Bu Minda dan Edwin cemas menunggu hasil pemeriksaan dokter.
Tak lama muncul dokter Kamila, begitu nama yang tertera di jasnya. Duduk dan memandang Edwin serta bu Minda.
"Tidak apa-apa, ibu Meisya terlalu capek dan terlalu banyak bergerak, tadi saya sempat bertanya aktivitas dia selama kurang lebih seminggu ini apa saja, dan tadi hasil USG juga mengagetkan karena kepala bayi sudah mengarah pada posisi sempurna untuk lahir, padahal usia bayi masih kisaran 28-29 minggu, jadi hati-hati ya bapak juga harus ekstra menjaga ibu Mei, jika tidak hati-hati akan membuat bayi lahir sebelum waktunya, alhamdulillah ibu dan bayi baik-baik saja sejauh ini, hanya harus bedrest ya, usahakan jangan naik turun tangga, jangan pakai sepatu atau sandal berhak tinggi, itu saja, akan saya buatkan resep obat serta vitamin dan diminumkan secara teratur," dokter menulis resep dan terlihat kelegaan di wajah bu Minda, lebih-lebih Edwin, tanpa sadar ia menghempaskan badannya ke sandaran kursi sampai dokter Kamila yang sedang menulis resep mengangkat wajahnya dan tersenyum menatap Edwin.
"Bapak yang sabar ya pak, jangan gangguin ibu Mei dulu ya," ujar dokter sambil menahan senyum waktu Edwin segera mengiyakan dan mengangguk cepat.
***
Sesampai di vila akhirnya keputusan mereka segera kembali ke rumah.
Sepanjang perjalanan Mei dibuat bersandar nyaman agar posisi duduknya tidak menekan perut Mei.
***
"Aku mintaa maaf banget sama kamu Al, James juga, harus ada kejadian kayak gini, akhirnya mengganggu liburan kalian," Meisya memandang Al dan James yang ada di kamar, duduk tak jauh dari tempat Mei berbaring, setelah mereka sampai di rumah bu Minda kembali.
"Kami yang harus minta maaf, gara-gara kami, kamunya jadi sibuk dan akhirnya gini," Al menatap Mei dengan pandangan menyesal.
"Ah nggaklah Al, Meinya aja yang nggak bisa diam, kemarin itu kan sudah ada bu Ningsih yang bakar ikan, eh dianya ikutan, malah dia yang bikim bumbu untuk dioles ke ikan bakar sama sambelnya juga, emang dianya nggak bisa diam, turun naik bersih-bersih kamar sendiri, pokok seminggu ini memang adaaa aja dia yang dikerjakan, bawaan bayi kali," ujar bu Minda.
"Itu Ed yang minta mama, soalnya enakan Mei yang bikin bumbu ikan bakar sama sambelnya, lebih mantap surantap gitu, Ed nggak tau kalo ternyata jadinya gini," ujar Ed yang berada di sisi Mei sambil memengang tangan istrinya.
"Oalaaah nih anak, ya bener dia berdiri terlalu lama," ujar bu Minda.
"Daaan udah gitu ibu, kak Ed juga ngajakin Mei gitu deh," ujar Mei menahan malu menatap semuanya yang ada di dalam kamar.
Bu Minda memukul lengan Edwin dengan gemas.
"Iiih sudah mama bilangin hati-hati, nah bener kan kejadian dah," ujar bu Minda benar-benar jengkel, sementara Al dan James terlihat menahan tawa melihat Edwin yang pasrah dimarah-marahi oleh mamanya.
"Awas kamu James ngetawain aku, ntar rasain kalo Al hamil, bawaannya pasti pengen gituan terus," Edwin dan James sama-sama menahan tawa kawatir bu Minda marah lagi.
Untuk sementara Mei dan Edwin menempati kamar di sebelah kamar bu Minda, kamar yang biasa ditempati Edwina dan keluarganya jika berlibur.
***
Akhirnya, keesokan harinya, James dan Al kembali ke Sydney lebih cepat dari rencana awal selain karena alasan kesehatan Mei, juga James yang mendapat telepon dari kampus, tentang pengukuhannya sebagai ketua jurusan yang dimajukan jadwalnya.
Al dan James pamit pada bu Minda dan Mei, mereka diantar Edwin ke bandara.
***
Sejak peristiwa di vila Mei benar-benar bedrest, dan ini sangat menjemukan bagi Meisya, akhirnya ia meminta pada Edwin untuk membelikan benang dan alat-alat lengkap untuk merajut, dulu di panti asuhan ia mendapat keterampilan tentang itu, jadi sehari-hari Meisya merajut topi , sepatu dan pernak-pernik bayi.
Memasuki usia kehamilan kedelapan, Mei baru mengetahui secara pasti jenis kelamin bayinya setelah memeriksakan kondisi bayi dan di USG, bayi mereka laki-laki. Edwin tampak bahagia karena memang sejak awal Edwin berharap bayinya berjenis kelamin laki-laki, namun Meisya kebalikan dari Edwin tapi apapun itu Mei tetap bersyukur karena sejauh ini ia dan bayinya sehat-sehat saja.
Mei dan bu Minda akan berangkat lebih dulu ke Sydney, karena ada larangan bagi ibu hamil dengan kandungan usia tertentu melakukan perjalanan udara, meski liburannya masih sebulan lagi Mei terpaksa harus berangkat.
Rencananya Mei akan menempati apartemen hadiah dari om Ben, selain lebih besar dan diapartemen itu juga ada Al yang pasti akan selalu menemaninya selain bu Minda tentunya.
***
Sesampainya di apartemen bu Minda benar-benar menyuruh Mei beristirahat, ia sempat membeli makanan di bandara tadi, jadi bu Minda nanti tinggal menghangatkannya saat akan makan malam.
"Ibuuu Mei mau bantuin..," belum sempat selesai kalimat Mei, bu Minda sudah berdecak.
"Patuh sama ibu sayang yaaaa, ibu nggak mau cucu ibu kenapa-kenapa, ibu tahu kamu sungkan karena ibu yang beres-beres semua nih bawaan kita, sudahlah, ibu masih sehat, masih kuat, sana bersihkan badanmu, lalu tidurlah," bu Minda menarik
Mei kembali ke kamar. Tak lama terdengar bel pintu berbunyi, bu Minda bergegas ternyata om Ben muncul.
"Hai pak gundul, sehat, senangnya melihatmu masih berjalan tegap, gimana pengobatan lanjutannya?" bu Minda menyilakan om Ben masuk dan di susul oleh James dan Al.
Om Ben tersenyum mendengar bu Minda yang memanggilnya dengan panggilan baru, terlihat Al yang bergegas membantu bu Minda memasukan barang-barang yang dibawa dari Indonesia.
"Nih Mei, kamu nggak usah kawatir, ada Al dan James yang pasti membantu ibu dan yang pasti ada om ganteng gundul yang jadi penggembira," bu Minda menatap om Ben sambil tertawa, Meisya berjalan pelan ke luar dari kamarnya dan memeluk om Ben dan Al, lalu menepuk bahu James, Mei duduk dekat James dan James merasa iba melihat Mei yang mungil dengan perut yang mulai membatasi geraknya.
"Nanti kalo perkuliahan sudah mulai aku jemput ya" ujar James.
"Yah, bareng Al juga ya?" Mei balik bertanya. Al hanya tersenyum menatap Mei dan kembali membantu bu Minda menata makanan di meja makan serta cemilan di meja ruang tamu.
"Ayo James sama om gun dinikmati loh cemilannya, jauh-jauh bawa dari Indonesia," ujar bu Minda menyilakan James dan om Ben.
"Minda, kamu jangan ngolok-ngolok aku lah, nanti kalo rambutku tumbuh lagi pasti kamu akan terpesona," om Ben meraih pastel kering isi abon daging dan menikmatinya sambil tersenyum.
"Halah, halaaah sudah tua Beeen pesonamu dah hilang sejak lama," bu Minda meletakkan jus jambu siap minum di meja ruang tamu dan semuanya tertawa, om Ben mengelus kepalanya yang licin.
***
Memasuki bulan Kesembilan Mei jusru merasa makin sehat, jika awal-awal ia kembali ke Sydney selalu merasa lelah, justru di bulan kesembilan ia merasa ingin melakukan apa saja.
Bu Minda mulai mengijinkan Mei sekali-sekali masak, kadang jalan-jalan di sekitar apartemen bertiga dengan bu Minda dan Al.
Perlengkapan bayi mulai di beli oleh Mei saat Edwin mengunjunginya dua minggu sekali. Mulai ditata rapi bersisian dengan box bayi yang berada di samping tempat tidur Mei.
Yang membuat Mei geli saat ada di ruang kuliah, kadang teman-temannya sesama perempuan tentunya, mengelus perutnya yang terkadang bayinya melakukan gerakan dan tendangan.
***
"Perkiraan dokter sekitar dua minggu lagi ya Mei kamu lahiran?" tanya bu Minda sambil menata popok bayi dan baju-baju bayi yang lucu.
"Iya ibu, makanya tugas-tugas dari dosen saya kebut, tesis juga dibantu James nyari-nyari literatur buat ngajukan judul, biar pas lahiran nggak punya beban, maksud saya seminggu setelah lahiran kalo saya sehat mau langsung masuk kuliah ibu," ujar Mei ikut merapikan perlengkapan bayi lainnya. Bu Minda terbelalak.
"Jangan ngaco kamu Mei, yang nggak-nggak aja, kalo belum 40 hari nggak boleh keluar rumah, pamali kata orang tua," ujar bu Minda menepuk bahu Mei pelan dan Mei menahan tawa.
"Ih ibuuu lah tesis saya keteteran ibu, bisa-bisa molor kuliah saya, kalo sayanya sehat kan nggak papa, nanti susunya saya pumping dulu, jadi si baby tetap minum asi Mei meski Mei tinggal," Mei kembali menahan tawa kawatir bu Minda tersinggung.
"Terserah kamulah Mei, kita bicarakan sama Ed juga ntar gimana," bu Minda menutup pembicaraan dan menyuruh Mei segera beristirahat.
***
Hingga suatu malam Mei merasakan sakit yang amat sangat, setelah itu hilang, lalu muncul lagi, ia berusaha berjalan ke kamar bu Minda perlahan menahan sakit.
"Ibuuu kenapa ini ya ibu sakiiiit baget, trus ilang, kayak dorong-dorong mau ke luar tuh si baby," bu Minda segera bangun dan melihat wajah kesakitan Mei, menyeka perlahan keringat di dahi Mei dan terlihat menelpon James.
"Kan perkiraan dokter masih lama ya Mei, eh tapi kadang emang gitu sih, nggak tentu maju mundur," bu Minda bergegas menuntun Mei ke kamarnya menyarankan Mei ganti baju dan menyiapkan beberapa barang yang akan dibawa, baru bu Minda kembali ke kamarnya dan ganti baju.
Terlihat Mei yang menahan sakit, memejamkan matanya sambil berdesis kesakitan.
James datang dan melihat Mei yang duduk bersandar di sofa. Tak lama Al pun datang dan memapah Mei menuju mobil James.
***
"Ibuuu, kak Eeed," ujar Mei pelan saat ia sudah terbaring di rumah sakit, perawat memasang infus sambil tersenyum ke arah Meisya.
Bu Minda memegang tangan Meisya dan mengusapnya perlahan.
"Edwin sudah ibu hubungi, dia segera ke sini."
Dokter menginstruksikan agar Meisya memiringkan badannya ke kiri saat kontraksi datang lagi, Mei memejamkan matanya saat kontraksi datang dan datang lagi.
Tak lama Mei merasakan sesuatu yang mengalir agak deras tapi ia tidak merasa buang air kecil, bu Minda kembali mengusap tangannya.
"Nggak papa, itu namanya pecah ketuban."
Saat kontraksi semakin kuat, perawat dan dokter memberikan instruksi pada Meisya untuk mengambil napas dengan kuat dan berusaha sekuatnya agar bayi bisa ke luar.
Ada air mata yang tanpa sengaja menetes disela-sela perjuangan untuk bayinya, wajah mamanya dan Edwin yang tiba-tiba melintas.
"Ayo sayang kamu pasti kuat, ibu ada disampingmu, konsentrasi untuk bayimu, jangan berpikir yang lain, mamamu dari surga pasti melihat perjuangan kamu dan Edwin pasti berdoa untukmu dalam perjalanan ke sini," kembali bu Minda memberi kekuatan untuk Mei.
Saat kontraksi datang lagi, Mei mengambil napas, sambil memegang tangan bu Minda, Mei berusaha dengan keras.
Akhirnya lahirlah bayi laki-laki dengan tangisan yang amat keras, Mei merebahkan badannya dengan lemas dan bu Minda menciumi kening Mei yang penuh keringat dengan linangan air mata.
"Kak Ed, ibu," sahutnya sekali lagi dengan suara lelah.
"Iya sayang, iya, Edwin pasti datang, terima kasih telah memberi ibu, cucu laki-laki yang sehat dan tampan," sekali lagi bu Minda mencium kening Meisya.
Setelah bayi Meisya sempat direbahkan di dada Mei sebentar segera oleh perawat di bawa ke ruang perawatan bayi.
***
Pagi hari Edwin tergesa-gesa melangkahkan kakinya di koridor rumah sakit, dan dari jauh ia melihat James yang sedang berdiri sambil menelpon di depan kamar.
Ia percepat langkahnya dan menepuk pundak James yang kaget.
"Eh Ed, masuklah, sejak semalam Mei menanyakanmu terus," ujar James. Edwin mengangguk dan segera membuka pintu.
Mei menoleh saat melihat Edwin yang muncul di balik pintu. Bergegas Edwin memeluk, membenamkan wajahnya di leher Mei dan tanpa terasa air matanya mengalir.
"Makasih sayang, makasih kamu mau berjuang untuk anak kita, maafkan kakak nggak ada di sisi kamu," Edwin masih memeluk Mei dan melepas pelukannya saat bu Minda menepuknya pelan. Edwin menoleh dan melihat mamanya tersenyum.
Edwin memeluk mamanya sambil menangis.
"Makasih ma, sudah mempertemukanku dengan Mei."
Bu Minda mengelus kepala Edwin sambil tersenyum dan melepas pelukan Edwin.
"Lihatlah bayimu di ruang rawat bayi, ia pasti ingin papanya melihat wajahnya." Edwin mengangguk dan segera ke luar kamar, di pintu sempat menoleh pada Mei dan menatap dengan mesra pada istrinya yang masih terlihat lelah.
Edwin sempat tertegun melihat James menatap sesuatu dengan pandangan fokus pada sebuah ruangan, setelah dekat Edwin baru paham, James sedang terpana memandang Al yang menggedong bayi sambil menciumi tangan si bayi. Edwin menepuk bahu James.
"Makanya cepat nikah, lalu bikin bayi sama Al, bayi orang digendong-gendong tuh sama pacarmu," Edwin tertawa dan segera menutup mulutnya. James memukul bahu Edwin, mangkel karena keasikannya terganggu.
Edwin segera masuk ke ruang perawatan bayi, yang sebelumnya ia harus ijin terlebih dahulu dan menunggu bayinya dibawa oleh perawat, tak lama Al ke luar membawa bayi Edwin.
"Ed kok kamu sih yang bawa, masa boleh?" tanya Edwin kaget.
"Aku baru saja ngendong bayimu Eeeed, tentunya ditunggui perawat di sini, tidak boleh semuanya masuk, ada aturan, ini karena aku kenal kalian saja Ed, dan iniiii, ini rumah sakit papa aku," ujar Al pelan dan menyerahkan bayi ke tangan Edwin dan Edwin membulatkan mulutnya serta mengangguk.
Tangan Edwin bergetar memandang bayinya, ia terlihat berkaca-kaca saat melihat bayi yang merah dengan mulut seolah mencari-cari sesuatu, ia ciumi bayinya untuk pertama kali dan perawat mendatanginya.
"Maaf Pak, saya bawa bayi ini ke ruangan ibunya, ini waktu untuk minum asi, permisi," perawat mengambil bayi Ed dan bergegas menempatkan di boks bayi mungil dan mendorong ke kamar Meisya.
***
Edwin memandang Mei yang menyusui bayinya dan terlihat menahan sakit.
"Kenapa Mei?" tanya bu Minda.
"Sakit ibu, duh nyusunya kuat banget," Mei kembali mendesis menahan sakit dan menggigit bibir bawahnya.
"Awal-awal memang gitu Mei, ntar ilang sendiri kok sakitnya," bu Minda duduk di dekat Meisya, dan menggelengkan kepala melihat cucunya yang sangat kuat minum susu. Terlihat Edwin yang menahan tawa.
"Ada yang lucu Ed?" tanya bu Minda melihat Edwin yang menahan tawa.
"Nggak papa ma, cuman lihat si baby kok segitunyaaa kayak, haus banget," ujar Edwin terlihat gemas dan melangkah ke sisi Mei, kembali menciun pipi anaknya.
Setelah terlelap Al menggendong bayi Meisya dan mendekap ke dadanya. James dipanggil masuk oleh Edwin begitu Mei selesai menyusui bayinya.
"James tuh liat, segitunya si Al pengen bayi, cepetan nikah, bikin sendiri," Edwin melihat James yang kembali terpana melihat Al yang memeluk bayi Mei dengan mata terpejam.
"Pulang yuk Al," ajak James.
"Naaaa bener kan, tuh Al, James ngajakin pulang, mau diajak bikin bayi," Edwin menahan tawa dan bu Minda memukul bahu Edwin.
"Sembarang kalo ngomong," ujar bu Minda sewot.
"Iya bener tante, saya ada kelas jam 10 dan Al juga di galerinya," James berusaha menjelaskan dan hanya menggelengkan kepala.
Al menyerahkan kembali bayi Meisya dan terlihat masih enggan meninggalkan bayi Mei.
"Nanti ke sini lagi ya James?" pinta Al, dan James menganggukkan kepalanya. Mereka pamit dan melangkah menuju tempat parkir beriringan.
***
Sepanjang perjalanan Al hanya diam memandang lurus ke arah jalan.
"Kamu, kenapa?" tanya James melihat Al sekilas.
"Seandainya aku tidak keguguran, pasti anakku...," Al diam dan menunduk, menghembuskan napasnya dengan berat.
James menepikan mobilnya dan berhenti, ia menatap Al dan meraih tangannya.
"Jika kamu terus mengingat masa lalumu, yang ada hanya rasa sakit, biarkan ia lewat, kamu ingin punya anak Al, kita bisa nikah Al," ujar James pelan dan Al menoleh pada James, menggelengkan kepalanya dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu tidak mencintaiku James, kamu jangan menikahi aku karena kasihan, aku akan menunggumu, memastikan perasaanmu padaku," Al menarik tangannya perlahan.
"Aku memang belum mencintaimu, tapi akhir-akhir ini, aku sering tiba-tiba ingin ke apartemenmu, hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, kadang ingin ke galerimu, ingin tahu apa yang kamu lakukan, mungkin dengan kita menikah, akhirnya aku akan mencintaimu Al, eemmm boleh aku bertemu dengan papa mamamu?" tanya James pelan dan Al menatap James dengan mata berkaca-kaca, Al mengangguk dan menciumi tangan James.
"Tapiii jangan ada Kent ya, pas aku menemui orang tuamu, bisa merusak suasana," ujar James dan Al menahan senyum meski matanya terlihat basah. James tersenyum dan melanjutkan perjalanan.
***
Tiga hari kemudian Mei sudah kembali ke apartemennya. Mei merasa bahagia karena terlihat semua berkumpul.
Ada bu Minda yang selalu terlihat bahagia dan tiada henti menciumi pipi baby Adya, berebut dengan Edwin yang juga merasa lebih berhak karena dialah papa dari anaknya.
Al yang selalu ingin menggendong baby Adya, namun selalu di ejek Edwin agar segera bikin bayi sendiri.
James dan om Ben yang hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat pertengkaran bu Minda dan Edwin.
"Biarin aja om, biar mereka ribut, kita makan aja yuk, Mei laper, ntar si baby bangun pasti nyusu lagi," Mei mengambil piring untuknya, om Ben dan James.
Bertiga mereka makan dengan lahap.
"Hei hei kok bikin acara gak ngajak-ngajak sih," ujar Edwin melangkah mendekati Mei yang terlihat lahap.
"Hmmm mau nungguin orang rame duuuh nggak lah, mending makan, ayo Aaal sini," ajak Mei terlihat menambah lauk.
"Lah mama dari tadi nyiumin si Adya ya gantian dong, aku kan papanya," ujar Edwin sambil mengambil piring dan bergabung dengan di meja makan.
"Siapa nama bayimu Ed?" tanya James.
"Adya Anesya Prawiradirja, aku kasi nama Adya karena dia anak pertama aku James, Anesya heheheh anak Edwin dan Meisya, nama terakhir yaaa emang nama keluarga dari papa Seno, nama belakangku dan kak Edwina juga itu," Edwin menjelaskan sambil makan dengan lahap.
Al kembali mengendong baby Adya dan menatapnya dengan lembut, duduk di sofa lalu berdendang dengan suara pelan di telinga Adya, nampak si baby semakin terlelap.
"James, kamu nggak liat apa, itu kode keraaas dari Al, cepetaaaan lamar si Aal, ah ini," ujar Edwin menyenggol lengan James.
James menatap om Ben sambil menahan senyum dan menatap Edwin lalu Meisya bergantian.
"Aku sudah menemui orang tua Al, enam bulan lagi, kami akan menikah, dan papa juga setuju," James menjelaskan sambil menatap Al yang juga tersenyum padanya.
"Waaah gebrakan yang bagus nih James, nggak nyangka, tumben kamu cerdas untuk urusan kayak gini ?" Mei menahan tawa dan Edwin yang berdiri dan langsung memeluk James yang tersedak karena kaget tiba-tiba Edwin memeluknya.
"Aku ikut bahagia untukmu James," ujar Edwin dengan tulus. Bu Minda ke luar dari kamar Mei melangkah mendekati om Ben.
"Benar kan Ben, aku akan memenuhi janjiku padamu, jalan-jalan ke kampus kita dulu, ditemani anak-anak ," ujar bu Minda sambil mengelus bahu James.
"Selamat ya sayang, semoga lancar persiapan pernikahan kalian, tante pasti datang, pasti," bu Minda menatap James dan Al bergantian.
***
Malam semakin larut saat om Ben, James dan Al pamit. Tak lama kemudian Edwin terlelap di sebelahnya dan baby Adya kembali merengek, Mei mengangkat dan meletakkan dipangkuannya, membuka kancing bajunya dengan satu tangan dan mendekatkan bibir Adya ke dadanya.
Bu Minda mendekati Mei dan Mei memberi kode bahwa ia baik-baik saja, bu Minda kembali ke kamarnya.
Setelah baby Adya terlihat kenyang dan nyenyak, perlahan Mei meletakkannya kembali ke dalam boks bayi.
Mei merebahkan badannya dan Edwin terbangun.
"Kok nggak bangunin aku sih sayang?" ujar Edwin sambil memeluk dan menciumi Meisya.
"Nggak papa, nggak capek kok cuman kayak gini," Mei memengang lengan Edwin yang melingkar diperutnya, menoleh dan melihat wajah Edwin tepat berada di sampingnya.
Mei mencium bibir Edwin sekilas.
"Nggak nyangka ya sayang, akhirnya kita sampai pada tahap membahagiakan seperti ini, tidak hanya berdua, tapi sudah ada Adya dan mungkin nanti adik-adiknya juga, semoga tahun-tahun berlalu kita akan tetap berpelukan seperti ini," suara Mei terdengar parau dan matanya berkaca-kaca.
Edwin tak mampu berkata apapun, ia hanya mengangguk karena suaranya seolah tercekat dikerongkongannya, ia hanya menciumi pipi istrinya.
Tak lama kemudian barulah pelan Edwin berucap..
"Seandainya mama tidak mengajakmu ke rumah, seandainya kamu tidak masuk ke kamarku saat itu, aku pasti masih meratapi nasibku saat ini" Edwin kembali menciumi Meisya.
Mei menutup bibir Edwin dengan jarinya dan tersenyum lembut.
"Sssttt diamlah, peluk aku saja, sampai nanti kita menua bersama," mereka memejamkan mata dan tak lama mereka kaget karena baby Adya menangis lagi. Edwin melepaskan pelukannya dan menatap wajah istrinya, lalu mereka berdua tertawa pelan.
Edwin menatap Meisya yang tersenyum sambil mengelus kepala bayinya. Dan selamanya Edwin tak akan pernah bosan menatap wanita yang telah membangunkannya dari mimpi panjang dan kesunyian.
*TAMAT*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel