"Waaah kok sampek malem nyah baru nyampek rumah?" tanya bik Sum yang membukakan pintu rumah, Mei mengekor di belakang bu Minda.
"Heh biasalah biiik, delay dan delay, capek sampek kita yang nunggu ya Mei, sudah sana masuk kamar Mei, istirahat, dua bulan lagi perkuliahan dimulai, persiapkan semuanya ya sayang, seminggu sebelum perkuliahan mulai, nanti ibu antar ke Aussie lagi," ujar bu Minda dan Mei menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
Perjalanan yang melelahkan dari Australia ke Indonesia, agak lama nunggu di bandara karena delay.
Mei melangkah pelan ke kamarnya.
Ia kaget saat sampai di depan kamarnya karena pintunya agak terbuka sedikit.
Ia dorong perlahan, Mei melihat pemandangan yang membuat dadanya nyeri seketika.
Edwin tidur di kasurnya sambil memeluk jaket yang biasa ia pakai.
Mei buka sepatunya, ia letakkan di luar kamar dan melangkah pelan mendekati kasur.
Ia pandangi Edwin yang tidur nyenyak. Pelan Mei duduk di sisi Edwin yang tidur terlentang dan mendekap erat jaket merah miliknya.
Ah wajah tampan sempurna, siapa yang tidak akan jatuh cinta jika terus menerus berada di dekatnya. Telunjuk Mei pelan menyentuh bibir Ed yang agak terbuka. Menyentuhnya pelan sampai ke dagu, leher dan berhenti di dada Edwin.
"Sekarang kau yang membuatku merinding Mei," ucap Edwin pelan, namun sanggup membuat Mei terlonjak dan menahan malu. Ia mundur seketika.
"Aku akan sering ke Aussie menengokmu, ternyata anak teman mama yang kuliah di Aussie laki-laki kan Mei?" tanya Edwin dan Meisya mengangguk pelan.
"Lalu apa masalahnya kak, aku juga nggak gitu kenal, kemarin waktu ketemu juga cuman basa-basi aja," ujar Mei semakin memundurkan duduknya.
"Sudah malam kakak, sana masuk kamar gih, aku mau istirahat, capek bener, tadi delay pesawatnya, jadinya nunggu agak lama," ujar Mei lagi sambil memelas.
"Nggak boleh kalo kakak di sini, semalaaaam aja,"pinta Ed. Mei menggeleng dengan keras.
"Sejak aku menikmati ciuman kakak, aku jadi takut, aku takut sama diri aku sendiri, aku takut nggak bisa brenti," ucap Mei mengerjap cepat.
"Memang aku mau ngapain kamu sampe kamu nggak bisa brenti, Mei?" tanya Edwin menahan tawa.
"Ih kayak nggak ngerti aja, kayak di novel-novel itu, pegangan dulu, trus ciuman, trus grepe-grepe, trus buka-buka baju, nah kalo Meinya nggak kuat nahan trus mau digituin kan berabe," ujar Mei dengan polosnya mengatakan semua yang ada dalam pikirannya. Edwin tertawa sambil geleng-geleng kepala. Menarik Mei kepangkuannya dan memandang dari jarak dekat. Mei menjerit tertahan.
"Nah kan bener, kak kalo posisi gini hmm bener dah, untung aku pake celana jins, cuman kakak pake celana bahan kaos jadinya rada gimanaa nih eh kak ayo turunin aku, aduh kerasa nih gundukan kakak," ucap Mei yang bibirnya langsung ditutup dengan tangan besar Edwin.
Edwin kembali tertawa dan mencium kening Meisya.
"Aku akan sangat merindukan segala keluguanmu Mei," ujar Edwin dan mengangkat Mei kembali dan mendudukkannya di kasur.
"Iiiiih geli dah," ujar Mei sambil mengedikkan bahunya.
"Sana kaaaak ayo masuk kamar kakak, aku ngaaaantuk bangeeet aaah ini, besok aja kalo mau bobok sini, bawa kasur tipis, kakak tidur di bawah yah," ujar Mei berdiri dan menarik Edwin menuju pintu, akhirnya Edwin bangun dan memandang Mei lagi.
" Aku merindukanmu Mei, lima hari terasa lama," ujar Ed pelan.
"Iyaaa iyaaaa aku juga iyaaa bukan rindu, tapi ingat aja,"ucap Mei mendorong dada Edwin, melambaikan tangan dan mengunci pintu.
***
Di kamar bik Sum bu Minda mendadak membangunkannya.
"Bik, tadi aku ke kamar Ed kok nggak ada, nginep di mana dia?" tanya bu Minda kawatir.
"Hmmm ini nih ada cerita baru nyah, den Ed jadi sering tidur di kamar non Mei, sejak Non Mei berangkat sama nyonyah, haduh sudah saya bilangin, eh itu sekarang ada di kamar non Mei, biar dah paling rame tuh dua orang," ujar bik Sum sambil menahan kantuk.
Bu Minda menahan tawa, dan geleng-geleng kepala lalu ke luar dari kamar bik Sum.
***
Edwin masuk ke kamarnya dan merebahkan badan, berusaha memejamkan mata meski sulit. Besok hari minggu, ingin rasanya ngajak Mei jalan-jalan tapi gimana caranya minta ijin mama, Ed merasa sungkan dan tidak enak.
Lamunan Ed kemana-mana dan baru jam 3 dini hari bisa memejamkan matanya.
***
Jam 8 kamar Edwin diketuk bu Minda. Tidak ada sahutan, bu Minda masuk dan melihat kasur yang kosong, kemana tuh anak pikir bu Minda.
"Ada apa ma?" tanya Edwin yang baru keluar dari kamar mandi.
"Bisa minta tolong sayang, antar Mei ya beli beberapa baju, jaket, celana untuk dibawa ke Aussie, mama masih capek, mama kadung janji sama Mei, jam 10 mau antar Mei ke mall, mau sayang ya?" tanya bu Minda dan Edwin mengangguk dengan cepat.
Bu Minda mendatangi kamar Mei dan mengatakan bahwa jam 10 Edwin yang akan mengantar Mei ke mall, bu Minda memberikan credit cardnya pada Mei, yang diterima Mei dengan ragu.
"Pakailah, beli semua yang kamu butuhkan,"ujar bu Minda mengelus bahu Mei.
"Iya ibu terima kasih banyak,"ucap Mei pelan sambil menunduk.
***
"Titip Mei ya Ed, jangan diajak bertengkar, yang sabar nunggu Mei belanja yaaa," ucap mama melambaikan tangan pada keduanya saat mobil Ed hendak ke luar pagar.
"Mau kemana nih, Mei?" tanya Edwin.
"Terserah kakak, kata ibuk aku disuruh beli baju-baju buat kuliah, jaket, celana dan lain-lain, pilihin ya kak, aku kadang suka bingung," pinta Mei yang dijawab dengan anggukan dan senyuman Edwin.
Sampai di mall mereka memilih beberapa baju, sweeter, jaket tebal, dan celana panjang.
Tiba-tiba Edwin menarik tangan Mei ke sebuah gallery yang menjual cincin berlian. Memilih sebentuk cincin yang cantik dan menyematkannya ke jari Mei.
Mei terbelalak, rasanya begitu cepat kejadian ini berlangsung.
"Kakak?" ujar Mei dengan pandangan bingung.
"Pakailah, sebagai gantiku saat kau di Aussie sana," ujar Edwin memengang jari Mei dan melangkah ke luar dari gallery itu.
"Kita makan ya Mei?" ajak Edwin dan Mei mengangguk. Mereka duduk berhadapan, Mei merasa jengah juga Edwin memandanginya dari tadi.
"Kak, aku pindah ke sisi kakak saja ya, kakak mandangin aku terus, akunya jadi malu, bingung mau ngapain, ntar kalo makanan datang aku nggak bisa makan, malu mau bukak mulut," ujar Mei yang disambut oleh tawa tertahan dari Edwin.
"Meeei Mei masa sampe malu bukak mulut," Edwin tak bisa menahan tawanya, meski sudah ia tahan.
Edwin tergagap seketika saat tepukan keras mendarat di pundaknya.
"Apa kabar beruang kutub, wah sudah cair rupanya es di kutub, aku lihat dari tadi kamu bisa tertawa lebar," ucap dokter Zaki yang disambut tawa lebar Edwin dan keduanya bersalaman.
Mei tersenyum dan mengulurkan tangan pada Dokter Zaki serta wanita di sisinya yang terlihat menuntun anak berusia 3 tahun.
"Silakan lanjutkan, kami sudah makan, kami tinggal dulu ya," ujar dokter Zaki melangkah ke luar dan matanya yang mengedip ke arah Mei yang menunduk, Edwin terlihat mengepalkan tangannya.
Tak lama ada notif masuk ke ponsel Edwin, yang ternyata dari dokter Zaki.
'Benar-benar modus lo Ed, pura-pura sakit, nggak taunya perawatnya diembat juga'
'Otak lo rusak Zak, ini proses, aku baru menyadari kalo aku menyukainya setelah ia lima hari meninggalkan rumah'
'Heleh sok cuek lo 😂😂 nggak taunya mau juga, tapi btw selamat, aku tunggu lo ngantar undangan ke rumah'
Edwin tersenyum membaca pesan singkat dari sahabatnya dan meletakkan ponselnya saat makanan yang mereka pesan datang.
"Kakak kok senyum-senyum?" tanya Mei.
"Ini ada pesan singkat dari teman yang sakit jiwa," jawab Edwin mulai makan.
***
"Kemana saja sayaaang kok sampe malem baru pulang?" tanya bu Minda, Mei menatap Edwin dan Edwin terlihat menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Anu ma, tadi Ed ngajak Mei nonton, mumpung ada film bagus," jawab Edwin.
"Oh iya iya, coba mama lihat apa saja yang dibeli," ujar bu Minda mulai membongkar-bongkar bawaan Mei.
"Wah cantik-cantik Mei, kamu pinter milih," puji bu Minda.
"Kak Edwin yang milihin ibu, dan ini credit cardnya, nggak kepake, karena kak Ed yang belikan semua," ucap Mei pelan dan menatap Edwin dengan pandangan takut.
Bik Sum di dapur terdengar tertawa terkekeh.
"Oh yaaaa iya dah nggak papa, kakak yang baik, belikan adiknya macem-macem, iya dah sana bawa semua ke kamarmu Mei, heeei Ed bantu Mei bawakan ke kamarnya gih," bu Minda menahan senyum melihat Edwin yang salah tingkah.
***
"Mei kamu jangan terlalu jujur, jangan semua dibilangin ke mama, aduh aku jadi gimanaaa tadi,"ujar Ed kesal tapi jadi nggak tega liat wajah Mei yang menunduk pasrah.
"Maaf kak," ujar Mei pelan.
"Boleh aku masuk?" tanya Edwin. Dan Mei menggeleng.
"Nggak boleh, sudah malem, ntar dipangku lagi, kena itu lagi, kakak tambah mesum, nanti aku pengen beneran," ujar Mei menampakkan wajah kesal dan Edwin kembali menahan tawanya, lalu mengacak rambut Mei dan berlalu dari kamar Mei.
***
Waktu berlalu dengan cepat, tak terasa keberangkatan Meisya ke Australia tinggal seminggu.
Edwin terlihat gelisah, karena ia semakin merasa tidak siap berpisah dengan Meisya. Selama beberapa hari ini dicobanya untuk tidak ke kamar Mei, di meja makan ia coba tidak memandang Mei.
Ternyata dadanya semakin sakit, ia bahkan sering sulit tidur. Hanya membolak balikkan badannya dan tertidur jika lewat dini hari.
Bahkan beberapa hari terakhir Edwin menenggelamkan dirinya pada pekerjaan kantor dan pulang larut.
Begitu capek ia langsung tidur, dan pagi-pagi sekali ia sudah berangkat.
Sebenarnya ada tanya dalam hati Mei, tapi ia merasa ini lebih baik, sebelum ia benar-benar menyukai Ed akan lebih baik jika rasa itu ia bunuh sekalian.
Entah mengapa malam ini Mei merasa agak melow suasana hatinya, mungkin karena besok ia akan berangkat ke Australia, ia pandangi kamarnya, dan terduduk di kasur dengan dada sakit.
Di saat yang bersamaan pintu kamarnya terbuka dan tampak wajah lusuh Edwin, masih menggunakan jas lengkap berarti ia baru pulang dari kantor selarut ini.
Edwin melangkah pelan, mereka saling pandang tanpa bicara, jarak mereka semakin dekat.
Edwin dapat melihat mata Mei yang berkaca-kaca.
Sedetik kemudian mereka telah saling memeluk dengan erat.
Air mata Meisya mengalir deras, Edwin merasakan dadanya sakit yang teramat sangat, ia katupkan gerahamnya menahan air matanya agar tidak tumpah.
Air mata Mei membasahi dada Edwin. Lama mereka hanya saling memeluk.
Edwin mengusap rambut Mei pelan. Isakan lirih Mei membuat Edwin merasakan perih yang menjalar ke perutnya.
"Aku mencintaimu Mei," bisik Edwin lirih ke telinga Meisya. Sesaat isak Mei jadi pelan dan berkurang.
"Tidak, kakak tidak mencintai Mei, perasaan kakak seperti ini karena besok Mei akan berangkat, kakak hanya sedih saja," ucap Mei masih menyisakan tangis.
"Tidak Mei, seminggu ini kakak mencoba menjauh, yang kakak rasakan malah semakin sakit dada kakak, lalu mengapa Mei menangis?" tanya Edwin pelan.
"Nggak tau, Mei merasa bingung mengapa kakak menjauh, Mei cuma merasa sedih saja nggak akan ketemu kakak lagi, itu saja," ucap Mei menempelkan pipinya di dada Edwin.
Ditangkupnya pipi Mei dan dipandangnya dari jarak dekat oleh Edwin.
"Mungkin kamu mulai mencintai kakak Mei," ujar Ed pelan dan mencium bibir Mei lama, menggendongnya ke kasur dan menidurkan Mei di sana, Edwin membuka jasnya dan mencium leher Mei.
Mei merasakan sesuatu yang aneh menjalar ke seluruh tubuhnya, dan merasakan tangan Ed yang mulai menyentuh dadanya, Mei merasakan dinginnya tangan Ed, Mei mendorong badan kekar Ed yang entah kemana kemejanya. Sesaat kemudian Ed menatap Mei
"Aku akan berhenti jika kamu ingin aku berhenti Mei, atau akan aku lanjutkan," ucap Ed dengan suara parau.
"Berhenti kak, berhenti," ucap Mei lirih dengan wajah memerah. Ed membetulkan kaos Mei. Memakai kembali kemejanya dan mendekati Mei.
"Baik-baik di sana Mei, belajarlah dengan rajin, cepat selesaikan dan kita menikah, aku akan menengokmu bulan depan, maaf aku tidak akan mengantarmu ke bandara, karena saat kakimu melangkah mendekati pesawat, aku kawatir akan menarikmu kembali ke rumah, pakailah terus cincin dariku," ucap Edwin, mencium kening Mei dan melangkah menuju pintu.
Mei mengejar Ed dan memeluknya dari belakang.
"Terima kasih sudah menjagaku dengan baik, aku akan berusaha mencintai kakak, aku akan memastikan perasaanku pada kakak," ujar Mei lirih.
Edwin hanya diam, pandangannya tetap ke depan, karena ia kawatir jika ia menoleh, melihat Mei sekali lagi, ia tidak akan pernah ke luar dari kamar Mei.
Perlahan Mei melepaskan pelukannya dan Edwin melangkah tanpa bersuara menuju kamarnya.
Sesampainya di kamar, Ed segera masuk ke kamar mandi, menghidupkan shower dan membiarkan air dingin membasahi kepalanya. Ed menutup matanya membiarkan air dingin meluruhkan segala kegundahannya.
***
"Bik Suuuuum,.kemana Edwin yaaa aku mau pamit berangkat ngantar Mei, maksudku agar sekalian Mei pamit ke Ed," teriakan bu Minda di sambut oleh bik Sum yang datang tergopoh-gopoh.
"Den Ed sudah berangkat sejak pagi ke kantor nyah, wajahnya lusuh kayak capek," ucap bik Sum.
Bu Minda menatap Mei dan mengusap bahu Mei.
"Apa tadi malam Ed mendatangimu sayang?" tanya bu Minda. Mei mengangguk perlahan, ia tidak berani menatap bu Minda karena matanya yang sembab dan menyisakan air mata. Bu Minda menghela napas dan mulai mengerti alur ceritanya.
***
Mei melihat keluar jendela pesawat.
Selamat tinggal kakak, aku akan belajar mencintaimu dari jauh.
Pikiran Mei mengembara entah kemana, ia sadar saat bu Minda menyentuh tangannya.
"Kamu baik-baik saja sayang?" tanya bu Minda.
"Iya ibu," jawab Mei pelan. Bu Minda bisa melihat mata sembab Mei dan hidung Mei yang memerah. Bu Minda tersenyum dan memejamkan matanya.
***
"Akhirnyaaa kita sampai di apartemen ya Mei, kita istirahat Mei, eh buka dulu pintunya, passwordnya kan pake tanggal lahir kamu Mei, buka aja," pinta bu Minda. Disaat pintu terbuka, bu Minda melihat anak temannya yang lewat tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Gaviiin, sini sayang," bu Minda berteriak karena Gavin akan segera menghilang jika tidak di panggil.
"Eh tante, kapan datang?" tanya Gavin mencium tangan bu Minda dan tersenyum pada Mei.
" Ini barusaaan, mau kemana?" tanya bu Minda lagi.
"Ada perlu bentar ke toko tante, ada beberapa kebutuhan harian yang habis, biasalah tante, nyetok-nyetok?" ujar Gavin dengan ramah.
"Oh iya iya, tante masuk dulu ya?" bu Minda melangkah masuk ke apart Mei. Dan Gavin melangkah ke luar area apart mereka.
***
Mei dan bu Minda baru saja selesai makan saat ada notif masuk ke ponsel Mei.
Mei melihat ponselnya dan agak menjauh dari bu Minda.
"Sudah sampe sayang?"
"Yah"
"Lagi ngapain"
"Baru selesai makan, sama ibu"
"Aku kangen, paling dua minggu lagi aku ke Aussie"
"Duh janganlah kak, nggak enak ke ibu"
"Biarin, yang kangenkan aku, bukan mama, udah dulu ya, bai, love U 😘"
"Bai"
Bu Minda melihat Mei menjauh, sambil senyum-senyum dengan wajah cerah. Hmmm sampai kapan keduanya main kucing-kucingan sama aku, pikir bu Minda geleng-gelemg kepala.
"Istirahat dulu Mei, tiduran ato apa gitu, " ucap bu Minda pelan namun membuat Mei tersentak kaget karena masih asik dengan lamunannya.
"Eh iya iya ibu," jawab Mei dan melangkah menuju kamarnya.
***
Di kamar Mei menerawang lama, dan tersenyum mengingat kata sayang, dalam pesan pendek Edwin, heh apa-apaan tuh kakak panggil sayang.
Tak lama ada notif pesan masuk lagi, saat dilihat ternyata Edwin ngirim foto dirinya sendiri dalam berbagai pose, Meisya tertawa geli, karena di bawah foto ada tulisan kalo kamu kangen kakak, pandangi foto ini dulu, Mei merasa Edwin terlalu yakin jika ia akan merindukan Edwin, meskipun pada kenyataannya ia sering mengingat semua yang mereka lewatkan di kamar Mei.
Mei menghembuskan napas dengan berat, ia tidak menyangka Edwin yang awalnya dingin bisa memperlakukannya seperti itu, Mei juga tidak mengira jika reaksi tubuhnya yang hampir tidak menolak semua perlakuan Edwin, ia gelengkan perlahan kepalanya. Mencoba mengembalikan kesadarannya karen bulu kuduknya meremang mengingat perlakuan Edwin padanya. Bu Minda maafkan saya. Dan Mei tertidur dengan ponsel didadanya.
==========
"Nggak keluar den Ed?" tanya bik Sum yang melihat Edwin hanya duduk di kursi panjang berselonjor menghadap kolam renang.
"Nggak bik, males, hujan kayak gini mending di rumah, makan soto hangat buatan Mei, seandainya dia ada," ujar Ed dengan mendekap kedua tangan di dadanya, dan masih memandang kolam renang, ingatannya kembali pada Mei yang berenang dan memainkan kakinya pada air.
Edwin menyandarkan kepalanya, memejamkan matanya dan bergumam pelan apa yang kamu lakukan sekarang Mei.
"Deeen cepet bilang ke nyonyah kalo den Ed mau menikahi non Mei, heh keburu diambil orang loh," ucap bik Sum lagi sambil menata makan malam untuk Edwin.
"Gimana cara bilangnya bik?" tanya Edwin melangkah pelan mendekati bik Sum di ruang makan.
"Halah halaaah, ya langsung bilang saja des des des gitu den," tawa bik Sum terdengar renyah.3
"Des des des gimana?" tanya Edwin lagi.
"Haduh deeen, bilang langsung nggak usah bertele-tele, mah aku mau nikahi Mei setelah lulus kuliah ato bilang gini den, mah aku mau nikahi Mei bulan depan, nggak papa hubungan jarak jauh, yang penting tiap bulan berangkat ke mana itu ostrali ya den nah tiap bulan indehoi di sana," ucap bik Sum yang membuat Edwin mengerutkan keningnya.
"Indehoi, maksudnya bik?" tanya Ed lagi.
"Haduh gustiii anak jaman sekarang kok ndak tau indehoi, itu tuh den kalo sudah nikah kan bisa itu itu," bik Sum tersenyum menggoda sambil menaik turunkan alisnya dan Edwin tertawa lebar dan keras.
"Bik Suuuuum, bik Sum kok bisa sampe ke sana pikirannya," Edwin masih tertawa dan memegang dadanya.
"Eleeeh paling den Ed sudah tahu tipis-tipis tooo sama non Mei, bohooong kalo sering ke kamar non Mei tapi nggak kenapa-napa," ucap bik Sum sambil memberikan piring pada Edwin. Edwin diam saja.
"Titip non Mei ya den, dia anak baik, lugu, dia tau cerita, kalo dia nggak pernah pacaran karena berusaha belajar rajin agar tidak mengecewakan nyonyah, jangan diapa-apakan maksud saya non Meinya ya den," ucap bik Sum sambil menatap Edwin yang masih menatap piring kosong.
"Ayo makan den, nanti malah sakit, besok nyonyah sudah pulang, den Ed bisa tanya-tanya gimana non Mei di sana," ujar bik Sum melangkah ke dapur meninggalkan Ed sendiri.
"Biiik duduk sini, masak aku makan sendiri," teriak Ed sambil menyendokkan nasi. Bik Sum akhirnya balik lagi.
"Halah-halaaah manjanya, wong pantesnya sudah diladeni istri, ini malah masih sendiri," ujar bik Sum menarik kursi dan duduk di samping Ed.
***
"Mei besok ibu balik ke Indonesia, baik-baik di sini sayang ya," ujar bu Minda mengelus jari Mei. Dan terbelalak kaget.
"Ih cantik baaanget cincinnya sayang, kapan belinya, aduh manis banget, ibu jadi pingin," ujar bu Minda mendekatkan jari Mei ke wajahnya, seketika wajah Mei memerah.
"Eeemmm kalo ibu pingin, ini buat ibu," ucap Mei dengan wajah takut.
"Loh loh loooh ya nggak sayang, beli di mana nih cincin kok cantik banget?" tanya bu Minda dengan antusias.
"Aduh itu ibuu, ibu jangan marah ya, maaf ibu," Mei terbata-bata menarik-narik kaosnya perlahan.
"Mei apaan sih, kamu kayak ketakutan gitu ibu cuman nanyak, nggak dijawab juga nggak papa," bu Minda menahan senyum dan mulai mengerti.
"Maaf ibu, itu kak Ed yang belikan," ujar Mei menunduk dan menjawab dengan pelan.
"Meeeei Meiii," bu Minda duduk semakin mendekat, diusapnya bahu Mei.
"Ada apa antara kamu dan Edwin, sayaang?" tanya bu Minda pelan.
Mei menatap bu Minda dengan mata berkaca-kaca.
"Maafkan saya ibu kalau saya lancang," Mei mulai terisak.
"Ada apa sayang?" bu Minda jadi bingung.
"Saya nggak tau sejak kapan, yang jelas sejak kak Ed menjemput saya ke puncak, dia tidak pernah ngajak saya tengkar lagi, dia mulai berbicara lebih pelan, mulai sering ke kamar saya, tapi saya tidak merasakan apa-apa ibu, saya selalu menolak tiap kak Ed mulai menyentuh saya, tapiii tapi saat saya akan berangkat ke Aussie kak Ed kayak menjauh dari saya, saya sayaaaaa jadi sering mengingatnya ibu, dan sehari sebelum berangkat kak Ed bilang kalo dia mencintai saya, saya tidak menjanjikan apa-apa ibu, saya tidak ingin menjadi anak yang tidak tau diri, sudah di sekolahkan oleh ibu, masih serakah mau jadian sama kak Ed," air mata Mei mengalir deras dan bu Minda memeluknya dengan erat.
"Oh Mei Mei, kamu terlalu berhati-hati anakku, ibu tidak akan menghalangi jika itu memang takdir Tuhan," bu Minda mengelus punggung Mei perlahan.
Melepas pelukannya dan mengusap air mata Mei.
"Kamu menyukai Edwin juga sayang?" tanya bu Minda. Mei diam saja.
"Saya nggak tahu ibu, saya tidak bisa memastikan, cuma waktu saya akan berangkat ke Aussie, saya jadi sedih ninggalin kak Ed, maaf ibu," Mei kembali menunduk.
"Mei Mei, kamu sudah tau belum cerita Ed dengan Freya?" tanya bu Minda. Mei menggangguk.
"Ed yang cerita?" tanya bu Minda lagi.
"Bik Sum, ibu," jawab Mei.
"Oh yaaaa, hhmmm... sejak peristiwa itu, selama lima tahun dia tidak tertarik pada perempuan manapun, makanya ibu merasa heran banget dia bisa suka sama kamu, ibu pikir karena wajah kalian mirip, tapi kalo dipikir-pikir lagi justru Ed merasa terganggu karena wajah kalian mirip, tapi kayaknya lama-kelamaan dia tertarik sama kamu ya karena apa adanya kamu Mei, ibu tidak akan ikut campur urusan hati kalian Mei, kamu sampai ketakutan seperti itu pada ibu," ujar bu Minda menatap wajah Mei yang masih menyisakan air mata.
"Saya tidak ingin lancang menyukai putra ibu, saya hanya anak yatim piatu yang beruntung di sekolahkan ibu sampai seperti ini, makanya saat saya tiba-tiba merasakan ada hal tidak biasa di hati saya, saya merasa sangat bersalah pada ibu," ujar Mei menunduk dan mempermainkan jemarinya.
"Meiiii.. Meeei," bu Minda kembali memeluk Mei, bu Minda berpikir, Edwin beruntung bertemu dengan perempuan seperti Mei yang selalu berhati-hati melangkah.
"Tidurlah, besok ibu ke bandara jam tujuh pagi, baik-baik di sini, semua sudah ibu sediakan di kulkas jika kamu ingin memasak sendiri," bu Minda menepuk pipi Mei dan berdiri menuju kamarnya.
***
Mei mulai memasuki masa-masa perkuliahan, ternyata di kampusnya lumayan banyak mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan seperti dirinya, meski beda jurusan.
Mei mulai dekat dengan mahasiswa Indonesia asal Surabaya, yang bernama Mayang. Meski tidak satu jurusan, mereka satu lokasi apartemen.
Mereka sering terlihat bersama saat akan berangkat kuliah.
***
Hampir dua minggu Mei di Australia, Edwin sering menelpon, berkirim pesan singkat, kadang bervideo call dengan Mei. Seperti saat ini tiba-tiba panggilan video dari Edwin mengagetkan Mei.
"Apaan kak, aku baru selesai mandi"
"Iyah nggak usah bilang, kakak sudah tahu"
"Kok bisa?"
"Lah kamunya masih pakek tanktop gitu"
"Eh aduh, biar Mei pegang aja nih hp, nah gini aja, biar kelihatan mukak ku aja kak hihihi maaf"
"Meeei Mei untung video call sama kakak, kalo sama orang lain kan berabe, jadi keliatan semua"
"Eh nggak lah kak, aku nggak akan sembarang nerima panggilan video"
"Aku pengen segera ke Aussie Mei"
"...."
"Kok diem aja, boleh kan Mei"
"Trus ke ibu, kakak ntar bilangnya gimana"
"Ya mau bilang kalo kakak mau ke ngunjungi kamu"
"...."
"Diem lagiiii, kamu nggak kangen kakak, leh leh anak aneh malah jadi senyum senyum gitu, kangen nggak sama kakak, nggak kangen dicium ato dipangku kakak lagi"
"Ih kakak mulai deh mesumnya, nggak nggak, nanti Mei merinding lagi, nggak boleh kak, nanti nggak bisa berenti jadi ngeri"
"Hahahhah kamu lucu deh Mei, bilang nggak nggak tapi ya diem aja kalo kakak cium"
"Udah udah kak nggak usah dibahas Mei malu kak"
"Eh udahan ya Mei, mama manggil deh kayaknya"
"Iyah sana cepet"
"Bai Mei"
"Bai kak Ed"
Mei meletakkan ponsel dan menggunakan kaosnya, lalu ke dapur untuk memasak, masakan seadanya karena yang makan hanya dia sendiri.
***
Edwin membuka pintu kamarnya, terlihat wajah mama tersenyum lembut.
"Boleh mama masuk?" tanya bu Minda. Terlihat tangan Edwin yang perlahan menutup sebuah frame foto dan menindihnya dengan buku.
"Masuk aja ma, pakek ijin segala mama," ucap Edwin yang duduk di kursi sementara bu Minda duduk di sisi kasur.
"Eh itu apaan Ed kok ada travel bag kecil?" tanya bu Minda. Terlihat Edwin meneguk salivanya dengan gugup.
"Besok kan jumat ma, jam 1 siang setelah dari kantor, Ed akan langsung ke Aussie dan minggu sore Ed balik ke sini lagi," terlihat Ed yang gugup dan meremas tangannya sendiri. Bu Minda tersenyum lembut.
"Mau menemui Mei?" tanya bu Minda, Edwin mengangguk.
"Ada apa antara kamu dan Mei, sayang?" tanya bu Minda, meski ia tahu jawabannya, ia ingin memastikan sendiri jawabannya dari Edwin.
Terlihat Edwin yang menghembuskan napasnya dengan berat.
"Ed mencintai Mei, ma," jawab Edwin dengan suara khasnya yang berat.
"Sini, sini duduk dekat mama," tangan bu Minda menggapai Edwin, Ed mendekat dan duduk di samping bu Minda di sisi kasur.
"Kamu benar-benar mencintainya sebagai Meisya?" tanya bu Minda pelan dan memegang lengan Ed.
"Awalnya aku memang ragu pada perasaanku ma, tapi saat lima hari Mei ikut lokakarya di puncak, aku jadi benar-benar merasa kehilangan, perlahan dan pasti Mei mengisi tempat di hati Ed ma, seminggu sebelum Mei berangkat ke Aussie, aku berusaha menjauh, tapi yang ada malah rasa sakit di dada Ed, satu hari sebelum Mei berangkat, Ed bilang, kalo Ed mencintainya, tapi Mei kayak masih ragu ma," Ed bercerita sambil menopangkan lengannya pada paha dan meremas tangannya sendiri.
"Kau sudah sangat dewasa dalam hal usia dan sikap sayang, artinya semua yang akan kamu lakukan pasti di pikir dengan matang, yakinkan Mei dengan sikapmu, agar dia yakin bahwa kamu mencintainya sebagai Meisya," bu Minda mengusap lengan kokoh Ed.
***
Menjelang malam Edwin baru sampai di apartemen Mei, dicocokkannya nomor apartemen Mei, ah ya benar, pikir Ed. Ia pencet password kamar sesuai tanggal lahir Mei, ini nih info dari mama, dan terbuka otomatis pintu apart Meisya.
Dilangkahkan kakinya pelan tanpa bunyi.
Edwin membuka sepatu dan meletakkan travel bag di ruang tamu, ia buka jaketnya dan diletakkan di atas travel bagnya.
Ed mencari Mei, kemana tuh anak, ealaaah tidur sama bukunya, dasar bocah, buku berserakan di mana-mana. Mana bajunya ya ampun, bikin Edwin seneng aja. Adu duuuuh tanktopnya sudah nggak bener, sampek perut keliatan semua, celana pendek yang pendek banget, namanya aja celana pendek heleh. Edwin hanya geleng-geleng kepala melihat model tidur Mei, ia tepuk pelan pipi Mei. Mei menggeliat-geliat.
"Eh sapa sih, lagi enak-enak tidur," ujar Mei membuka perlahan matanya dan mengerjab pelan, ia gosok-gosok matanya dan...
"Kak Eeeed, senengnyaaaa kakak datang," Mei sontak bangun dan memeluk Edwin dengan erat.
Edwin tersenyum sambil mencium ujung kepala Mei. Dan tak lama tubuh Ed menegang karena pelukan Mei yang erat membuat Ed merasakan langsung gesekan badan mereka, karena Mei yang hanya menggunakan tanktop tanpa apapun di dalamnya.
"Mau sampe kapan meluk kakak, dengan baju kayak gitu, ntar kakak pangku lagi, ngamuk lagi," ucap Edwin sambil mengusap bahu Mei.
Mei kaget dan melihat penampilannya yang mengerikan.
"Eh iya hihi bentar ya kak, Mei pake baju yang benar, namanya aja sendiri ya bebas mau ngapain kak, kakak juga nggak bilang kalo mau ke sini, kakak ke luar dulu, Mei mau pake...anu..itu daleman yang bener... sana gih keluar dulu," Mei mendorong badan Ed ke luar kamarnya.
Ed segera memasukkan travel bag ke kamar satunya, ia membuka celananya serta kaos lengan panjangnya, dan hanya menggunakan kaos rumah serta celana pendek.
Terdengar pintu kamar Mei yang dibuka. Dan Ed melihat Mei yang sudah menggunakan kaosnya dengan benar.
"Makan yok kak, ini aku baru masak, cuman ya seadanya aja," ujar Mei sambil menata makanan dan piring. Ed duduk di ruang makan sambil mengamati Mei yang cekatan menyiapkan makan malam, melihat wajah Mei rasanya sudah kenyang tanpa harus makan.
"Kak jangan liatin aku terus, akunya grogi, ntar pada jatoh nih benda yang aku pegang," rengek Mei yang mulai mengambilkan makanan untuk Ed.
Edwin tertawa dan mulai makan dengan pelan, masih menatap Mei yang mengunyah dengan cepat.
"Ngapain kamu makan sampe kayak gitu?" tanya Ed masih tertawa, Mei mencibirkan bibirnya sambil tetap mengunyah.
"Biar cepat selesai, biar nggak dilitiatin terus sama kak Ed," Mei menyelesaikan makannya dan segera menghabiskan minumnya. Edwin geleng-geleng kepala dan menghabiskan makan malamnya.
Terdengar bel Berbunyi, Mei dan Ed saling berpandangam, siapa malam-malam mau bertamu. Mei berlari hendak membuka pintu, tapi Ed segera menyusul Mei, dan menahan Mei.
"Biar aku yang buka pintu," Ed membuka pintu dan tampak wajah Gavin. Gavin kaget saat tampak wajah asing yang menemuinya.
"Emmm Meinya ada?" tanya Gavin ragu. Ed mengerutkan keningnya.
"Ada apa ingin bertemu Mei malam-malam?" tanya Ed dengan wajah dingin.
"Ingin memberikan buku yang akan dipinjam oleh Mei," ujar Gavin memperlihatkan bukunya.
"Biar saya yang akan menyerahkan pada Mei," Ed mengambil buku dari Gavin dan menutup pintu.
Gavin hanya tertegun di depan pintu yang tiba-tiba tertutup rapat.
"Siapa kak?" tanya Mei melihat Edwin yang memegang buku.
"Besok beli buku seperti ini, tidak usah pinjam-pinjam, siapa itu tadi?" tanya Ed dengan wajah tak senang.
"Oooh si Gavin, itu temen satu fakultas kak, ada mata kuliah sama ceritanya tapi aku nggak punya bukunya, lagian itu anak teman bu Minda kakaaak ih kakak, trus kalo bisa pinjem ngapain beli, kan bisa irit-irit," ujar Mei sambil mengerjabkan matanya.
"Pokoknya nggak boleh pinjem, beli semua buku yang dibutuhkan, lagian kenapa tu anak malam baru ke sini, untung ada kakak, kalo nggak ada kan pasti dia sudah masuk ke sini, besok kembalikan sama tuh anak, ngembalikannya sama kakak, biar tahu kalo kakak pacar kamu, ngerti," ucap Edwin dengan wajah dingin.
"Iya iya, gitu aja marah, biar besok Mei kembalikan ke Gavin kakak nggak usah ikut," ujar Mei pelan. Edwin mendekat dan mengusap bahu Mei pelan.
"Kita baru mulai Mei, itupun kamu belum pasti dengan perasaanmu, aku tidak mau ada yang mengganggu proses hubungan kita, aku tidak melarang kamu berteman dengan siapapun, tapi kalo malam seperti ini masih mau bertamu, trus apa namanya, bukan karena dia anak teman mama trus jadi seenaknya sama kamu, aku mencintaimu Mei," ujar Edwin pelan.
"Iyah, Mei ngerti kak, besok antar Mei beli buku," ujar Mei dengan wajah memelas.
"Jangan seperti itu Mei, aku tidak mau mengekangmu, tapi aku takut kamu malah lebih tertarik pada orang lain yang selalu ada di dekatmu, aku jauh Mei tidak selalu bisa mendampingimu," Edwin mendekap Mei dan mengusap punggungnya dengan lembut.
"Iya kak, aku sebenernya nggak akrab kok sama Gavin, cuman karena apartemennya sama, kadang bareng pulangnya, cuman kata Gavin aku lucu kalo ngomong padahal aku nggak pernah ngelawak kak, dan katanya lagi aku kayak anak kecil kalo mataku mengerjab-ngerjab," ujar Mei lirih, Ed melepaskan pelukannya dan menatap Mei.
"Tuh kan bener, makanya kamu jangan terlalu lugu, jangan ngomong sama orang yang nggak kamu kenal, pake kacamata hitam aja, biar si Gavin ngak liat mata kamu," ujar Edwin memandangi wajah Mei.
"Ih kakak, aku ngomong sama Gavin ya karena aku kenal kaaak, trus pake kacamata hitam? kudaaa kali, sekarang bukan musim panas kak, aneh jadinya pake kacamata hitam, ada-ada aja," ujar Mei dengan wajah ditekuk.
Edwin mengangkat dagu Mei, Mei menatap mata Edwin dengan takut dan merasa bersalah.
Bibir Mei yang sedikit terbuka dicium pelan oleh Edwin, lamaa dan dalam, tangan Edwin memegang tengkuk Mei untuk mengeratkan ciumannya, sampai akhirnya Mei mendorong perlahan dada Edwin untuk mengatur napasnya.
"Kaak ini, ini apaan, kok ada yang keras di perut Mei," suara Mei terdengar terbata-bata. Edwin memeluk Mei dan tertawa keras sampai keluar air mata. Bahunya sampai terguncang, Mei semakin heran.
"Meeeei sayaaang ya Tuhan, aku tadi nyium kamu segitunya, pasti akan ngaruh ke yang lain Meeei sayangku, adduh jadi hilang moment romantisnya deh, nggak usah bilang kalo punya kakak keraaas. ya Tuhan, aku jadi malu gini Mei, aduh aduuuh," Edwin kembali tertawa sedang Mei jadi tersenyum malu.
"Iya deh ntar kalo ada yang keras lagi Mei nggak akan....," belum selesai Mei berbicara tangan besar Edwin sudah menutup mulutnya. Edwin tertawa lagi dan kembali mendekap kepala Mei kedadanya.
"Tidur sana gih, sudah malem, besok kita jalan-jalan ya Mei sambil cari buku kamu," Edwin melepas pelukannya dan mencium kening Mei.
Edwin melangkah ke kamar sambil geleng-geleng kepala dan tersenyum tanpa henti. Sedang Mei melangkah ke kamarnya sambil sesekali menoleh melihat Edwin yang masih senyum-senyum sendiri.
Edwin segera masuk ke kamar mandi dan menghidupkan shower untuk melemaskan badannya, ah Mei betapa lugunya anak itu. Edwin menormalkan pikirannya saat air dingin mulai menjelajah tubuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel