Saat sholat ashar sudah selesai, Acha menarik nafas dengan lega saat melihat Adhitama sudah tidak ada dimasjid.
Aaah, semoga dia bosan menungguku dan akan kembali esok pagi, karena esok pagi Acha akan melepas bandul cincin itu kemudian dimasukkan ketempat cincin untuk diserahkan pada Adhitama, dan dia aman karena Adhitama tidak akan tahu jika selama ini ia selalu memakai cincin itu.
Saat keluar dari masjid ada sesuatu yang menarik tangannya, Acha spontan berbalik dan matanya terbelalak terkejut.
"Urusan kita belum selesai Cha!"
Adhitama tersenyum kaku, saat Acha berusaha melepaskan pegangan tangannya.
"Aku tidak ingin kau melarikan diri, aku mau cincinku."
Acha pucat pasi, tidak menyangka Adhitama akan menuduhnya seperti itu.
"Aku tidak melarikan diri, Adhit."
Adhitama memicingkan matanya namun tidak mengendurkan pegangan tangannya.
Apakah ia salah berkata-kata sehingga wajah Acha sedemikian pias.
Tentu saja jika apa yang dikatakan temannya Acha, siapa tadi namanya Fitri, ya Fitri, Acha menyimpan cincin itu dilaci pakaian dalamya paling belakang yang berarti gadis itu harus pulang untuk mengambilnya dan Adhitama mulai kehabisan kesabaran dengan permainan gadis itu.
Jika Acha meninggalkannya disini, dia akan kehilangan jejak dan tidak punya jaminan karena semua uang pembayaran sudah ditranfer, dan Acha hanya memanggilnya Adhit saat gadis itu merasa terdesak, terintimidasi dan tidak nyaman, karena ketika nyaman Acha dulu selalu memanggilnya dengan tama.
"Aku perlu mengambil motorku dan lepaskan tanganku, kau membuat kita menjadi tontonan." ucap Acha sambil mendesis.
Adhitama memandang ke sekelilingnya dan memang ada beberapa walimurid yang tengah menunggu waktu menjemput anak mereka dan memandangi mereka berdua dengan tatapan ingin tahu.
"Aku tidak perduli jadi tontonan, jika perlu aku akan menggendongmu untuk masuk dalam mobilku."
Wajah Acha merona merah semerah tomat membayangkan digendong oleh Adhitama.
Sebenarnya Acha bisa melepas bandul cincin itu dikamar mandi putri, namun saat kepulangan seperti saat ini kamar mandi selalu ramai akan anak anak, dan tadi Fitri sempat keceplosan dia menyimpan cincin itu dilaci baju, jadi melepas cincin itu saat dirumah adalah hal yang seharusnya ia lakukan agar Adhitama tidak tahu kebenarannya.
Sambil menarik nafas panjang akhirnya Acha berkata,
"Aku janji tidak akan melarikan diri, aku hanya akan mengambil motorku dan kau bisa mengikutiku."
"Berapa plat nomor motormu? "
Tanya Adhitama skeptis, karena dengan baju dan seragam jelek itu semua guru putri yang ada disekolahan ini terlihat sama dari belakang.
"AB 3812 AA, sekarang lepaskan tanganku. aku ingin urusan ini cepat selesai,"
Ucap Acha sambil menarik tangannya.
Acha bergegas berjalan menuju ruang guru dan Adhitama dengan kecut mulai memakai kaos kaki dan sepatunya.
Sepanjang perjalanan menuju mobilnya banyak bibir tersenyum dari walimurid nya Acha, benar benar ramah khas Yogya.
***
Adhitama menjalankan mobilnya pelan-pelan saat motor Vario putih bernopol yang disebutkan Acha tadi melintas keluar pagar sekolah.
AB 3812 AA, sepertinya ada yang familiar dengan nomor itu, tapi apa ya, bisik hati Adhitama sambil terus menempel dibelakang motor itu, Adhitama tidak mau kehilangan jejak.
Diluar bayangan Adhitama, Acha mengendarai motor itu dengan pelan sambil sesekali melirik spion memastikan Adhitama tidak ketinggalan sambil sesekali membalas sapaan ramah warga yang terlewati dengan anggukan dan senyuman.
Saat motor itu berbelok menuju rumah mungil dengan halaman luas yang rimbun, Adhitama akhirnya menyadari 3812 adalah tanggal pernikahannya dengan Acha yang gagal terlaksana, apakah AA singkatan dari Adhitama Acha, sepertinya itu kebetulan atau itu adalah kado pernikahan Acha, yang meski pernikahan urung dilakukan namun hadiahnya sudah terlanjur di kirim, dan Acha tetap memilih memakai motor itu?
Adhitama tersenyum miring memikirkan kemungkinan itu.
Saat Adhitama turun dari mobil, Acha dengan galak berkata,
"Tunggu disini akan aku ambilkan cincinmu."
"Hmmm, jadi kau tinggal disini."
"Kenapa? Terlalu jelek?"
"Terlalu seperti kamu," jawab Adhitama sambil tersenyum simpul.
Acha gelagapan karena tidak mengira akan menerima jawaban itu dari Adhitama.
Dia menyangka Adhitama akan memandang rendah rumahnya, karena berada dipinggiran desa, karena rumahnya kecil dan sederhana, namun Acha sangat nyaman disini, apalagi dikelilingi tetangga sekitar yang ramah.
Untung menghilangkan gelagapnya, Acha pura-pura mencari kunci rumahnya dalam tas, agar tidak perlu memandang senyum Adhitama yang membuat dadanya berdesir aneh.
Adhitama berdiri diluar rumahnya dengan percaya diri, matahari sore membuat rambut hitam pria itu bersinar dan wajah pria itu terlihat lebih tampan dibanding enam tahun yang lalu, dengan tubuh menjulang yang bahkan Acha lupa betapa tingginya pria itu dibanding dirinya.
"Tunggu disini akan kubawa keluar cincin itu."
"Aku ikut masuk, aku tidak ingin menarik perhatian tetanggamu."
Acha memindahkan tatapan dari bahu yang kokoh itu ke rahang tegas Adhitama sebelum akhirnya membuang pandangannya ke arah lain.
"Aku tidak mau kau masuk kedalam rumahku Adhitama," ucap Acha tegas.
Jawaban Adhitama atas pernyataan itu adalah merebut kunci dari tangan Acha dan langsung berjalan ke pintu utama rumah.
Gusar, Acha mengejar pria itu.
"Jangan berani berani masuk ke dalam rumahku tanpa undangan."
"Ada solusi sederhana untuk itu, Undang aku."
"Aku tidak akan mengundangmu. Rumahku hanya untuk orang baik , dan kau bukan orang baik,"
Jawab Acha sambil menusukkan jarinya ke dada Adhitama, sadar akan perbuatan konyolnya Acha menarik tangannya dengan buru-buru.
"Kenapa kau menjual cincinku?"
"Kenapa kau tak datang dihari pernikahan kita?"
"Aku sudah memberitahumu."
"Kapan?"
Untuk pertama kalinya Adhitama kelihatan kesulitan menemukan kata kata yg tepat.
"Hal itu berat bagiku..."
"Ceritakan padaku! setelah dipikir pikir tidak usah. Aku bahkan tidak ingin tahu,"
Acha memutuskan ia tidak akan tahan Adhitama mengatakan bahwa menikahinya adalah keputusan yang salah.
Acha tidak semenarik wanita yang ada disekeliling pria itu, dia tidak ingin pria itu membandingkanya.
"Masuklah, kalau kau ingin. Akan aku ambilkan cincin dan setelahnya kau akan pergi."
Adhitama bergeming, mematung.
"Aku tahu aku menyakitimu...."
"Astaghfirullah, setelah 6 tahun? Cepat sekali kau tanggap,"
Acha merenggut kuncinya kembali dan membuka pintu.
Berharap Adhitama akan bergegas pergi, namun sepertinya hal itu tidak mungkin.
Gigih adalah hal yang menjadikan Adhitama sukses seperti saat ini.
Acha mendorong pintu depan dan agak meringis saat pintu itu terganjal kardus-kardus yang berisi jilbab untuk bakti sosial berbagi jilbab bersama komunitas hijabersnya.
Acha sudah ada didalam rumah saat terdengar suara benda terantuk, saat berbalik ia melihat Adhitama merengut sambil mengusap dahinya yang sepertinya terantuk daun pintu.
"Kau seharusnya memperingatkan orang sebelum masuk rumahmu agar tidak terantuk pintumu."
Sambil tersenyum yang dimanis maniskan Acha menjawab,
"Pintu itu tidak pernah bermasalah selama ini...kau seharusnya melihat jalan ketika melangkah."
"Aku sedang melihatmu,"
Suara Adhitama terlihat kesal saat mengatakan itu, namun entah mengapa pengakuan itu membuat Acha puas.
Tapi kepuasan itu tidak membuat Acha senang karena Adhitama mengikutinya, kenapa pria itu tidak mau duduk diruang tamu seperti layaknya orang bertamu.
"Rumahmu mungil sekali,"
Kata Adhitama sambil mengedarkan pandangan.
"Aku tinggal sendiri, cukup ruang untukku."
"Kau tidak menawariku kopi?"
"Kenapa aku harus menawarimu kopi?"
"Karena itu menunjukkan keramahtamahan."
"Aku sedang tidak ingin beramah tamah padamu, lagi pula aku tidak minum kopi, aku minum teh."
"Baiklah, tawari aku teh kalau begitu,"
Jawab Adhitama sambil tersenyum cerah.
Acha merengut menyadari kesalahannya, untuk apa ia mengatakan menyukai teh, harusnya ia cukup mengatakan bahwa ia tidak punya kopi, seandainya punya kopi pun belum tentu Adhitama doyan kopinya.
"Aku belum pernah melihatmu marah."
Acha memutar bola matanya, kesabarannya memang tengah diuji hari ini.
"Tetaplah disini,"
Sindir Acha karena Adhitama tidak mau duduk diruang tamu, saat ini pria itu bahkan mengikutinya hingga ke dapur.
"Oh tidak, kupikir-pikir lebih baik kau tidak disini,"
Kata Acha sambil menuangkan air keran kedalam ceret untuk merebus air yang ternyata menyiprat dan membuat basah jilbab dan baju atasnya.
Kalung berbandul cincin itu tercetak jelas karena bajunya basah, Acha pura pura menyibukkan diri mencari mug dan teh, sambil menunggu airnya mendidih.
Seperti ruangan yang saat ini ia tempati, banyak sekali lompatan listrik disini, inikah dulu yang membuat Andre kakaknya segera menikahkan ia dan Adhitama, karena kakaknya selalu melihat percikan api itu dimanapun Acha dan Adhitama berada.
"Dari dulu kau tidak suka berbohong Acha...mengapa kau jual cincinku?"
"Dan kau adalah pembohong akut, pria dengan ego dan overconfidence seperti dirimu takkan pernah cocok untukku."
Acha bergegas mematikan kompor kemudian menuang air kedalam mug, dia hanya punya teh celup dan kalau itu rasanya tidak enak, semoga pria itu tersedak saat meminumnya, bisik hati Acha geram.
Secara perlahan mengangsurkan teh yang masih panas itu di meja kecil yang ada didapur, dan meskipun perlahan namun karena gemetar teh itu tumpah sedikit keatas meja.
"Itu tehmu, silahkan diminum... tunggu disini dan akan kuambilkan cincinmu."
Bukannya duduk dan menunggu, Adhitama justru melangkah kearah ke arah Acha dan Acha hanya bisa mundur karena ruangan itu terasa penuh dengan intimidasi Adhitama.
Langkah Acha terhenti saat pinggulnya membentur wastafel cuci piring, saat ini dia tidak bisa melarikan diri karena kedua tangan Adhitama mengurungnya dengan bertumpu di wastafel.
"Kenapa kau jual cincinku?"
Acha menunduk gelagapan tidak tahu harus menjawab apa, saat ini benaknya kosong terisi oleh wangi parfum Adhitama dan hawa panas yang mengelilinginya.
"Kenapa kau jual cincinku Acha? "
Tanya Adhitama dengan ibu jari dan telunjuknya menaikkan dagu Acha.
"Karena aku tidak membutuhkan cincin itu lagi, cincin itu adalah pengingat yang buruk atas keputusan yang ku buat, aku akan mengambilkan cincin itu dan kau bisa pergi, semoga kepalamu terantuk pintu lagi saat keluar nanti."
"Cincin itu hadiah dariku, dan kau menjualnya di lapak barang bekas."
"Buat apa aku menyimpan cincin itu …[padahal saat ini cincin itu menggantung berat didadanya] Apa kau pikir cincin itu punya makna emosional bagiku ?"
Ucap Acha dengan keras kepala.
"Aku memberikan cincin itu padamu."
"Kemudian kau meninggalkan aku sendirian dihari pernikahanku."
Wajah Adhitama terlihat gelap menakutkan, namun Acha tidak akan mundur, inilah saatnya dia melampiaskan semua sakit hatinya 6 tahun yang lalu.
Acha terlalu marah hingga tidak sempat menghindar saat wajah Adhitama mendekat pada wajahnya, saat bibir Adhitama tiba tiba mencium bibirnya dan meskipun wajah Adhitama galak, tapi ciumannya sangat lembut, menjelajahi, menguasai dan menandai seakan akan Acha ada wilayah yang baru saja di taklukkan.
PLAAK !
Tangan Acha spontan terulur dan menampar wajah Adhitama saat pria itu mengangkat wajahnya.
Bekas jari Acha tercetak jelas dipipi pria itu.
"Kau kurang ajar, kau tidak punya hak untuk menciumku,"
Nafas Acha terlihat mendongkol marah.
"Tunggu disini, aku ambilkan cincin 700 juta mu itu."
Acha bergegas menuju kamarnya, menguncinya dari dalam, melepaskan cincin itu dari kalungnya, meletakkannya diwadah cincin yang sudah ia siapkan dari kemarin.
Acha sudah melakukan semuanya dengan sangat cepat, namun derum mobil penuh tenaga itu terdengar sudah meninggalkan rumahnya bahkan saat Acha berada lorong menuju ruang tamu.
===========
Adhitama meletakkan tabletnya dimeja, setelah disodorkan oleh sekertarisnya untuk membaca berita online tentang pemutaran perdana sebuah film karya anak negeri disebuah Mall yang cukup bergengsi di ibukota dengan foto bintang utama filmya menggandeng Nara.
Nara terlihat bahagia disana, dan entah kenapa setelah hampir 3 minggu ia putus dengan Nara pasca kepulangannya dari Yogya, Adhitama tidak merasa sakit hati, beda sekali dengan saat melihat cincin Acha di lego di OLX.
Hari ini hari Kamis sore memang saat yang bagus untuk launching film baru karena dapat mendulang penonton yang akan melewatkan akhir pekan.
Dalam perjalanan pulang dari kantor sore tadi entah mengapa sopirnya mendengarkan pengajian di aplikasi ymusic dari ustadz Salim A fillah tentang menikah, dan tausiyah itu membuatnya berpikir tentang agenda akhir pekan ini.
Yaitu menyelesaikan masalah yang satunya, kemarin sempat tidak sengaja bertemu Andre kakak Acha dalam sebuah sebuah launching perusahaan interior dan Adhitama sudah meminta maaf kepada Andre yang mewakili keluarga besarnya.
Sempat tersirat meski samar Andre memberi lampu hijau untuknya terlepas dari kesalahan dimasa lalu yang diperbuatnya, saat Adhitama menanyakan tentang Acha, semua keputusan ada ditangan adiknya itu kata Andre yang tidak mau berpanjang lebar.
Pembicaraan singkat yang membuat hati Adhitama sedikit melambung setelah sempat mengempis habis saat cincin itu dilego di OLX, dan dialah yang membelinya.
Adhitama pulang ke Jakarta dengan marah dan terkejut, karena dia tidak pernah mengira Acha selalu memakai cincin itu, meski bukan dijari namun dipakai dikalung, dan saat jilbab serta bajunya basah saat menuang air diceret kemarin cincin itu terlihat menonjol di balik baju Acha.
Keadaan itu pula yang membuatnya melakukan tindakan ugal-ugalan dengan mencium Acha, meski dihadiahi tamparan dipipi.
Namun hal itu membuat Adhitama yakin bahwa dia adalah pria pertama yang mencium Acha dan saat ini dirinya juga ingin memastikan menjadi pria terakhir yang akan mencium gadis itu.
Adhitama menghubungi sekretaris nya, menyerukan beragam instruksi dan tersenyum saat mengakhiri semua percakapan itu.
***
Tiga minggu sudah berlalu sejak peristiwa memalukan yang menimpa Acha, meski tidak ada yang tahu namun Acha sangat malu pada Alloh.
Tak terhitung istighfar yang terlafal setiap hari, namun entah mengapa peristiwa itu tidak pernah hilang dari ingatan nya.
Sejak tahu harga cincin itu, Acha tidak berani lagi memakainya, cincin itu ia simpan di safetybox BPD DIY yang terdekat dari tempat tinggal Acha.
Acha tersenyum pagi ini setelah kemarin berhasil menyelesaikan proses pembayaran tanah di belakang sekolah untuk kemudian ia wakafkan guna dibangun gedung rumah tahfidz.
Meski menyatu dengan sekolah, namun gedung tahfidz mempunyai pintu keluar sendiri sehingga untuk pengembangan di masa yang akan datang dapat mengakomodasi siswa dari luar sekolah yang ingin ikut kelas tahfidz.
Hari Jumat ini Acha ijin tidak masuk karena ingin menyelesaikan barang-barang yang akan disalurkan dalam baksos minggu depan.
Hal tersebut tidak menganggu pelajaran anak didiknya kebetulan anak didiknya hari ini ada jadwal renang bulanan bersama guru olahraga, biasanya akan disambung dengan acara market day dipenghujung hari sehingga pelajaran bahasa Inggris ditiadakan.
Dibantu Fitri pekerjaan mengepak jilbab dan gamis pantas pakai yang akan disumbangkan besok ternyata lebih cepat selesainya.
Waktu baru menunjukkan pukul 10 saat terdengar deru mobil berhenti didepan rumah, Acha mengernyit karena merasa tidak menunggu seseorang.
"Siapa? Kakakmu ya cha?"
"Waduh, kurang tahu ya, kak Andre nggak ada berita kalau mau kesini."
Fitri bergegas kedepan dan tak berapa lama kembali masuk sambil menenteng paperbag besar dan sebuah Amplop tebal,
“Cha, ada kurir cewek didepan, dia nganterin ini, katanya dia akan menunggu sampai kamu siap."
Acha melongo, kurir apaan?
Meski bertanya dalam hati, namun Acha menerima barang hantaran itu.
Dibukanya paperbag itu, isinya sebuah gamis model kontemporer yang tengah trend dan sebuah sepatu kasual yang nyaman dipakai.
Saat membuka amplop surat itu, barulah Acha terdengar menghela nafas.
"Sekarang apa?"
Fitri merebut surat yang masih dipegang oleh Acha, terlihat tulisan tebal khas Adhitama.
[Tolong antarkan cincinku ke Jakarta, ada kendaraan yang akan membawamu dan Dewi akan mendampingimu]
"Bahkan tanpa nama dan tanda tangan," ujar Fitri sebal.
"Karena surat itu diantar kurir pribadi fit."
"Kau mau ke Jakarta?"
"Aku bingung, aku takut...tapi haruskah aku mengantarnya?"
"Kenapa tidak kau titipkan pada kurir itu?"
"Harganya 700 juta Fit, dan separuh uangnya sudah terpakai untuk membayar tanah wakaf kemarin."
"Wow, Adhitama mengirimimu pelayan pribadi, menyuruhmu mengantarkan cincin itu dengan naik helikopter pribadi, memberimu pakaian yang sepertinya seharga gaji kita 3 bulan, beri aku alasan aku tidak boleh iri padamu."
"Pria itu tidak datang saat pernikahanku, dan hei, bagaimana kau tahu tentang helikopter pribadi Adhitama? "
Sahabatnya itu nyengir sambil berkata bahwa ia pernah melihatnya dikolom gosip.
"Aku tidak akan ke Jakarta, Fit."
"What? Kenapa Cha? Cincin itu amanah yang belum tertunaikan dan siapa tahu Adhitama ingin berbaikan denganmu."
"Berbaikan denganku? "
"Ayolah Cha, aku sudah cerita padamu kan kalau gadis itu datang dengan bintang film digala premier film horor yang baru tayang, dan aku yakin Adhitama sudah tidak ada hubungan lagi dengan gadis itu,... mungkin Adhitama merasa dirimulah yang dia inginkan."
"Sebagai ?"
"Aku tidak tahu, itulah mengapa kau harus ke Jakarta untuk mengetahuinya."
Telapak tangan Acha tiba tiba berkeringat, ia tidak ingin ke Jakarta, ia tidak ingin Adhitama tahu bahwa ia jatuh cinta dan ia patah hati pada saat yang bersamaan.
"Ayolah Cha, kau tidak akan rugi kesana, toh Adhitama sudah berjanji ada Dewi yang akan menemanimu, dia tak punya waktu untuk berduaan saja denganmu."
Acha menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya sekaligus.
"Oke, aku akan kesana , tapi kau harus janji menyelesaikan tugasku dibaksos yang mungkin terbengkalai karena ku tinggalkan."
Fitri tersenyum dan melambaikan tangan saat mobil yang membawa Acha pergi untuk mengambil cincin sebelum akhirnya membawanya ke Jakarta.
***
Saat helikopter mendarat dihelipad sebuah padang rumput yang cukup luas, Acha mulai mempertanyakan keputusannya datang kemari.
Meski Dewi menemaninya dengan sopan bahkan saat mengambil cincin itu disafety box, namun Acha merasa ada yang salah. dan dia tidak tahu apa itu.
Acha merasa saraf-saraf dalam perutnya seperti berkejaran.
Kecemasan mencekiknya dan satu-satunya yang bisa ia rasakan saat ini adalah kepanikan karena akan bertemu dengan Adhitama dan ia tak punya bayangan untuk apakah itu.
Tarik nafas panjang, kau kesini untuk mengembalikan cincin itu, selesai, bisik hatinya menenangkan.
Mereka belum bertemu sejak peristiwa memalukan didapur itu, dan Acha bahkan sudah berpikir untuk mengirimkan cincin itu melalui jasa kurir dengan asuransi mengingat mahalnya harga cincin itu.
Mengapa Adhitama memintanya untuk mengirimkan cincin ini?
Dewi bahkan ketakutan saat ia menyerahkan cincin itu dan tidak ikut dalam penerbangan kesini.
Otaknya meluncur maju dalam gerakan tak terkendali wahana seru.
Satu menit harapan muncul dalam kilatan optimisme dan menit berikutnya harapannya mengempis saat teringat kenangan tentang Adhitama tidak jadi menikahinya adalah karena untuk kebaikannya, itu kata Adhitama.
Apakah karena saat itu usianya yang masih 19 tahun belum cukup umur untuk menikah menurut Adhitama?
Apapun alasannya dia tidak akan menggantungkan nasibnya pada hubungan yang tidak mungkin berhasil, seperti yang terjadi pada ibunya dan ayahnya.
Ibunya menikah dengan ayahnya saat merawat ayah yang terkena kanker dan Qodarullah, justru ibunya yang meninggal terlebih dahulu saat melahirkannya.
Ayahnya yang Allah beri penghapusan dosa dengan menderita penyakit kanker justru yang merawatnya hingga besar, meski saat Ayah sudah semakin kepayahan memasrahkannya di pondok hingga akhirnya beliau meninggal.
Acha tidak pernah merasa punya keluarga hingga ayah meninggal dan mengantarkan surat wasiat beliau pada kakak dan istri pertama ayahnya yang membuatnya memiliki keluarga saat ini.
Ya....Acha sangat bahagia memiliki kakak, mama Ayu, kakak ipar dan tiga keponakan yang lucu-lucu.
"Pak Adhitama memerintahkan kepada saya untuk membawa anda ke teras samping dan menunggu disana, karena beliau sedang menyelesaikan conferensi call dan akan menemui anda disana dalam 10 menit lagi,"
Suara Dewi memutuskan lamunan Acha kembali ke keadaannya saat ini yang sudah masuk ke sebuah halaman rumah besar.
Acha bersyukur karena ia sangat suka menggunakan sepatu kasual karena lantai rumah marmer yang terpoles bersih itu membuatnya ngeri jatuh terpeleset.
Meski rumah mama Ayu dan rumah papa cukup besar semua berlantai parquet dan tidak pernah membuatnya terintimidasi seperti saat ini.
Acha mengepalkan tangannya disekeliling tubuhnya saat melintasi ruangan yang berisi guci dan benda antik lainnya.
Rumah ini begitu licin, bersih dan rapi.
Tidak ada majalah yang separuh terbuka, cangkir yang terminum separuh dan semua benda terlihat sempurna di tempatnya.
Merasa seakan berada ditengah museum, Acha menarik nafas lega saat Dewi mengantarkannya ke gerbang lengkung yang mengarah ke teras samping rumah, dan saat sampai disana Acha menarik nafas tercekat karena keindahannya.
Meski mama Ayu memiliki kebun anggrek dan kolam renang dihalaman samping rumahnya, namun taman itu tidak sebanding dengan taman yang ada diteras ini.
Hamparan bunga anggrek dan entah bunga apa namanya yang menjuntai kearah bawah menampakkan pemandangan laut yang menakjubkan dan posisi kolam renang yang berada dipinggir seakan tanpa sekat dengan tebing curam yang mengarah ke pantai bawah.
Acha mengerjapkan matanya karena tidak ingat ada teluk seindah ini dipinggiran Jakarta.
"Apakah perjalananmu menyenangkan?"
Terdengar suara Adhitama dari arah belakang.
Acha melonjak kaget.
"Maafkan mengejutkanmu, aku sudah mengucap salam 2 kali tadi dan kau tidak menjawab."
Suara itu terdengar lebih lembut dan bersahabat dari pertemuan terakhir mereka.
Acha merasa tidak siap bertemu Adhitama, bukan hanya karena terintimidasi oleh kemewahan yang mengelilinginya, namun juga karena disana Adhitama terlihat lebih tampan dari kali terakhir mereka bertemu.
Udara tiba-tiba terasa teraliri listrik, dan Acha berharap Dewi segera kembali menemaninya untuk mengalihkan suasana.
"Eh, perjalanannya menyenangkan. Aku belum pernah naik helikopter sebelumnya," jawab Acha tergagap-gagap.
Sadarkan dirimu Cha, bisik hatinya payah.
Bukankah kau sudah tambah dewasa sekarang?
Acha mengerjap ngerjapkan matanya, ayolah Acha katakan yang lebih cerdas dari itu, rutuk hati yang satunya.
"Emm, sebenarnya rasanya aneh, berisik tapi sepi ...Dewi tidak mengajakku mengobrol."
Adhitama menarik lekuk bibirnya tersenyum,
"Aneh ya, "
“Dewi tidak dibayar untuk mengobrol, dia dibayar untuk memastikan kau mendapatkan apa yang kau butuhkan."
Kata kata itu menyadarkan Acha akan apa yang seharusnya ia lakukan disini.
Acha membuka tasnya, mengambil kotak cincin itu, membukanya kemudian mengambil isinya dan mengangsurkannya pada Adhitama,
"Oh iya, hampir saja aku lupa tugasku disini, kau membayar jasa pengiriman barang paling mahal hari ini, ini cincinmu."
Acha berdiri dan mengulurkan tangan, dia sudah bertekad jika Adhitama tidak mau menerima cincin itu ia akan meninggalkannya disini.
Dahi Acha berkernyit karena pria itu bahkan tidak mendekat untuk mengambil cincin itu.
"Nih, cincinmu," kata Acha sekali lagi.
"Yang sudah ku berikan padamu," jawab Adhitama dengan santai.
"Tidak juga, maksudku kau memberikan cincin ini sebagai bagian dari pernikahan dan pernikahannya tidak pernah terjadi.Kemudian aku menjual cincin ini dan kau membelinya, jadi cincin ini milikmu,"
Cerocos Acha dengan panik karena tugas menyerahkan cincin ini ternyata tidak semudah bayangannya.
"Kau sudah mentransferku 700 juta, ingat? Dan kalau kau berharap aku lebih menginginkan cincin ini daripada uangnya...lupakan saja. Karena uangnya sebagian sudah kupakai untuk membayar tanah yang akan dipakai untuk rumah tahfidz murid-muridku. Aku tidak bisa mengembalikan uangmu, jadi kau harus menerima cincin ini...."
Adhitama mengamatinya, mata hitam yang tajam itu dengan intens mengamati Acha.
"Kau mendapatkan uang 700jt direkeningmu dan membelanjakannya untuk membeli tanah yang kau sumbangkan. kau mungkin butuh pelajaran motivasi membelanjakan uang, sayang."
Walaupun benci mengakuinya, namun panggilan sayang itu membuat hati Acha berdebar.
Tapi dia tidak pernah butuh belajar cara berbelanja, mendonasikan uang itu sudah ada dalam rencana awalnya saat menjual cincin itu.
Ujung jemari Acha berkedut dan ia mengaitkan kedua ujung jemarinya.
"Aku suka berbagi, dan rasanya menyenangkan. Aku ingin membuat tanah lapang dengan pohon yang teduh kemudian rumah pohon yang nyaman untuk anak-anak menghafalkan Al Quran, sebuah konsep membuat tempat yang menyenangkan agar menghafal Al Quran juga menjadi kegiatan yang menyenangkan."
Cerocos Acha dengan panjang lebar menutupi kegugupan karena saat ini Adhitama memandanginya dengan penuh perhatian, terlihat tampan dan menyenangkan.
"Jangan bilang apa-apa pada mereka, karena selain Fitri tidak ada yang tahu kalau penyumbang dana itu aku,"
Suara Acha perlahan menghilang karena malu.
"Mereka tidak tahu kau penyumbang mereka ?"
"Tidak, meski sempat terjadi kasak kusuk namun itu hanya sebentar, kau sering berbagi juga kan?"
"Aku tidak pernah membagikan barang secara pribadi, acara amal itu ditangani oleh Hernowo Foundation."
"Maksudmu kau punya perusahaan sendiri untuk amal?"
Tanya Acha dengan kaget.
"Betul, kami menyumbangkan sebagian uang laba kami kesana dan Hernowo Foundation yang menyumbangkannya, dengan persetujuan dariku tentu saja."
Acha melongo mencerna informasi yang baru saja ia terima, karena sisi humanisme Adhitama yang ini baru saja ia temukan.
Pria ini membuatnya bingung dan waspada, apalagi saat ini pria itu berdiri terlalu dekat dan wanginya fantastik....pria yang tampan dan wangi, Acha mulai kesal dengan hatinya yang menikam logikanya . "Tidakkah kau ingin mengambil cincin ini? Aku sedikit ngeri setelah tahu harganya, dan untungnya dulu aku tidak tahu harganya saat memilikinya. Seandainya aku tahu harganya aku tidak akan berani memakainya."
"Pakai cincin itu dijarimu!" perintah Adhitama tegas.
What?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel