Cerita Bersambung
"Sini duduk dekat tante sayang, ada yang ingin tante katakan, sebelum kamu mengatakan sesuatu pada tante," mama James menggapai Meisya untuk lebih dekat ke arahnya. Meisya mendekat dan menatap wajah lembut di depannya dengan dada berdebar, tak urung ia agak bingung juga, nanti mulai dari mana ia akan bicara.
"Terima kasih sudah hadir dalam kehidupan keluarga kami, terima kasih sudah menjadi yang terbaik untuk James, Meisya, sebelum tante menutup mata, tante ingin melihat kalian bahagia sebagai pasangan suami istri, hidup tante tak akan lama, hanya karena obatlah tante masih bisa bertahan, tante tidak ingin melihat James selalu sendiri, tidak ada yang mengurus, tante bahagia saat dia menemukanmu Meisya cantik, kanker ovarium yang tante derita seakan menggerogoti kesehatan tante sedikit demi sedikit, tante hanya ingin kamu berjanji untuk tidak menimggalkan James, Meisya," dan mama menangis, Meisya memeluk mama dengan wajah bingung dan mata berkaca-kaca, ia tak sanggup untuk mengatakan keinginannya, semua kata yang ia susun seolah hilang lenyap dari pikirannya.
Ia tak tega mengatakan itu semua pada wanita yang hidupnya hanya menunggu waktu."
Mama mengurai pelukannya, dan menatap Meisya.
"Katakanlah, apa yang ingin kamu sampaikan pada tante," mama menunggu dengan resah.
"Emmm saya, saya tidak bisa berjanji, bisa membahagiakan James atau tidak tante, karena sifat kami berbeda jauh, saya hanya kawatir di tengah perjalanan kami tidak bisa melanjutkan," Meisya menelan salivanya, dia tidak yakin dengan apa yang ia katakan barusan, ia hanya mengalihkan pembicaraan agar mama James tidak curiga padanya jika ia tidak menyampaikan apapun.
James memegang dadanya dan menghembuskan napas lega, mata James terlihat memerah. Dan melangkah pelan meninggalkan mereka berdua.
Di depan kamar Meisya, James menunggu. Ia dapat melihat Mei yang berjalan menunduk, melangkah gontai, James mengerti apa yang dipikirkan Meisya, sekali lagi James menyesal telah menyeret Meisya terlalu jauh dalam masalah keluarganya.
Sesaat Meisya menegang melihat James menunggunya di depan kamar.
Meisya masuk dan tak mempedulikan James. James menahan pintu saat akan ditutup oleh Meisya.
"Mau apa lagi, mau menambah bebanku menjadi semakin berat?" tanya Meisya dengan lemah.
James masuk ke kamar Meisya dan menutup pintunya. Mata Meisya terlihat mulai berkaca-kaca. Mereka saling berpandangan, berhadapan. Air mata Meisya mulai turun dengan deras. Dan James memeluknya dengan erat.
"Maafkan aku, maafkan aku," mata James pun mulai berkaca-kaca.
"Apa salahku padamu James sampai membawaku dalam masalah yang pelik seperti ini?" suara Meisya terdengar lirih dan menyayat.
"Aku tidak punya kekuatan untuk mengatakan hal jujur pada mamamu, saat menerima kenyataan bahwa mamamu sakit, aku tidak ingin menghancurkan harapan hidupnya yang hanya tinggal beberapa saat saja," suara Mei semakin kabur diantara tangisannya.
James tidak bisa mengatakan apapun, ia hanya mengusap kepala dan punggung Meisya berkali-kali.
"Aku hanya ingin kak Edwin saat ini James, aku ingin memeluknya menumpahkan segala kekesalanku, aku bisa berbuat apa saja pada badannya, menciumnya, menggigitnya, memukulnya, kaaak, kak Edwiiiin," tangisan Meisya semakin menjadi namun ia tekan suaranya.
"Lakukan padaku, lakukan padaku Mei," pinta James dengan suara pelan.
"Tidak, aku tidak ingin melakukannya padamu, kamu bukan kak Edwin, kamu bukan apa-apaku," Meisya menggeleng pelan.
James memegang kedua pipi Mei dengan kedua tangannya, wajahnya merunduk dan mencium bibir Mei perlahan. Mei mendorong badan James, namun James semakin menekan bibirnya pada bibir Mei.
Air mata Meisya semakin deras mengalir, wajah Edwin semakin jelas tergambar dalam pikirannya.
Saat James melepas ciumannya, Mei kembali menangis.
"Aku tidak merasakan apapun James, tidak seperti saat aku melakukannya dengan kak Ed, ini tidak boleh James, aku mengkhianati kakakku, aku sangat mencintainya, tidak ada yang bisa menggantikannya," tangisan Meisya menyadarkan James bahwa ia tidak akan pernah dapat menggantikan Edwin di hati Meisya. Ia peluk Meisya dengan hati sakit, menerima kenyataan bahwa cintanya tidak bersambut, getaran yang ia rasakan tidak Mei rasakan sama sekali.
Tidurlah, besok siang kita akan kembali ke Sydney," James melepas pelukannya, mencium kening Mei dan ke luar kamar.
***
Di luar kamar James menyandarkan kepalanya pada pintu kamar Meisya. Ia menyesal telah mencium Meisya, ia merasakan penolakan dari bibir Mei, dorongan yang kuat dari kedua tangan Mei di dadanya.
James berjalan gontai masuk ke kamarnya. Membuka jasnya perlahan, menarik dasi lalu merebahkan badannya dengan masih menggunakan kemeja dan celananya.
***
Pagi, Meisya dikejutkan oleh ketukan di pintu kamarnya. Meisya berjalan gontai menyeret langkahnya dan membuka pintu, tampak wajah James yang terlihat lelah meski telah rapi dan terlihat akan bepergian.
"Cepatlah mandi, mama menunggumu kita," ujar James pelan. Meisya mengangguk dan menutup kembali pintu kamarnya.
***
Meisya membuka pintu kamarnya dan mendapati James yang duduk menunggunya di depan pintu kamarnya.
"Mau kemana?" tanya Meisya.
"Entahlah, kita menuju mama saja," jawab James, bangun, melangkah dan menjejeri Meisya ke bawah.
Di bawah mama sudah menunggu, melihat Meisya dan tersenyum lebar melihat dandanan Meisya.
"Sini Meisya dekat tante, kamu sangat lucu dengan dandanan seperti itu?" mama James memeluk bahu Meisya.
Meisya berusaha tersenyum semanis mungkin.
"Nggak papa kan tante kalo dandanan saya kayak gini?" tanya Meisya kawatir.
"Tidak apa-apa sayang, cuman jalan-jalan aja kok," jawab mama James
"Ayolah James kamu jangan ikut memandangi Meisya, ayo kita ke mobil, ambil kuncinya, kita berangkat," mama James menggandeng Meisya ke luar sementara James mengambil kunci mobil di ruang kerja papa.
"Mau ke mana ini tante?" tanya Mei
"Tante pengen ngajak kalian jalan-jalan, kamu terlalu singkat di Perth Mei, nanti siang sudah balik ke Sydney, 500 m dari sini ada cafe, orang Indonesia yang punya, menyediakan makanan khas Indonesia, kita breakfast di sana, sayang papa terlalu lelah, dia sampai larut di kamar kerjanya tadi malam, jadi tidak bisa ikut dengan kita," mama menyilakan Meisya duduk di depan menemani James, sementara mama duduk di belakang.
James menoleh, menatap Meisya, namun Mei tetap menghadap ke depan. Saat James memasangkan seatbealt, Meisya kaget dan menahan napas, ia tidak bisa protes karena ada mama di belakang. Sekilas wajah mereka sangat dekat, Mei memundurkan wajahnya. Dan James kembali memegang kemudi menghadap ke depan.
Mobil melaju dengan kecetapan sedang, tak lama kemudian mereka telah sampai di cafe yang di tuju.
Suasana cafe cukup ramai, berbagai makanan Indonesia dan internasional tersaji, Mei memilih pancake dengan topping madu dan cappucino latte, sedang James lebih memilih hot chocolate dan setangkup roti bakar, mama James memesan segelas teh hangat yang diberi madu dan sepotong kecil chesee cake.
James duduk di samping Meisya dan mama James berada di depan mereka dipisahkan oleh meja kecil.
"James, lebih mendekat ke Meisya, mama ingin mengambil foto kalian, lebih mesralah James," mama mengambil beberapa gambar. Meisya berusaha tersenyum dengan wajar, meski hatinya terasa gundah dan tak menyukai situasi seperti ini.
"James ayo foto bertiga pakai ponselmu, nanti mama kirimi, ayolah kita foto selfi James, ayo Meisya, senyum manisnya mana?" mama terlihat sangat bersemangat.
Tak lama makanan mereka datang, Mei makan tanpa bersuara.
"Meisya...," tiba-tiba tangan mama mengusap jemari Mei.
"Wajahmu terlihat sedang memendam kekesalan, ada apa, apa marahmu pada James belum selesai karena Scarlett?" tanya mama hati-hati.
"Tidak, tidak tante, saya hanya kurang enak badan, capek paling tante," jawab Meisya berdalih.
"iyah Meisya capek mama, kami tadi malam sudah bicara, sudah selesai," sahut James meyakinkan mamanya.
"Hanya ada yang perlu saya tegaskan tante, bahwa hubungan saya dengan James baru saja dimulai, kami memiliki cara yang sangat berbeda dalam memandang sebuah hubungan yang serius, jadiiii jikaaaa suatu saat saya dan James sepakat mengakhiri hubungam ini, kami akan menyelesaikannya secara baik-baik, kami akan tetap berteman dan saya tetap menjadi sahabat tante," Meisya berucap pelan namun sanggup membuat mama James menghentikan tangannya saat memotong chesee cake dengan garpu kecil.
"Aku melihat kalian sangat serasi, Meisya yang manja dan James yang sabar, lalu apa yang menjadi kendala dalam hubungan kalian?" tanya mama terlihat cemas.
"Kami belum tahu kedepannya tante, kami hanya berharap hal baik yang kami mulai, semoga berakhir dengan baik pula," ujar Meisya menenangkan mama James.
"Yah, aku sangat berharap pada hubungan kalian, aku ingin kalian menikah, dan semoga sebelum aku benar-benar meninggalkan dunia ini, aku bisa mendapat cucuku, dari kalian," mata mama terlihat berkaca-kaca dan James tak tega melihat mamanya, ia genggam tangan mamanya. Tanpa bersuara.
***
Siang hari mereka telah sampai di bandara dan tak lama mereka segera menuju pesawat, mama dan papa bergantian memeluk James dan Meisya.
"Kami akan sangat senang jika kalian meluangkan waktu ke Perth lagi," ujar papa, pada James dan Meisya.
Mei tersenyum dan mengangguk pelan. Sementara mata mama James berkaca-kaca memandang James dan Meisya.
***
Selama di peswat Mei diam saja, memejamkan matanya dan mulai tidur.
Meisya terbangun saat tangannya terasa hangat, ia membuka matanya, melihat tangannya digenggam oleh tangan besar James. Perlahan Mei menarik, namun James semakin mengeratkan genggamannya.
"Biarkan aku menggenggamnya Mei selama di pesawat, karena setelah sampai di Sydney nanti, aku yakin, kau akan semakin sulit ku temui, aku tahu kau tidak akan dapat aku miliki, setidaknya di sini, di pesawat ini, aku mencoba mengalihkan kekuatanmu pada diriku, aku mencintaimu Meisya," ujar James pelan, menahan sesak dalam dadanya.
Mei diam tak bersuara, mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh. Ya Tuhan, mengapa aku menghadapi situasi seperti ini, aku tidak ingin menyakiti siapapun, hatiku hanya untuk kak Edwin, tapi James adalah teman terbaik selama di Sydney, aku juga tak ingin dia terluka.
Perlahan Mei menyusut air mata dengan jarinya, mengalihkan pandangannya agar James tak melihat air matanya jatuh. Namun gerakan tangannya berkali-kali ke matanya membuat tangan James membawa wajahnya menghadap pada James.
Dipandanginya wajah Mei yang telah penuh dengan air mata. Direngkuhnya kepala Meisya pada bahunya.
"Maafkan aku Meisya, maafkan aku yang mencintaimu dan menyiksamu dengan cara seperti ini, akan aku coba untuk menghilangkan perasaan ini, akan aku coba mengalihkan perhatian pada yang lain, aku tidak ingin merebutmu dari Edwin," James mencium kepala Meisya, lama, sambil memejamkan mata.
***
Perjalanan yang melelahkan dan menyesakkan dada bagi keduanya, akhirnya sampai di Sydney kembali.
"Aku antar kau sampai apartemenmu Mei," ujar James. Mei menggeleng.
"Tidak usah," Mei menarik travel bagnya dan berjalan perlahan meninggalkan James yang memandangnya dengan sedih.
***
Sesampainya di apartemen Meisya menghela napas berat. Ia memencet password dan pintu terbuka, masuk perlahan dan matanya terbelalak melihat sosok tampan yang sangat ditunggunya, tersenyum lebar, duduk di ruang makan, di meja makan tersaji makanan, entah apa itu.
"Kak Eeed....
***
Edwin berdiri dan merentangkan tangannya, Meisya berlari menubruk tubuh besar Edwin dan menangis dalam pelukannya, kelelahan dan kekesalannya selama berada di Perth dan siksaan dalam pesawat tadi ia tumpahkan dalam dada Edwin.
"Heeeeiii heeii sayang, kenapa sampai sesedih ini tangisanmu, kakak minta maaf kalo kakak tidak memenuhi janji, kakak yakin kamu marah sampai meninggalkan apartemen, pergi kemana kamu, untung kakak baru nyampe juga, sejam yang lalu, kakak pikir kamu ada di apartemen eh ternyata apartemenmu kosong, hei sudah berhenti nangisnya, kakak jadi merasa bersalah, segitu kangennya kamu sama kakak sampe kayak gini," Edwin bingung mau tertawa atau sedih karena Meisya masih saja memeluknya dengan erat.
Sesaat kemudian Meisya melepas pelukannya.
"Kak, kalo bisa dua minggu sekali ya kakak ke sini, kalo seminggu sekali, Mei kasian kakak, jadi berat di ongkos mana capeknya lagi, trus nggak enak juga sama ibu Minda," pinta Meisya sambil mendongakkan kepalanya menghadap wajah Edwin. Edwin tersenyum memandang wajah Meisya.
"Iyah kakak akan ke sini dua minggu sekali, kakak juga kangen Mei, sangat," Edwin menundukkan wajahnya merasakan bibir Meisya yang ia rindukan. Badan Meisya meremang saat tengkuknya di tekan oleh Edwin. Dan membiarkan Edwin lama menciumnya.
Sesaat kemudian mereka saling berpelukan, lamaa, Edwin melepas pelukannya saat Meisya mendorong pelan badannya.
"Kenapa sayang?" tanya Edwin. Wajah Meisya memerah.
"Itu, anu ada yang ganjel di perut Mei," Meisya membenamkan lagi wajahnya di dada Edwin. Edwin tertawa dan mencubit pipi Mei gemas.
"Tetep aja kamu ya, kelakuan nggak berubah, nggak usah bilang, cukup dirasakan," Edwin tertawa pelan.
"Eh iya sayang itu tadi pas dibandara kakak beli makanan, kawatir kamu belum makan, tapi ya gitu itu, jauh lebih enak masakan kamu, eh itu lagi, sekotak bumbu soto, dikemas aman ada di tas ransel kakak, bikinkan ya sayang, sumpah kakak kangen sama soto bikinan kamu, cuman di sini apa ya ada kubis sama seledri sebagai pelengkapnya?" tanya Edwin sambil berjalan menuju tas ransel dan memberikan kotak tersegel rapi. Pasti bu Minda yang menyiapkan.
"Gampanglah kita cari di sekitar mini market di depan, kalo nggak ada, ntar aku mau tanya rumah makan di sebelah apartemen ini, punya orang Indonesia kak, aku cukup mengenalnya dengan baik," Mei menerima kotak dari tangan Edwin dan meletakkannya di dapur.
"Iya dah kak, aku ganti baju ya?" Mei melangkah ke kamarnya dan menggantinya dengan baju rumah setelah dari kamar mandi membersihkan diri.
"Dari mana kamu sayang, kok sampe bawa travel bag mungil?" tanya Edwin saat mereka duduk di sofa berdua. Mei menyandarkan badannya ke dada Edwin, sementara Edwin memainkan rambut panjang Meisya.
"Anu apah itu nginep di rumah teman," jawab Meisya dengan perasaan bersalah.
"Jangan gitu, jangan dibiasakan, mending teman kamu aja suru nemenin di sini," ujar Edwin sambil meraih ponselnya yang berdering di meja. Seketika ia kaget dan memberikan ponselnya pada Meisya.
"Sayang, tolong terima, katakan saja siapa kamu, bilang kalo kamu calon istriku dan kita sedang di Australia, cepet terima jangan banyak tanya dan ingat, perhatikan nada suara kamu, jawab dengan tegas nah cepat," Edwin memberikan ponselnya pada Meisya.
"Haloooo yaaaa"
"Loh ini siapa? Terdengar kaget suara si penelpon"
"Maaf ini saya dengan siapa?"
"Saya Violeta, rekan kerja bapak Edwin, ini siapa mana bapak Edwin"
"Saya Meisya, tunangan bapak Edwin, pak Edwinnya masih mandi, ada yang bisa saya sampaikan ibu?"
"Ooo gitu, iya sampaikan saja, saya akan menemuinya besok di kantor"
"Oh maaf tapi kami sedang berada di Australia, di Sydney"
"Ooooh ya sudah, sampaikan saja dari Violeta"
Penelpon menutup ponselnya dan Meisya mengangkat bahu memberikan ponselnya pada Edwin.
"Siapa dia kak?" tanya Mei heran.
" Hmmmm ular betina," jawab Edwin asal.
"Kok?" Meisya masih penasaran.
"Aku kan nunda berangkat gara-gara ngurus perusahaan yang aku ambil alih nah ni dia, dia itu anak pemilik perusahaan itu, kamu tahu dia ngejar aku sampe ke rumah karena di kantor aku nyuru satpam ngusir dia eh nekat ke rumah, ya kebeneran ada mama, sama mama disuru duduk sekalian dan mama bilang bawah tahun depan aku akan dinikahkan dengan calon pilihan mama, sama mama disuru jangan ke rumah, haduu namanya uler ya tetep aja ngejar-ngejar," Edwin teihat mangkel.
Meisya memeluk leher Edwin dan menciun pipinya, Edwin memandang wajah Meisya.
"Dikira gampang jatuh cinta ya Mei, aku aja bisa cinta sama kamu setelah lima tahun, merasakan sakit selama itu, dan disaat sudah menemukan tempat pulang, ada penghalang kayak gini, nggak akan mampu mengalihkan pesonamu dengan yang lain," Edwin mencium kening Meisya, ada rasa sakit dalam hati Mei, rasa menyesal telah membagi perhatiannya meski sedikit pada James.
Sekali lagi Mei mencium pipi Edwin dan Edwin menatapnya dengan penuh cinta. Merebahkan kepala Meisya di sofa dan melabuhkan ciumannya pada leher Mei, Meisya merasakan gelenyar aneh di seluruh tubuhnya saat tanpa sadar kemeja Edwin dan kaos Meisya telah teronggok di bawah meja, Meisya tersentak saat tangan Edwin menyusup diantara celana dalamnya.
"Jangan kak, jangan, aku pasti akan memberikannya pada kakak, tapi tidak sekarang, nanti setelah kita menikah," Edwin menghentikan tangannya dan menutup badan Mei dengan kemejanya. Tersenyum lembut, mencium kening Mei dan melangkah ke kamar mandi.
***
"Asik juga ya belanja di bagian sayur dan buah, seger-seger deh," ucap Edwin membantu membawakan belanjaan yang cukup banyak setelah dari minimarket karena Mei sekalian beli untuk stok dia sendiri.
"Hmmm lebih asik belanja di pasar tradisional di Indonesia kak, ada acara nawar-nawar segala, biasanya aku bisa dapat murah, soalnya mesti ibu-ibunya yang jual bilang, ia dah gak papa dijual murah untuk perawan cantik, lariiis..lariiiis, biasanya gitu kak," Meisya menoleh waktu Edwin tertawa dengan keras.
"Bukan karena kamu cantik dikasi murah, tapi lebih tepatnya wajah kamu yang memelas yang bikin mereka gak tega ahahhaah," Edwin membuka kulkas dan meletakkan buah-buahan yang dibeli tadi agar tetap segar.
"Iiih gak percaya," Meisya terlihat sewot.
"Aku ganti baju dulu kak, mau masak sotonya sekarang aja, besok aku ada jam kuliah pagi kak, cuma ada satu mata kuliah, udah gitu kita kemana ya kak, jalan-jalan yok besok, cari tempat yang nggak rame kak, biar bisa romantis-romantisan," Meisya tersenyum semanis mungkin. Edwin tertawa lagi melihat wajah Mei yang lucu.
"Ke Darling Harbour aja, bagus di sana pemandangannya, ada cafe-cafe cantik lagi," sahut Edwin cepat.
"Iya dah sembarang, pokok aku ikut kakak, aku ganti kaos aja dulu mau masak," Mei melangkah ke kamarnya, lalu menutup pintu, tak lama kemudian pintu apartemen ada yang mengetuk, Edwin menoleh, Siapaaaa lagi, pikir Edwin. Menjelang malam kok ada yang mengunjungi kekasihnya. Dibukanya pintu, tampak wajah Edwin dan orang dihadapannya sama-sama menengang.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Edwin dengan wajah dingin.
==========
Ada yang bisa saya bantu?" tanya Edwin dengan wajah tak berekspresi.
"Sampaikan surat ini pada Meisya, tolong besok sampaikan ke kantor jurusan," James menyerahkan amplop coklat pada Edwin. Edwin menerima dan ....
"Mungkin kita perlu bicara, saat ini," Edwin ke luar dari apartemen Meisya dan melangkah mendahului James. James berjalan dengan tenang di belakang Edwin, mengikuti kemana arah Edwin melangkah.
Sampai di gazebo apartemen, Edwin duduk dan James pun duduk di hadapan Edwin.
"Ada yang perlu saya sampaikan pada anda, bahwa saya adalah kekasih yang dalam dua tahun lagi atau mungkin kurang, akan menjadi suami Meisya, saya melihat ketidak wajaran hubungan anda dengan kekasih saya, saya tidak menuduh anda tapi hati kecil saya mengatakan, jika anda menyukai Meisya," ujar Edwin dengan tenang, tatapan matanya tak lepas dari wajah James. James terlihat menahan napas dan meneguk salivanya. Ia memajukan wajahnya, memandang wajah Edwin.
"Saya memang mencintai Meisya, tapi tidak ada niat dalam hati saya untuk merebutnya dari anda, sejak awal kami berteman, dia sudah mengatakan bahwa anda cinta pertamanya dan tidak ada seorangpun yang bisa mengambil posisi anda dari hatinya, meski seandainya saya bisa merebutnya dari anda, akan percuma juga bagi saya, saya hanya akan memiliki raganya, tidak hati dan jiwanya," James bangkit dan melangkah meninggalkan Edwin yang masih tertegun di gazebo.
Perlahan James melangkahkan kakinya. Pikirannya entah kemana, Mei aku berbohong pada Edwin, seandainya, seandainya bisa aku ingin merebutmu dari Edwin, membawamu lari dari sisinya lalu kita hidup bahagia berdua, hari ini aku ingin pamit Mei, dua minggu aku akan ke Korea menjadi dosen tamu di sana, baik-baik kamu ya Meisya, aku pasti merindukanmu. Edwin terus melangkahkan kakinya. Ia akan berusaha selama dua minggu untuk menghilangkan bayangan Meisya dari matanya, mungkin dua minggu di Hankuk University dapat membantunya sedikit demi sedikit melupakan Meisya.
***
"Dari mana kak, tadi Mei cariin, beli apa ke depan, kan sudah lengkap semua?" tanya Mei sambil melangkah ke dapur.
"Ini dari James, serahkan ke kantor jurusan katanya," Edwin menyerahkan amplop coklat pada Meisya. Mei kaget, kapan James ke sini?
Meisya ingin bertanya banyak pada Edwin tapi hati kecilnya melarang. Mei menerima amplop coklat dan meletakkannya di meja dalam kamarnya.
Mei melangkah ke dapur sambil menggulung rambut panjangnya dan menjepitnya dengan ketat.
Mei mulai menyiapkan bumbu untuk memasak soto, Edwin memandangnya dari tempat duduk tak jauh dari tempat Mei memasak. Berbagai macam perasaan berkecamuk dalam hati Edwin setelah pembicaraannya dengan James.
Bagaimana James tahu jika ia adalah cinta pertama Mei, apakah James pernah mengutarakan perasaannya, di mana, pada saat apa. Apapun itu terima kasih Mei telah mengatakan langsung pada James. Apa saja yang dikatakan Meisya pada James, pada saat bagaimana mereka berdua. Sudahlah Ed sudahlah. Toh Meisya tetap lebih memilihmu.
Edwin tersentak kaget saat Meisya sudah di sisinya dan menepuk bahunya.
"Heh kaaan kakak ngelamun, ngapain duduk di dapur trus ngelamun, bentar ya sabar itu ayamnya masih di bikin empuk, bumbunya juga sudah siap, paling sejaman lagi lah, nih soto dah siap," Meisya menepuk pipi Edwin yang masih terdiam dan memandanginya. Mei memajukan wajahnya, memandang Edwin yang duduk.
"Kau mencintaiku kan Meisya?" tanya Edwin tiba-tiba. Ada rasa perih di hati Mei yang entah mengapa muncul bersamaan saat pertanyaan dari Edwin muncul. Mata Meisya berkaca-kaca.
"Mengapa tiba-tiba muncul pertanyaan itu kak, apa karena James ke sini, lalu buat apa aku memohon-mohon kakak ke sini jika aku tidak punya perasaan apa-apa pada kakak?" tanya Mei masih memandangi Edwin dengan tatapan aneh.
"Apa saja yang dikatakan James hingga muncul pertanyaan itu dari kakak?" tanya Meisya lagi. Edwin berdiri dan memeluk Meisya. Membawa kepalanya dalam dadanya.
"Aku sangat takut kehilanganmu Mei, butuh waktu lima tahun untuk menyembuhkan hatiku dari luka kehilangan, aku tidak berani menerima kenyataan jika harus kehilangan lagi, kamu tahu, dua hari yang lalu mama baru memberi tahuku, jika mama sengaja membawamu ke rumah agar kamu menyembuhkan lukaku, dan mama berhasil," Edwin mengurai pelukannya, menatap wajah Meisya, diciumnya kening Mei. Mei melepaskan pelukannya dan menuju dapur lagi. Menyelesiakan tahap akhir dari masakannya. Meisya semakin bingung, ada apa antara kak Edwin dan James pikirnya.
***
Pagi Mei sudah di kantor jurusan ia serahkan amplop coklat pada Mr. Edward.
"Akhirnya dia jadi ke Korea untunglah semuanya sudah siap, jadi dia tinggal berangkat," Mr. Edward melangkah meninggalkan Meisya. Mei terkesiap, Korea? James tidak mengatakan apa-apa, mengapa begitu tiba-tiba.
Mei bergegas mengambil ponselnya, ia telpon James. Tidak diangkat, apakah sudah berangkat pikir Meisya. Ia telpon lagi, terdengar suara berat James...
"Aku berangkat Meisya, jaga diri baik-baik"
"James Jaaaames.."
Lalu hilang suara James...Meisya merasa kosong pikirannya mengapa tiba-tiba James ada apa? Aku tidak mencintaimu, tapi ada yang hilang saat kamu pergi, mengapa James...mengapa?
Meisya duduk tertegun di koridor kampusnya, seharusnya ia sudah pulang, sudah tidak ada perkuliahan lagi, tapi Meisya merasa berat meninggalkan kampus, berjuta tanya di kepala Meisya membuatnya mematung di tempat itu sampai dua jam berlalu.
***
Meisya memencet password apartemennya, melangkah pelan dengan pikiran kosong, hingga tak sadar tatapan Edwin yang mengikutinya sejak ia masuk sampai menuju kamarnya.
"Kaaak kakaaak," teriakan Meisya menyadarkan Edwin.
"Ada apaaa, sejak kamu masuk, kakak sudah di sini, di ruang makan nih dekat dapur," sahut Edwin.
"Oh yaaaa, kok aku nggak liat?" Mei menggaruk-garuk kepalanya.
"Mana bisa liat kalo kamunya ngelamun, pasti ngelamunin James ya, sudah ketemu sama dosen gantengmu?" tanya Edwin dengan wajah tak enak dilihat. Mei diam untuk sesaat. Mengerjabkan matanya dan memandang Edwin.
"James sudah berangkat ke Korea kok kak, nggak ada di sini lagi," ujar Mei dengan suara pelan. Edwin kaget.
"Oh yaaaa, makanya kamu ngelamun,sedih ya ditinggal dosen ganteng?" tanya Edwin tanpa senyum.
"Nggak gitu kak, aku sama James kan berteman sejak awal aku di sini, sedikit banyak dia bantu-bantu aku pas awal-awal kuliah, coba aja kakak sendiri yang ngalami, kalo kakak punya teman baik trus tiba-tiba ngilang, gimana perasaan kakak coba?" tanya Meisya sambil mendekatkan wajahnya pada Edwin.
"Duduk sini kakak kasi tau, sudah pernah kakak bilang kan, tidak ada pertemanan yang murni antara laki-laki dan perempuan, pasti salah satunya akan jatuh cinta, ato bahkan kedua-duanya akhirnya saling tertarik, dan asal kamu tahu, James bilang sama kakak, kalo dia cinta sama kamu, dia bilang juga kalo dia gak ada niatan sedikitpun mau ngambil kamu dari kakak, tapi kakak nggak yakin pada ucapannya, kakak ingat dia sampe bela-belain ngasi cokelat pas valentin, apa nggak ada orang lain yang bisa dia kasi cokelat, trus surat ke jurusan kamu juga, lah ngapain sampe dititipin ke kamu, masak nggak punya teman sesama dosen, dia loh sudah doktor, pasti punya banyak rekanan di kampus," Edwin berbicara sedikit berapi-api, Mei agak takut melihat perubahan wajah Edwin.
"Jadi berhentilah dekat dengan James Meisya sayang, kakak jadi ngerti, mengapa dia mencoba menjauh dari keadaan yang tak enak ini, dia sadar kamu sudah ada yang memiliki, tapi dia tetap tidak bisa menghilangkan kamu dari hatinya, James berpikir, dengan jauh dari kamu, dia akan mampu menghapus bayang-bayang kamu," Edwin menggenggam jari Meisya yang masih menatapnya dengan bingung.
"Wajah kamu yang cantik, tingkah kamu yang manja dan manis, membuat siapapun akan cepat jatuh cinta sama kamu," Edwin mencubit pipi Meisya dengan lembut.
"Kalo boleh tahu, kakak bicara di mana sama James?" tanya Mei penasaran.
"Kamu nggak perlu tahu, yang jelas kami sudah bicara, dan dia tahu apa isi pikiranku," jawab Edwin pelan.
"Tidurlah kalo kamu capek, kita nggak usah ke Darling Harbour, kita jalan-jalan aja sekitar apartemen sini, ada cafe-cafe cantik, ato kita cukup duduk-duduk aja ngambil kursi lalu duduk di balkon, sambil saling peluk hmmmm?" Edwin masih memandangi wajah Meisya.
"Aku mau makan aja kak," Mei berlalu meninggalkan Edwin ke dapur.
"Ya ampun kaaaak ke mana nih soto, kok cuma tinggal pancinya, trus aku mau makan apaaaa?" Mei terlihat kesal.
"Lah kan tadi malam setelah kamu masak, kakak makan, trus tadi sarapan, trus baruuuu aja kamu nggak dateng-dateng dari kampus ya tak makan sekalian, lagian kan ada ayam ungkep Meiii, tinggal goreng aja kok repot," Edwin menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Huh keterlaluan, soto sepanci dihabisin," Mei mengeluarkan penggoreng dan mulai menuangkan minyak goreng untuk menggoreng ayam.
"Halah soto sepanci kecil aja kok," Edwin masih membela diri.
Meisya masih saja mangkel pada Edwin yang tidak menyisakan untuknya soto meski sedikit.
Akhirnya masak sudah ayam goreng plus sambel bajak versi Meisya.
Meisya asik makan sampai berkeringat karena pedas, Edwin ingin sekali tapi ada daya perutnya tidak tahan pada sambel yang pedas, akhirnya Edwin hanya makan ayam goreng yang dicocol dengan kecap tanpa cabe.
"Hmmmm sudah tua, tapi selera pedas kok kayak anak tk," ledek Meisya.
"Biarin, yang penting urusan makan jalan terus," balas Edwin sambil mengunyah dengan semangat.
"Kaaak jangan diabisin, heran deh malah kakak yang semangat makan ayam gorengnya," Meisya tampak terlihat kesal. Tiba-tiba pintu diketuk dan Meisya membuka pintu dengan tangan kiri, karena tangan kanannya berlepotan sambal.
Wajah Gavin muncul sambil cengar cengir.
"Pinjam tas ransel, punya nggak, yang rada besar, diajak temen-temen kelas camping."
"Bentar, aku ambil dulu, siapa tau cocok, nggak gitu besar, tapi lebih besar dari tas ransel ke kampus, tunggu di sini, ada kakakku, ntar kamu di semprot lagi," Meisya semakin mengecilkan suaranya. Dan melangkah masuk ke kamarnya.
"Siapa Mei?" tanya Edwin yang mencuci tangan setelah makan ayam goreng.
"Gavin kak, mau pinjam ransel, buat camping sama temennya," Meisya menjawab dari dalam kamar dan keluar lagi menemui Gavin.
"Nih, ini cuman aku punyaknya, gimana?" tanya Meisya.
"Hmmm iya dah, aku pinjam Mei ya, hmmm tiga hari ajalah, pakek uang sewa?" tanya Gavin meledek.
"Ya iyalah, bayar pake foodtruck depan kampus," kata Meisya sambil menggoyang-goyangkan kepalanya.
"Heh dasar rentenir, iya dah gampil," Gavin membawa tas Meisya menuju apartemennya.
Mei masuk dan meneruskan makannya. Setelah selesai ia mencuci semua piring kotor dan mengeringkan tangannya menggunakan serbet bersih yang ada di dapur. Lalu masuk ke kamarnya dan mendapati wajah Edwin yang tak biasa, memegang ponselnya.
"Ada apa kak?" tanya Mei takut. Edwin memberikan ponsel ke tangan Meisya.
"Ada seorang wanita menelpon, dia mengaku mamanya James."
Dan wajah Meisya, menjadi pucat seketika.
Bersambung #9
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel