Cerita Bersambung
Adhitama melangkah turun dari Mercedes hitam sewaannya dan menatap bangunan sederhana yang ada didepannya.SDIT Isy Karima.
Tentu saja wanita itu memilih untuk bekerja dengan anak anak.
Dimana lagi dia ingin bekerja?
Pilotnya tadi ingin mengantarnya langsung ke lokasi ini, tapi Adhitama tidak ingin menimbulkan kehebohan karena pendaratan helikopternya tentu saja harus dilakukan di helipad milik SAR yang berlokasi dibibir pantai, jadi dia memilih untuk mendarat di helipad salah satu hotel di Jogyakarta, menyewa salah satu suitenya dan melanjutkan perjalanan dengan menyewa mobil ini.
Mengendarai mobil untuk melewati jalan pedesaan adalah hal yang menyenangkan dan mahal bagi Adhitama, biasanya ia selalu disopiri dan hari ini ia menikmati pemandangan desa dipinggir pantai selatan Jogyakarta dengan damai.
Setelah sempat berhenti sholat Jum'at disebuah masjid besar yang ternyata diakhiri dengan acara makan siang bersama sesudah sholat, Adhitama tidak punya agenda lain untuk hari ini kecuali mengambil cincinnya.
Ah, sebenarnya kau penasaran seperti apakah Acha sekarang, bisik hatinya culas.
Hari ketika Adhitama membaca diberita gosip online yang disodorkan oleh sekretaris nya berisi berita bahwa Acha ingin memiliki 5 anak, adalah yang menyadarkan Adhitama bahwa dia belum siap untuk menikah, itulah mengapa ia tidak datang ke pernikahannya.
Satu anak sudah terlalu banyak untuk Adhitama apalagi lima anak, mungkin saat ini Acha sudah mendapatkan keinginannya.
Seraya tersenyum muram seakan mengejek diri sendiri, Adhitama memindai bangunan yang ada dihadapannya, otomatis melihat bagian mana saja dari bangunan itu yang perlu diperbaiki.
Pagar kawatnya setengah koyak, mungkin karena muridnya masih kecil tidak ada yang berkeinginan membolos melalui pagar koyak itu, saat memandang keatas ada bagian genteng yang tertutup plastik seperti sengaja untuk menambal kebocoran.
Adhitama menarik nafas panjang, tidak mengira Acha akan bersembunyi di tempat seperti ini.
Lamunan Adhitama terputus oleh suara bel, semenit kemudian anak-anak berhamburan keluar kelas dan pergi ke taman bermain, saling bercanda, tertawa bahkan ada beberapa yang saling mendorong.
Seorang wanita muda mengikuti anak-anak keluar pintu, menjawab pertanyaan pertanyaan, menengahi pertengkaran dan dengan lembut menegur saat situasi mulai tidak terkendali.
Wanita itu memakai rok hitam sederhana, sepatu berhak datar dan baju batik sepanjang lutut. Adhitama tidak menengok dua kali karena ia sibuk mencari sosok Acha.
Adhitama kembali memandang bangunan itu, yakin bahwa informasi miss Septi pasti keliru tentang alamat ini, dan Adhitama sudah hampir berbalik kembali ke mobilnya saat telinganya mendengar suara tawa yang familier.
Matanya mengikuti suara tawa itu dan mendadak ia mendapati dirinya mengamati guru muda yang mengenakan rok hitam dan sepatu datar tadi.
Wanita itu tidak mirip Acha saat remaja, dan Adhitama hampir mengabaikan wanita itu sekali lagi ketika wanita itu menelengkan kepalanya.
Adhitama menatap jilbab lebar yang berkibar ditiup angin, lalu wanita itu tersenyum dan Adhitama terkesiap tajam karena mustahil tidak mengenali senyum itu.
Senyum lebar, hangat dan murah hati tampak lepas dan tulus.
Adhitama kembali memandang ke arah bibir wanita dan sekali lagi mengamati rok sopan wanita itu.
Jeritan kehebohan menyadarkan Adhitama dari mengamati pakaian guru muda itu. sekelompok anak laki-laki melihat mobilnya dan seketika itu pula ia menyesal karena tidak memarkir mobilnya dibelokan agar tidak kelihatan.
Sewaktu tiga orang anak berlari dan mulai memanjat pagar kawat bobrok itu, Adhitama memandanginya dengan ngeri.
Tiga kepala mungil itu memandangi mobilnya lalu dirinya.
"Wow...mobilnya bagus," kata anak yang pertama.
"Apakah itu Porche? Atau Ferrari?" Tanya anak yang kedua.
"Kalau besar nanti aku mau punya mobil yang seperti ini," kata anak kecil ketiga.
Adhitama tidak tahu apa yang harus ia katakan pada anak anak itu, sehingga ia hanya mematung dan memandang anak anak yang tengah mengagumi mobilnya.
Adhitama menoleh kearah guru wanita itu, meskipun dari jauh guru itu menyadari kalau ada anak-anaknya yang tidak ada.
Dari jauh terdengar suara yang lembut,
"Mas, tolong jangan memanjat pagar, itu berbahaya."
Adhitama menatap anak laki-laki yang paling dekat dengannya kemudian bertanya sambil memandang kearah guru muda yang masih dikejauhan,
"Apakah wanita itu gurumu? "
"Namanya miss Acha, ya, dia guru Bahasa Inggrisku."
Meski sudah diperingatkan oleh gurunya tapi anak laki laki itu masih berusaha memanjat pagar.
"Dia tidak kelihatan galak, tapi kalau kau melakukan kesalahan,"
Anak satunya yang kakinya masih ditanah itu menamparkan tinju tangan kirinya ke telapak tangan kanan hingga berbunyi plok dan Adhitama berjengit kaget.
"Dia memukulmu? " Tanya Adhitama.
"Ooo tidak pak," bocah itu tersenyum lebar.
"Miss Acha bahkan tidak pernah membunuh laba-laba, pernah ada laba-laba di kelas dengan menggunakan gelas diambil laba-laba itu sebelum akhirnya dibuang keluar."
"Tadi kau bilang plok."
"Miss Acha bisa membuatmu gepeng hanya dengan melihatmu pak, dia membuat merasa bersalah jika kau memang bersalah, dia tidak pernah menyakiti siapapun. Miss Acha anti kekerasan."
Anti kekerasan ..
Miss Acha.
Hmmm, jadi Acha belum menikah, dia belum memiliki 5 anak seperti cita-citanya.
Guru muda itu menengok ke arah muridnya yang tengah menaiki pagar, kemudian berjalan mendekat, dan wanita itu melihat mobilnya terlebih dahulu sebelum melihat Adhitama.
Sekilas Adhitama melihat kulit wajah wanita itu mendadak pias, kulitnya mendadak kehilangan warna dan mata bulat coklatnya yang eksotis itu terlihat semakin menonjol.
Jelas wanita itu tidak mengenal laki-laki lain yang mengendarai Mercedez dan fakta wanita itu shock membuat Adhitama merasakan amarahnya bangkit.
Apa wanita itu berharap ia akan santai dan duduk manis melihat wanita itu menjual cincin almarhumah mamanya, cincin yg ia sematkan dijari wanita itu dijual di OLX pada penawar tertinggi ?
Menyeberangi jalan aspal yang tidak mencolok, sekolah ini bukanlah tempat reuni yang romantis dan setelah mendekat mata coklat eksotis Acha bertemu dengan mata hitam Adhitama yang gusar.
Fakta bahwa mata bulat menakjubkan itu kini menatap Adhitama dengan ngeri seakan Adhitama berbahaya, membuat Adhitama tersenyum kecut.
"Mas Rasyid, mas Adam, mas Faiz, tidak boleh memanjat pagar, itu berbahaya,"
Kata guru muda itu dengan suara sabar yang lembut, terdengar perdebatan dan Adhitama mendengar wanita itu menjawab pertanyaan anak anak itu dengan sabar, bukan menyuruhnya diam dengan tidak sabaran seperti yang biasa dilakukan orang dewasa, dan saat memandang kearah tiga anak tadi tampak jelas bahwa mereka sangat memuja gurunya itu.
"Mobilnya keren miss Acha, aku bahkan pernah melihat gambarnya di majalah."
"Mas Rasyid, mobil apapun itu hanya terdiri empat roda dan sebuah mesin."
Jelas Acha dengan sabar, seraya menengok, wanita itu berpaling menatap ke arah Adhitama sambil tersenyum palsu.
"Ada yang bisa saya bantu pak?"
Wanita itu takut dan ngeri terhadapnya, Adhitama bisa merasakan aura ketakutan itu.
"Merasa bersalah Cha?" Tanya Adhitama dengan nada datar.
"Bersalah?"
"Kau tidak merasa senang melihatku."
Acha menggertakkan mulutnya, berusaha menahan kesabaran karena ada beberapa wajah mungil ingin tahu disekitar mereka.
"Tidak ada yang perlu ku katakan padamu."
Adhitama seharusnya membalas komentar Acha, namun entah mengapa saat ini Cincin almarhumah mama menghilang dari benaknya, digantikan oleh binar penuh semangat wanita yang ada didepannya.
Enam tahun tidak berjumpa membuat Acha tumbuh dari remaja menjadi perempuan yang cantik, bukan cantik mempesona tapi cantik elegan, seperti kecantikan aristokrat yang tidak mudah untuk dijamah.
Mata Adhitama terkunci dengan mata Acha dan entah kenapa Adhitama merasa Acha merasakan hal yang sama dengan dirinya, moment itu membuat mereka berdua terkesima dan rona merah jambu mulai menjalari pipi Acha menghilangkan wajah piasnya beberapa waktu yang lalu.
Momen itu buyar saat tangan mungil Rasyid menarik tangan Acha.
"Apakah dia pacarmu miss Acha?" Tanya Rasyid dengan wajah ingin tahu.
"Tidak boleh pacaran mas Rasyid, pacaran itu haram hukumnya."
Dengan malu Acha menyuruh anak anak menjauh dari pagar dengan gerakan tangannya.
"Ini pak Adhitama Hakim dan dia bukan pacarku."
"Teman miss Acha kalau begitu? " Tanya Faiz menimpali.
"Eh, ya, seorang teman,"
Jawab Acha dengan suara diseret dan tiga anak itu mendadak berseru kegirangan.
"Miss Acha punya pacar, Miss Acha punya pacar,"
Adam dengan semangat bernyanyi dan suara itu meningkatkan ketegangan di kepala Acha.
"Teman beda dengan pacar, Oon!"
Ujar Rasyid sambil mendorong Adam.
"Miss, dia memanggilku Oon, Anda bilang kita tidak boleh memanggil Oon kepada siapapun."
Dengan lihai wanita itu mengatasi dan menyelesaikan pertengkaran itu sebelum akhirnya mendorong anak-anak itu menjauh dari pagar, kemudian menoleh cepat dan memastikan suaranya tidak kedengaran oleh murid-murid nya wanita itu mendekati pagar.
"Aku tidak percaya kau berani datang menemuiku setelah 6 tahun berlalu,"
Acha berkata dengan suara mendesis mengandung kemarahan yang tertahan.
"Jika bukan karena anak-anak menyaksikan aku pasti sudah meninjumu, mungkin itu alasan kau menemuiku ditempat umum, agar aku tidak menyakitimu."
Adhitama hanya menaikkan satu alisnya sebagai jawaban atas pernyataan Acha, ekspresi itu membuat Acha semakin sebal, gemes dan keki.
Acha sudah akan melanjukan cercaannya saat tiba tiba terdengar suara sms masuk di Hp Acha.
"Mungkin kau perlu memeriksa sms mu," kata Adhitama selembut beledru.
Acha mengeluarkan Hpnya disana tertera sms banking dana masuk 675 juta.
Acha terperangah kemudian memandang ke arah Adhitama.
"Kau yang membeli cincin ini?"
==========
Berjuang mengendalikan reaksi fisiknya terhadap wanita ini, Adhitama menunduk menatap mata lebar Acha dan menyadari kilatan yang membutakan bahwa wanita ini betul betul tidak tahu bahwa ia yang membeli cincin itu.
Ah, tentu saja bukankah tadi pagi ia menawar cincin itu memakai nama Helen.
Saat menatap mata Acha berkaca kaca, Adhitama merasa ada seseorang yang meninju uluhati nya, dari dulu Acha sering mengejutkannya dan hari ini Acha kembali mengejutkannya.
Adhitama menarik nafas dalam dalam, Acha tidak menjual cincin itu untuk mengirim pesan padanya, Acha menjual cincin itu karena Adhitama telah menyakiti hati Acha.
Saat inilah Adhitama merasa sangat bersalah karena bersikeras mengambil cincin ini sendiri, ini tidak mudah baginya dan tidak adil untuk Acha.
"Kau sudah mendapatkan 700 juta uangku dalam rekeningmu,"
Ucap Adhitama tenang dan bertekad menyelesaikan masalah ini secepatnya.
"Aku datang untuk mengambil cincinku."
Kemudian Adhitama mengamati mata Acha yang syok berubah menjadi lebih gelap.
Terdengar suara bel berbunyi.
Sambil mendesah Acha berkata,
"Maafkan aku, bukan bermaksud mempersulitmu, tapi aku masih harus mengajar satu jam pelajaran kemudian aku akan serahkan cincinmu."
Acha bergegas setengah berlari menuju kelasnya, paru-parunya terasa menyempit, gelagapan menyedot oksigen hingga tiba didalam kelasnya.
Adhitama yang membeli cincin itu? Apakah untuk wanita cantik yang kemarin diwawancarai itu? siapa namanya, Mara eh, bukannya Nara ya.
Kenapa tidak terpikir bahwa Adhitama yang akan membeli cincin itu, bodohnya dirinya, kata Acha sambil memijit pelipisnya.
Dia tidak pernah berpikir kalau pembelinya Adhitama, karena Adhitama tidak mungkin berkeliaran di barang bekas OLX.
Ketika konsekuensi perbuatannya menghantam nya, Acha menggeleng pelan, karena bukannya mengenyahkan Adhitama dari hidupnya dia justru membawa kembali pria itu dalam hidupnya.
Ketika sekilas tadi melihat Adhitama didepan pintu pagar, ia hampir pingsan dan sempat berpikir Adhitama akan menghampirinya dan mengatakan bahwa ia berubah pikiran, ia menyesal dan ia meminta maaf karena tidak datang saat pernikahan mereka.
Ternyata itu hanya ada dalam imajinasinya saja, karena tidak ada permintaan maaf dari wajah Adhitama.
Seharusnya tadi langsung ia serahkan saja cincin itu pada Adhitama, tapi dengan demikian Adhitama akan melihat bahwa ia tidak pernah menyimpan cincin itu tapi dia memakai cincin itu, bukan ditangan melainkan sebagai bandul kalung, bahkan saat ini pun tangan Acha memegang bagian atas perutnya tempat bandul itu terpasang, tertutup dibalik jilbab dan bajunya.
Setelah sepersekian menit Acha tidak mengucapkan salam untuk membuka kelas seperti biasanya, Adam akhirnya maju ke depan.
"Miss Acha tidak apa apa?"
"Iya miss, anda seperti habis melihat pocong," ucap siswa lainnya.
Acha tersenyum kemudian membalasnya dengan usapan lembut dikepala muridnya itu.
Setelah menarik nafas panjang, akhirnya Acha berdiri dan membuka pelajaran hari itu, Adam dengan patuh kembali ke kursinya.
"Nah teman-teman, buka buku bahasa Inggris kalian halaman 12 dan kita lanjutkan pelajaran kita, hari ini kita akan..."
Terdengar bunyi kertas dibalik, dengungan obrolan dan tiba tiba terjadi keributan dari arah belakang.
"Aow, Arfan memukulku miss,”
Suara Haris berteriak sambil berlari kedepan.
Acha menarik nafas panjang sambil memegang keningnya, pelipisnya berdenyut.
Ya Allah, masalah mendisiplinkan siswa adalah hal terakhir yang ia inginkan saat ini.
"Mas Arfan, tolong maju kedepan kelas."
Dengan sabar Acha menunggui muridnya itu maju kedepan sambil cemberut.
"Mas Arfan, tidak boleh sembarangan memukul orang. mas Arfan harus minta maaf sama mas Haris."
"Aku tidak mau minta maaf miss, Haris memanggilku peyang."
Jawab Arfan dengan tatapan membangkang.
Mendapati dirinya perlu mendapat suntikan kesabaran, Acha menarik nafas panjang-panjang.
"Mas Haris, kau tidak boleh menyebut mas Arfan peyang, dan kau harus meminta maaf juga, kalian berdua harus saling memaafkan."
Tiba tiba ada celetukan suara dari arah belakang,
"Kata ayahku kita harus balas memukul jika ada yg memukul kita miss, agar mereka tidak menjahati kita lagi."
Acha mendesah,
"Atau kita bisa mulai dengan saling menjaga perasaan."
Acha berbalik kearah kelas dengan suara yang dikeraskan dan berbicara kepada seluruh kelas.
"Kita perlu paham bahwa tidak semua orang sama, kita perlu menunjukkan toleransi, itu adalah kata penting kita hari ini.”
Acha menuju ke papan tulis merasakan 28 pasang mata muridnya menatap punggungnya .
"T-o-l-e-r-a-n-s-i. siapa yang bisa memberitahu apa arti kata ini?"
Kemudian 28 tangan mungil diacungkan.
"Miss, miss, saya tahu, saya tahu."
Acha menahan senyum.
Sesetres apapun dirinya, murid muridnya selalu bisa membuatnya tersenyum.
"Mas Adam?"
"Miss, temanmu tadi ada di pintu."
Acha menoleh tepat saat Adhitama melangkah masuk ke kelas.
Acha bengong dan hanya mampu memandangi tamunya dengan tatapan keputus asaan.
Sepertinya sekolah ini sudah membutuhkan satpam untuk berjaga di pagar depan.
Adhitama merubah atmosfer dalam kelasnya.
Terdengar derit sumbang meja dan kursi, dilanjutkan dengan murid muridnya yang berdiri, Acha menarik nafas panjang.
"Bagus sekali teman teman," ucap Acha serak.
"Semua dapat dua bintang dibuku kalian."
Acha menoleh kearah Adhitama,
"Bisakah kau menungguku sebentar lagi, aku sedang mengajar."
"Menurutku ini waktu yang sempurna,"
Kata Adhitama sambil sambil menatap Acha dengan tajam.
Acha merasa wajahnya memerah dan kakinya gemetar, berusaha tenang karena 28 muridnya tengah mengawasi mereka.
"Teman teman kita kedatangan tamu, apa yang tidak tamu kita lakukan?"
"Dia tidak mengetuk pintu miss Acha."
"Betul sekali!"
Acha tersenyum cemerlang seperti pesulap mengeluarkan kelinci dari topinya.
"Dia tidak mengetuk pintu, melupakan sopan santun dan dia melanggar aturan. Jadi aku akan mengajak dia keluar ruangan untuk memberinya pelajaran tentang peraturan dikelas kita dan kalian akan menyelesaikan tugas di halaman 12 dan 13."
***
Acha berbalik untuk meninggalkan ruangan namun tangannya ditarik oleh Adhitama agar berdiri disebelah pria itu dan kembali menghadap ke murid muridnya yang terbengong bengong menatap guru mereka.
"Biar kuajari kalian pelajaran yang penting dalam hidup anak anak,"
Kata Adhitama sambil matanya memindai seluruh luas kelas, dan Acha ngeri karena sepertinya Adhitama berbicara bukan kepada anak anak tapi kepada anggota dewan direksinya.
"Ketika sesuatu itu penting bagi kalian kejarlah, jangan menunggu diijinkan masuk, langsung saja lakukan."
Penjelasan yang bertolak belakang dari apa yang selama ini mereka terima membuat anak-anak itu menyambutnya dengan keheningan terperangah sekaligus wajah melongo.
Lalu beberapa tangan mungil teracung.
Adhitama mengerjap.
"Ya, kau," menerima tantangan menunjuk satu anak yang berada di baris depan.
"Tapi bagaimana dengan peraturan-peraturan?"
"Kalau peraturan itu tidak masuk akal, langgar saja," jawab Adhitama spontan.
What? Acha terkesiap, berusaha melepaskan tangannya yang ada dalam cekalan Adhitama, suasana kelasnya sudah tidak kondusif lagi, dulu kelas ini sangat sukar diminta untuk diam dan pernyataan Adhitama membuat keruh suasana.
"Tidak teman-teman, kalian tidak boleh melanggar peraturan," kata Acha dengan tercekat.
"Peraturan peraturan dibuat untuk..."
"Dipertanyakan."
Sambung Adhitama tegas, suaranya yang maskulin membuat kelas itu seperti tersihir.
"Kalian harus selalu mempertanyakan dan bertanya, itu akan membuat kalian selalu berpikir kritis. Jika orang orang mengatakan kalian tidak bisa melakukan sesuatu, apakah kalian akan mendengarkan mereka?"
Kepala-kepala mungil itu menggeleng-geleng ragu dan Acha semakin panik dengan hal itu.
"Ambil contoh sekarang, aku ingin bicara dengan miss Acha dan dia tidak mau mendengarkan, apakah aku harus melangkah pergi? "
"Tergantung seberapa penting itu," satu tangan mungil teracung.
"Sangat penting, dan karena kita perlu bertanya dan selalu mempertanyakan maka aku akan bertanya kepada miss Acha. Disini atau diluar?"
Tanya Adhitama sambil menoleh kearah Acha dengan pandangan sok manis.
"Diluar,"
Jawab Acha sambil menggertakkan bibir dan Adhitama tersenyum sambil menatap lurus ke murid-murid Acha.
"Nah, ini adalah salah satu negosiasi yang berhasil. kami sama-sama mendapatkan apa yang kami inginkan dan kalian akan mengerjakan tugas kalian sementara aku berbicara dengan miss Acha."
Acha tidak punya pilihan selain mengikuti pria itu keluar kelas.
Sesampai diluar kelas, Acha bersandar di dinding, kakinya gemetar.
"Aku tidak percaya kau melakukan itu," ucap Acha marah.
"Sama sama,"
Jawab Adhitama dengan nada diseret-seret.
"Tarifku untuk menjadi pembicara motivasi di seminar bisnis nasional adalah 20 juta untuk satu kali pertemuan, tapi disini aku rela tidak dibayar demi untuk generasi yang akan datang," Jawab Adhitama tersenyum penuh kemenangan.
Mulut Acha terbuka lalu terkatup,
"Aku tidak sedang berterimakasih padamu!"
"Oh ya, kau seharusnya berterimakasih padaku. wirausahawan sukses di masa depan tidak akan tercipta dari robot yang diperbudak peraturan."
Seraya mengamati wajah Acha, Adhitama tersenyum miring,
"Apakah sekarang aku akan dapat dua bintang dibukuku?"
Hampir meledak karena frustasi, Acha mengepalkan tangan,
"Tidakkah kau tahu tentang pendidikan dasar untuk anak-anak?"
Senyum diwajah itu surut berbarengan dengan ejekan.
Tanpa senyum wajah Adhitama terlihat dingin, keras dan tampan.
"Tidak,"
Suara itu terdengar kaku dan waspada.
"Aku berbicara kepada mereka sebagai orang dewasa dan bukan anak-anak."
"Tapi mereka bukan orang dewasa, dan tahukah kau betapa susahnya kami menanamkan disiplin itu pada mereka."
Acha putus asa menyadari Adhitama bahkan tidak melepaskan pergelangan tangan, meski Acha selalu mengenakan handsock sehingga kulit Adhitama tidak bersentuhan langsung dengan tangannya.
Namun saat ini panas tangan pria itu seakan menembus bahan tebal yang Acha kenakan dan Acha semakin merasa gerah karena saat ini Adhitama menunduk dan menatapnya dengan lembut.
"Duduk diam adalah hal yang dibesar-besarkan, mondar-mandir justru selalu membantuku untuk berpikir. Kenapa kau menjual cincinku?"
Tanya Adhitama dengan suara malas.
Acha sengaja mengabaikan pertanyaan itu.
"Tapi tanpa peraturan masyarakat akan rusak."
"Dan tanpa orang-orang yang berani bertanya dan mempertanyakan masyarakat tidak akan mengalami kemajuan," jawab Adhitama sebal.
"Kenapa kau jual cincinku."
Mulut Acha sudah hampir terbuka menjawab saat terdengar adzan Ashar dari masjid sekolah yang kemudian disusul keriuhan kelas, murid-muridnya sudah berbaris rapi dan siap pergi ke masjid.
Saat melewati Acha mereka semua mencium tangan Acha sehingga mau tak mau Adhitama melepaskan tangan Acha.
Saat murid terakhir berlari mengejar temannya dari ruangan sebelah, Fitri melangkah menuju kelas Acha dan terkejut melihat seseorang berada disebelah sahabatnya itu.
Acha merona, menyadari bagaimana setiap wanita ketika berjumpa dengan Adhitama dan sebelum Fitri menanyakan sesuatu, Acha sudah mengenalkan mereka.
"Fit, ini Adhitama kolegaku dan Adhitama ini Fitri temanku."
"Adhitama yang itu?"
" Adhitama yang itu, dan dia yang membeli cincinku."
"Oh, cincin yang kau simpan di laci pakaian dalam paling belakang itu ya? ya ya ya,"
Fitri menangkupkan tangan didada saat Adhitama mengulurkan tangan.
Saat menarik tangannya, Adhitama memperhatikan wajah Acha yang jengah dan tertarik dengan fakta yang baru saja terdengar.
"Yuk ah, sudah ditunggu anak-anak. Apakah pak Adhitama akan ikut sholat berjamaah?"
Tanya Fitri sambil berjalan menjauh.
Adhitama tersenyum ramah dan senyum itu menghilang saat menatap Acha seakan berkata,
"Urusan kita belum selesai"
Bersambung #3
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel