Cerita bersambung
Oleh : Indra Wahyuni
"Keluaaaar kau dari kamarku, siapa yang menyuruhmu, tidak ada yang lancang masuk kamar ini tanpa ijinku," mata Edwin menyiratkan kemarahan yang amat sangat.
Meisya kaget mendengar suara yang tiba-tiba menggelegar di belakangnya. Seketika ia menunduk ketakutan.
"Ibu Minda yang menyuruh saya meletakkan baju kakak ke kamar ini, sayaa, sayaaa...," Meisya sangat ketakutan.
"Ada apa Edwiiiin teriakanmu sampai terdengar keras ke bawah," tiba-tiba mama muncul di kamar Edwin.
"Siapa dia ma, berani-beraninya masuk ke kamarku?" tanya Edwin tak suka. Mama menghela napas.
"Kalo mama salah, mama minta maaf, mama yang nyuruh Meisya meletakkan baju-bajumu, bik Sum sedang sakit, sudah selesai marahnya, ayo Meisya ikut ibu, heh gitu aja sampek bikin mama jantungan," mama menyeret tangan Meisya ke luar dari kamar Edwin. Meisya mengekor ibu Minda. Turun ke ruang makan.
Edwin memegang dadanya perlahan, menyandarkan kepalanya ke dinding kamar. Melangkah pelan ke lemari kecil mengambil foto dan mendesis pelan.
"Mengapa setelah lima tahun kamu muncul lagi, kau mau menyiksaku?" desis Edwin perlahan. Matanya berkaca-kaca meletakkan foto itu dalam lipatan buku yang sudah lusuh.
Perlahan Edwin membuka jasnya, kemejanya dan tidur terlentang. Dia tidak salah, tidak salah, yang salah mengapa dia punya wajah yang mirip, aku benci jika ada yang mirip dengan Freya, pikiran Edwin berjalan tak tentu arah.
"Edwiiin, turunlah, kita makan sayang, sudahan dong ngambeknya,"suara mama terdengar memohon.
"Ya bentar,"suara berat Edwin menjawab panggilan mama.
Kaki Edwin mendadak kaku saat di meja makan, ikut duduk perempuan yang tadi masuk secara tidak sopan ke kamarnya. Ia mendengus perlahan.
Dengan kaku dan wajah dingin Edwin mengabaikan perempuan itu.
"Nih makanlah soto kesukaanmu," ujar mama menyodorkan piring pada Edwin.
Sejenak raut wajah Edwin berubah, ia cicipi perlahan dan mengangguk pelan.
"Enak ma, beli ya, kok nggak kayak masakan bik Sum?" tanya Edwin makan dengan lahap.
"Hmmm mama yang masak dong," ujar mama bangga dan Edwin menggeleng dengan keras.
"Nggak mungkin, mama lebih pandai nyicipi dari pada masak," ujar Edwin menyudahi makannya dan tanpa menoleh dia berjalan menuju kamarnya lagi.
"Sisakan untuk besok ma, aku ingin sarapan soto itu lagi," pinta Edwin
"Ibuuu saya takut, saya balik ke kosan saya saja ya, kak Edwin mengerikan," suara Meisya terdengar mencicit.
"Nggak kamu tetap di sini, sudah ibu siapkan kamar dekat taman belakang, besok ibu minta susun jadwal untuk ibu, terutama untuk butik, salon dan spa, nggak usah mikir Edwin, ngerti," bu Minda berkata penuh penekanan.
Dan Meisya hanya bisa mengangguk pasrah, ia hanya sekretaris baru di butik bu Minda.
Meisya duduk menghadap taman saat malam semakin larut. Ia hanya berpikir mengapa ia menerima tawaran bu Minda untuk tinggal di sini, di rumahnya, jika ternyata ada monster sakit jiwa juga ada di sini.
Tak lama ia mendengar langkah, cepat-cepat Meisya masuk ke kamarnya dan mengunci dengan cepat.
Dari balik tirai ia melihat Edwin yang ternyata akan berenang, malam-malam, bener-bener nggak waras nih orang pikir Meisya.
Tapi ia segera menelan ludahnya saat melihat badan tegap Edwin dengan badannya yang liat, banyak roti sobek di badannya, dan aih matanya mendadak juling saat melihat Edwin membuka handuk dan hanya menggunakan celana dalam. Wak wau apaan tuh gundukan segitunye.
Cepat-cepat ia getok kepalanya dengan keras agar otak warasnya kembali bertengger.
Dan byuuurr Edwin mulai berenang dengan lihai. Meisya menutup tirai dengan rapat agar tidak ada keinginan melihat lagi Edwin yang sedang berenang.
Cepat-cepat Meisya masuk ke dalam selimut dan bergelung di dalamnya.
Oh mama papa yang ada di surga, lindungilah tatapan mataku dari godaan roti sobek Edwin yang sedang berenang, pinta Meisya sebelum tidur karena otak tak warasnya tetap menyuruhnya mengintip Edwin yang masih terdengar berenang.
***
Pagi mereka bertemu lagi di ruang makan, hanya berdua dan tanpa bicara. Setelah selesai Edwin segera mencari mama ke kamar dan mencium pipi mama.
Terdengar mobil Edwin yang keluar dari halaman.
"Meisya, hari ini ibu minta siapkan jadwal ibu ya, dan ikut ke mana saja ibu pergi," ucap bu Minda yang masih menggunakan baju tidur. Meisya menangguk patuh.
"Hmmmm tadi kamu sarapan sama Edwin?" tanya bu Minda. Meisya menangguk.
"Dia ngomong apa saja?" tanyanya lagi, dan Meisya menggeleng.
"Dia memang begitu, kalo belum kenal, dia sangat irit bicara, dia anak baik kok Meisya," Ibu Minda menghibur Meisya.
***
Malam hari Edwin mendatangi kamar mamanya, mengetuk pelan dan ada sahutan dari dalam.
"Tumben sayang, ada apa?" tanya mama.
"Kenapa mama membawa perempuan itu ke sini?" tanya Edwin hati-hati.
"Apa mama salah jika membawa skretaris mama yang kebetulan yatim piatu.ke rumah ini?" mama balik bertanya.
"Tidak salah mama, tapi mama secara tidak sadar telah menyakitiku, mama lihat wajahnya mirip Freya kan?" Edwin berusaha meyakinkan mamanya.
"Menyakitimu, kamu yamg menyakiti diri sendiri, kematian Freya adalah cara terindah Tuhan untuk membebaskan dia dari kanker otak, apa kamu tidak melihat bagaimana dia kesakitan, dan saat operasi tidak berhasil, itu cara Tuhan agar dia terbebas dari rasa sakit, kamu mama sekolahkan sampai ke luar negeri agar bijak dan luas pengetahuanmu dalam memandang masalah, lalu apakah Meisya salah jika punya wajah mirip Freya dan tinggal di sini, kalo kamu tidak suka, acuhkan saja, Meisya tidak minta wajah yang sama dengan Freya pada Tuhan, jadi jangan salahkan Meisya atau bahkan Tuhan, jika kamu merasa tersakiti," ujar mama panjang lebar.
Edwin melangkah ke kamarnya dengan langkah lebar, ia benar-benar kesal, mamanya telah menohok dadanya. Edwin sadar jika Meisya tidak salah, tapi kehadirannya di rumah ini sangat mengganggunya.
Edwin berusaha memejamkan matanya, namun tidak bisa, ia bangun dan melangkahkan kakinya ke dapur mencari makanan di kulkas.
Di dapur ia hampir berpapasan dengan Meisya yang menyeduh susu hangat, seketika Meisya mundur dan mencari jalan lain agar tidak berpapasan.
Edwin menghembuskan napas dengan kasar, ah mengapa mereka sama-sama menyukai minum susu hangat sebelum tidur. Edwin benci dengan keadaan ini. Lima tahun Freya, mengapa setelah lima tahun seperti ini, pikir Edwin lagi.
***
Huuhhhffff ... Meisya menghembuskan napasnya. Mengapa monters itu ganteng ya Tuhan.
Seandainya dia ramah, mau rasanya bermanja-manja di dadanya yang bidang dan mencium rahangnya yang kokoh.
Pikiran Meisya ke mana-mana dan kembali ia getok kepalanya, mengembalikan otaknya yang makin miring.
***
Pagi-pagi Edwin seperti orang bingung saat akan sarapan. Meisya memahami bahwa Edwin akan sarapan, ditatanya makanan dan piring disodorkan pada Edwin.
Edwin menyendokkan nasi dan mengambil kuah yang mirip soto, ia menyendokkan ke piringnya.
Menyuapi mulutnya dan ia merasa panas di mulutnya, Edwin memegang dadanya, sesak dan tersungkur di meja. Terdengar jeritan Meisya.
"Kaaak kak Edwin...ibu Mindaaa kenapa kak Edwin," Meisya panik dan bu Minda tergopoh-gopoh.
"Kenapa Edwin, Meisya kenapa?" tanya bu Minda.
"Nggak tau ibu tadi dia makan sop yang saya masak ternyata dia seperti orang sesak dan jatuh tersungkur," Meisya jadi takut dan panik.
"Kamu masak apa Meisya?" tanya bu Minda.
"Sop merah yang pedas ibu," jawab Meisya.
"Ayo bantu ibu ngangkat badan Edwin ke kamar ibu, bentar lagi akan ibu telpon dokter Zaki," bu Minda dan Meisya agak sulit membawa badan Edwin yang tinggi.
"Dia nggak bisa makan pedas Meisya, dia kayak alergi gitu, jadi sesak kalo makan makanan pedas," bu Minda menjelaskan saat saat Edwin sudah di kamar bu Minda.
Dokter Zaki datang dan memeriksa Edwin. Ia menulis resep dan memberikan pada bu Minda. Meisya segera berlalu untuk membeli obat.
"Bentar lagi juga sadar kok Mei, nggak usah kawatir, Edwin mesti begini reaksi badannya jika kena masakan yang sangat pedas," ujar bu Minda sambil mengelus kepala Edwin, begitu Meisya datang dari apotek.
***
Malam, saat Meisya akan memberikan catatan penting pada bu Minda, tiba-tiba pintu kamarnya ada yang mengetuk. Dengan cepat Meisya membuka dan menemukan wajah dingin menjulang.
"Kau mau membunuhku?" tanyanya tanpa senyum. Sumpah dalam hati Meisya ingin menggigit bibir manusia sakit jiwa didepannya.
Meisya mengerti maksud Edwin.
"Kalo aku memang mau membunuhmu, akan aku lakukan sejak hari pertama aku di sini," ucap Meisya tak kalah dingin, ia sampai mendongakkan kepalanya karena badan Edwin yang menjulang.
"Pergilah dari rumahku, aku akan memberi uang berapapun kamu mau," ucapan Edwin terdengar seperti tamparan di pipi Meisya.
"Seandainya aku tidak menghormati mamamu, aku akan ke luar dari rumah ini malam ini juga, tapi aku bukan orang yang tidak tahu balas budi, akan aku kembalikan dulu semua biaya yang telah mamamu keluarkan untukku baru aku akan ke luar dari sini, tanpa kamu minta, dan penawaranmu tentang uang heh, terima kasih, aku tidak biasa menjual diriku, demi segepok uang, meski aku miskin, permisi, aku ada urusan dengan bu Minda," ujar Meisya memalingkan wajahnya dari Edwin.
Edwin terpaku di tempatnya berdiri, dan kebenciannya pada gadis itu semakin menjadi.
***
Saat sarapan, Edwin jadi berhati-hati. "Tidak ada racun lagi kan ma?" tanya Edwin pada mamanya. Bu Minda tertawa sedang Meisya melirik judes pada Edwin.
"Mana soto yang enak kapan hari itu ma?" tanya Edwin lagi.
"Suruh Meisya bikin, kan dia yang masak," ujar mama.
Edwin jadi serba salah, ia merasa menyesal telah mengatakan soto yang enak.
"Sudahlah, makanlah rawon itu, enak kok sayang," mama mengupaskan telur asin dan memberikan kerupuk pada Edwin. Edwin mengangguk puas.
"Hmmm lumayan ma, kapan belinya nih rawon?" tanya Edwin pada mama. "Semalam Meisya bikin, mama yang nyuruh," ucap mama dan membuat Edwin terbatuk.
"Emang bi Sum kemana ma, apa brenti permanen?" tanya Edwin.
"Nggak taulah, katanya akan diganti anaknya, si Sholeh untuk bersih-bersih tapi kan mama bingung siapa yang masakin, untung Meisya pinter masak," puji mama pada Meisya.
"Besok masak soto ya Mei," pinta bu Minda.
"Baik bu," sahut Meisya patuh.
***
Malam hari terlihat Meisya mulai masak soto untuk dimakan besok, harum bumbu soto tercium dari kamar Edwin.
Edwin semakin benci pada Meisya karena ternyata ia bisa memasak makanan kesukaannya dan Edwin tidak mau Meisya melihat itu.
***
Malam hari Edwin terbangun, ia menuju dapur dan melihat panci yang terutup rapat, dibukanya dan aroma soto menguar ke segala arah membuat perut Edwin keroncongan, jadilah ia makan soto malam-malam saat semuanya tidur.
Namun Edwin tidak menyadari sosok Meisya yang berjalan berjinjit balik ke kamarnya saat ia akan mengambil air minum di kulkas. Meisya tersenyum mengetahui Edwin bangun malam-malam sambil makan soto.
***
Meisya akhirnya akan menunggu Edwin kembali ke kamarnya, baru akan ke dapur.
Edwin merasa badannya berkeringat setelah makan soto sampai nambah dua kali, ia membuka kaosnya dan melangkah menuju kamarnya, namun dibelokan dapur tiba-tiba bruuuukkkk.. Meisya hampir terpelanting seandainya tangan Edwin tidak memegangi tangan Mei dan cepat dilepaskan oleh Edwin yang memandangnya dengan dingin.
"Sengaja ya?" bentak Edwin pada Meisya. Mei terbelalak.
"Gila apa sengaja nabrak orang keringeten, kecut tau, heh nuduh aja bisanya," Meisya balas membentak dan berlalu dari hadapan Edwin.
Saat Meisya membuka kulkas, ah pikirannya melayang membayangkan tubuh Edwin yang tadi ia tubruk bertelanjang dada. Ya Tuhan pingin banget aku gigit-gigit tuh perut kotak-kotak seandainya ia bukan monster dari kutub, pikir Meisya yang kemudian tangannya memukul kepalanya agak keras. Lalu menggeleng perlahan dan masuk ke kamarnya.
==========
“Ma boleh aku tinggal di apartemen aja?" tanya Edwin tiba-tiba sesaat setelah masuk ke kamar mamanya. Mama mengangkat wajahnya dari tumpukan catatan dan membuka kacamatanya.
"Mama dan Meisya yang akan ke luar dari rumah ini jika kamu merasa Meisya sebagai gangguan, setelah papa kamu meninggal, mama pikir kamu akan berubah dewasa, ternyata pikiran mama salah, besok mama dan Meisya akan pergi dari sini," jawab mama ketus.
Edwin kaget dan memegang tangan mama.
"Ja jangan, mama jangan ke luar dari rumah ini, maksudku bukan itu mama, sudahlah kita sudahi pembicaraan ini," Edwin berlalu dan wajahnya semakin kesal.
Melangkah lebar menuju kamarnya dan segera berganti baju, menggunakan kaos dan celana jeansnya.
"Edwin ke luar dulu ma," Edwin pamit pada mamanya dan segera melaju dengan mobilnya.
Sesampainya di sebuah cafe ia segera bergabung dengan teman-temannya semasa kuliah di Singapura. Teman-temannya membawa istri dan anak-anak mereka.
"Mau sampai kapan kamu sendiri terus Ed, apa perlu kami carikan?" tanya Jefry yang disambut dengan tawa teman-temannya.
"Bentar lagi, bentar lagi aku tunjukkan siapa pasanganku," ujar Edwin tergelak.
"Bentar lagi terus, masa orang setampan dan sekaya kamu nggak ada yang mau Ed, aku aja duluuu sebenarnya mau, tapi kamu dah punya pacar, kalo sekarang mah ogah, ini dah ada arjunaku yang tampan," Dan Syania bergelayut manja pada suaminya, kembali mereka tertawa. Selalu begini tiap pertemuan dua bulanan dengan teman-teman kuliahnya.
Sesaat Edwin mengalihkan tatapannya pada area cafe dan tersentak saat pandangannya bertemu dengan Meisya, dan keduanya membuang muka.
Ngapain dia di sini, pikir Edwin. Diliriknya lagi ternyata ia bersama dengan teman-temannya juga.
Malam makin larut, tiba-tiba ponsel Edwin berbunyi. Panggilan dari mama.
"Ada di mana kamu sayang"
"Di mall mama, makan-makan sama teman-teman"
"Mama, minta tolong, ini hujan deras Ed, jemput Meisya ya dia juga ada di mall yang sama denganmu"
"Dia kan bisa naik taxi atau grab mama"
"Mama tidak mau tau, bawa dia pulang titik"
"Maaa"
Dan sambungan telpon dimatikan, huh bikin repot saja, pikir Edwin. Ia segera pamit pada teman-temannya akan pulang duluan dan mendatangi Meisya di meja lain.
"Pulang," ujarnya dingin. Meisya kaget.
"Siapa yang mau pulang?" tanya Meisya balik dengan sewot. Ditariknya tangan Meisya dan diseret ke luar dari cafe.
"Kalo bukan karena mama yang nyuruh, aku nggak akan sudi ngajak kamu pulang," jawan Edwin tanpa melihat Meisya yang dari tadi berusaha memberontak.
"Aku bisa pulang sendiri," teriak Meisya. Edwin balik melotot.
"Aku juga tidak mau ngajak kamu, cuma aku nggak mau mama jantungnya kumat kalo aku nolak permintaannya," jawab Edwin sambil mendorong Meisya terduduk di jok depan.
Edwin melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Selama perjalanan mereka tidak bicara.
Sampai akhirnya mereka sampai dan Meisya segera turun
"Makasih," ujarnya singkat dan segera berlalu. Edwin mendengus kesal, ia pukul gagang setirnya.
Mengapa mereka persis ya Tuhan, pikirnya sambil menyentuhkan keningnya pada gagang setir.
***
"Mama akan ke Singapura beberapa hari ya Ed, mama kangen sama kakakmu, dan anak-anaknya, nggak lama paling tiga hari dan mulai hari ini bik Sum sudah masuk kok, titip Meisya ya Ed," mama mencium pipi Edwin dan melangkah pergi. Edwin bangun dari tidurnya dan melihat jam.
Sepagi ini mama sudah ke bandara pikirnya.
Terdengar mobil ke luar halaman, sopir mengantar mama sangat pagi, ada urusan apa mama sampai sepagi ini sudah harus berangkat, kalo cuma kangen pada kakak tidak akan sepagi ini, pikir Edwin.
Edwin melangkah ke dapur dan menemukan bik Sum di sana.
"Sehat bik, kangen banget Ed sama bik Sum," ucap Edwin sambil duduk di kursi makan dan mulai menyesap teh hangat bikinan bik Sum.
"Iya den sehat, namanya orang tua, penyakit dah macem-macem," ujar bik Sum tertawa renyah.
"Mau sarapan den, nih bibik bikinkan pecel lengkap, sambelnya nggak pedes, ada peyek, dendeng juga," bik Sum mulai menata di meja makan.
"Aku mandi aja dulu ya bik, setelah itu baru sarapan," ujar Edwin.
***
Edwin baru saja duduk di meja makan, saat bik Sum tergopoh-gopoh mendekatinya.
"Den tolongin den, tadi saya ke kamar non Mei karena dia belum bangun, saat saya dekati badannya paaanas den, bisa panggilin dokter nggak den?" ujar bik Sum terlihat kawatir.
"Nyusahin aja," desis bibir Edwin. Ia masuk dengan ragu ke kamar Meisya. Di edarkannya pandangan mengelilingi isi kamar Mei, yang dominan baby pink, dan berjajar foto Mei dalam berbagai pose riang.
Disentuhnya kening Mei, ah panas, apa karena kemarin aku seret-seret dia di tengah hujan deras, pikir Edwin, segera di telponnya dokter Zaki.1
Tak lama dokter datang dan memeriksa Meisya.
"Nggak papa kok Ed, mungkin masuk angin, tapi panasnya itu kok tinggi banget," ujar dokter Zaki.
"Siapa dia Ed, calon lo?" tanya dokter Zaki lagi.
"Bukan, sekretaris mama dia, Zak," jawab Edwin.
"Kalo nggak ada yang punya, embat aja Ed, sayanglah, ada barang bagus malah dianggurin," goda dokter Zaki sambil menaik turunkan alisnya.
"Nggak lah Zak, anak kecil gitu, dia baru lulus kuliah, masih 22 tahun, gue dah 31 tahun," jawab Edwin.
"Jarak usia yang bagus Ed, kemon ajalah, kalo lo nggak tertarik, berarti lo nggak waras," dokter Zaki terbahak sambil menepuk pundak Edwin dan pamit pulang setelah memberikan resep obat.
"Ini bik, minumkan ke Mei ya bik, aku berangkat dulu ke kantor, kalo bisa bungkusin nasi pecelnya bik, ntar aku makan di kantor," ujar Edwin pada bik Sum.
***
Malam baru turun saat Edwin melangkah masuk dan disambut bik Sum.
"Den, non Mei, kok nggak ada perkembangan bagus ya, masih lemes aja, tadi nyonya telpon, den Ed suru jagain katanya," ujar bik Sum terlihat kawatir.
Edwin hanya mengangguk dan naik ke kamarnya. Membuka jas dan dasinya. Lengan kemejanya ia lipat sesiku dan melangkah turun menuju kamar Meisya.
Ed buka perlahan dan tampak Meisya yang terlihat pucat. Ada rasa kawatir dalam hati Edwin, saat dilihatnya keringat memenuhi kening Meisya, disentuhnya kening Mei, Edwin kaget karena masih panas.
Edwin melangkah ke dapur, mengambil baskom ia isi air lalu mengambil washlap di kamar mama.
Dikompresnya kening Mei.
"Mama, mama....,"tiba-tiba Meisya mengigau, dadanya tiba-tiba terlihat seperti sesak dan menetes airmatanya.
"Mei..," tanpa sadar suara berat Edwin menyebut nama Meisya untuk pertama kalinya, ia guncang pelan bahu Meisya.
"Mamaaaa..jangan tinggalin Meiii..," suara pelan Mei diiringi tangisannya membuat luluh siapapun yang mendengarnya.
Edwin menggeser duduknya mendekati Mei. Rupanya Mei mengigau dan keringat semakin membasahi badannya.
Mata Mei bergerak-gerak dalam keadaan terpejam.
"Mei..," kembali Edwin membangunkan Mei yang semakin menjadi tangisnya dan bahunya bergerak dengan cepat, saat bangun mendadak Mei memeluk Edwin dan tangisnya pecah didada Edwin.
"Mama bohong, mama ninggalin Mei, mama lebih milih ikut papa, mama mama, Mei sendiri mamaaa," tangisan pilu Mei membuat Edwin tak sadar memeluk Mei, mendekapnya erat dalam dadanya.
Sejenak Edwin ikut terhanyut dan tanpa sadar mencium ujung kepala Mei.
Merasakan harum rambut Mei.
Sesaat Edwin tersentak dan merebahkan kembali Mei yang ternyata kembali tidur dengan pulas.
Edwin menggelengkan kepalanya dan berusaha kembali ke alam sadarnya.
Ke luar dari kamar Mei dan menyuruh bik Sum mengganti baju Mei yang basah karena keringat, agar Mei tidak semakin sakit.
Sesampainya di kamar, Edwin mengerang perlahan.
"Freya...freya.. pergilah, aku kembali memelukmu tadi.. merasakan harum rambutmu.. jangan kau tambah luka hatiku dengan keadaan seperti ini..," Edwin bergumam dengan suara pelan.
***
Terdengar ponsel Edwin berbunyi nyaring, ternyata mama menelpon.
"Gimana Meisya, sayang?"
"Sudah mendingan ma, panasnya dah mulai turun"
"Ah, syukurlah, jagain Mei, ya sayang, mama kayaknya seminggu deh di sini"
"Kok lama sih ma"
"Ya namanya ketemu cucu, kalo Mei mau ke butik mama, anterin ya sayang"
"Kan ada sopir mama"
"Jangan bantah kata-kata mama"
Dan mama menutup sambungan telponnya. 'Ah nyusahin aja', pikir Edwin.
Bersambung #2
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel