Cerita Bersambung
Ini malam ketiga tanpa Meisya di rumah, kemana kamu Mei, apa kamu pindah, tapi ke mana, di butik tidak ada, sampai orang terakhir ke luarpun kamu tidak muncul, pikiran Edwin mencari dan mencari. Ia rebahkan badannya di kasur Mei, entah mengapa sejak Mei menghilang ia punya kebiasaan baru, merebahkan badannya di kasur Mei, saat mama dan bik Sum sudah tidur.
Dan kembali membaca, berulang kali buku harian kecil di meja Mei. Kadang Edwin berkaca, segagah itukah aku dalam pikiran Meisya, setampan itukah wajahku dalam gambaran Meisya, anak kecil yang bodoh meski mengagumi tetap menatapku dengan pandangan penuh kebencian saat sedang bertengkar, Edwin kembali melamun. Dilihatnya jam sudah menunjuk ke angka satu, ah sudah semakin larut. Ia langkahkan kakinya menuju kamarnya.
***
Sore sekitar jam lima mama menelpon Edwin.
"Halo mama"
"Mama bisa minta tolong sayang"
"Ya ma, ada apa?"
"Jemput Meisya ya di The Java in Hotel, tau kan sayang, sopir kantor kepake semua"
"Ok ma"
Bu Minda mengernyitkan keningnya, tumben nih anak langsung mau di suruh jemput Meisya. Padahal agak jauh ke puncak.
***
Meisya kaget waktu ke luar dari lobi hotel, ia melihat tubuh tinggi menjulang Edwin sudah menunggu di sana. Haduh perjalanan sejauh ini dia mau, pikir Meisya, berarti Meisya lebih baik mengalah saja, jangan cari gara-gara. Nanti sepanjang perjalanan bisa jadi perang mahabarata, Meisya segera membawa travel bagnya menuju mobil.
Edwin menarik travel bag Meisya dari tangan Meisya dan memasukannya dalam bagasi mobil. Meisya diam saja tidak protes, ini perjalanan akan panjang dan Meisya memilih mengalah saja.
Meisya masuk dan duduk, memasang sabuk pengaman menunggu Edwin duduk untuk mengemudi.
Sepanjang perjalanan mereka hanya diam saja. Meisya memiringkan badannya ke kiri dan merapatkan tangannya ke dadanya. Edwin mengecilkan ac kawatir Mei kedinginan.
Tiba-tiba mobil berbelok dan berhenti di sebuah rumah makan.
"Aku lapar, turunlah," ucap Edwin pelan. Meisya menurut tanpa bicara ia turun, mengekor Edwin dan duduk di kursi dekat jendela.
"Mau makan apa?" tanya Edwin pada Meisya.
"Sembarang, apa saja mau," jawab Mei singkat.
Ah, suaranya pelan dan serak, jadi seksi gitu sih kak, ya ampyun, mau rasanya mengusap-usap bibir merahnya saat bicara tadi. Mei segera menarik-narik ujung rambut dikeningnya, agar pikiran warasnya kembali lagi.
Saat bebek kremes mereka datang, bersamaan dengan itu hujan turun sangat deras. Edwin makan dengan lahap, sedang Mei ngeri membayangkan perjalanan mereka nantinya.
"Makanlah," suara Edwin mengagetkan Meisya, dengan pelan ia makan, mulai mencuil bebeknya sedikit demi sedikit. Menunduk menghindari tatapan Edwin.
Ditatapnya wajah Meisya yang masih asik makan, sementara Edwin selesai sejak tadi.
Baru kali ini Edwin menikmati wajah Meisya dari jarak dekat, semua yang ada di wajah Meisya sangat mungil, hanya matanya yang bulat bersinar, apalagi jika sedang marah.
Meisya selesai makan, mencuci tangannya dan mengelap mulutnya dengan tisu. Dicobanya mengangkat wajahnya menatap wajah yang ada didepannya. Ternyata benar, Edwin memandangnya dengan tajam. Meisya kembali menunduk. Pura-pura mengeringkan tangannya dengan tisu.
"Kapan kita pulang?" tanya Meisya.
"Ayolah, tapi tunggu di pintu depan, aku ambil payung di mobil," jawab Edwin.
Meisya menunggu, sementara Edwin berlari ke mobil mengambil payung.
"Payungnya cuma satu, ayolah," ujar Edwin berjalan bersisian dengan Mei, keduanya bingung karena payung yang ada tidak terlalu besar. Saat akan menuju mobil tiba-tiba ada mobil yang hampir saja mengenai Meisya, lengan kanan Edwin menangkap badan Mei dan mendekap ke dadanya, Edwin dan Meisya kaget bukan main.
Sedetik kemudian keduanya sadar dan saling melepaskan diri. Dan sama-sama mengatakan maaf, entah untuk apa.
Keduanya berada dalam mobil, hujan masih saja deras. Edwin baru menyadari separuh badan Meisya agak basah. Dibukanya jasnya dan diberikan pada Meisya.
"Pakailah agar tidak kedinginan, ac tetap akan aku hidupkan agar kaca tidak buram," ujar Edwin memberikan jasnya pada Mei, dan Mei menurut, dipakainya jas Edwin yang membuat badan Mei jadi tenggelam karena terlalu besar. Edwin mengemudi dengan hati-hati karena hujan yang tetap turun sepanjang perjalanan.
Diliriknya Mei yang ternyata sudah tertidur dengan lelap. Edwin berhenti di tempat aman, dibetulkannya kepala Meisya yang miring ke kanan. Ditatapnya sejenak wajah damai Mei saat tidur. Dan disibaknya rambut panjang Mei yang menutupi wajahnya dan disematkan dibelakang telinganya.
Edwin melanjutkan perjalanan sampai akhirnya memasuki pintu gerbang rumah mama Edwin.
Meisya masih tertidur lelap, Edwin bingung cara membangunkan Mei, disentuhnya perlahan tangan Mei.
Mei kaget dan bangun. Ia terlihat malu. Lalu turun dan membuka jas Edwin yang ia pakai.
"Makasih," ucap Mei pelan.
"Travel bagmu,"ujar Edwin membuka bagasi dan membawakannya sampai ke depan kamar Meisya.
Edwin berlalu meninggalkan Meisya yang menatap punggung Edwin dengan perasaan heran. Tumben nggak ngajak tengkar selama perjalanan, pikir Meisya.
***
Meisya masuk ke kamarnya, meletakkan travel bag, membuka bajunya dan menuju kamar mandi.
Segar rasanya habis mandi ia merebahkan badannya di kasur menggeliat sambil memejamkan mata dan tiba-tiba Meisya menghentikan gerakannya saat mencium parfum yang tidak biasa.
Meisya mencium bantalnya, hmmm bukan harum parfumnya. Astaga ini kan harum parfum si Edwin, masak sih ah nggak mungkin dia tiduran di sini, trus ngapain kalo memang dia ke sini, pikiran Meisya ke mana-mana.
Akhirnya rasa lelah dan kantuk yang sangat membuat Meisya berpisah dengan angan-angan nakalnya.
***
Sementara Edwin di kamarnya, masih mencium jasnya yang masih tersisa harum parfum Meisya. Edwin semakin tidak memahami hatinya, ada apa ini, pikirnya.
Akhirnya ia tertidur karena lelah dan masih memeluk jasnya yang digunakan oleh Meisya tadi.
***
"Hai sayang, ayo duduk, ibu ingin dengar ceritamu, gimana nambah ilmu baru sayang?" tanya bu Minda antusias. Meisya tersenyum dan menarik kursi lalu duduk di dekat bu Minda di ruang makan.
"Terima kasih ibu, sekali lagi terima kasih, saya yakin biayanya pasti mahal, saya belajar banyak hal, public speaking, table manner dan belajar tentang macam-macam kepribadian dan cara menghadapinya, lima hari di sana rasanya cepat berlalu," ujar Meisya terlihat segar hari ini dengan dress warna salem.
Edwin datang dan ikut bergabung sarapan di pagi itu.
"Sayang, anterin Meisya ke butik yah, mama nggak enak badan, nggak ke butik pagi ini," ucap mama. Edwin menganggukkan kepalanya.
Saat akan turun, Mei menoleh pada Edwin dan berkata
"Terima kasih jasnya semalam." Edwin hanya mengangguk lalu melajukan mobilnya menuju kantornya.
***
Pulang kantor Edwin merasakan hal yang tak biasa. Badannya terasa panas namun ia merasakan dingin yang amat sangat.
Meisya merasakan perubahan wajah Edwin. Sekilas ditariknya lengan Edwin ragu-ragu
"Kamu nggak kenapa-napa?" tanya Mei.
"Nggak," Edwin menjawab pelan dan berjalan dengan lemas.
Meisya melihat Edwin yang melangkah pelan ke lantai dua. Segera ia menelpon bu Minda jika Edwin terlihat sakit. Yang membuat Mei kaget ternyata bu Minda ada di bandara, karena akan ke Singapura, cucunya masuk rumah sakit.
"Aduh gimana ini," pikir Meisya.
Meisya menyuruh bik Sum ke kamar Edwin untuk melihat keadaannya namun bik Sum tidak mau, karena Edwin sangat tidak suka siapapun masuk ke kamarnya, kecuali Edwin yang memintanya.
Akhirnya Meisya memutuskan untuk ke kamar Edwin dengan resiko ia dibentak seperti hari pertama di rumah ini.
***
Pintu kamar Edwin ternyata agak terbuka sedikit, Mei mengintip ternyata Edwin masih menggunakan jas lengkap namun dasinya sudah kemana-mana dan terlentang di kamarnya, terdengar suara mendesis kedinginan, Mei buka sedikit lebih lebar pintu kamar Ed, tapi ia takut untuk melangkahkan kakinya ke dalam.
Diurungkannya niat untuk masuk karena timbul rasa takut, ingatannya kembali pada bentakan Ed di awal pertemuan mereka.
Saat Mei membalikkan badan tiba-tiba terdengar suara pelan memanggilnya
"Mei..," terdengar parau suara Edwin.
Mei menoleh membalikkan badannya melihat Edwin di kasur yang melihatnya dengan tatapan lelah.
Mei masuk perlahan dan takut-takut. Ia duduk di sisi kasur, memegang kening Ed, ah sangat panas, tapi Edwin menggigil kedinginan. Mei mematikan ac dan kembali duduk dekat Edwin.
"Kak, buka dulu jasnya ya, nanti pake selimut aja," ucap Meisya pelan, Edwin hanya mengangguk lemah.
Mei membantu membukakan jas Edwin, berikut dasinya.
"Kemejaku juga Mei," ujar Edwin dengan napas yang tak teratur menahan dingin.
Aduh pikiran Meisya kemana-mana, antara takut dan ngeri, dibukanya kemeja Edwin dan tampak kaos dalaman Edwin yang membungkus ketat badannya.
"Kaosku di lemari Mei," ucap Edwin lagi, dengan cekatan Mei mencari kaos yang agak tebal dan segera memakaikannya pada Edwin, menyelimutinya dengan bedcover sampai ke leher Edwin.
Meisya membereskan jas dan kemeja Edwin lalu hendak ke luar akan meletakkan di tumpukan baju kotor di mesin cuci.
"Jangan ke luar Mei," ucap Edwin dengan suara lemah.
"Bentar kak, aku buatkan teh hangat ya?" ucap Mei yang dibalas dengan anggukan lemah Edwin.
Sampai di bawah bik Sum memegang tangan Meisya.
"Gimana non, nggak ngamuk lagi?" tanya bik Sum kawatir.
"Mau ngamuk gimana bi, wong dia lemeees dan puanas badannya, tapi kok menggigil ya bik?" tanya Meisya.
"Waduh non berarti itu sangat panas sampe kayak gitu non, panggilin dokter Zaki aja, minta nomor telponnya ke den Ed," saran bik Sum pada Meisya.
Meisya mengangguk dan dengan cekatan membuatkan teh hangat untuk Edwin.
***
"Kak bangun bentar, minun teh hangatnya ya," pelan suara Mei membangunkan Edwin. Edwin berusaha bangun sambil mendesis menahan dingin. Saat membantu Edwin minun Mei sempat menatap Edwin dari jarak yang sangat dekat.
Ah wajah setampan ini kok ya sakit jiwa, pikir Mei ngawur.
Edwin merebahkan diri lagi. Dan Mei membetulkan selimut Edwin.
"Kakak makan dulu ya, aku suapin ya," Mei mencoba menawarkan, Edwin menggeleng.
"Telponkan Zaki, ponselku tolong Mei," Edwin berbicara sambil memejamkan matanya.
Mei mencari nama yang dimaksud dan menunggu dijawab, saat tersambung Mei tampak berbicara.
Tak lama dokter Zaki datang dan tampak tersenyum sambil menempelkan stetoskop ke dada Edwin.
"Penyakit lama dipelihara, pasti lo lupa makan, kondisi ngedrop, kelelahan, ato memang sengaja pingin dirawat sama...," dokter Zaki terbahak saat Edwin melotot padanya.
"Mulut lo Zak, gue panas dan tidak dibuat-buat," jawab Edwin lemah.
"Panas lo tinggi sekali Ed, gue kasih penurun panas sama vitamin ya, lalu siapa yang beli nih obat?" tanya dokter Zaki.
"Biar saya yang beli, ada apotek dekat sini," jawab Mei cepat dan berlalu.
"Eeeed Ed, makanlah yang teratur tidak usah terlalu ngoyo kalo kerja, sakit gini lo yang susah, ato memang sengaja biar dirawat tuh cewek?" tanya dokter Zaki sambil tertawa lebar.
"Gue nggak akan ngeladeni lo, gue sakit, gue nggak tertarik sama anak itu, terlalu muda untuk gue," jawab Edwin sambil memejamkan matanya.
"Alaaaah terlalu muda gimana, muda usianya, dia sudah matang sebagai perempuan, lihat apa yang ada ditubuhnya Eeed," tawa dokter Zaki semakin membahana.
"Mulut lo makin rusak Zak," jawab Edwin menahan senyum diantara desissannya yang masih menggigil.
Saat Mei datang dengan obat, dokter Zaki tampak berbicara pada Mei dan terlihat Mei mengangguk-angguk.
Ah apa yang diberitahukan Zaki pada Mei, semoga bukan hal aneh-aneh, pikir Edwin.
Dokter Zaki pulang dan Mei bergegas mengambil makanan di dapur dan membawa ke kamar Edwin.
"Kak ayo makan ya, tadi dokter bilang kakak harus makan dan minum obat, lalu tidur,"suara Mei terdengar membujuk.
Edwin bangun perlahan Mei membetulkan bantal dipunggung Edwin agar bisa duduk dengan nyaman.
"Aku suapi kak ya?" tanya Mei dan Edwin mengangguk. Mei menyuapi Edwin dengan pelan, saat suapan ketiga Edwin mengangkat tangannya.
"Cukup Mei, rasanya nggak bisa masuk," ucap Edwin. Mei menurut dan mendekatkan air minum ke bibir Edwin.
"Besok, buatkan soto ya Mei?" pinta Edwin dan Mei mengangguk.
"Minum obat dulu ya kak, trus tidur," Mei beranjak dari kasur dan mengambil tiga jenis obat, antibiontik, turun panas dan vitamin.
"Tidur kak ya, aku betulkan dulu bantalnya," ucap Mei. Edwin merebahkan badannya dan memejamkan matanya.
Mei pandangi wajah Edwin saat membetulkan selimut, ah orang tampan ini bisa sakit juga, pikir Mei.
Saat akan melangkah ke luar, tangan Ed menahan tangan Mei.
Mei menoleh kaget.
"Besok nggak usah masuk Mei, rawat aku," ucap Edwin, meski pelan, namun bikin Mei terlonjak kaget, ada apa dengan dirimu makhluk aneh tanya Mei dalam hati
==========
Pagi-pagi Meisya sudah berkutat di dapur, membuat soto sesuai keinginan Edwin. Bik Sum senyum-senyum mengawasi Mei sambil mencuci beras.
Setelah selesai ia segera membuat teh hangat dan mengantarnya ke kamar Edwin.
Didorongnya pelan, lalu pintu terbuka agak lebar.
"Kak, bangun, aku bersihkan badannya ya, nggak usah mandi, aku lap pakai air hangat ya," ujar Mei lirih.
Edwin membuka matanya perlahan. Mei sentuh kening Ed, lumayan agak turun panasnya.
"Ah kaos kakak basah, tadi malam berkeringat ya, kok nggak nelpon Mei," ujar Mei lirih.
Segera mengambil air hangat, membuka kaos Ed dan mengelapnya perlahan, Meisya menahan napas saat memandang badan Ed dari jarak yang sangat dekat.
Haduuuuh pemandangan yang sangat indah ya Tuhan, biarlah berlama-lama nggak papa, agar aku tetap menikmati tiap lekukan ototnya, pikiran gila Mei muncul lagi dan memukul kepalanya pelan.
"Pusing juga Mei?" pelan suara Ed bertanya, namun cukup membuat Mei kaget dan menggeleng pelan.
Mei mengeringkan badan Ed dengan handuk kecil dan memakaikan kaos ke badannya.
"Tunggu kak, sandaran dulu ya, duduk dulu, ini teh hangatnya," Mei meminumkan teh sambil menatap wajah Ed yang masih pucat.
"Tiduran nggak papa kalo kakak capek nanti jam 7 aku suapin, sotonya sudah siap," ucap Mei kembali merapatkan selimut ke badan Edwin.
***
Tak lama bu Minda menelpon Meisya dan menanyakan keadaan Edwin.
Lama Mei menjelaskan sampai terdengar panggilan Edwin. Akhirnya percakapanpun dihentikan.
"Ada apa kak?" tanya Mei pelan.
"Aku mau sarapan Mei," jawab Edwin pelan dan Mei bergegas turun menyiapkan semangkuk soto dan dengan hati-hati membawa ke kamar Edwin.
"Bangun yok kak," suara Mei pelan sambil menata bantal di punggung Edwin.
Mei menyuapi dengan pelan, melihat gerakan bibir Edwin yang mengunyah pelan. Sementara Edwin menatap wajah Mei yang terlihat agak lelah.
Menyadari Edwin menatapnya, wajah Mei memerah. Edwin menahan senyum.
"Kamu lelah ya Mei, merawatku sejak kemarin malam?" tanya Ed.
Mei menggeleng, tumben nih kakak tampan sejak kemarin nggak ngajak bertengkar, pikir Mei.
Selesai makan, Edwin meminum obatnya, Mei memberikan satu per satu.
"Tidurlah kak," ujar Mei menaikkan selimut ke dada Edwin.
Edwin memegang tangan Mei, Mei bingung dan mencoba bertanya.
"Kakak pingin apa?"
"Temani aku," ujar Edwin pelan sambil menatap Mei dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Kak, kakak sakit, tidurlah, jangan tatap aku seperti itu," ucap Mei merasa jengah.
"Kenapa, tidak boleh?" tanya Edwin pelan dan tangannya masih memegang tangan Meisya.
"Aku normal kakak, jangan pandangi aku seperti itu, aku bisa mengartikan lain, padahal yang ada dipikiran kakak, kakak tidak memandangi aku, aku mirip seseorang yang tetap kakak cintai kan?" tanya Mei dengan tatapan memelas. Seketika wajah Edwin menegang.
"Siapa yang memberitahumu?" tanya Edwin kehilangan senyumnya. Mei menggeleng.
"Itu tidak penting, jadi berhentilah memandangiku, melihatku diam-diam, perlakuan kakak padaku bisa membuatku jatuh cinta pada kakak, sementara dalam hati, pikiran dan mata kakak, ada orang lain yang tergambar dalam wajahku, tidurlah kak, istirahatlah," ucap Mei berusaha menarik tangannya dari genggaman Edwin.
"Mei, ajari aku agar bisa mencintaimu," suara Edwin terdengar memelas. Meisya menggeleng pelan.
"Masih banyak waktu bagi kita untuk saling belajar kak, aku baru sebulan di sini, kita belum saling mengenal betul, yakinkan kakak, bahwa yang kakak lihat adalah aku, bukan orang lain yang berwajah mirip aku," Mei berusaha tersenyum. Ditariknya jemari Mei yang masih digenggam Edwin, lalu melangkah ke pintu.
"Mei," terdengar suara Edwin, Mei berhenti dan menoleh.
"Kau mau menunggu kan, sampai aku yakin, bahwa yang aku lihat adalah dirimu, bukan orang lain?" tanya Edwin dengan suara ragu.
Mei tersenyum dan mengangguk. Edwin memejamkan matanya dan menghembuskan napas dengan lega.
***
Keesokan harinya Bu Minda datang dan langsung ke kamar Edwin.
"Sayang, gimana, sudah enakan?" tanya Bu minda kawatir dan mencium kening Edwin.
"Sudah mendingan ma, besok aku masuk, sudah nggak gemeteran lagi, aku kecapean kayaknya, lupa makan, trus malemnya pas jemput Mei kan kena hujan," ujar Edwin menjelaskan pada mamanya.
"Syukurlah, Mei merawatmu dengan baik, berbaik-baiklah padanya, ia anak yang patuh, dan tahu balas budi, makanya mama berencana untuk menyekolahkannya ke Australia, ambil magister di sana, sayang jika kepandaiannya hanya berhenti di sisi mama sebagai sekretaris," ujar mama tersenyum menatap Edwin, seketika dada Edwin berdegup kencang.
Ia harus jauh dari Meisya sementara hatinya baru saja belajar menemukan kenyamanan setelah lima tahun tersiksa?
Edwin berusaha duduk dan menatap mamanya, Bu minda menyadari keterkejutan Edwin tapi ia biarkan saja.
"Ada apa sayang, ada yang kamu pikirkan?" tanya bu Minda.
"Emmm apakah Mei tahu rencana mama, kapan mama akan memberangkatkan Mei?" tanya Edwin tiba-tiba dengan wajah bingung.
Bu minda menahan senyum, ia berusaha tetap serius memandang Edwin.
"Hmmm belum, rencananya besok mama akan mengatakan pada Mei dan yaaaa secepatnya ia akan mama berangkatkan, usianya masih muda banyak kesempatan yang bisa dia raih," ujar bu Minda dengan nada meyakinkan.
Edwin menghembuskan napas dengan berat. Dan memejamkan matanya.
Bu minda melihat perubahan wajah Edwin, dan semakin menahan senyumnya dengan pura-pura menoleh ke sisi lain.
***
Malam saat Mei akan tidur tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarnya.
"Bentar bik Suuum, ih malem-malem ngapain bibik ke sini?" terdengar suara Mei yang menyeret sandal kamarnya dan berjalan pelan menuju pintu, saat dibuka alangkah kagetnya ia menemukan tubuh tinggi menjulang.
Secepatnya Mei berbalik dan memakai jaketnya, ia hanya menggunakan tanktop dan hotpans saat Edwin muncul dihadapannya.
Saat ia kembali menemui Edwin ia menemukan wajah murung Edwin.
"Boleh aku masuk?" tanyanya ragu. Mei mengangguk pelan, ada apa, pikir Mei.
Edwin melangkahkan kakinya perlahan masuk ke kamar Mei dan menutup pintunya.
Mei kaget karena tiba-tiba Edwin memeluknya.
"Jangan pergi Mei, jangan pergi, aku baru belajar menyukaimu, belajar menghilangkan rasa sakit, lalu tiba-tiba kau harus pergi jauh," ucap Edwin terdengar parau.
Yaa amploooop akhirnya aku menemukan kedamaian di dada bidang nan menggairahkan ini, akhirnyaaaaa ya Tuhan, pikiran nakal Mei untuk sementara menikmati pelukan Edwin namun sedetik kemudian dia berusaha melepaskan diri, namun Edwin semakin mendekap Mei dalam pelukannya.
"Kak, kata siapa aku akan pergi, aku di sini nggak kemana-mana, lepasin aku, dadaku sakit kak," suara Mei terdengar menahan sakit. Edwin mulai melepaskan pelukannya namun memegang bahu Mei.
Menatap Mei dengan wajah memelas. Oh ya Tuhan seorang pemilik perusahaan memohon padaku untuk tetap di sisinya, ah kayak mimpi aja, ntar bangun jatoh dari kasur, pikiran Mei kembali mengembara.
"Mama baru saja mengatakan padaku, akan menyekolahkanmu ke Australia, ambil magister, jangan Mei, jangan jauh dari aku, di sini program magister banyak dan juga bagus, jangan mau ya Mei?" pinta Edwin memelas.
"Apakah aku akan bisa menolak permintaan orang yang sudah menjadikanku seperti sekarang? aku tidak bisa menolaknya kak," jawab Meisya menengadah menatap Edwin.
Kembali Edwin memeluk Mei, diciumnya kepala Mei, Mei merasakan meremang seluruh badannya.
"Jadi kita harus jauh Mei?" tanya Edwin dengan suara parau.
"Justru dengan berjauhan, kita bisa memastikan hati kita kak, aku akan menyelesaikan 1,5 tahun, dulu strata satu aku selesaikan tiga tahun, tidak lama kan 1,5 tahun," ucap Mei pada Edwin.
Diciumnya lagi kepala Mei, Mei mendorong badan Edwin menjauh.
"Kenapa?" tanya Edwin bingung.
"Aku jadi merinding kak," ucap Mei dengan wajah lucu. Edwin menahan senyum menarik Mei lagi dalam pelukannya, mengangkat dagu Mei dan mendekatkan bibirnya pada bibir Mei, seketika Mei terbelalak sementara ia melihat dari jarak dekat Edwin yang memejamkan matanya.
Didorongnya badan Edwin dengan kuat, Edwin kaget dan menatap kembali wajah Mei.
"Ih kakak kok nyium-nyium, kan kita nggak pacaran, perasaan kita juga belum pasti, ntar aja nyiumnya kalo Mei bener-bener cinta sama kakak," ucap Mei dengan wajah kesal dan Edwin tertawa sambil menggelengkan kepalanya dan kembali mencium kepala Mei perlahan.
Benar-benar bocah nih anak, pikir Edwin.
Ia lepaskan pelukannya dan mencubit hidung Mei.
"Tidurlah, kakak akan kembali ke kamar," ujar Edwin melangkah ke luar dan menutup pintu kamar Mei.
***
Makan malam kali ini terasa lain karena Edwin lebih sering melamun dan sesekali menatap Mei dengan pandangan sedih.
"Mei, ada yang akan ibu sampaikan, teruskan makannya, kita santai aja sambil makan," ucap bu Minda pada Mei yang menghentikan makannya sesaat.
"Gini, ibu ingin kamu melanjutkan sekolah, ambil magister di Australia, biar ibu tanya ke teman ibu dulu, yang bagus di mana, mekanismenya kayak apa, tesnya kapan, pokok tetek bengeknya akan ibu tanya lengkap ke teman ibu yang kebetulan anaknya sekolah di Aussie juga, mau kan Mei?" tanya bu Minda pelan sambil tersenyum.
Sejenak Mei bernapas berat, menatap wajah Edwin yang juga menatapnya, meski ia sudah mengetahui dari Edwin, namun tetap merasa kaget saat bu Minda menyampaikan secara langsung.
"Gimana Mei?" tanya bu Minda lagi saat menyadari dua orang dihadapannya saling pandang dan berusaha bernapas dengan wajar.
"Iya ibu, saya mau," ujar Mei yang diiringi suara Edwin yang tersedak saat mengunyah makanannya.
Bu Minda kaget dan cepat mendekatkan air minum ke tangan Edwin.
"Sayaaang, kamu nggak papa kan?" tanya bu Minda kawatir. Edwin menggeleng cepat dengan wajah memerah, ia minum lagi air dengan sekali teguk.
Meisya menatap Edwin dengan rasa bersalah. Dan bu Minda menahan senyum melihat wajah keduanya.
"Baiklah Meisya, kamu siapkan saja segala sesuatu yang berhubungan dengan ijazah, transkrip nilai S 1 kamu, kawatir nanti diperlukan saat melaksanakan tes di sana," ujar bu Minda tersenyum pada Mei dan melirik Ed yang terlihat masih memandang piring kosong di hadapannya.
Bu Minda meninggalkan mereka berdua. Mei segera membawa piring kotor ke dapur.
Edwin berdiri menyandarkan badannya pada tembok dapur, saat Mei mencuci piring.
"Ngapain kakak ngikut ke sini, sana masuk kamar, istirahat," ucap Mei sambil membilas piring kotor.
Mei menuju kamarnya saat semuanya beres dan Edwin mengekor di belakangnya.
Saat tiba di depan kamar Meisya, Edwin memegang lengan Mei.
"Kamu benar-benar ingin menjauh dariku?" tanya Edwin lirih. Mei tak menjawab, ia masuk ke kamarnya dan kembali Edwin mengekor.
Mei duduk di kasur dan bersila menghadap Edwin.
"Aku harus bagaimana kak, apa aku bisa memilih, aku tidak punya kekuatan untuk menolak," ucap Mei menengadahkan wajahnya melihat Edwin yang perlahan mendekati Mei sambil tetap berdiri.
"Lagian, apa alasanku menolak kak, masak alasan karena mau belajar mencintai kakak?" ucap Mei lagi sambil mengerjabkan matanya.
Edwin yang awalnya sedih jadi menahan tawa melihat wajah lugu Mei. Didekatinya Mei dan didekapnya kepala Mei lalu diciumnya perlahan.
"Nyiuuum lagi, sudah dibilangin, aku merinding kalo kakak nyium," ujar Mei dengan wajah menengadah menatap Edwin.
Edwin tertawa pelan, mengacak rambut Mei. Dan kembali terlihat sedih.
"Aku akan sangat merindukanmu Mei," ucap Edwin pelan dan menarik Mei ke dalam pelukannya.
Meisya diam saja, ia biarkan Edwin memeluknya erat dan lama.
"Kak, aku boleh meluk kakak?" tanya Mei pelan. Edwin tak menjawab ia hanya mendekap Mei semakin erat.
"Aduh kok gini," ucap Mei lirih.
"Kenapa?" tanya Edwin pelan menikmati harum rambut Mei.
"Aku kok deg-degan ya kak?" tanya Mei tanpa mengharap jawaban.
Edwin semakin gemas, ia mengangkat dagu Mei dan mencium bibirnya lama.
Mei menikmati ciuman Edwin dan mendorongnya pelan saat ia mulai kesulitan bernapas.
"Kak, jangan gini lagi, aku takut benar-benar jatuh cinta sama kakak," ucap Mei dengan wajah memerah.
"Lalu, apa masalahnya jika kita suatu saat benar-benar saling mencintai Mei?" tanya Edwin cemas.
"Nggak kak, kayaknya aku takut menghadapi bu Minda, ia adalah orang yang sangat aku hormati, alangkah kurang ajarnya aku jika tiba-tiba menjalin hubungan dengan putra kesayangannya, aku merasa tidak pantas, aku hanya anak yatim piatu yang beruntung dibiayai dan disekolahkan oleh ibu Minda," ujar Mei dengan wajah memelas.
"Sejak kapan kamu mempunyai pikiran seperti itu?" tanya Edwin menatap Mei dengan tajam.
"Sejak tadi, saat aku tiba-tiba ingin memeluk kakak dan menikmati ciuman kakak, aku akuu terlalu serakah jika menginginkan kakak menjadi pendampingku," ucap Mei lirih. Edwin mengangkat dagu Mei.
"Tatap mataku Mei, aku akan benar-benar memastikan bahwa yang aku lihat adalah dirimu, dan disaat itu sudah pasti, aku tidak ingin kau menolakku, kau sudah berjanji akan menungguku sampai aku benar-benar melihatmu sebagai Meisya," ujar Edwin. Meisya kembali memeluk Edwin dan melepasnya lagi.
"Kembalilah ke kamarmu kak, sudah malam, tidak baik jika kita terlalu lama berdua," Mei berusaha tersenyum dan mengantar Edwin sampai pintu, lalu menguncinya dengan rapat.
Edwin berjalan menunduk menuju kamarnya dengan pelan seolah tanpa tenaga, tanpa melihat bu Minda yang ada di dapur, yang terlihat kaget saat mengetahui Edwin baru keluar dari kamar Meisya. Bu Minda tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
Sementara Mei membuka buku hariannya dan mulai menulis.
"Jangan biarkan aku mencintainya Tuhan, mengapa tadi ada debaran aneh saat ia menciumku, biasanya aku bisa menolak tapi mengapa kali ini aku menikmatinya. Mungkin akan lebih baik aku menjauh, membuang rasa aneh, sebelum tumbuh subur dan semakin dalam. Maafkan saya bu Minda, maafkan saya jika menikmati pelukan kak Ed"
Mei menutup bukunya, berganti baju tidur dan merebahkan badannya perlahan. Berusaha memejamkan mata.
***
Dua hari ini rumah sepi, hanya ada Edwin dan bik Sum. Mama dan Meisya ke Australia melihat langsung apartemen yang akan ditempati oleh Meisya nanti.
Meisya sudah resmi diterima di salah satu perguruan tinggi di Australia. Dua bulan lagi perkuliahan akan dimulai.
Edwin makan malam sendiri, melamun dan menatap gelas di depannya sementara kunyahannya terlihat melambat.
"Kangen non Mei ya den?" tanya bik Sum yang membuat Ed tersentak.
"Bibik sok tahu," Ed tersenyum.
"Heeeem bibik ini sudah tua, sudah banyak makan asam garam, bibik bisa melihat kalo den Ed suka sama non Mei, cuman non Mei kayak masih bingung den, dekati pelan-pelan den, tapi den Ed harus pastikan, beneran suka apa ndak ke non Mei, kalo sudah pasti ya ngomongo," nasehat bik Sum rupanya mengena di hati Edwin.
"Aku nggak enak sama mama bik, mama setuju nggak ya kalo suatu saat, aku bener-bener cinta sama Mei dan ingin menikahinya?" tanya Edwin ragu.
Bik Sum terbelalak.
"Weh pasti mau deeeen, wong mama den Ed sukaaa banget sama non Mei, makanyaaa cepetan pastikan hati den Ed, suka sama non Mei apa tidak, apa emm maafkan bibik kalo lancang, apa den Ed suka karena wajahnya kayak non Freya?" tanya bik Sum hati-hati. Edwin menghembuskan napas pelan.
"Awalnya aku juga ragu bik, tapi saat Mei hilang lima hari, aku mulai sadar bahwa yang aku rindukan sosok Mei, bukan Freya, mereka sosok yang berbeda, mungkin karena Mei jauh lebih muda, ia sangat lugu bik, apa adanya, sementara Freya berpembawaan dewasa dan tenang," ujar Edwin masih menatap gelas yang kosong.
"Nah apalagi sudah pasti, cepet bilang den, nanti keburu diambil orang, hemmm siapa yang nggak jatuh cinta kalo liat non Mei, wajahnya cantik, mungil, pinter segalanya dan yang jelas pinter masak soto kesukaan den Ed," goda bik Sum sambil tertawa renyah. Mau tidak mau Edwin tersenyum lebar mendengar gurauan bik Sum.
"Makasih sudah menemani saya makan bik, saya ke atas dulu bik," Ed melangkahkan kakinya ke kamar.
Bersambung #4
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel