baik dengan Mei, Ed, dia wanita sabar dan tidak banyak menuntut, jika sampai dia seperti ini,  kamu yang harusnya berpikir, apa yang telah kamu lakukan padanya," James menepuk pundak Edwin sebelum berlalu untuk boarding.

James menatap punggung Edwin yang berjalan menjauh.
Seketika dadanya perih membayangkan Mei menempuh perjalanan jauh sendiri, dari Indonesia ke Sydney lalu ke Perth.
Mei ingin rasanya aku terbang menemuimu, memberikan pelukan hangat agar kau tak sedih lagi.

Mata James memanas dan ia melangkah pelan menuju mobilnya.
***

"Mei, sarapan sayang,  sudah hampir jam 8 loh dan kamu masih saja memandangi kolam renang,  ini om hampir selesai makan," om Ben memanggil Mei yang duduk bersandar pada kursi taman.
"Nggak pengen om,  males, Mei cuma ingin kak Ed,  di sini, meluk Mei, Mei kangen banget om," dan Mei mata Meisya kembali berkaca-kaca.

Pintu ruang tamu terbuka, muncul seseorang dan om Ben hanya tersenyum menyudahi sarapannya, berlalu meninggalkan mereka berdua.

"Om Ben, kak Ed kangen nggak ya sama Mei,  sama pelukan Mei, tiap liat kolam renang gini Mei selalu ingat kak Ed, ah sudahlah, Mei harusnya sadar kalo kak Ed nggak akan kangen sama Mei," Mei memejamkan mata.
"Sayaaang...

Suara Edwin terdengar jelas ditelinga Mei yang masih terpejam. Air mata Mei mulai mengalir.

"Yaaaah aku akan memejamkan mata saja, menahan kangen ternyata sesakit ini,  sampai suara kak Ed seolah ada di dekatku...biarlah aku terpejam,  biar suara itu berulang memanggilku...."

Mei berbicara sendiri dengan suara lirih seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Edwin berjongkok menatap wajah istrinya yang tirus, matanya yang cekung, Edwin merasa sakit di dadanya secara tiba-tiba.

"Meeeiii, maafkan kakak,  maafkan kakak....," Edwin meneguk salivanya berkali-kali yang terasa sulit. Meisya membuka mata dan menatap wajah di depannya yang terlihat lelah,  masih berjas lengkap, dada Mei berdegup kencang.

Kedua berdiri dan saling menatap dengan mata berkaca-kaca,  lalu Edwin menarik Mei ke dalam pelukannya. Menangis sejadinya, menciumi kepala Meisya dengan sepenuh hati.

"Jangan pergi Mei, jangan pergi lagi, kakak takut,  kakak kawatir terjadi apa-apa sama kamu, maafkan kakak yang sudah mengabaikan kamu," Edwin menangis sambil mengusap punggung Mei berkali-kali.
"Bicaralah Mei, bicaralah,  marahi kakak," ujar Edwin. Dilepaskannya pelukannya, ditangkupnya pipi Meisya.
"Mei kangen..," ucap Mei lirih dan Edwin mengulum bibir Mei, melumatnya dan menggigitnya pelan, keduanya menangis sambil berciuman.
***

Saat om Ben ke luar dari kamarnya, ia melihat Mei dan Edwin duduk di kursi taman,  menghadap ke kolam renang.

"Biarlah keduanya berbicara dan memperbaiki hubungan mereka," om Ben kembali tersenyum dan mengambil ponselnya,  menghubungi bu Minda.
***

"Maafkan kakak, Mei, kakak telah mengabaikanmu, terlalu larut dalam kesibukan kakak," Edwin menggenggam tangan Mei yang masih menatap kolam dan terlihat enggan berbicara,  bagi Edwin ini lebih mengerikan, ia lebih baik Mei memarahinya.
"Bicaralah Mei,  maafkan kakak yang sudah bikin kamu kayak gini,  kakak lebih suka kamu yang ceria dan cerewet, jangan diam Mei," Edwin mengusap punggung tangan Mei.
"Tanpa Mei bilangpun,  Mei yakin kakak sudah ngerti apa yang terjadi pada kita, Mei cuma ingin komunikasi kita dua arah, nggak cuma Mei yang harus aktif bicara ke kakak, seharian selama dua minggu,  kakak sibuk di kantor sampai malam, kita hanya bertemu di pagi hari itupun kakak belum tentu sarapan,  sepanjang hari Mei sendiri,  ibu yang juga sibuk dengan usahanya dan bik Sum yang tidak mungkin selalu Mei ganggu kerjaannya, harusnya disaat tidak sibuk,  kakak bisa nelpon Mei sekedar nanya,  apa Mei masih bernapas ato tidak,  dari pagi sampai malam di kantor,  apa tidak ada waktu meski cuma lima menit buat nelpon Mei, cuma itu yang Mei sesalkan, biarlah Mei di sini saja kak,  jangan ajak Mei pulang lagi ke Indonesia," Mei masih memandang lurus kolam yang ada di depannya.

Edwin diam saja,  ia tidak tahu harus berkata apa,  karena yang dikatakan Mei semuanya benar.

"Kamu masih mencintai kakak kan Mei?" pertanyaan bodoh yang Edwin sesalkan setelah itu terucap. Air mata mengalir lagi di pipi Meisya.
"Mei akan selalu mencintai kakak, sebesar apapun kakak menyakiti Mei," dan Edwin menarik Mei lagi dalam pelukannya.
***

"Edwin,  mandilah dulu,  lalu kalian sarapan, ini sudah lebih dari jam sembilan," om Ben menyadarkan lamunan keduanya. Edwin menoleh dan mengangguk lalu tersenyum pada om Ben.

Edwin menatap Mei yang juga sempat menatapnya meski sekilas,  ia tahu istrinya masih marah.

"Mau mandiin kakak Mei?" tanya Edwin dan pipi Mei memerah..

==========

Pulang ya sayang ke Indonesia,  kakak janji nggak akan ngabaikan kamu lagi, masih lima hari lagi perkuliahanmu dimulai," Edwin membujuk Mei saat mereka akan tidur. Mei diam saja, Edwin memandang wajah Meisya yang hanya memandanginya tanpa berkata sepatahpun, disematkannya rambut Mei dibelakang telinganya yang sempat menutupi wajah lelahnya.

"Please sayang,  pulang ya, kakak kangen soto buatan kamu,  lamaaa banget aku nggak makan soto buatan kamu," Edwin menciumi jemari Mei sambil tak henti menatap wajah istrinya.
"Percuma Mei bikin,  nggak akan ada waktu buat kakak untuk menikmatinya, " suara Mei lirih dan matanya kembali berkaca-kaca,  Edwin meraih kepala Meisya ke dadanya,  ia benar-benar merasa bersalah telah membuat istrinya jadi seperti ini.
"Kakak janji, kakak janji Mei nggak akan ngabaikan kamu lagi," Edwin melepas pelukannya,  mengangkat dagu Mei dan mulai melumat bibir mungil Mei yang sejak tadi ia tahan untuk tidak menggigitnya, Edwin merasakan penolakan dari Meisya. Namun saat perlahan Edwin mengusap dada Meisya ia merasakan tiba-tiba justru Meisya yang mengigit bibirnya dan ia sempat mengaduh lalu tersenyum saat menatap wajah istrinya mulai memerah dan napasnya mulai menderu. Mei memejamkan matanya saat Edwin mulai membuka semua yang melekat di badannya dan Edwin kembali merasakan penolakan saat ia akan menciumi leher istrinya, Mei mendorong kuat dadanya Edwin, namun Edwin tetap menciumi leher,  dada dan berlama-lama di sana sambil memegangi kedua tangan Meisya.

Mei terengah dan akhirnya memeluk Edwin, meremas dan mencakar punggung suaminya, saat Edwin bergerak semakin tak menentu, menyerangnya dari berbagai arah, Mei merasakan Edwin yang tak biasa.

"Kak, aku...capek," saat Mei sudah mencapai pelepasannya namun ia merasakan Edwin yang belum juga selesai dan malah memeluknya dari belakang, masih saja menciumi tengkuknya.
"Sebentar lagi sayang, pulang sayang ya,  pulang ya," Edwin masih sempat berbicara masalah itu, dan kembali bergerak, memeluk Mei dari belakang,  menarik pinggang Mei mendekatinya dan memasukinya dari belakang, Mei memejamkan matanya merasakan badannya yang penuh, dan Edwin yang kembali ia rasakan sangat tak biasa, dan berakhir dengan geraman Edwin di telinganya sambil berkali-kali menyebut namanya.

Edwin membalik badan Mei menghadapnya, memeluk dan mengusap lembut punggungnya.

"Pulang sayang,  kakak mohon, kakak janji akan memenuhi permintaan Mei," ia melihat istrinya tengadah menatapnya.
"Benar,  kakak janji tiap hari sarapan dan makan malam di rumah?" Mei berharap sambil matanya bergerak-gerak mencari kesungguhan Edwin. Edwin mengangguk dan melihat Mei kembali menangis.
"Mei mendambakan keluarga yang utuh kak,  Mei kangen kakak makan di rumah,  Mei jadi merasa sesedih saat di panti, saat menatap anak yang merayakan ultah dengan papa mamanya dan mereka makan bersama, sedang Mei makan dengan teman-teman,  meski ramai dan banyak orang, hati Mei merasa kesepian," Edwin semakin mengutuki dirinya yang tak memahami perasaan istrinya, diusapnya air mata Mei yang masih saja mengalir.

Akhirnya mereka tidur saling mendekap, merasakan kembali kedekatan yang awalnya Mei enggan melakukannya.
***

Keesokan harinya saat sarapan Edwin menyampaikan pada om Ben bahwa ia akan kembali ke Indonesia membawa Mei serta. Mei menoleh pada Edwin.

"Kakak pulanglah duluan,  aku akan menemani om Ben kemoterapi," ujar Mei pelan.
"Tidak sayang,  jangan,  pulanglah Mei,  om akan minta James atau Al menemani  karena om akan mencoba obat kemo yang seperti obat minum itu,  yang tinggal telan saja,  jadi nggak makan waktu banyak, pulanglah," ujar om Ben sambil memegang tangan Mei dan meyakinkannya.

Akhirnya keduanya pulang,  om Ben melepas dengan lega, ada kebahagiaan dalam hati om Ben,  saat melihat keduanya saling berpegangan tangan menuruni tangga menuju mobil yang disiapkan om Ben untuk mengantar mereka ke bandara.
***

Perjalanan panjang yang melelahkan,  akhirnya malam hari mereka menginjakkan kaki di rumah, bu Minda memeluk Mei yang terlihat cekung matanya dan wajahnya yang agak tirus.

"Tidurlah sayang, istirahatlah," Mei mengangguk dan menuju kamar Edwin,  Edwin masih mendorong travel bag istrinya dan membawa tasnya di tangan satunya saat mama menghadangnya.

"Perbaiki pola kerjamu,  ingat,  kamu punya istri,  jadi selama Mei di sini, yang mungkin cuma beberapa hari lagi, pulanglah lebih awal," bu Minda menatap Edwin yang mengangguk.
"Iya ma,  aku akan pulang lebih awal, akan menemaninya di rumah, aku tidak sadar jika aku membuatnya mengingat kesedihannya saat di panti," Edwin mencium mamanya dan melangkahkan kakinya ke kamar.
***

Waktu Mei yang tersisa di Indonesia benar-benar digunakan Edwin untuk memanjakan istrinya. Ia pulang lebih awal untuk makan malam di rumah, terkadang mereka janjian bertemu di mall dan makan serta jalan-jalan di sana.

Perlahan Edwin melihat kembali keceriaan Mei,  senyum dan tawanya serta celoteh manjanya saat ia tiba-tiba menciumnya dengan rakus.
***

Malam hari sebelum Mei kembali ke Sidney, mereka tidur berdekapan, saling memandang dalam diam, dan akhirnya Mei mulai memejamkan matanya.

"Hei heeei kamu akan membiarkan kakak membuka mata sendirian?" Edwin menggigit ujung hidung Mei dan Mei menjerit tertahan.
"Ih kakak, sakit," Mei memukul dada Edwin dan meringkuk di dada Edwin sambil memejamkan matanya lagi.
"Besok kamu balik, masa kita nggak ngapa-ngapain?" tanya Edwin dan terdengar tawa lirih Mei.
"Kita sudah ngapa-ngapain tiap hari kak, besok Mei balik, harusnya biarkan Mei istirahat," Mei mulai menepis tangan Edwin saat, merasakan tangan Edwin menurunkan celana dalamnya dan mulai mengusap miliknya perlahan, serta bibir Edwin yang mencari-cari dan terus bergerak di lehernya. Akhirnya Mei terhanyut juga dan merasakan lelahnya saat hentakan terakhir Edwin ia rasakan. Mei pukul perlahan dada Edwin yang masih terlentang dan mengatur napas.

"Sebel deh, nggak tau besok Mei perjalanan jauh," ujar Mei menarik selimut menutupi badannya. Edwin tersenyum dan masih memejamkan matanya.
"Maaf sayang ya,  besok terpaksa aku nggak bisa ngantar, ada beberapa kerjaan yang harus aku selesaikan," ujar Edwin.
"Nggak papa," Mei melilitkan selimut ke badannya dan melangkah ke kamar mandi.

Saat keluar dari kamar mandi ia melihat Edwin yang telah terlelap, Mei menyelimuti badan Edwin dan merebahkan badan di sisi suaminya. Mei memeluk Edwin yang tertidur dengan napas teratur,  akhirnya ia juga tertidur karena lelah yang mulai ia rasakan.
***

Sebulan menjalani masa perkuliahan semester dua membuat Mei mulai menjalani aktivitas rutin sebagai mahasiswa,  dan ada pemandangan baru yang membahagiakan,  ia mulai sering melihat James mengantar Al pulang. Sore setelah dari galeri Al biasanya menyempatkan sesekali menemui James dan terlihat mereka berjalan beriringan menuju mobil.

Meisya kadang ditawari untuk pulang bersama namun ia menolak,  dengan alasan masih ada yang harus ia kerjakan di kampus bersama teman-temannya. Meski sebenarnya James tahu itu hanyal akal-akalan Mei saja,  karena James kembali mengajar Mei di semester dua ini.

Mei tidak ingin kebersamaan mereka terganggu, Mei sering merasa tidak enak pada Al, karena jika ada Mei,  maka James selalu lebih memperhatikannya. Mei sering melihat Al yang menghembuskan napasnya dengan berat tiap kali melihat James memperlakukannya dengan manis dan lembut,  itu yang Mei hindari.
***

Pagi-pagi Mei sedang sibuk mengerjakan tugas dari James,  terlihat ia tekun menatap lap top sambil sesekali ia membaca buku dan terlihat mengetik. Ini hari Sabtu dan ia benar-benar akan menyelesaikan tugasnya hari ini, Senin ia akan mengumpulkannya pada James.

Namun tiba-tiba Mei merasa lapar yang amat sangat, ia melesat ke dapur dan terlihat memasak apa saja yang ada di kulkasnya yang penting perutnya terisi makanan sehat. Terlihat ia membuat sup jamur salju,  baso ikan,  wortel dan sawi putih, ia irisi tofu yang lembut, begitu masak ia menyendokkan nasi sedikit kepiringnya.

Mei agak terkejut juga dengan nafsu makannya, mungkin karena lelah banyak tugas dan lapar,  ia menghabiskan sepanci kecil sup dan dua kali nambah nasi, Mei tertawa geli sambil mencuci piring dan panci sup.

Kembali menekuni tugasnya membuat Mei lupa pada perutnya yang kekenyangan. Saat asik mengerjakan tugasnya, Mei dikejutkan oleh pintu apartemennya yang terbuka dan terlihat wajah bu Minda, Mei terpekik kegirangan dan memeluk ibu mertuanya.

"Apaan sih Mei sayaaang,  kayak tahunan nggak ketemu ibu," bu Minda memberikan oleh-oleh yang Mei minta sejak beberapa hari lalu, macam-macam kripik khas Indonesia.
Tak lama Edwin muncul dan langsung memeluk istrinya yang sedang meletakkan sesuatu di meja.

"Ih kakak bau,  sana mandi, ih beneran deh, sana masuk kamar sebelah,  kamarku ditempati ibu," Mei mendorong badan Edwin dan ia terlihat mual. Edwin sampai membaui badannya sendiri.
"Masa sih sayang perasaan aku nggak bau deh," ujar Edwin merasa kesal karena baru datang malah di dorong-dorong oleh Mei.

Bu Minda tertawa dari dalam kamar.
"Sudah sana Ed,  mandi,  salah kamu sendiri, tadi malam dari kantor nggak ganti kemeja langsung berangkat ke sini,  mama suruh mandi nggak mau."
"Loh aku nggak keringeten mamaaa,  kantorku acnya dingin banget,  tadi di pesawat ia juga,  ah Mei aja yang hidungnya bermasalah,  tapi ia dah aku mandi saja," Edwin mengacak rambut Mei dan Mei kembali menjauh.
***

Edwin ke luar dari kamar dengan celana katun dan kaos tipis, rambutnya terlihat masih basah. Edwin menghampiri Mei dan menciumi kepalanya dari samping. Mei mencium pipi Edwin dan kembali asik menikmati keripik kentang oleh-oleh bu Minda.

"Heeisssyy kalian ini, meski ada mama tetep aja,  mesra-mesraan," bu Minda asik menekuni ponselnya dan terlihat sedang menelpon. Mei dan Edwin tertawa bersamaan.
Ternyata bu Minda menelpon om Ben,  mereka diundang makan malam oleh om Ben,besok om Ben berulang tahun.

"Eh ma,  tadi kan Edwin beli pizza, mana yah?" tanya Edwin dan bu Minda menunjuk meja makan, Edwin melangkahkan kakinya menuju sekotak pizza ukuran besar.
"Hmmm lezaaaat nih sayang,  makan yuk," Edwin melangkah menuju sofa dan terlihat Mei menatapnya aneh dan  bangun menjauhi Edwin sambil menutup hidungnya.
"Kaaak tutup, tutup kotak pizzanya, bau bawang bombainya kebangeten, sumpah," Mei berjalan ke arah dapur dan terlihat mau muntah.

Bu Minda menatap Mei dengan pandangan penuh selidik.
"Mei kapan kamu terakhir mens?" tanya bu Minda hati-hati. Mei terlihat bingung.
"Yaaa sebelum nikah ibu, emang kenapa bu?" tanyanya lagi,  Edwin terlihat menutup kembali kotak pizza dan menatap wajah istrinya dengan memelas.
"Lalu apa hubungannya mama,  kotak pizza, Mei dan mensnya?" tanya Edwin kemali membuka kotak pizza sedikit, menariknya sepotong dan mulai menikmati pizza bermasalah yang terasa enak dimulutnya.

"Berarti dua bulan ini kamu nggak mens?" tanya bu Minda lagi, dan Mei mengangguk. Bu Minda tersenyum dan berjalan mendekati Mei yang masih berdiri di dapur.
"Ada klinik kesehatan terdekat sekitar sini Mei,  kita periksa,  ibu curiga kamu hamil," bu Minda meraih tangan Meisya. Mei melongo menatap bu Minda.
"Ibuuu saya nggak mual-mual waktu pagi,  makan enak terus, nggak pusing,  nggak ada perubahan," Meisya masih terlihat bingung karena ia merasa baik-baik saja.

Edwin melesat mendekati Meisya dan mencium perut istrinya yang tertutupi kaos dan memeluk Mei sambil berjongkok.

"Aaaah beneran nih maaa,  ada bayi kita sayang diperutmu," ujar Edwin berdiri dan mencium kening Meisya.
"Alaaah jangan lebai Ed,  ini juga masih mau periksa," bu Minda menepuk bahu Ed dan menuju ruang makan melihat isi tas yang ia bawa tadi dan mengeluarkan makanan yang lain, ada salad buah yang sempat ia beli tadi saat akan masuk ke apartemen Mei.

Mei mendorong Edwin lagi dan menyuruh Edwin sikat gigi setelah makan pizza,  karena Mei merasa mulut Edwin bau bawang bombai.
***

Sore hari setelah pulang dari sebuah klinik kesehatan, Edwin bukan main senangnya, ia tuntun pelan-pelan Mei,istrinya ternyata hamil empat minggu, ia sempat memeluk Mei di klinik, dan Mei melihat Edwin dengan kesal.

"Kaaak apaan sih,  Mei ini cuman hamil nggak sakit apa-apa ih pake acara dituntun segala," Mei menarik tangannya, dan bergegas masuk ke apartemennya. Bu Minda tertawa geli melihat keduanya.
***

Malam hari mereka di jemput James dan menuju sebuah restoran Jepang,  di sana sudah menunggu Al dan om Ben yang berbicara dengan akrab.
Meisya, dan bu Minda tampak mencium pipi om Ben dan Edwin memeluk om Ben dengan hangat.

Tak lama makanan dan minuman yang dipesan oleh om Ben datang,  mulai disajikan di meja dan om Ben menyilakan makan, Mei terlihat mual dan menutup mulutnya.

"Sayaaaang nggak papa kan?" Edwin melihat Mei kawatir, Mei menggeleng memberi kode bahwa ia baik-baik saja.
"Nggak enak badan Mei?" tanya James tak kalah kawatir, menatap Mei sambil menyodorkan air putih.
"Nggak papa James,  biasalah namanya hamil muda," ujar bu Minda menjawab pertanyaan James.

Om Ben dan Al tampak suka cita memberi selamat pada Mei dan mencium pipinya.

Hanya James yang terlihat menunduk menatap makanan dan berwajah datar, mengerjab-ngerjabkan matanya,  serta menghembuskan napas dengan berat...

Bersambung #27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER