Cerita Bersambung
Pagi-pagi saat Edwin bangun sudah tercium harum masakan dari dapur, benar-benar nih calon istri idaman, bangunin calon suami dengan cara romantis, masakan yang enak pastinya dan mengundang selera makan. Ed melangkah ke luar kamar dan mendekati Mei yang memasak dan memeluk pinggangnya dari belakang. Mei kaget dan menoleh.
"Eh, mandi sana kak, bentar lagi siap kok," ujar mei risih karena keringatnya di mana-mana.
"Masak apa Mei?" tanya Ed.
"Masak yang ringan aja kak, sup jamur enoki, dikasi pentol ayam, sama tofu, enak nih ringan buat sarapan, sana kak ah, aku keringeten nih, kecut," ujar Mei mematikan kompor dan berusaha melepaskan pelukan Ed di pinggangnya.
"Kata siapa kecut, tetep harum kok, bener," ujar Ed sambil menciumi ujung kepala Mei.
"Ayo cepet mandi kak, katanya mau ngantar aku ke toko buku, di sini toko buku cuma buka sampe sore, ayo sana mandi kak," Mei mendorong Ed masuk ke kamarnya.
"Ntar selesai beli buku, jalan-jalan ya Mei, eh sebenarnya kakak pengen makan soto buatan kamu," rengek Edwin yang terdengar aneh di telinga Mei, rasanya nggak pantes orang bersuara gede tapi merengek-rengek.
"Lah bumbunya dapat dari mana kak, ih ada-ada aja, ntar kalo ke sini lagi, minta bik Sum bawakan lengkap bumbunya, kalo ayam sama soun di sini banyak kak," ucap Mei dan mendorong lagi Edwin mendekati kamar mandi.
Selesai mandi keduanya nampak menikmati sup jamur Enoki, Edwin terlihat sangat lahap hingga sup jamur sepanci kecil tak bersisa sedikitpun.
"Ya ampun kaaaak, laper apa gimana?" Mei terbelalak melihat panci kecil yang terlihat kosong.
"Hehe enak sih," Edwin tertawa melihat ekspresi Mei yang terbelalak.
***
Edwin dan Mei akhirnya sampai di Potts Point Bookshop sebuah toko buku kecil namun nyaman di Sydney, Australia. Setelah mencari beberapa buku yang diinginkan mereka melanjutkan perjalanan ke Books Kinokuyasebuah toko buku yang relatif luas di Sydney , dan saat keduanya lelah, mereka masuk ke sebuah coffee shop yang ada di sisi toko buku tersebut.
Menjelang sore keduanya melanjutkan ke Opera House, yang menjadi ikon kota Sydney, Mei memandang takjub bangunan opera house yang bentuknya menyerupai cangkang. Saat keduanya sampai di sana ada pertunjukan balet, Edwin mengajak Mei menonton pertunjukan balet namun Mei menolak.
"Nggak kak, percuma, aku nggak ngerti juga," Mei tertawa melihat ekspresi Edwin yang aneh.
"Makanya nonton biar tahu," ajak Edwin yang dibalas dengan gelengan yang keras oleh Meisya.
Keduanya mengelilingi bangunan megah tersebut, Edwin merangkul pundak Mei dan sesekali mencium ujung kepala Mei.
"Ih kak, nggak enak diliatin orang," ujar Mei sambil mencubit perut Edwin.
"Biarin, nggak ada yang kenal juga, " sahut Ed sambil merengkuh kepala Mei ke bahunya.
"Kak, swafoto pake latar opera house yuk," ajak Mei.
"Hayok," sahut Edwin dan terlihat beberapa kali mengambil foto.
Saat sedang asyik berfoto tiba-tiba ada yang berteriak memanggil nama Edwin.
"Edwiiin," teriak seorang perempuan cantik, langsing, dan tingginya hampir sejajar dengan Edwin. Edwin sekejab menoleh dan tersenyum pada perempuan itu, tampak perempuan itu berlari kecil dan langsung memeluk dan melingkarkan lengannya di leher Edwin dan memcium pipi Edwin.
Mendadak ada rasa perih di hati Mei, hei hei hatiku diamlah diamlah, kami masih dalam masa percobaan ngapain kamu sakit? Mei berusaha mengalihkan tatapannya ke tempat lain namun tangan Edwin erat memegang tangannya, sehingga saat Mei akan melangkah menjauh, ia dapat segera menarik Mei kembali ke sampingnya.
"Hei, Edwin tumben ke Aussie?" tanya wanita itu setelah melepaskan pelukannya pada Edwin namun tetap terlihat mengelus rahang Edwin. Edwin menurunkan tangan perempuan itu dan menarik Mei mendekatinya.
"Kenalkan Marcella, ini Meisya, calon istriku," ujar Edwin tetap tersenyum manis. Dan perempuan yang bernama Marcella terlihat terbelalak dan seperti tidak percaya.
"Are you kidding, dia terlihat masih anak-anak?" ujar Marcella yang meski pelan terdengar jelas di telinga Mei. Edwin tertawa.
"Dia ambil program magister di sini, aku mengunjunginya, kami akan menikah tahun depan, eh ya sayang, kenalkan ini Marcella, teman kuliah waktu di Singapura," terlihat Edwin mengenalkan mereka berdua dan mereka terlihat bersalaman tanpa senyum.
"Datang ke apartemenku ya Ed, tapi kamu sendirian ya, ada yang perlu kita bicarakan, nanti aku kirim alamat lengkap apart ku ke ponselmu, tetap kan nomermu yang dulu," suara Marcella terdengar merajuk, Edwin tetap tersenyum dan tidak mengiyakan. Wajah Mei dibuat sewajar mungkin.
"Aku tidak janji Marcella, karena besok aku sudah balik ke Indonesia," jawab Edwin dengan tangan kanan memegang erat pinggang Meisya yang selalu memberontak pelan seolah ingin menjauh.
"Ah ya, tapi usahakan ya sayang," pinta Marcella lagi, Edwin hanya tersenyum, dan perempuan itu melambaikan tangan pada Edwin tanpa melihat Meisya.
Edwin juga melambaikan tangan dan merengkuh bahu Mei berjalan ke arah Sydney Harbour, menuju Opera Kitchen, sebuah rumah makan yang menyediakan masakan Jepang, makanan Asia lainnya serta segala olahan laut.
"Mau pesan apa sayang?" tanya Ed pada Mei.
"Sembarang," jawab Mei pelan. Edwin menatap Mei yang menjawab dengan nada datar. Edwin memilih masakan jepang, memperlihatkan pada Mei dan Mei mengangguk.
Mei melihat pemandangan yang menakjubkan dari Opera Kitchen ke arah luar. Mei diam memandang lalu lalang saat menjelang sore, melihat bias cahaya yang meneduhkan namun entah mengapa Mei merasa sedih.
"Sayang, kok diam saja?" tanya Edwin sambil menggenggam jari Mei, Mei menarik pelan dan tersenyum namun dipaksakan.
"Kamu kenapa, wajah kamu jadi aneh, kamu marah atau capek?" tanya Edwin menggenggam kedua tangan Mei dan menangkupnya menjadi satu dalam tangannya. Mei menggeleng pelan.
Saat makanan datang pun, Mei makan dalam diam. Edwin menatap Mei, ada apaa, pikirnya, apakah karena Marcella? Edwin juga diam saja sampai selesai makan.
"Kita pulang ya kak, aku capek," ajak Mei dengan wajah datar. Edwin semakin mengerutkan kening. Tapi ia semakin yakin pada pikirannya. Selama perjalanan pulangpun mereka diam saja.
Selesai mandi Mei melihat Edwin yang sudah berganti baju dan harum parfumnya yang menguar ke segala sudut di apartemennya.
"Aku ke luar dulu ya sayang," tanpa menunggu jawaban Mei, Edwin sudah menghilang.
Mei merasakan dadanya yang mendadak perih. Ia baru saja selesai mandi, rambut basahnya masih menetes ke baju tidurnya meski sudah dikeringkan, rambut panjangnya ia sentuh perlahan. Mei berjalan ke arah balkon, menatap ke luar.
Tiba-tiba dadanya sesak dan matanya berkaca-kaca. Kemana kamu kak, apakah mendatangi perempuan itu, mengabaikan aku? Ada apa denganku? Mengapa aku tiba-tiba sedih?
Air mata Mei mengalir deras, jangan Mei jangan sakit karena ini, ada apa denganmu Mei? Apakah aku....tidak tidak mungkin.
Mei menutup wajahnya dan air matanya membasahi kedua tangannya. Pundaknya bergerak tak beraturan. Suara tangisannya lirih terdengar menyayat hati. Aku tidak pernah sesedih ini, ada apa dengan hatiku, mengapa aku sedih memikirkan kak Ed berdua dengan perempuan itu, apa yang mereka lakukan, mengapa kak Ed memakai pakaian sebagus itu dan memantaskan diri setampan mungkin.
Mei menghapus air matanya. Menatap kembali ke jalan melalui balkon dengan tatapan memelas dan menyisakan isaknya perlahan.
Mei tidak sadar, sejak tadi Edwin berada beberapa langkah di belakang Mei, ia biarkan Mei meluapkan emosinya. Sebenarnya ada keinginan memeluk Mei saat ia menangis sampai terdengar isakannya yang menyayat hati, tapi Edwin ingin tahu, apa yang membuat Mei menangis.
"Kakak, kakak di mana? Ngapain ke sini kalo cuman biarin Mei sendiri, Mei sadar bahwa Mei tidak cukup menarik, makanya sejak awal Mei tidak mau memupuk harapan, takut sakit kayak gini, Mei sadar jika perempuan itu lebih menarik daripada Mei, tapi tapi kenapa juga aku masih nangis," Mei berbicara sendiri dengan suara pelan sambil menatap ke luar balkon, mengusap air matanya dan berbalik, alangkah terkejutnya Mei melihat Edwin yang berdiri tak jauh darinya bersandar pada dinding dan menatap Mei tanpa senyum
***
Lama mereka bertatapan dari tempat mereka berdiri. Akhirnya Mei kalah dan memilih menunduk menatap lantai sambil sesekali menyeka sisa air matanya.
Edwin melangkah pelan, saat hanya beberapa centi di depan Mei, diangkatnya dagu Mei. Ed melihat mata dan hidung yang masih memerah, sehebat itu tangisan Mei sampai matanya bengkak hanya dalam waktu hampir satu jam.
Ada rasa sakit di dada Edwin yang menyeruak tanpa ia minta. Dipeluknya kepala Mei ke dadanya. Mata Edwin tiba-tiba berkabut.
"Sedangkal itu kau menilai cintaku Mei, cintaku yang begitu besar padamu tidak akan mampu menarikku pada wanita lain, kalau aku mau, saat di Singapura aku bisa melakukan apa saja pada Marcella, aku hanya menganggapnya teman dan tak lebih, meski berkali-kali Marcella selalu menggodaku, aku tak pernah menganggap ada, sampai kau menangis seperti ini hanya karena Marcella, kau mulai mencintaiku kan Mei? meski kau mungkin akan mengingkarinya lagi, tapi tangisanmu dan ucapanmu tadi sudah menggambarkan bahwa kau takut aku memilih yang lain," Edwin menangkup pipi Mei menghadap wajahnya.
"Kau mencintaiku kan?" tanya Edwin pelan. Mei hanya mengerjabkan matanya dan menatap Edwin dengan sedih.
"Aku nggak tau kak, tiba-tiba aku merasa sedih dan sakit yang amat sangat, aku hanya membayangkan kakak sama perempuan itu tapi kok efeknya aku jadi sakit sekali, dadaku, menjalar ke perut dan kepalaku," ujar Mei yang kemudian memeluk Edwin dan kembali menangis pelan.
Edwin mengusap rambut panjang Mei yang basah. Meski sedih ada rasa bahagia di hati Edwin bahwa Mei mulai mencintainya. Edwin merasa bersalah melihat air mata Mei yang kembali membasahi dadanya.
Mei cepat mengusap kemeja Edwin yang basah. Dengan heran Edwin memandangi Mei.
"Kenapa?" tanya Edwin
"Aku tidak mau mengotori kemeja kakak lagi, aku ingat waktu aku baru sembuh sakit dan kakak bilang jangan sampe kamu ngotori kemejaku lagi," jawab Mei yang dibalas dengan senyum dan sedikit tawa dari Edwin.
"Ah ternyata kamu masih mengingatnya," ujar Edwin tertawa pelan.
Tiba-tiba Mei mencengkeram kemeja Edwin sambil berjinjit menatap wajah Edwin sangat dekat.
"Jadi tadi kakak ke luar tidak ke perempuan itu kan?" tanya Mei dengan wajah memohon. Edwin menahan gemas lalu menggendong Mei dan mendudukkannya di sofa. Mei menjerit tertahan.
"Aku hanya keluar dari pintu itu, lalu masuk kembali setelah 15 menit, dan kamu masih asyik menatap ke luar balkon sambil menangis, lalu berbicara sendiri dan berbalik melihatku yang menunggumu menangis selama setengah jam lebih,mau tanya apa lagi nona, masih tidak mau ngaku jika kamu mencintaiku dan takut kehilanganku nona?" goda Edwin mendekatkan wajahnya pada wajah Mei.
"Bukan gitu, aku nggak mau perempuan itu nyium-nyium kakak lagi, kayak di opera house tadi, ngelus-ngelus rahang kakak lah, dan kakak diem aja, heh menikmati paling kakak kan?" tuduh Mei dengan wajah kesal.
"Mei, itu tadi di depan banyak orang, nggak etislah, aku kan sudah menurunkan tangannya waktu dia ngelus rahang aku, masak aku mau marah-marah, makanya aku kenalkan kamu sebagai calon istriku, biar dia tidak mendekati aku lagi, masih butuh penjelasan lagi nona?" balas Edwin nggak mau kalah, dia senang melihat Mei marah, semakin kelihatan kalo Mei cemburu pada Marcella.
"Heeem alasan, laki-laki mana yang ngak mau sama perempuan yang banyak benjolannya kayak gitu," sahut Mei sewot. Edwin mengerutkan keningnya banyak benjolan, maksudnya?
"Banyak benjolan gimana Mei?" tanya Edwin penasaran. Mei mendengus dengan kasar.
"Lihat aja badannya kaaak, dadanya benjol, bokongnya benjol, pinggulnya benjol kanan kiri heh belagak gak ngerti lagi," ujar Mei dengan kesal dan meledaklah tawa Edwin memenuhi apartemen Mei.
Meeei Mei, nih aku laki-laki yang nggak mau sama tuh perempuan yang banyak benjolannya, dia pernah hampir membuka semua bajunya saat dia mengajakku ke apartemennya, tapi aku malah memakaikan kembali bajunya dengan utuh tanpa menyentuhnya nonaaaaa, ngertiii, kalo kamu jangan coba-coba buka baju di depanku, bisa-bisa sampe besok pagi kamu nggak akan pernah bisa make baju kamu," ucap Edwin di telinga Mei, dan dijawab dengan lemparan bantal sofa pada wajah Edwin. Wajah Mei memerah seketika.
"Heh dasar om-om mesum, aku mau nyiapkan makan malam dulu, heh ngeladeni om-om memang repot," Mei melangkah ke dapur dan Edwin melihat Mei sambil tersenyum, dia sudah lega mengetahui Mei juga mencintainya atau menyukainya? entahlah.
Tiba-tiba dokter cabul is calling....
"Apaan Zaaak"
"Besok jam 10 pagi bisa gak lo sama baby girl lo ke rumah, aku ngundang makan-makan temen sma sekelas"
"Waduh maap, gak bisa Zak"
"Emang lo di mana?"
"Di Aussie, nengokin Mei, ambil magister di sini Zak"
"Hahahaha haduh ya dah jagain tuh anak jangan lo embat"
"Heh Sorry ya masih tersegel sempurnaaaa, gue bukan lo dokter cabul"
"Huahahahah kampret lo, iya dah"
Edwin tersenyum menutup ponselnya dan meletakkan di meja, saat ayam panggang madu sudah tertata apik di meja makan.
"Ayo kak, kita makan, nih dah siap," Mei menata sayuran segar di samping ayam panggang madunya, sedang untuk cocolannya ia siapkan yang praktis, kecap pedas siap saji dan kecap manis.
Edwin sudah nggak kuat menahan nafsu makannya. Ia segera mencuil daging ayam dan memasukkan ke mulutnya dan mendesis nikmat sambil menganggukkan kepalanya.
"Enak Mei, bener enak, cuman kakak nggak berani nyocol ke kecap pedasnya" Edwin melanjutkan makannya dengan lahap.
"Bener-bener nih Mei, ntar setelah kita nikah, aku bakalan semakin rajin ngegym, takut gendut, lah masakan kamu enak semua, bener-bener calon istri idaman," ujar Edwin dengan mulut penuh.
"Heys udah maem dulu, ntar aja ceritanya," Mei menemani Edwin makan ayam panggang madu tanpa nasi.
***
Selesai makan mereka mengambil kursi dan diletakkan di balkon, duduk di sana bersisian, menatap ke arah jalan raya yang masih penuh dengan lalu lalang orang yang entah akan kemana sabtu malam ini.
"Besok kakak pulang sore ya?" tanya Mei menatap Edwin dari jarak dekat.
"Kakak pulang Senin pagi-pagi aja," jawab Ed mencubit hidung Mei.
"Wah telpon bu Minda kak, kasi tau kalo pulang Senin pagi," sahut Mei mengguncangkan bahu Ed.
"Iya iya, kita di sini aja Mei nggak usah ke mana-mana besok, tidur sambil pelukan, masak berdua, ato apalah, aku males ke luar, ntar ketemu mantan-mantan pengagum kakak lagi, kamu stres lagi, nangis lagi," goda Ed pada Mei. Dan Mei terlihat kesal namun sesaat kemudian Mei tersenyum sambil mendekatkan wajahnya pada wajah Edwin.
"Heeem gayanyaaa sok yakin, iyah aku tahu kalo kakak ganteng, nih kulitnya putih, hidungnya mancung, bibir kakak bagus bentuknya," ucap Mei memandang Edwin dari jarak dekat dan menyentuh wajah Edwin dengan jarinya mulai menyusuri wajah Edwin. Edwin memegang tangan Meisya sambil menahan debar jantungnya.
"Jangan menggodaku Mei, sentuhan tanganmu membangunkan yang lain, kakak nggak ingin terjadi apa-apa sama kamu," sahut Edwin memeluk bahu Mei dan mencium bibir Mei lama, Mei kaget dan mendesah pelan saat Edwin mengigit bibirnya dan Mei mulai membalas perlakuan Edwin, ditariknya krah baju Edwin, Edwin kaget dan tersenyum saat menyadari kekasih mungilnya sudah bisa mengimbangi ciumannya meski masih kaku, badan Mei semakin meremang saat tangan Edwin menyusup dipunggungnya membuka pengait branya, Mei mendorong bahu Edwin saat pikirannya menolak namun ada keinginan untuk menikmati perlakuan Edwin yang tiba-tiba tangan dinginnya mengelus dadanya perlahan.
"Kak...jangaaan," suara Mei terdengar lirih, berusaha keras mendorong wajah Edwin dari dadanya.
Beberapa menit kemudian Edwin tersentak kaget saat menyadari kancing kemejanya sudah terbuka dan Mei hanya menggunakan celana dalam, dipeluknya Meisya ke dadanya. Meredakan gemuruh dadanya yang tak kunjung mereda.
"Maafkan kakak, maafkan kakak, kakak tidak akan melakukannya lagi sampai kita menikah, selalu begini kalo kakak dekat sama kamu Mei, pukul kakak, gigit kakak kalo sampai kakak hampir melakukan hal yang tidak benar," Edwin mengelus punggung Mei yang dingin. Gesekan dada mereka membuat badan Edwin kembali meremang.
"Tidurlah Mei, sudah malam," Edwin mencium ujung kepala Mei setelah memakaikan baju tidur Mei kembali seperti semula. Mei mengangguk sambil mengancingkan kembali kemeja Edwin.
"Nggak usah dikancingkan Mei, aku mau ganti kaos aja, ntar juga mau tidur, mulai nakal, mulai bisa buka kancing kemeja kakak," ujar Edwin sambil mencubit hidung Mei.
"Iya maaf, nggak sadar tadi kak, nggak lagi deh, maaf," ujar Mei dengan wajah memerah. Ya ampun kenapa jadi gini, aku nggak ingin macem-macem, aku nggak ingin bu Minda kecewa, kenapa juga bibir kakak jadi enak banget, ya Tuhan jauhkanlah dari pikiran mesum nan jahat ini. Pikiran Mei mengembara entah kemana.
Mei berusaha memejamkan matanya, ia mendengar bunyi shower yang dihidupkan, pasti kak Edwin mandi pikir Mei. Mei sempat tertidur namun jam 2 malam ia terbangun mendengar bunyi sendok beradu dengan gelas di dapur.
Mei ke luar kamar mendapati Edwin yang menyeduh kopi.
"Nggak bisa tidur kak?" tanya Mei.
"Hmmm tidur tadi bentar, nggak sampek setengah jam paling, dan nggak bisa tidur lagi," jawab Edwin duduk di ruang makan, menyesap kopinya perlahan.
"Kaaak kancingin baju tidurnya, katanya mau pake kaos," ujar Mei merengek.
"Kenapa, napsu?" tanya Edwin terbahak. Mei memukul lengan Ed pelan.
"Nggak lagi dah," jawab Mei, mendekati Ed dan memasangkan kancing baju tidurnya. Edwin menatap Mei, menikmati wajah mungilnya.
"Kamu cantik Mei," ujar Edwin lirih.
"Oh ya, dan kakak ganteng, bener, aku suka hidung sama bibir kakak," ujar Mei dengan wajah memerah. Edwin mengusap pipi Mei dan menepuknya perlahan.
"Tidur yok Mei, masih jam dua tiga puluh. Tidur di sini, depan tv pake kasur tipis tuh Mei, kakak janji nggak ngapa-ngapain kamu, pengen meluk aja," Ujar Edwin sambil mendorong sofa ke samping dan menggelar kasur di depan tv mengatur bantal dan merebahkan badannya. Menepuk bantal dan memanggil Mei, Mei ikut merebahkan badannya dan tidur menyamping. Edwin memeluk Mei dari belakang, mencium rambutnya sekilas, dan tak lama tertidur keduanya hingga pagi menjelang.
==========
Pagi-pagi Mei dan Edwin dikejutkan oleh bunyi bel, tak lama disusul ketukan. Siapa sih, pikir Mei enak-enak tiduran malah ada gangguan, Mei bangun, berjalan ke arah pintu.
Menyembul wajah tampan khas oriental, tinggi menjulang.
"Hai James ngapain pagi-pagi ke sini?" tanya Mei dengan suara riang, dan Edwin tertarik untuk menengok siapa tamu Mei. Dari dalam ia bisa melihat wajah tamu Mei, ada rasa tak suka di wajah Ed mendengar suara riang Meisya pada tamunya.
"Aku baru dari bandara, nih oleh-oleh buat kamu, happy valentine yah," ucap James. Mata Mei membulat.
"Makasih James," ujar Mei memeluk coklat besar berpita babypink.
"Yah, aku balik dulu, capek baru dari Canada, eh jangan lupa tugasnya hmmm segera dikumpulkan," ucap James dan berlalu dari hadapan Mei.
"Siapa dia Mei?" tanya Ed dengan nada tak suka dan wajah yang masam. Ditambah lagi Mei yang memeluk coklat besar di dadanya.
"Dosenku kak, dia baik banget, ini nih ngasi coklat," dengan lugu Mei memperlihatkan coklat pemberian James pada Edwin. Ed mendengus kesal, Mei terlihat takut melihat wajah Ed.
"Tuh dosen ngapain sampe ngasi kamu coklat, sampe tahu apart kamu, nggak usah diladeni, ada maunya tuh dosen, ntar kamu dilabrak istrinya baru tahu rasa," ujar Edwin dengan nada kesal. Mei semakin takut dan mundur selangkah.
"Dia emang baik pada semua mahasiswa kok kak, kebetulan mamahnya orang Indonesia dan papanya dari Singapura, jadi dia langsung akrab sama aku begitu tahu aku dari indonesia, daaan diaa belum nikah, usianya lebih muda dari kakak," Mei memandang wajah Ed dengan takut.
"Emang semua mahasiswanya dia kasi coklat di hari valentin? heh bikin sebel aja, apalagi dia nggak punya istri pasti ada maunya sama kamu, sampe kamu tahu silsilah keluarganya lagi, apa dia suka curhat sama kamu? " suara Edwin semakin terdengar aneh.
"Maaf kak, aku kembalikan besok ke James kalo emang kakak gak suka," ucap Mei pelan.
Edwin mendekati Mei.
"Mei aku mencintai kamu, aku nggak mau ada yang dekat-dekat sama kamu," akhirnya suara Ed terdengar lirih di telinga Mei.
"Iyah," jawab Mei pelan.
"Aku nggak mau mereka memanfaatkan keluguan kamu, jangan mau kalo mereka ngasi apa saja, pasti ada maksud di balik itu, nggak ada ceritanya tiba-tiba laki-laki ngasi sesuatu sama perempuan tanpa embel-embel apapun," ujar Ed lagi.
"Tapi James sejak awal emang gitu kak, waktu kuliah pertama kali, dia liat aku, langsung ngajak aku ngobrol setelah selesai kuliah dan ya selalu baik sampe sekarang," sahut Mei lagi.
"Hem kan bener dia suka sama kamu sejak awal liat kamu, kamu cantik Mei," Edwin mendekati Mei mengambil coklat yang masih menempel di dadanya dan memeluknya pelan.
"Kamu mencintai aku kan Mei? jangan dekat dengan siapapun, aku takut akhirnya perasaan kamu semakin tidak jelas pada kakak," ucap Ed sambil mengusap rambut panjang Mei.
"Aku nggak punya perasaan apa-apa kak, baik pada Gavin ato James," Mei menengadahkan wajahnya menatap Ed.
"Iya kamunya, kamu kan nggak tahu hati mereka, kayak James sampe ngasi coklat ke kamu, pagi-pagi, bela-belain, aku jadi nggak pengen balik ke Indonesia Mei," Edwin menatap wajah Mei yang masih tengadah.
"Maafkan Mei kak, Mei nggak pernah punya pikiran jelek ke siapapun, waktu James ngajak pulang bareng setelah kuliah pertama ya Mei iya aja, kan kebetulan se arah juga sama apart James, dia tinggal di Pert sebenarnya kak, keluarganya di sana cuman karena ngajar di Sydney ya dia punya apart di sini, dan dia nggak pernah macem-macem ke Mei, nyentuh-nyentuh juga nggak, pulangnya aja kalo pas ketemu ya bareng, bener Mei nggak bohong kak," ujar Mei sambil menempelkan pipinya ke dada Ed. Edwin mengeratkan pelukannya.
"Jangan pernah tinggalkan kakak Mei, kamu berjanji untuk menyelesaikan magistermu 1,5 tahun, kakak tunggu kamu, kita segera nikah ya Mei, usia kakak juga sudah tidak muda lagi," suara Edwin terdengar sedih.
"Mandi sana gih, kakak juga belum mandi, kita ke toko di depan apart bentar ya, beli macam-macam bahan trus kita masak bareng, mau?" Mei mengangguk lalu melesat ke dalam kamarnya.
Dalam kamar Mei menyandarkan badannya ke pintu, ia benar-benar takut mengingat kata-kata Edwin tadi, apa bener laki-laki yang ngasi sesuatu ke perempuan pasti ada perasaan lain.
Sejak awal perkuliahan, James memang selalu baik padanya. Pernah saat mencari literatur untuk tugas, James menemani Mei di perpustakaan kampus sampai malam, Mei takut mau bercerita hal itu pada Edwin. Tapi Mei tidak pernah merasa ada sikap James yang aneh pada dirinya, selain James selalu ada untuk Mei. James memang tampan, tapi Mei tidak ada perasaan apapun padanya.
***
Mei dan Edwin beriringan menuju apartemen mereka setelah berbelanja berbagai macam kebutuhan.
"Mau masak apa kak?" tanya Mei setelah menghempaskan badannya di sofa. Wajah Edwin masih belum sepenuhnya ramah setelah kehadkran James.
"Yang gampang aja, yang kakak tahu," jawab Ed pelan, membuka jaket dan meletakkannya di sofa.
"Iya mau masak apa ayo aku bantu," jawab Mei lagi.
"Pengen masak masakan Chines, lagi pengen, kamu bisa kan?" tanya Ed dan Mei mengangguk.
Pilihan Ed jatuh pada ayam hainan, koloke dan mi goreng sea food. Mei menambahkan cah kangkung biar ada sayurannya, namun Ed ingin cap cay, akhirnya semua menu itu akan di masak.
"Beneran kakak ingin masak semua itu, ntar siapa yabg makan kalo nggak habis?" tanya Mei.
"Ya per item nggak usah banyak-banyak porsinya sayang," jawab Ed.
Berdua mereka menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan, mulai bumbu, menyiangi kangkung, membersihkan sayuran, mencuci dan memotong-motong kecil ayam untuk koloke dan memotong ayam ukuran sedang untuk ayam hainan.
Alhasil lebih banyak Mei yang bekerja di dapur, Edwin hanya membantu hal-hal kecil.
Edwin menatap Mei yang cekatan memasak satu persatu bahan yang sudah disiapkan. Keringat mulai mengalir di kening Mei dan Edwin mengusapnya dengan menggunakan tisu. Mei hanya tertawa sambil mencicipi masakannya pas atau tidak.
"Eh kak, tumben nggak pengen soto buatanku?" tanya Mei.
"Lah tadi bumbunya kan nggak lengkap sayang, kalo masakan chines kan gampang bumbunya, semua tadi yang aku butuhkan ada," jawab Ed.
"Heeeh yang kakak butuhkan, ujung-ujungnya aku yang masak," sahut Mei.
"Ya maksud hati pengen nyenengin kamu eh apa daya, masak ternyata ribet," ucap Ed sambil tertawa, tawa yang akhirnya muncul juga setelah sekian jam sempat hilang gara-gara dosen ganteng.
Saat Mei sedang asik masak, Edwin mendengar notif masuk di ponsel Mei yang ada di dekatnya, Mei tidak mendengar karena bunyi saat menggoreng potongan ayam dengan tepung, untuk koloke mengalahkan bunyi notif ponsel Mei. Perlahan Ed buka karena kebetulan terhalang oleh vas bunga kecil di meja makan. Saat dibuka Ed merasa amarahnya muncul lagi. Ternyata James yang mengirim pesan singkat
'Sudah dimakan coklatnya? istirahat yang cukup, besok akan jadi hari melelahkan, tidak sekedar mengumpulkan tugas tapi mempresentasikan dan mempertahankan hasil penelitian yang sudah kamu lakukan seminggu yang lalu'
Tidak ada yang aneh dari isi pesan itu tapi, apa sampe segitunya dosen ngirim-ngirim pesan ke mahasiswanya, kurang kerjaan apa, Edwin mendesah berkali-kali. Menatap wajah cantik Mei dari kursi yang ada di ruang makan.
"Ada apa kak, kok liatin aku terus, wajahnya nakutin, mana senyumnya kakak sayaaaang," canda Mei pada Edwin.
Edwin mengangkat sudut bibirnya sedikit. Ia tidak ingin Mei tahu jika ia membuka ponselnya, ia tidak ingin Mei menganggapnya lancang. Perlahan ia dorong menjauh ponsel Mei.
***
"Taraaaa sudah masak semua, ayo kita makan," ujar Mei melebarkan tangannya.
Edwin berusaha tersenyum agar Mei tidak bertanya-tanya, masakan Mei yang biasanya enak, terasa hambar di lidah Edwin.
"Kakak sakit, kok dari tadi kayak gak napsu makan, Mei hafal kakak deh, nggak ada makanan yang dimasak Mei nggak habis di makan kakak," Mei berusahan menambahkan koloke ke piring Ed tapi di tolak dengan halus oleh Ed.
"Nggak kenapa-napa lagi nggak enak perut kakak," jawab Edwin berusaha tersenyum.
Ayam hainan, cap cay dan koloke yang belum ia campur dengan saus Mei sisihkan jadi masih bisa dimakan untuk nanti malam. Cah kangkung terpaksa Mei habiskan sendiri.
Saat Mei membersihkan meja makan setelan mencuci piring, Edwin mengajak Mei jalan-jalan nanti malam.
"Sekitar sini aja Mei, nggak usah jauh-jauh, kayaknya ada cafe sekitar 300 m dari sini," ucap Edwin dan Mei menjawab dengan anggukan.
***
Edwin menunggu Mei ganti baju, ia sampai ngantuk nunggu di sofa, di miringkannya wajah Ed menyangga di meja di ruang tamu. Lama amat tuh anak, ngapain aja, pikir Ed.
Saat Mei ke luar kamar, Edwin kaget lihat baju Mei.
"Hei ngapain kamu pake baju tanpa lengan, mana dadanya rada nerawang lagi, masuk angin ntar Mei," Ed memandang tak suka dengan pilihan Mei.
"Leh ini ada blazernya kakak, ya ampun, aku ya tahu diri masa pake baju kayak gini jalan-jalan," sahut Mei cepat.
Mereka menyusuri sepanjang jalan di tak jauh dari apartemen Mei.
Mei menggandeng lengan Edwin,mereka berpegangan tangan.
"Besok aku pulang Mei, pakai terus cincin dari kakak ya, jangan pernah dilepas, jangan pernah tinggalin kakak Mei," ucap Edwin pelan.
"Iyah kak," Mei menjawab pelan dan mereka berdua memasuki cafe, memesan minuman dan makanan kecil. Duduk di sudut berdua. Edwin memandang sekeliling cafe menoleh pada pengunjung yang lain, sesaat matanya menatap laki-laki yang ia lihat mendatangi Mei tadi pagi, dan di saat yang bersamaan laki-laki itu memandang Edwin dan Mei bergantian. Laki-laki itu duduk agak jauh dari tempat ia dan Mei duduk. Pandangan mata keduanya terlihat aneh, dan Ed baru sadar saat Mei menyentuh lengannya.
"Ayo minum kak, nolah noleh aja, takut ada perempuan itu lagi ya, aku nggak mikir dah, kan kakak nggak cinta sama dia," ucap Mei dengan nada riang.
Edwin menggenggam tangan Mei dan mengelusnya pelan. Ed melihat dari ekor matanya laki-laki itu menatap ke arah mereka berdua. Biar lo tau, kalo Mei sudah ada yang punya, menjauh lo dari cewek gue, pikiran Edwin menjelajah ke mana-mana.
***
"Aku balik ke Indonesia ya Mei, nggak usah ngantar ke bandara, baik-baik di sini, jaga hati kamu untuk aku Mei," Edwin mencium kening dan mengecup bibir Mei sekilas. Mei mengangguk dan mengantar Ed sampai depan apartemen. Melambaikan tangan dan tersenyum.
Bersambung #6
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel