Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 23 Juni 2021

Soto Untuk Kakak #9

Cerita Bersambung

Meisya, aku mencintaimu, sangat mencintaimu, aku katakan semua padamu segala sesuatu yang aku alami dan aku rasakan sejak aku menyatakan perasaanku padamu, karena aku tidak ingin ada yang aku sembunyikan padamu, kakak juga berharap begitu, tidak ada yang kamu sembunyikan dari kakak meskipum sedikit," Edwin melangkah, mendekati Meisya, merengkuh kepala Mei ke dadanya, dan menciumnya pelan. Edwin merasakan debar jantung Meisya.

"Mau kan Mei kamu menceritakan dengan jujur,  apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan James sampai melibatkan mamanya,  sampai mamanya menelponmu,  berarti sudah ada kedekatan antara kamu dan mama James, kakak tidak akan marah, kakak tahu kamu lebih memilih kakak, tapi kakak yakin ada hal yang tidak kakak ketahui," Edwin masih mengusap punggung Mei, seolah berusaha memberikan ketenangan bahwa ia akan sabar mendengarkan cerita Meisya.

Dilepaskannya pelukan pada Mei, ditangkupnya pipi Meisya dan dipandanginya wajah lugu yang ada di depannya.

"Kamu bukan orang yang pandai berbohong, matamu adalah bagian yang paling jujur, ceritakan pada kakak, kita duduk di sofa, kakak akan mendengarkan," Edwin menuntun Mei ke sofa, setelah mereka duduk, digenggamnya tangan Mei.

"Kakak jujur Mei, tadi waktu kakak tahu yang menelpon adalah mama James, hati kakak sempat tak karuan dan sempat juga ada rasa marah tapi, melihat matamu yang selalu memandang kakak dengan penuh cinta,  kakak percaya hati kamu lebih memilih kakak,  hanya kakak yakin ada hal yang tidak kakak ketahui," Edwin berusaha tersenyum.

Meisya memandang Edwin dengan rasa bersalah yang besar,  ia tahu,  jika Edwin berbicara dengan bahasa formal, berarti ia tidak main-main.

"Mei akan cerita semua pada kakak, tapi jangan potong cerita Mei, sampai Mei selesai cerita, awalnya Mei tidak pernah tahu jika akhirnya akan membingungkan seperti ini, Mei hanya berpikir menolong James satu kali saja karena dia juga begitu, selalu memudahkan urusan Mei yang notabene masih baru di lingkungan kampus tapi... akhirnya kayak gini," mata Meisya berkaca-kaca.

Mei mulai bercerita lengkap dari awal, tentang permintaan James agar ia ikut dalam acara keluarga James karena James selalu diolok-olok jomblo sampai mati, Mei tidak mengira jika papa mama James akan hadir mengingat jarak Perth yang cukup jauh dengan Sydney, tentang ketertarikan mama James sejak awal pada Mei, tentang undangan ke Perth yang awalnya akan Mei akan jujur pada mama James tentang hubungan pura-pura mereka yang akhirnya gagal gara-gara mama James bercerita tentang kanker yang diderita oleh mama James.
Namun satu hal yang tidak akan pernah Mei ceritakan pada Edwin, tentang James yang telah enciumnya, meski ia tidak merasakan apa-apa, ia tidak ingin Edwin merasa kecewa dan meninggalkannya, karena pelan tapi pasti, Meisya merasakan cinta yang sangat besar pada Edwin.

Edwin menghela napas panjang, digenggamnya tangan Mei, dipandanginya wajah cantik nan mungil dihadapannya.

"Kamu terlalu baik, kamu lebih banyak pake perasaan, pakailah logika Meisya, kakak tahu mama James sakit, tapi justru karena sakit kamu harus jujur padanya secepat mungkin, jika dia tahu di akhir, maka akan semakin memperparah keadaan, terimalah telpon dari mama James, jika dia ingin bertemu denganmu, ayo kakak temui,  kita bicara baik-baik, kakak yakin mama James tidak akan marah atau benci pada orang semanis kamu," Edwin memandag Meisya dengan perasaan cinta yang amat sangat, wajah ketakutan,  cemas dan bingung Mei semakin membuat Edwin gemas, Edwin tersenyum perlahan merengkuh bahu Meisya, mengangkat dagunya dan mencium bibirnya perlahan, bibir Meisya begertar dan perlahan terdengar isak tangisnya. Mei melepaskan ciuman Edwin.+

"Maafkan Mei,  kak," lirih suara Mei diantara isak tangisnya.
"Kakak akan selalu memaafkanmu, tapi jangan buat keadaan menjadi sulit karena kebaikanmu, tidak setiap masalah selalu pakai perasaan Mei, jika membahayakan dirimu maka pakailah logikamu," Edwin kembali merengkuh Meisya dalam pelukannya.

Berhentilah menangis, telponlah mama James, jangan buat dia menunggu, tadi kakak tidak bilang apa-apa saat dia menelpon, kakak hanya bilang kamu ada tamu, dan dia tidak tanya kakak ini siapa, dia hanya bilang akan segera menelpon lagi," Edwin mengurai pelukannya dan menggangguk meyakinkan Mei agar menelpon mama James.

Perlahan tangan Mei meraih ponsel yang ia masukkan dalam celana pendeknya tadi. Dan mulai menelpon mama James. Ada rasa takut dalam hati Mei, ia tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi. Namun tatapan lembut James membuat Meisya sedikit tenang.
Tak lama telpon tersambung, Mei pasang speaker agar Edwin juga mendengar pembicaraan mereka.

"Halooo Meisyaaaa.."
"Halo tante,  maaf tadi tante nelpon Mei?"
"Iya sayang, ada yang ingin tante bicarakan, besok Meisya pulang kuliah jam berapa?"
"Kebetulan besok tidak ada jam kuliah tante"
"Ok, kalo gitu siang ya, tante mau ke apartemen kamu"
(Mei terbelalak kaget dan Edwin mengangguk, bermaksud agar membiarkan saja mama James mendatangi apartemennya)
"Oh iya iya tante"
"Alamat apartemenmu dimana?"
"Meisya menyebutkan alamat apartemennya"
"Ok sampai ketemu besok siang ya sayang,  kebetulan suami tante ada urusan bisnis ke Sydney sekalian tante ikut, ada masalah penting yang mau tante bicarakan padamu sayang, ok sampai besok ya"
"Iya tante"

Dan Meisya menutup sambungan ponselnya. Meisya terlihat bingung, namun tangan Edwin menepuk punggung tangan Mei menyadarkan lamunannya.
"Tidak apa-apa, terima mama James kakak akan menunda jadwal pulang menjadi lusa pagi-pagi, kakak akan memastikan kamu baik-baik saja, sebelum kakak pulang ke Indonesia."
***

Malam hari karena kelelahan Meisya tertidur pulas di kamarnya. Edwin membuka kamar Mei dan memandangi wajah lugu nan cantik yang tidur dengan napas teratur.
Disibaknya rambut lebat dan panjang milik Meisya. Diusapnya pelan pipi Mei dan menciumnya sekilas.

Jam 01.00 Edwin merebahkan badannya di sisi Meisya. Memeluknya pelan dan mulai memejamkan matanya.
***

Mei menggeliat pelan, dan baru sadar jika Edwin tidur di sisinya, lengan besar Edwin melingkar di pinggang Mei. Perlahan Mei memindahkan lengan Edwin dan melangkah ke kamar mandi.

Saat ke luar dari kamar mandi,  Mei melihat Edwin masih tidur pulas. Ia pandangi wajah Edwin,  rasa bersalah masih juga dirasakan oleh Meisya. Kedatangan mama james nanti siang benar-benar membuat pikiran Meisya tak karuan.

Edwin bergerak pelan dan membuka matanya.
"Hei pagi-pagi sudah mandi?" tanya Edwin kaget dan tersenyum pelan.
"Sudah berdandan pulaaa,  mau nunggu mamanya James yaaa?" tanya Edwin menggoda. Terlihat Meisya yang masih ada di sisi kasur. Dan sudah berdandan cantik dan menopang dagu dengan tangannya.


"Ih nggak kak, ayo kakak cepetan mandi,  Mei mau ngajak kakak ke foodtruck dekat-dekat sini nih,  yang punya orang Padang, paling sekitar 150 meterlah dari sini, kalo pagi nyiapkan sarapan macem-macem kayak yang di kampus Mei," Meisya menarik Edwin bangun dan mendorongnya ke kamar mandi.

"Aku tunggu di luar ya kak," Mei melangkah ke luar kamar.

Tak lama Edwin muncul, Mei memandang Edwin yang selalu terlihat tampan menurut Mei.

"Ih kakak selalu ganteng deh," Meisya terlihat memandangi Edwin dengan tatapan kagum.
"Ya iyalah makanya di buku harian kamu, isinya mengagumi badanku, wajahku, pengen digigitlah, apalah," ujar Edwin santai sambil berlalu tanpa melihat Mei. Dan mata Meisya membulat, mulutnya terbuka lebar. Dan berlari memukul Edwin dengan wajah memerah karena kejelekannya jadi terbongkar.

"Aaaaaaa kakak jahat, ngapain buka buku harian Mei. Iiiih kapan kakak nyurinya," Mei masih memukuli lengan Edwin. Edwin pegangi dua tangan Mei sambil tertawa lebar.

"Lah kakak nggak sengaja nemu waktu kamu kemana ya, apa pas ikut lokakarya ke puncak apa pas kamu ke sini ikut tes awal apa ah lupa," Edwin masih memegang tangan Mei yang berusaha memberontak.
"Kakak juga ngapain masuk kamar Mei, iiih pasti dulu kakak pura-pura benci Mei kaaan, huh taunya suka sama Mei, heh pake acara ngusir-ngusir lah," Mei masih saja ngoceh sampai bibir Edwin menekan bibirnya pelan dan segera Edwin lepaskan.

"Ayo ngoceh lagi,  kakak cium lagi kamu," Edwin tertawa lebar dan memeluk bahu Mei mengajaknya melangkah menuju pintu.
***

Meisya menggandeng lengan Edwin dan keduanya terlihat asik  bercanda, ke luar dari area apartemen Meisya, saat tanpa Mei dan Edwin sadari tatapan mata mama James mengikuti mereka berdua dan mengejar Mei di belakangnya. Menepuk pundak Mei pelan. Mei menoleh dan kaget.
"Tante!"

==========

Meisyaaa...," tante Melda memeluk Mei yang sudah melepaskan pelukannya pada lengan Edwin.
"Kenalkan tante ini kak Edwin," ujar Meisya dengan tatapan dan sinar mata yang tampak bingung, Edwin dan tante Melda bersalaman namun Edwin segera mundur dan membiarkan dua wanita dihadapannya berbicara.

"Maaf, tante datang lebih pagi,  papa James tiba-tiba memajukan jadwal keberangkatan karena banyak yang akan diselesaikan di sini, mau ke mana pagi-pagi Meisya?" tanya tante Melda menatap Meisya yang terlihat bingung.
"Sarapan tante, kebetulan di depan sana ada foodtruck, nggak papa ya tante,  kita sarapan di sana," Meisya mengajak tante Melda melangkah dan menoleh memandang Edwin yang mengangguk mengikuti langkah Meisya.
***

"Kita duduk di sini saja,  sayang," suara Edwin yang lembut mengagetkan Meisya dan tante Melda.
"Iiii..iiyaaa," ujar Mei gugup.
Mereka memesan sarapan dan duduk bertiga di area dekat foodtruck. Ada beragam masakan dan makanan yang bisa dipilih, masakan Indonesiapun ada dalam menu pilihan.

"Hmmm maaf jika saya boleh tahu kalian kakak adik atau sepupu?" tanya tante Melda bersamaan dengan makanan yang mereka pesan datang.

Edwin mengambil makanan miliknya dan berdiri, tersenyum ramah pada tante Melda.

"Maaf tante saya akan pindah meja,  silakan jika tante akan melanjutkan percakapan dengan Meisya, aku pindah ke sana sayang ya," Edwin melangkahkan kakinya dan duduk agak menjauh,  membiarkan Mei menyelesaikan masalahnya. Tante Melda kembali menatap Mei dengan tatapan penuh tanya.

"Boleh tante tahu sayang, kamu dan Edwin memang kakak adik? Emmm kandung maksud tante?" tanya tante Melda mengulang pertanyaannya, mulai menikmati salad  dan hot lemon tea. Meisya memegang jari tante Melda dengan perasaan campur aduk.

"Tante, tante janji mendengarkan cerita Mei sampai selesai ya tante, Mei akan menyelesaikan sarapan Mei dulu, maaf ya tante, bentar aja, cuma coklat hangat sama chesee cake aja kok tante, nggak akan lama," Mei menyelesaikan sarapannya dengan segera, menghabiskan coklat hangatnya dan memesan air mineral sebotol. Tante Melda memperhatikan Mei dengan tenang,  ia hanya berharap tidak ada kejutan dari cerita Meisya nanti.

Terlihat Edwin melangkah,  menuju taman yang tak jauh dari tempat mereka duduk.
Meisya terlihat meneguk air mineral dan menatap tante Melda dengan tatapan agak takut.

"Tante, tante janji ya akan mendengarkan Mei, tante janji apapun nanti yang akan Mei ceritakan, tante nggak benci sama Mei," Mei terlihat semakin kawatir, tante Melda tersenyum memegang jemari Mei.

Dengan terbata-bata Mei menceritakan semuanya,  tanpa dikurangi dengan mata yang semakin mengabur dan isakan tangis yang semakin lama semakin menjadi.

"Maafkan saya tante,  saya tidak bisa menolak keinginan James, dia terlalu baik untuk saya, maafkan saya jika saya menyakiti tante, tante harus sehat, harus, agar James bisa menemukan tempat pulang ternyaman, dia selalu mengatakan bahwa tante adalah segalanya baginya, tante harus sembuh," suara tangisan Mei membuat tante Melda menahan tangis, ia berdiri dan memeluk kepala Meisya. Meisya akhirnya berdiri juga dan menangis di bahu tante Melda.

"James mencintaimu Mei, tante bisa melihat dari caranya menatapmu, tapi ia datang terlambat, tante yakin ia berangkat ke Korea karena cintanya yang besar kepadamu, dan memilih mematikan perasaannya, tante tetap akan menganggapmu sebagai anak tante, tante juga terlanjur mencintaimu dan tak akan mengubah perasaan itu di hati tante, jangan karena masalah ini kita jadi jauh Mei," tante Melda mengurai pelukannya, menghapus air mata Mei.
"Tante dan om memang sangat berharap kamu menikah dengan James, tapi James datang terlambat dalam kehidupan kamu, tapi yakinlah perasaan tante tidak berubah padamu," tante Melda kembali memeluk Mei dengan erat.

Edwin melihat dari jauh dengan lega, ia yakin Mei pasti sudah menyelesaikan masalahnya. Edwin berjalan pelan mendekati keduanya. Begitu melihat Edwin, Mei melepaskan pelukan tante Melda pelan. Tante Melda menoleh pada Edwin dan berusaha tersenyum.

"Maaf jika kami telah mengganggu hubungan kalian, Meisya telah membuat kami jatuh cinta, meski ia tidak berjodoh dengan James, perasaan tante pada Mei tidak akan berubah, maafkan James, maafkan kami," ujar tante Melda menatap Edwin yang tersenyum sambil menggangguk.

"Sama-sama tante, saya juga minta maaf jika akhirnya ada suasana tidak nyaman," ucap Edwin pelan.
Akhirnya tante Melda pamit pada Meisya dan Edwin.
Saat akan melangkah tiba-tiba tante Melda sedikit berjalan terhuyung, Edwin cepat meraih bahu tante Melda.

"Tante, tante baik-baik saja kan?" tanya Edwin terlihat kawatir.
"Tidak apa-apa, tante paling kecapean, dari Perth langsung ke sini tadi," jawab tante Melda tersenyum dan berlalu meninggalkan Edwin serta Meisya yang masih menatapnya cemas.
***

"Aku jadi merasa bersalah sama tante Melda tadi sayang," ujar Meisya setelah mereka kembali ke apartemen Mei.
"Tapi setidaknya kamu sudah tidak main kucing-kucingan lagi sama ortunya James, semakin lama berbohong,  mereka akan semakin sakit,  Mei," Edwin menenangkan Meisya.
"Tadi pas mau jatuh, wajah tante Melda pucat loh kak," ucap Mei sedih.
"Iyah, tadi kakak juga liatnya gitu, kakak agak cemas juga sebenarnya Mei, semoga nggak papa," Edwin melangkah ke kamar dan berganti baju dengan baju rumah, kaos dan celana pendek.

"Jadinya kita nggak ke mana-mana ini ya kak?" tanya Mei melangkah ke kamarnya hendak berganti baju pula.
"Nggak lah Mei, kita di sini saja, omong-omong, duduk-duduk di sofa ato di kasur aja," jawab Edwin setengah berteriak.
"Nggaaaak jangan di kasur kak, Mei takut kita ngapa-ngapaiiin,  kebablasan ntar," Mei juga berteriak dari dalam kamarnya. Edwin tertawa terbahak-bahak.

Mei ke luar kamar dan melihat Edwin nonton tv, entah acara apa.
"Nonton apaan kak?" tanya Mei.
"Nggak tau, daripada nggak ada kerjaan," Edwin memindah-mindah channel.
"Kakak berarti besok pagi ya mau balik?" tanya Mei menatap Edwin dari dekat, mereka duduk di sofa berdua.
"He eh mau ikut?" tanya Edwin, pandangannya masih ke tv.
"Mauuu,  tapi kan nggak mungkin," Mei merengek pelan. Edwin memandang Mei dengan lembut.
"Dua minggu lagi kakak pasti ke sini, mama pingin ikut katanya," Edwin melihat mata Mei yang terbelalak dan memeluk Edwin dengan erat.
"Bener ya kak, ah senangnya ibu Minda ikut,  kita jalan-jalan bertiga ntar ya kak?" mata Mei bersinar cerah. Edwin mengangguk sambil tersenyum.
***

Malam hari saat Mei akan tidur Edwin masuk ke kamarnya.
"Sudah ngantuk?" tanya Edwin. Mei menggangguk pelan. Edwin mengusap kepala Mei pelan dan ikut berbaring di samping Mei.

"Tidurlah, kakak hanya akan memelukmu," Edwin memeluk Mei yang mulai terlelap. Diciuminya kepala Mei berkali-kali.
"Ah semoga tidak ada lagi yang mengganggu kita Mei, kakak tidak mau kehilangan kamu," ucap Edwin lirih, Mei sudah terlelap. Dan Edwin semakin mengeratkan pelukannya.
***

Pagi-pagi terlihat Edwin sudah siap menuju bandara.
"Aku balik dulu ya sayang, jaga diri baik-baik, aku mau bilang mama, lebih baik kita nikah saja, meski kamu belum lulus,  aku ngeri meninggalkan kamu tanpa ikatan yang pasti," ujar Edwin pelan, namun sanggup membuat Mei terbelalak.
"Katanya mau nunggu Mei lulus?" rengek Mei. Edwin menggeleng pelan.
"Tidak, aku merasa itu jalan terbaik, tidak apa-apa kamu nunda kehamilan, tapi dengan kita menikah, aku menjadi tenang Mei," Edwin mencium bibir Mei pelan. Meisya mengantar Edwin sampai di luar apartemen. Edwin menoleh sekali lagi dan melambaikan tangannya.
Mei terlihat resah. Mengapa Edwin tiba-tiba berubah pikiran?
***

Malam hari, saat akan masuk ke kamarnya, Edwin mendengar sapa mamanya.

"Kok sampek nambah hari di Aussie Ed,  mama sih nggak papa, cuma ya kalian berdua di sana, benar-benar berdua,  mama kawatir kalian jadi lupa batasan yang pantas ato tidak," ujar bu Minda perlahan. Edwin menoleh dan tersenyum. Berbalik lalu melangkah mendekati mamanya.

"Mama, kita ke ruang makan aja ya, ada yang mau Ed bicarakan," Edwin dan bu Minda melangkah menuruni tangga menuju ruang makan. Bu Minda duduk dan melihat Edwin yang masih mengambil air minum di kulkas dan duduk di hadapannya. Membuka jas dan meletakkannya di sandaran kursi.

"Tadi siang aku sudah di sini kok ma, dari bandara langsung ke kantor, aku nambah hari di sana karena Mei ada masalah, masalah yang aku pikir penting ma untuk kelanjutan hubunganku dengan Mei," ujar Edwin memandang mamanya dengan tatapan serius.
"Oh ya, memangnya ada apa,  rasanya nggak mungkin Mei akan menduakanmu, mama kenal betul anak itu sejak kecil, dia anak yang manis, jujur, meski ya kadang terlalu polos dan lugu," Bu minda sedikit terkejut mendengar cerita dari Edwin.
"Nah ya itu lah ma yang bikin masalah, Mei memang tidak menduakanku, tapi kebaikan,  kejujuran dan kepolosannya itulah yang jadi penyakit bagi hubunganku dan Mei," Edwin melipat kemejanya sampai ke siku menarik dasinya perlahan. Ia menghelas napas lalu bercerita dari awal tentang James, lalu berlanjut sampai insiden Perth dan pertemuan Mei, Edwin dan mama James.

Bu Minda menghela napas berat, menggeleng perlahan dan tersenyum.
"Anak itu memang menyenangkan Ed, dia bisa membawa diri di tempat manapun, wajahnya cantik,  mungil,  siapapun akan mudah tertarik bahkan jatuh cinta padanya."
"Ah mama bikin aku semakin takut aja ninggalin Mei di Aussie sendiri," Edwin terlihat tersenyum namun beberapa menit kemudian, menggeleng perlahan.

"Makanya ma, maksud Edwin,  gini, kan empat bulan lagi Mei libur semester, gimana kalo Ed nikah aja sama Meisya ma, kan jadinya aman kalo Ed berlama-lama di Aussie, kalo Mei mau nunda punya anak gak masalah, yang penting Ed nikah dulu sama Mei,  Ed takut ma, ya ma, boleh?" tanya Edwin menatap cemas wajah mamanya. Bu Minda terlihat mengangguk dengan cepat dan tersenyum semakin lebar.

"Ah Edwin mama sebenarnya memang ingin kalian segera menikah, mama sangat setuju,  iya sayang iya, tapi apa kamu sudah membicarakan ini dengan Meisya?" tanya bu Minda serius.
"Sudah tadi pas aku mau ke bandara, tapi nggak membahas sampe serius ma, dan kayaknya Mei kurang suka, maunya dia setelah lulus saja, aduh kelamaan deh ma, mama mau kan bujuk Mei, ntar dua minggu lagi mama kan mau ikut ke Aussie, sekalian bujuk Mei ya ma," pinta Edwin dengan wajah serius.
Bu Minda menahan tawa melihat wajah Edwin.

"Pasti,  pasti mama akan membujuk Mei, Edwiiiin Edwin, sekarang ajaaa maksa maksa mama buat bujukin Mei mau nikah sama kamu, hmmm coba dulu awal awal Mei di sini, marahlah, ngusirlah,  halaaah halah," mama tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Edwin hanya menggaruk-garuk kepalanya dengan wajah memerah.
Tiba-tiba bik Sum sudah ada di belakang mama.

"Ada apa to Nyah kok malam-malam masih saja bercerita dan sepertinya den Ed bawa kabar bagus, sampe bikin mamanya tertawa," tanya bik Sum.
"Ini loh bik,  Edwin nyuru saya buat bujuk Mei mau nikah sama Ed, kok nggak ingat duluu waktu Mei diajak tengkar,  ngusir juga," mama kembali tertawa dan bik Sum akhirnya juga ikut tertawa.
"Hoalah nyaaah bener banget,  anak baik kok ya diajak tengkaaar terus, dikata-katain, dikasari, ealah ndilalah kok ya akhirnya mau diajak nikah, deeen den, lucu banget cerita dua anak ini nyah, ayo cepet nikah mumpung bik Sum masih sehat, nanti anaknya den Ed biar bibik yang asuh," bik Sum kembali tertawa.

Akhirnya Edwin mengalah,  meninggalkan keduanya yang tertawa tanpa henti, melangkah menuju kamarnya.
***

Edwin membuka pakaiannya dan segera ke kamar mandi. Setelah selesai ia terburu-buru ke luar dari kamar mandi saat terdengar ponselnya berdering panggilan video dari Meisya...

"Apa sayang, kok tiba-tiba nelpon, kangen ya.."
"Ih kakak kok gak pake baju,  baru mandi ya kok rambutnya basah-basah, malem-malem baru mandi"
"Iya, ini baruuu aja aku selesai mandi, dari tadi omong-omong sama mama"
"Wah ibu Minda belum tidur juga jam segini?"
"Belom, ya ngomongin itu yang aku bilang ke kamu"
"Apa?"
"Kita nikah"
"Emmmm kok tiba-tiba sih kak, kakak kan bilang mau nunggu Mei lulus"
"Nggak sayang, aku takut,  takut kamu ada yang ngambil"
"Ih, siapa yang mau ngambil lagian"
"Ya siapa aja,  "buktinya kan hampiiir aja"
"Yeeee nggak juga kali"
"Hmmm seandainya dibiarin, diambil beneran kamu sama James, aku kejar bener kalo sampe kamu dicuri"
"Trus gimana kata ibu kak"
"Ya mama maulah, seneng malah, makanya ntar pas ke Aussie mama mau bilang langsung ke kamu"
"Hmmm masak kakak nggak kuat nunggu sampai aku lulus"
"Haduh, ini lagi, bukan masalah nggak kuat, aku nggak mau kamu ada yang ngambil, dengan kita nikah,  siapapun yang deketin kamu akan mundur sayaaang, mau yaaaa kita nikah"
"....."
"Loh kok diam, kamu kenapa nggak mau nikah sama kakak, malu?"
"Aku mau kok nikah sama kakak, tapi nggak sekarang-sekarang"
"Trus kapan? Mau nunggu ada yang gangguin kamu lagi, ntar ada insiden Perth lagi"
"Ya deh kak"
"Kok gitu suaranya, kakak sambil pake baju ini Mei"
"Iya dah, aku nggak liat kok"
"Kok gitu suaranya, kayak nggak suka nikah sama kakak"
"Suka kaaak suka, mauuu tapi"
"Tapi lagi"
"Ya dah....kaak,  kapan ke sini lagi"
"Hahaahah kamu itu lucu,  diajak nikah ogah tapi selalu nanyain kapan kakak ke kamu"
"Mei males sendiri, jadinya kangen kakak terus"
"Makanya, nikah ya, biar kakak semangat nemuin kamu tiap minggu"
"Hehehe iya deh"
"Lagian kalo kita nikah kan dah halal mau ngapa-ngapain,  kayak yang kamu tulis di buku harian kamu tuh"
"Aaaah kakak, nggak usah ngomong itu, bikin aku malu aja"
"Hahahahah lah kan bener,  kamu bilang pengen gimanain kakak"
"Aaaahh bodo bodo ah, nggak mau dengerin Mei"
"Iya iyaaaa, udah malem sayang, tidur ya, bukannya kakak nggak kangen, tapi biar kamunya nggak capek, besok kakak telpon kamu ya"
"Iya dah, muah kakak, love you"
"Love you too Meisya"

Edwin menutup sambungan videonya dan tersenyum perlahan, ada rasa kangen yang mendadak menyeruak di dadanya. Mei rasanya terlalu lama menunggu empat bulan.

Edwin meletakkan ponselnya. Merebahkan badannya dan memejamkan matanya berusaha menghilangkan bayangan Meisya.
***

Pagi-pagi Meisya dikejutkan panggilan dari ponselnya. Ah mama James? Ada apa pikir Mei, bukankah seharusnya dia ada di Perth, ada apa ya pagi-pagi nelpon.
Dengan bingung Meisya mendekatkan ponsel ke telinganya.

"Yaa halooo"
"Meisya?"
"Oh om ada apa ya om?"
"Bisa datang ke rumah sakit tempat mama James di rawat?  Sejak tadi dia menanyakanmu"
"Rumah sakit mana ya om"
Papa James menyebutkan nama dan alamat rumah sakit tempat mama James di rawat.

Meisya menutup sambungan telponnya, ia bimbang, harus ke sana atau tidak?

Bersambung #10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER