Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 16 Juni 2021

Soto Untuk Kakak #2

Cerita bersambung

Mei gimana bik?" tanya Edwin saat akan berangkat ke kantor.
"Alhamdulillah mendingan dah den, tadi sudah mandi sendiri dan makan nggak disuapi lagi," jawab bik Sum. Edwin mengangguk dan berangkat ke kantornya.
***

Malam hari saat akan makan malam Edwin melihat Mei makan di ruang makan. Sejenak Edwin melihat wajah Mei yang masih pucat. Mei menunduk menikmati makan malamnya. Mereka makan tanpa bersuara.
***

Pagi saat akan ke kantor Edwin melihat Mei yang melangkah menuju pintu depan menggunakan dress selutut berwarna beige dan tas warna senada dengan sepatunya. Rambut panjangnya diikat sehingga rambut-rambut kecilnya berjatuhan dikening Mei.

Edwin menghembuskan napas dengan kasar. Frey...bisiknya parau dalam hati.

"Aku akan mengantarmu ke butik mama," ucap Edwin tanpa melihat Mei dan menyeret lengannya menuju mobil.
"Lepaskan, aku bisa berangkat sendiri," Mei berusaha memberontak.
Ditariknya lengan Mei dan Edwin menunduk mendekatkan wajahnya pada wajah Mei.

"Jika bukan mama yang menyuruhku, aku juga tidak mau mengantarmu," ucap Edwin dengan pandangan tajam.
Meisya menarik tangannya dan hampir jatuh ke dada Edwin karena tidak seimbang.

"Jangan mengotori kamejaku lagi, cukup satu kemejaku yang kau buat kotor dengan air matamu, saat kau pura-pura mengigau dan memelukku," Ucap Edwin sambil mendorong tubuh Mei duduk di jok depan dan segera melajukan mobilnya menembus kemacetan pagi. Mei hanya melongo, benarkah? kapan?

Selama perjalanan pikiran Meisya kemana-mana, ia dapat merasakan hembusan napas Edwin saat marah dalam jarak dekat, jika tidak sedang marah,  ingin rasanya ia mengecup bibir merahnya dan menariknya dalam pelukannya, tapi jika ia ingat lagi kata-kata Edwin, kapan ia memeluk Edwin. Benar-benar bikin bingung. Saat sampai di butik bu Minda, sebelum turun Mei menatap tajam Edwin.

"Jika aku memang memelukmu, pasti aku dalam kondisi tidak sadar, jika dalam keadaan waras aku tidak sudi menyentuh orang yang selalu punya pikiran jelek pada orang lain." Mei turun dan melangkah tanpa menoleh lagi.

Huuufftttr... Edwin menyandarkan kepalanya pada sandaran jok mobil sambil memejamkan matanya. Lalu menghembuskan napas dan melanjutkan perjalanan ke kantornya.
***

Jam tujuh malam Meisya berkemas dan melangkah ke luar butik, di luar ia bertemu Adit, fotografer yang biasa menangani pemotretan di butik bu Minda. Mereka berbicara agak lama dan terlihat keduanya berbicara sangat akrab dan tertawa riang.

Dari balik kaca mobil Edwin melihat mereka dengan tatapan aneh. Ia keluar lalu menghampiri keduanya.

"Sudah selesai diskusinya?" tanya Edwin dengan wajah dingin. Adit menoleh dan merasa tidak enak dengan tatapan Edwin.

"Oh mas Edwin,  iya iya sudah mas," ucap Adit berusaha tersenyum.

Edwin menatap Meisya yang tanpa disuruh berjalan mendahului Edwin menuju ke arah mobil.

"Aku menunggumu untuk segera pulang, bukan untuk menunggui orang berpacaran," ucap Edwin dingin, sesaat setelah Mei duduk di sampingnya. Mei menoleh dengan tatapan sengit.

"Kami hanya teman, tidak pacaran, dan kalaupun aku pacaran itu bukan urusanmu."
"Aku nggak ngurus kamu, aku nunggu kamu pulang," jawab Edwin sinis.
"Siapa yang nyuruh nunggu aku?" tanya Mei marah.
"Mama," jawab Edwin dengan suara setengah membentak.

Lalu mereka diam sampai akhirnya sampai di rumah Edwin.
***

Malam hari Meisya mengetuk kamar bik Sum.

"Yaaa masuk saja," jawab bik Sum.
"Eh non Mei, ada apa?" tanya bik Sum.
"Eemmm mau tanya bik, bener nggak, saya aduh gimana ya,  kata kak Edwin, saya.. saya meluk dia, kan nggak mungkin bik," tanya Meisya dengan wajah memerah. Bik Sum menghela napas sambil tersenyum.

"Saya taunya pas saya mau masuk kamar non, eh saya liat non meluk den Ed sambil menangis manggil mama.. mama gitu ya saya mundur, dan terakhir saya liat den Ed juga meluk non," jawab bik Sum sambil tersenyum.
"Haduuuuh ngapain saya meluk meluk ya bik?" tanya Mei panik.
"Namanya orang ngigo non, ya mana sadar?" ujar bik Sum terkekeh.
"Iiiih kenapa saya nggak sadar gituuuu benci benci deh biiik," Meisya menarik-narik bajunya.
"Non, berdamailah dengan den Ed,  kalian kok senengngannya bertengkaaar aja," kata bik Sum.
"Lah dia duluan yang mulai bik, aku ya ayo tak ladeni,  dikira takut apa?" ujar Mei dengan wajah dongkol.
"Apa karena wajah non mirip saya non Freya ya,  jadinya den Ed merasa keganggu?" bik Sum seolah bicara sendiri.
"Siapa itu Freya bik?" tanya Meisya kaget.
"Pacarnya den Ed, mereka pacaran sejak sma, sampe den Ed kuliah di luar mereka tetap lanjut sampe akhirnya non Freya meninggal karena kanker otak lima tahun lalu, den Ed lamaaaa nggak bisa diajak ngomong, sedih banget dia non," bik Sum mengakhiri ceritanya dan Mei mengangguk dengan tatapan bingung.
"Lalu apa salahku bik, masa dia benci aku karena wajah kami mirip?" tanya Meisya.
"Ya kali bikin dia ingat lagi non," jawab bik Sum.
"Masa sama bik?" tanya Meisya lagi.
"Ya nggak sama banget non,  mirip, bedanya non lebih mungil, lebih pendek dan lebih muda," ucap bik Sum. Mei menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Ya dah bik, makasih ya, aku nggak mau makan malam,  males, masih kenyang, tadi dah makan bakso di kantor," ujar Mei sambil keluar dari kamar bik Sum.
***

Edwin makan malam hanya sendiri, dia tolah toleh seolah mencari seseorang.

"Nyari non Mei den?" tanya bik Sum.
"Eh, nggak bik," jawab Edwin sambil melahap makan malamnya.
"Bik bikinin soto ya besok," ujar Edwin.
"Iya den, akan saya siapkan," jawab bik Sum.
"Tapi.. tapi minta yang kayak Meisya buat bik, tanya resepnya ke Mei ya bik?" ucap Edwin. Bik Sum kaget.

"Lah masak non Mei bisa masak, lagian ya resep soto ya dimana-mana sama den, ya gitu itu," ucap bik Sum sambil terkekeh.
"Loh selama bik Sum nggak masuk kan dia yang masak,  dan sotonya uenak bik, bener,  lebih enak dari buatan bik Sum, maaf ya bik," ujar Edwin tersenyum lebar.
"Oalaaah benar-bener perempuan tenan anak itu, jarang loh anak jaman sekarang bisa masak, kalo punya istri kayak gitu hmmm perut nggak akan kelaparan dan yang jelas akan dimasak dengan rasa cinta," ujar bik Sum ngegombal dan Edwin tertawa keras.
"Sana tanya sendiri resepnya ke non Mei, den, " ujar bik Sum.
"Nggak bik, aku males ngomong sama anak itu, nggak ada manis-manisnya, selalu galak," ucap Edwin.
"Perasaan den Ed yang kayaknya mulai duluan nyerang non Mei," ujar bik Sum dan Edwin tak menanggapi. ia tiba-tiba saja diam.

"Ada rasa sakit tiap lihat wajahnya bik, dadaku rasanya berdarah," pelan suara Edwin.
"Hmmm ya bukan salah non Mei den punya wajah sama kayak non Frey, salah loh den Ed kalo benci non Mei tanpa alasan," bik Sum mendekati Edwin.
"Dia anak yang baik, tahu balas budi, dia dibiayai oleh mama den Ed sejak sd sampe kuliah dan setelah lulus diajak kerja di butik mamanya den Ed, sejak sd kls 4 non Mei ada di panti asuhan, ya sejak mamanya meninggal, kalo papanya sih meninggalnya malah sejak non Mei masih bayi, kasian anak itu, dia anak yang tahu diri, berbaik-baiklah padanya den,  paling tidak jangan ajak dia bertengkar," ujar bik Sum mengakhiri ceritanya dan membawa piring kotor Edwin ke dapur.
***

Di dalam kamar Edwin mengingat kembali cerita bik Sum. Memejamkan matanya dan tiba-tiba terdengar ponselnya berbunyi.

"Lagi ngapain sayang"
"Di kamar ma"
"Oh lusa mama pulang"
"Iyah"
"Jemput mama di bandara ya sayang"
"Iyah"
"Bai sayang"
"Bai ma"

Edwin kembali merebahkan badannya di kasur dan tiba-tiba ingat saat Meisya memeluknya, mengingat harum rambut Meisya dan melintas lagi bayangan Freya. Edwin menggeleng pelan menghembuskan napas dengan kasar, berjalan ke arah jendela dan melihat ke arah kamar Meisya di bawah sana. Dia melihat Meisya yang ada di jendela dan melamun memandang ke arah kolam renang, remang-remang cahaya malam membiaskan sinar ke wajah Meisya.

Meisya merasa ada yang memandanginya, ia mendongak ke arah kamar Edwin dan menemukan wajah Edwin yang terpaku menatapnya, sesaat keduanya sama-sama kaget dan menutup jendela.

Meisya menutup matanya, oh Tuhan mengapa kau ciptakan makhluk tampan nan seksi seperti itu, tapi sikapnya kayak beruang kutub, pikiran Mei sudah kemana-mana.

==========

Antara sadar dan tiada, Meisya mendengar ketukan berulang di pintu kamarnya, dengan mata setengah terbuka ia buka pintu kamar, wajah bik Sum muncul di sana. Diliriknya jam di dinding, wah jam 4 pagi.

"Ada apa bi, pagi-pagi bangunin saya?" tanya Meisya menggaruk-garuk kepalanya.
"Bantuin bibik di dapur yuk, masak soto," ajak bik Sum sambil menggandeng tangan Meisya.
Meisya mengekor dengan bingung.

"Aneh deh, bik Sum kan pinter masak, ngapain ngajak saya masak?" tanya Mei lagi.
"Haduuu jangan banyak tanya non, ini den Ed minta bikinin soto yang kayak non bikin, ayo jangan banyak tanya, cepet kerjakan non, soalnya jam 6 pagi, den Ed mau berangkat ke bandara nggak tau mau ke mana," ucap bik Sum sambil mengeluarkan daging ayam kampung dari kulkas.
"Yeees yeeees.. merdeka deh nggak ada tuh orang, kemon bik, aku mulai bikin," teriak Meisya sambil tangannya mulai cekatan meracik bumbu yang akan dihaluskan. Bik Sum mengamati semua yang dikerjakan oleh Meisya dan tersenyum melihat Mei yang seolah sudah terbiasa di dapur.

"Kenapa bi, ada yang aneh dengan cara masak saya?" tanya Meisya melihat bik Sum yang senyam senyum.
"Nggak nggak non, saya cuma kagum aja, ada anak jaman sekarang yang bisa masak," jawab bik Sum.
"Saya kan biasa di panti asuhan bik,  jadi yaaa nggak usah heranlah," ucap Meisya sambil tersenyum manis pada bik Sum.

Satu jam kemudian semuanya siap. Bik Sum mencicipi kuah soto ke tangannya dan memperlihatkan jempolnya pada Meisya.

"Hmmm enak bener non,  makanya den Ed, pengen bener nih soto," ujar bik Sum.
"Iya dah bi, saya mandi dulu ya," ujar Meisya melangkah ke kamarnya dan menoleh lagi sambil setengah berteriak.

"Telornya diangkat itu bi, dah mateng paling, nanti seledrinya diiris tipis, kalo mau ya kubisnya juga, diiris tipis juga ya biii."

Meisya melangkah cepat karena kawatir dengan baju yang ia kenakan, karena tadi ia langsung diseret ke dapur tanpa sempat ganti baju yang pantas, rupanya dewa dewi keberuntungan tak berpihak padanya. Saat akan berbelok ke arah kamarnya ia melihat Edwin yang menuju dapur dan sesaat melihatnya dari atas ke bawah dengan tatapan kaget dan cepat memalingkan wajahnya ke arah lain
Setengah berlari Meisya menuju kamarnya.

"Iiiih malu-maluin, kenapa juga aku nggak ganti baju dulu tadi,  duh malunya, ntar dikira mau godain lagi," Mei berbicara sendiri sambil menghentakkan kakinya ke lantai dan menuju kamar mandi dengan wajah kesal.

Di dapur Edwin menemukan bik Sum yang mengupas kulit telur.

"Bik ngapain tuh anak kecil di dapur?" tanya Edwin. Bik Sum tertawa lirih.
"Ya bantuin bibik masaklah den, kan den Ed minta soto bikinan non Mei, ya bibik suruh dianya sendiri yang masak," jawab bik Sum.
"Waduh, bibik nggak kan bilang kalo aku yang pengen?" tanya Edwin lagi.
"Bibik nggak biasa bohong, ya bibik bilang kalo den Ed yang pengen," jawab bik Sum lagi,  dan Edwin garuk-garuk kepala.

"Bik bilang sama tuh bocah,  suruh pake baju yang bener,  baju daleman kok dipake keluyuran dalam rumah," ujar Edwin dengan nada tidak suka.
"Den, tadi dia jam 4 bibik seret ke dapur dalam keadaan ngantuk, ya jelaslah dia nggak sempat pake baju yang bener," sahut bik Sum kembali tersenyum.
"Lagian kalo den Ed nggak suka ya jangan diliat hmmm paling tertarik yaaa, non Mei itu meski kecil mungil tapi badannya cukup berisi loh bisa buat nyubit-nyubit," ujar bik Sum sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Nggak bik, aku nggak suka sama tuh bocah, nyusahin hatiku aja, capek aku tiap liat dia bi," ujar Edwin pelan.
Terdengat bik Sum menghela napas.

"Bilang gitu lagiii den Ed,  hilangkan perasaan seperti itu ke non Mei, dia nggak pernah ganggu den Ed, dia anak yang manis dan penurut, ah sudah lah ayo den Ed mau makan sekarang?" tanya bik Sum dan segera menata soto di meja makan.
"Iya dah bik, aku makan sekarang aja, bentar lagi aku ke bandara," jawab Edwin mulai duduk di meja makan dan mendekatkan piring ke tempat nasi.

"Mau kemana den?" tanya bik Sum.
"Ke Singapura bik, ada sedikit masalah dengan perusahaan yang di sana, tapi hari ini mama pulang kok bik," jawab Edwin sambil mulai makan soto kesukaannya.
Bik Sum mendekatkan tempat krupuk ke depan Edwin.

"Ah benar-benar enak nih soto bik, nggak ada bosannya aku makan soto ini," ucap Edwin sambil memasukkan suapan terakhirnya.
"Tak bawakan ke Singapura piye?" tanya bik Sum sambil tertawa.
"Bibik ada-ada saja, aku tiga hari di sana bik, udah ya aku mau siap-siap dulu," ujar Edwin naik ke kamarnya.
***

Saat memakai bajunya sempat terlintas dalam pikirannya Edwin, Meisya yang hanya menggunakan tanktop dan hotpans tadi. Dihembuskannya napas dengan kasar.... maafkan aku Frey .... bisik hatinya lirih.
***

"Berangkat dah bik tuh orang?" tanya Meisya tolah toleh.
"Iya barusan, tiga hari katanya non dia mau ke Singapura," jawab bik Sum.
"Merdeka bener deh rasanya saya bik, nggak ada yang melototin dan ngata-ngatain tiap hari," ujar Meisya dengan riang.
"Hmmm merdeka, kayak jaman perang aja non ini," bik Sum tertawa nyaring.
"Beneran bik, kalo bukan karena bu Minda, aku sudah balik kosan sejak awal ada di rumah ini, masak aku dibentak karena masuk kamarnya bik,  padahal bu Minda yang nyuruh aku naruk baju tuh orang ke kamarnya, ih mangkeeel banget kalo ingat itu," ucap Mei sambil menikmati sarapannya. Mata bik Sum membulat.

"Oh yaaaa, hmmm memang gak bisa sembarangan masuk ke kamarnya den Ed non, sejak den Ed kehilangan non Freya,  dia jadi saaaangat tertutup,  baru setahun ini aja dia mulai mau jalan-jalan, gabung sama temannya lagi, mulai tersenyum lebar dan banyak omong lagi, wong anaknya memang dasar periang dan suka guyon," ujar bik Sum menjelaskan. Meisya mengangguk mendengarkan cerita sambil memasukkan suapan terakhirnya.

"Bik saya berangkat dulu ya," Meisya pamit pada bik Sum.
"Iya hati-hati non,  tuh sopir bu Minda dah nunggu di depan," ujar bik Sum.
***

Di pesawat Edwin menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, memejamkan matanya dan terlintas wajah mungil Meisya, ia menggeleng pelan, mengapa bukan Freya pikirnya.
Edwin menoleh ke luar jendela pesawat, kembali terlintas tawa riang Meisya, rambutnya yang lebih sering diikat dan tatapan takutnya jika dia membentak.
Tidak, tidak mungkin aku menyukainya, bocah kecil yang hanya jadi perusuh di rumahnya. Kembali Edwin memejamkan mata.
***

"Bik Suuuum, aku pulang biiik," teriakan bu Minda membuat bik Sum tergopoh-gopoh.
"Waduuh bawaan segini banyaknya, nyonyaaaa," ujar bik Sum kaget.
"Itu dari Edwina dan beberapa aku beli sendiri bik, nggak taulah apa aja itu, tolong bereskan ya bik," pinta bu Minda.
"Eh bik gimana tuh dua anak saya di sini aman-aman aja?" tanya bu Minda.
"Den Ed nya yang sering marah-marah nggak jelas sama non Mei, nyah," jawab bik Sum. Bu Minda menghembuskan napas pelan.

"Semoga Mei bisa jadi obat bagi Edwin bik," ucap bu Minda lirih.
***

Sore hari Meisya menginjakkan kakinya di rumah bu Minda, melewati ruang tengah dan melihat bu Minda yang bersantai di samping rumah dekat kolam.

"Ibu,  kapan datang?" tanya Meisya sopan dan mencium tangan bu Minda dengan takzim.
"Tadi pagi, maunya Edwin yang jemput eh dia harus berangkat pagi, jadi ya sudah naik taksi saja, gimana kabar butik Mei?" tanya bu Minda.
"Semuanya berjalan dengan baik ibu," jawab Meisya.
"Syukurlah, silakan kalo mau ganti baju," ujar bu Minda pada Meisya.

Meisya segera masuk ke kamarnya dan segera membersihkan badannya ke kamar mandi.
***

Selama di Singapura Edwin ada di rumah Edwina, kakak dari Edwin.

"Kak kayaknya memang ada yang tidak beres dengan laporan keuangan perusahaan, tadi aku sudah memeriksanya, dan aku panggil siapa saja yang terkait dengan masalah itu,  jika sudah jelas masalahnya,  tidak akan aku biarkan, akan aku beri pilihan, dipecat atau mengundurkan diri," ucap Edwin menjelaskan pada kakaknya.
Edwina hanya mengangguk-angguk saja.

"Kakak harus tegas sama anak buah kak, jangan diberi hati,  bisa jalan ditempat ato malah mundur nih perusahaan papa," ujar Edwin lagi.
"Kayaknya aku nggak bakat deh Ed megang nih perusahaan," ujar Edwina akhirnya.
"Haduuuh kok nyerah, lanjut aja, ntar aku kontrol dari Indonesia," ucap Edwin lagi. Dan menyudahi percakapan saat malam semakin larut.

Edwin memasuki kamar yang disiapkan oleh kakaknya. Melepas jas dan kemejanya, menyisakan celana bahan dan membuka ponselnya. Melihat beberapa foto Meisya dalam berbagai pose.
Mengapa aku menyimpannya,  mengapa ada keinginan selalu melihatnya. Apa karena wajahnya mirip Freya? Tidak mungkin aku menyukainya. Pikiran Edwin melayang entah kemana.

Ditatapnya lagi wajah ceria Meisya saat tertawa di butik, saat duduk di depan kamarnya. Huuufff Edwin menghembuskan napas dengan berat. Merebahkan badannya dan meletakkan ponsel di dadanya. Tak terasa Edwin tertidur.

Edwina hendak menutup pintu kamar tamu saat dilihatnya ponsel Edwin ada di dadanya,  kawatir ponsel adiknya jatuh,  ia ambil dan saat dibalik dan akan dikembalikan ke menu awal ia melihat ada foto perempuan dengan wajah mirip Freya, dipandanginya foto itu lama, sekali lagi Edwina meyakinkan dirinya bahwa itu orang lain berwajah mirip Freya.
Akhirnya ia meletakkan lagi ponsel adiknya di meja dalam kamar itu.

Edwina hanya berpikir,  siapa gadis itu, gadis berwajah mirip Freya.
***

"Kak kalo urusan perusahaan selesai hari ini aku langsung kembali ke Indonesia," ujar Edwin. Edwina kaget.
"Lah katanya sampe besok,  jalan-jalanlah dulu di sini, ato ada yang kamu rindukan di Indonesia?" tanya Edwina menahan senyum.
"Ah nggak ada kak," jawab Edwin pelan.
***

Sore hari Edwin memutuskan kembali ke Indonesia karena semua permasalahan sudah menemukan titik terang.
***

Saat sedang sibuk di butik sore hari ponsel bu Minda berbunyi, setelah dilihat ternyata dari Edwina.

"Ya sayang"
"Edwin pulang dah ma"
"Oh yaa?  Katanya sampe besok tuh anak"
"Eh ma, Edwin punya cewek ya?"
"Nggak, emang kenapa?"
"Loh di ponselnya ada foto cewek miriip banget wajah Freya, aku pikir itu cewek Ed yang baru, aku pikir dia sudah moveon"
"Kok kamu tahu di ponsel Ed ada foto Mei?"
"Mei? Mei siapa ma?"
"Meisya sekretaris mama yang baru, aku ajak ke rumah Wina,  dia anak yatim piatu, Ed selalu memusuhinya, mengajaknya bertengkar tanpa sebab, eh mama nanya lagi kamu kok tahu di ponsel Ed ada foto Mei?"
"Tadi malam dia ketiduran hpnya ada di dadanya, aku ambil ma takut jatuh eh pas aku liat kok ada foto itu, jangan-jangan Ed suka sama tuh anak, cuma gaya aja dia sok gengsi aja"
"Nggak taulah, kalo kamu liat wajah Ed pas mandang Meisya,  ih kayak musuhan bener Wina"
"Yaudah ma ntar lagi ya, nih anak-anak baru pulang sekolah"
***

Jam 6 petang bu Minda dan Meisya baru memasuki rumah dan segera menuju kamar masing-masing.

Saat melewati kamar bik Sum,  Meisya melongokkan wajahnya dan berkata pelan.

"Bik, orang itu besok dah datang ya, ih males deh."

Bik Sum tertawa renyah.
***

Meisya merebahkan badannya di kasur, tiba-tiba ada keinginan berenang, ah nggak papa masih jam tujuh ini, tidak terlalu malam,  pikir Meisya.
***

"Ma aku pulang," panggil Edwin lirih ke telinga mamanya yang sedang tiduran di kasur.
"Eh dah nyampe, sayang,  istirahat dulu gih mandi sana," ujar bu Minda pada Edwin.

Segera Edwin naik ke kamarnya dan menutup pintu,  di bukanya kemeja dan celana jeansnya, hanya menyisakan boxer dan menuju jendela karena ia mendengar kecipak air di kolam renang. Di bukanya jendela dan disingkapnya tirai lebar-lebar.
Ia melihat Meisya yang berenang dengan lincah, berhenti dipinggir kolam dan naik, menyudahi berenangnya lalu duduk dan kakinya memainkan air di kolam renang.
Anak yang aneh, mengapa tidak segera masuk, nanti sakit lagi pikir Edwin.

Meisya merasakan ada melihatnya, masak makhluk aneh itu sudah datang, bukankah masih besok pikirnya, ia ngeri membayangkan dirinya yang berbaju renang dilihat oleh makhluk manis nan mengerikan itu, pelan tapi pasti ia dongakkan kepalanya ke atas, ke arah jendela kamar Edwin dan menemukan sosok Edwin yang bertelanjang dada.

Seketika Meisya bangun dari duduknya dan segera masuk ke kamarnya. Ia sandarkan kepalanya pada pintu,  memegang dadanya dan menggeleng pelan.

"Iiiih kenapa juga keburu pulang, kenapa nggak seminggu ato sebulan sih dewa cintaku nan manis namun menjengkelkan, heh sejuta topan badai deh buat dirimu," terdengar Meisya ngomel-ngomel sendiri.
***

"Bik Sum, Meisya nggak makan malam ya?" tanya bu Minda.
"Kayaknya non Mei masih berenang," jawab bik Sum.
"Suru segera brenti bik,  takut masuk angin," ujar bu Minda lagi.

Tak lama Edwin duduk di meja makan dan mulai menikmati makan malamnya.

Dengan pelan dan menunduk,  Meisya menarik kursi dan duduk.

"Makanlah Mei, aduh kamu awas masuk angin ya,  berenang malam-malam," ujar bu Minda. Mei hanya tersenyum dan mulai makan. Mei menyibak rambut panjangnya yang basah.

Gerakan Mei membuat mata Edwin mau tidak mau memandangnya agak lama.

"Nambah lagi Ed?" tanya mama dan membuat Edwin tersentak.
"Ah nggak ma, cukup, aku mau istirahat, kayaknya capek banget," sahut Edwin mengakhiri makannya dan menghabiskan air minumnya.

Edwin melangkan menuju kamarnya di lantai dua. Sementara Meisya membersihkan meja makan dan membawa piring kotor ke dapur.
***

Sesampainya di kamar, Edwin mulai merebahkan badannya dan memejamkan matanya,  bayangan Meisya dengan rambut basahnya membuat Edwin mengerang perlahan dan menggeleng pelan.
Jangan sampai aku menyukainya, jangan, aku hanya terbawa suasana, karena wajahnya yang mirip Freya, pikir Edwin perlahan.
***

Pagi saat sarapan, Edwin tidak menemukan siapapun, ia sarapan sendiri. Mama masih asyik dengan segala macam dokumen di kamarnya. Edwin masuk dan mencium kening mama.

Dalam perjalanan menuju kantor pikiran Edwin mengembara entah kemana.
***

Menjelang malam Edwin baru sampai di rumah lalu masuk ke kamarnya dan segera membuka tirai jendela,  melihat ke kamar Meisya, tetap terkunci rapat, kemana kamu Mei, pikir Edwin, ah mengapa aku mencarinya, bukankah lebih baik begini, tapi mengapa ada yang kosong di hatiku, kembali pikiran Edwin melayang entah ke mana.
Ingin ia bertanya pada mama,  tapi Edwin merasa tidak enak.
Akhirnya ia turun, menuju ke dapur dan menemukan bik Sum yang masih menata sayur-sayur segar di dalam kulkas.

"Sudah malam bik, kok belum tidur?" tanya Edwin.
"Lah den Edwin juga ngapain ke dapur?" bik Sum bertanya balik.
"Pingin cari makanan aja bik," jawab Edwin.
"Bik kemana tuh bocah?" tanya Edwin.
"Hah bocah, non Mei?" tanya bik Sum, Edwin mengangguk.
"Mana bibi tau, taunya pagi dia berangkat, trus nggak balik sampe sekarang, tanya ke mama saja den Ed, pasti tahu," ujar bik Sum sambil senyam senyum.
"Ah nggak bik, ntar dikira ada apa nyari-nyari," ujar Edwin menggeleng pelan.
"Lah kan ya memang nyari non Mei, den Ed kan?" tanya bik Sum tertawa. Dan Edwin tersenyum sambil meninggalkan bi Sum di dapur.

Edwin melangkah menuju kamarnya, saat hendak akan berbelok entah mengapa kakinya melangkah lurus ke kamar Meisya.

Di dorongnya pelan pintu kamar Mei, dan terbuka sedikit demi sedikit. Diedarkannya pandangan mengelilingi kamar Mei, ini kali kedua ia masuk kamar ini.

Ada buku kecil berwarna pink di meja. Ia buka perlahan. Edwin tersenyum saat membaca catatan harian Mei,  ada namanya di situ. Anak nakal pikir Edwin. Dengan cepat ia tutup dan keluar dari kamar Mei dengan langkah ringan.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER