Pandangan Acha melayang ke mata Adhitama dan sesaat semua yang ada disekitarnya tak lagi terlihat nyata.
Apa kata Adhitama barusan?
Apakah Adhitama bermaksud?
Bahkan sebelum otaknya menjawab pertanyaan itu, hatinya sudah berjingkrak-jingkrak kegirangan.
Adhitama tidak mungkin bermaksud begitu kan?
Pria itu tidak mungkin melamarnya...
"A- apa kau bilang?"
Acha spontan mundur saat melihat Adhitama melangkah maju, namun langkah Adhitama lebih lebar dan saat ini tangan pria itu dengan tegas mengambil cincin itu kemudian memasangkannya di jari manis tangan kanannya.
"Aku ingin kau memakai cincin ini, dan cincin ini terlihat bagus disana,"
Kata Adhitama sambil memandang jari manis Acha seakan itu benda terindah didunia.
Acha berusaha menarik tangannya yang berada dalam genggaman Adhitama, namun pria itu sepertinya tidak ingin melepaskan tangannya.
Acha merasakan gumpalan kekecewaan dalam hatinya.
Tangan kanan.
Bukan tangan kiri, dan apapun tangannya tidak berarti karena Adhitama tidak melamarnya.
Berlian itu berkedip dan mengerjap dalam cahaya matahari yang benderang sama seperti 6 tahun yang lalu ketika Acha memakainya pertama kali.
Cincin itu tidak menjamin pernikahan, Acha mengingatkan dirinya sendiri.
Kemudian merenggut cincin itu dari jarinya sebelum otaknya memikirkan gagasan konyol yang sama dengan tubuhnya.
"Barusan aku memberitahumu aku sudah membelanjakan uang itu dan aku tidak menginginkan cincin ini,"
Kata Acha sambil menggenggam cincin itu di tangannya.
"Bisakah kau pakai kembali cincin itu ada yang ingin kubicarakan.”
Acha merengut, mulutnya sudah membuka namun kemudian menutup kembali, mengalah demi rasa penasaran, pentingkah topik yang akan dibicarakan?
Adhitama berjalan menuju meja kecil yang ada di samping teras .
"Mau minum? Jus lemon?"
"Oh ya boleh, terima kasih."
Benak Acha bertanya-tanya apakah yang akan dibicarakan oleh Aditama.
"Ngomong-ngomong aku turut prihatin kau putus dengan pacarmu,"
Kata Acha sambil menyelipkan cincin itu di jarinya.
"Benarkah?"
Tanya Adhitama tersenyum malas sambil menuang jus lemon ke dalam 2 gelas yang sudah tersedia, suara batu es berdenting beradu dengan suara air yang mengalir.
"Benar...Tidak juga, aku hanya mencoba untuk berempati, aku tahu rasanya karena aku pernah berada pada posisi itu."
"Begitu ya?" Jawab Adhitama sambil tersenyum miring ketika menyerahkan gelas berisi jus lemon itu kepada Acha.
"Cukup basa basinya, terimakasih untuk tumpangan helikopternya, kiriman bajunya tapi jangan berharap aku memaafkanmu, terlalu banyak yang kau sakiti. Aku masih menganggap kau benar benar tol..."
Acha menutup mulutnya.
"Tolelot"
"Tolelot? mirip suara klakson?"
" Itu pengganti kata kasar yang ingin aku ucapkan. Aku selalu menghindari mengumpat, jika di TV mereka menggunakan suara bip, aku juga menggunakan kata yang sama."
"Seingatku kau pernah menyebutku bajingan"
"Sebenarnya kau yang mengatakannya dan aku hanya mengiyakan, lumayan melegakan sebenarnya,"
Kata Acha sambil menautkan kedua tangannya pada gelas jus.
"Jadi, kenapa kau menyuruhku mengantar cincin ini sendiri? Kenapa tidak menyuruh staffmu atau kurir untuk mengambilnya."
"Aku tidak ingin cincin itu, aku menginginkanmu."
Jantung Acha jungkir balik mendengar pernyataan itu, dan tangannya tiba tiba gemetar hebat, sehingga ia buru buru menaruh gelas itu dimeja.
"Kau tidak menginginkanku enam tahun yang lalu."
"Aku menginginkanmu enam tahun yang lalu."
Acha mendongak menatap Adhitama, kali ini benar benar keterlaluan jika pria itu masih mengolok-ngolok peristiwa yang bahkan ingin ia lupakan.
"Kau punya cara yang aneh untuk menunjukkan itu."
"Acha, kau wanita pertama yang pernah kulamar,"
Adhitama dengan tak sabar memijat tengkuknya.
"Tapi bukan yang terakhir."
"Aku tidak melamar Nara."
"Tapi kau berniat melakukannya."
"Aku tidak ingin Nara disebut-sebut disini, itu tidak relevan dengan hubungan kita. kenapa ada lingkaran hitam dibawah matamu?"
Tanya Adhitama mengalihkan pembicaraan.
Bagus, alihkan pembicaraan, ganti topik, bisik hati Acha sebal.
"Aku punya lingkaran hitam dibawah mataku gara gara kau, Aku lelah melawanmu."
"Kalau begitu jangan melawanku."
"Dan kau akan dengan arogan melakukan apapun. Mengapa kau tak datang pada pernikahan kita?
Tanya Acha tegas, dia mulai muak dengan kondisi tarik ulur ini.
Dia hanya ingin mengembalikan cincin ini dan pulang kemudian melanjutkan hidupnya.
"Kau tidak tahu?"
"Kalau aku tahu, aku tidak akan bertanya?"
"Kau ingin 5 anak."
"Emm ya, itu batas minimal."
"Dan kau belum mengatakan itu padaku, namun muncul dalam wawancara dengan wartawan."
"Aku panik, aku baru keluar dari ruang kuliah dan tiba tiba ada kilatan blitz dan rentetan pertanyaan yang mengikutiku sampai parkiran."
"Dan kenapa pernyataan itu menganggumu?"
"Karena seharusnya itu menjadi penyamaan visi dan misi kita dalam sebuah rumah tangga, tidak seharusnya kau mengumbarnya, karena belum apa-apa aku sudah merasa kau melangkahiku."
Dasar Adhitama tukang kontrol, dia sudah terlalu lama memegang kekuasaan itu sendirian, batin Acha sebal.
"Oh, maafkan aku Adhitama, Aku ingin punya anak banyak, agar semakin banyak tangan yang kelak akan menarikku ke surga, aku lelah sendirian dan aku menyukai anak-anak."
Sudah semua, semua sudah tersampaikan dan jika Adhitama tidak suka itu, itu masalah dia, bukan masalahku, kata hati Acha.
"Dan untuk punya anak banyak, kau harus menikah." Ucap Adhitama.
"Yups, setelah urusan cincin ini selesai aku akan menerima proposal taaruf lagi,"
Jawab Acha sambil menegakkan kepala.
"Bagaimana kalau aku mengajukan proposal taaruf lagi, lupakan ! Bagaimana kalau kau menikah saja denganku,"
Kata Adhitama terseret-seret, seakan tidak yakin akan apa yang ia katakan.
"Kau menikah dengan...apa? "
"Yups, Kau menikah denganku."
"Dan kenapa aku mau menikah denganmu, kau punya kesempatan itu 6 tahun yang lalu dan kau menyia-nyiakannya."
"Enam tahun yang lalu itu kesalahanku, dan aku ingin memperbaikinya."
"Dan bagaimana jika aku tidak mau?"
"Mungkin kau perlu mempertimbangkan bisnis kak Andre."
"Kenapa dengan bisnis kak Andre?" tanya Acha skeptis, teringat jika dalam 3 bulan terakhir ini kakaknya jarang sekali datang mengunjunginya dan saat Acha yang pulang kerumah mama Ayu, dirinya hanya sebentar saja ketemu kakaknya itu.
"Jangan berani berani,"
Adhitama tersenyum seakan dia memegang kartu truff dalam sebuah permainan.
"Aku tidak sejahat itu Cha, kak Andre membutuhkan suntikan dana, dia butuh investor untuk proyeknya yang baru dan karena ekspor terakhirnya dananya belum dibayar dia memintaku untuk menanamkan modalku diproyeknya."
"Dan kenapa kak Andre meminta padamu?"
"Kau ingin kakakmu berhubungan dengan Bank dan riba?"
Acha menganga tidak percaya Adhitama menggunakan bisnis kak Andre untuk menekannya.
Kak Andre sudah melakukan banyak hal untuknya, termasuk menjaga pabrik dan toko batik papa yang meskipun ketika dijual semuanya tidak akan ada apa-apanya dengan kemakmuran yqng dimiliki Adhitama.
Acha tersenyum masam, seakan keadaan tengah mentertawakannya.
Jika dulu Adhitama tidak menginginkannya, saat ini saat hatinya mulai pulih, pria ini melemparkannya pada kondisi dia tidak bisa memilih kembali sama seperti saat 6 tahun yang lalu.
"Semua terserah padamu, aku belum menyetujui proposal kak Andre tapi jika kita menikah, hubungan sebagai adik ipar tentunya akan lebih kuat dibandingkan hanya kolega."
Tegas Adhitama sambil berdiri dan menaruh gelas ke meja .
Adhitama belum sempat menarik tangan, saat tiba tiba terdengar benda berat terjatuh dikursi.
Saat menoleh, Adhitama pucat pasi karena melihat Acha tergolek pingsan dikursi teras.
==========
"Dokter, bisakah anda lakukan sesuatu, pingsannya lama sekali,"
Tanya Adhitama kalut pada Dokter Arini, dokter putri senior yang merupakan dokter langganan keluarga.
Adhitama tidak pernah menolong orang pingsan dan sekalinya menghadapi orang pingsan adalah saat neneknya terkena serangan jantung, menunggui nenek yang sempat koma di ICU meninggalkan trauma sendiri untuknya dan tentunya Acha bukan penderita jantung kan?
Saat ini Acha sudah dipindahkan kekamarnya, meski belum siuman namun nafas dan detak nadi gadis itu masih terlihat, wajahnya juga sudah tidak sepucat tadi.
Adhitama panik saat melihat Acha tergolek lemas di kursi teras samping rumahnya.
Dengan bantuan Dewi yang memanggil dokter dan saat satpam ingin memindahkan badan Acha, Adhitama menepisnya....dialah yang memindahkan Acha ke kamar utama agar badan gadis itu bisa berbaring dengan lebih nyaman.
"Kondisinya bagus pak Adhitama, tekanan darahnya juga berangsur normal."
"Mengapa dia bisa pingsan dok?"
"Kondisi lambungnya kosong, mungkin itu pemicunya."
Adhitama merutuk dalam hatinya, jus lemon yang diminum saat perut kosong, mungkin Acha belum sempat makan siang saat terbang kemari, kenapa hal itu tidak pernah terpikir olehnya.
"Dan apakah dia akan siuman dokter?"
"Sebenarnya pasien sudah sadar dari tadi, mungkin dia hanya tidak ingin membuka matanya dan berbicara. mungkin juga beliau hanya ingin beristirahat sebentar."
"Jika nanti pasien sudah bangun, berikan dia makanan lembut hangat yang bersahabat dengan asam lambungnya, soup krim tanpa susu bagus dan jangan lupa ini resep obatnya."
Adhitama tidak tahu ia harus tertawa bahagia karena Acha tidak apa-apa atau merengut kesal karena sudah ditipu Acha dengan aksi pura-pura tidurnya selama 20 menit terakhir.
Dewi mengantar dokter Arini keluar sekaligus menebus resep obat untuk Acha, tentunya setelah Adhitama mengucapkan terimakasih dengan menjabat tangannya.
Acha ingin tersenyum saat dokter Arini menerangkan kondisinya pada Adhitama, sekali-kali pria itu perlu diberi pelajaran agar tidak terlalu arogan, dan saat melihat kepanikan pria itu, hati Acha merasa sedikit terhibur karena ternyata Adhitama tidak sekejam yang terlihat.
Dulu Acha menerima proposal Adhitama karena masukan dari bu Nyai, istri Mudir pondok pesantrennya juga pertimbangan dari kak Andre.
Menurut bu Nyai, Adhitama sekufu dengannya, meski tentu saja bukan dalam harta.
Namun yayasan amal Adhitama adalah donatur tetap terbesar yang dimiliki oleh pondok tempatnya menghabiskan masa SMP dan SMAnya.
Hampir pembangunan semua sayap dan bangunan baru selalu ada uang dari Hernowo Foundation, meski Acha baru tahu saat ini kalau Hernowo foundation itu punya Adhitama.
Acha muda punya pertimbangan lain saat menerima lamaran Adhitama, meski dalam taaruf diperbolehkan menanyakan potensi pendapatan calon suami, namun Acha sudah terlanjur suka dengan cara tertawa Adhitama, sosoknya yang menawan dan tentu saja sekarang semua terlihat dangkal karena dulu ia dilamar Adhitama saat usianya baru 19 tahun dan Adhitama sudah 27 tahun saat itu.
Mungkin dirinya memang polos juga naif, dan Adhitama menyukainya karena kepolosan dan kenaifannya itu, sesuatu yang menyegarkan didunia Adhitama yang penuh dengan polesan dan pencitraan.
Saat ini bahkan Acha merasa nyaman tidur dibantal yang masih tertinggal wangi sabun Adhitama, karena sepertinya ia dipindahkan kekamar tidur utama rumah ini.
Acha mulai waspada saat banyak langkah kaki menjauh dan kemudian hening dan saat terdengar langkah kaki mendekat kemudian harum masakan, tanpa dapat dicegah suara perut Acha bergemuruh.
"Acha, aku tahu kau sudah siuman, karena tidak ada orang pingsan yang perutnya merespon makanan."
Acha tidak bergeming.
"Kau lebih suka kalau aku menciummu untuk membangunkanmu?"
Mata Acha spontan terbuka lebar, dan saat matanya terbuka itu ia melihat bibir Adhitama yang tertekuk geli diatas wajahnya.
Kurang ajar sekali pria ini jika sampai menciumnya, Acha sudah berencana bangun, namun badannya masih lemah.
Dan Adhitama sigap mengambilkan bantal tambahan untuk mengganjal kepala Acha agar lebih tinggi posisinya.
Adhitama sudah separuh jalan membawa sendok berisi sup krim kental yang lebih mirip bubur itu, saat tangan Acha meminta sendoknya.
"Aku bisa makan sendiri," kata Acha ketus.
Adhitama hanya tersenyum, tangannya melonggarkan ikatan dasi yang ada di lehernya dan mulai menggulung ujung lengannya.
Acha hampir tersedak saat melihat Adhitama dengan santai mulai membuka laptop dan mengawasinya makan sambil duduk diujung ruangan.
Kosmik ruangan ini tiba tiba berubah menjadi intim, mungkin karena memang berada dikamar tidur dan dua orang yang ada disana seakan sudah bersama dalam waktu yang lama dan terbiasa melakukan kegiatan rumahan itu bersama.
"Sudah mendingan?"
Tanya Adhitama dari ujung ruangan saat melihat mangkuk Acha kosong.
"Alhamdulillah, jazakallah."
Acha sedang mengelap mulutnya, saat Adhitama mendekat dengan laptopnya dan disana ada VC dengan seorang wanita sepuh yang bahkan masih menyisakan kecantikan diwajahnya.
"Assalamualaikum Eyang,"
Acha tidak bermaksud menguping, namun sepertinya Adhitama memang sengaja ingin menunjukan dirinya kepada Eyangnya.
Acha menarik nafas panjang, ia bahkan belum menjawab lamaran Adhitama dan pria itu yakin sekali ia akan menerimanya, sehingga sekarang ia dipaksa untuk berkenalan dengan Eyang putrinya.
Acha terpaksa memasang senyum manisnya saat layar itu berada didepannya dan Yangti pun tersenyum, dan saat basa-basi berakhir laptop itupun diam.
Acha mendelik ke arah Adhitama, dan pria itu hanya tertawa sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Aku ingin pulang,"
Kata Acha sambil tertunduk, dia bingung akan memandang kemana karena kamar ini terlalu pribadi, dan seharusnya dia memang tidak berduaan dengan Adhitama.
Kenapa Dewi lama sekali mengantar dokter itu?
"Oke, aku akan mengantarmu."
"Aku ingin pulang sendiri, dan ingat aku belum menjawab ya untuk usulanmu,"
"Usulan yang mana?"
Muka Acha merah seperti kepiting rebus, Adhitama menggodanya.
"Aku belum mengatakan ya..."
"Ah, oke, aku tidak terburu-buru, hanya saja kakakmu membutuhkan dana itu hari Senin besok dan itu berarti kau hanya punya waktu hari ini dan juga besok karena hari Minggu aku ingin jawabanmu."
Acha menarik nafas panjang sambil menatap makhluk menawan yang ada diujung ruangan itu.
Adhitama sangat gigih ketika menginginkan sesuatu, itulah yang membuatnya menjadi raja kapal meskipun hanya bermodal perahu sampan pada awal usahanya, dan Acha tidak ingin kak Andre harus berhubungan dengan Bank terkait suntikan dana itu.
Syirkah terbukti lebih berkah, apalagi kak Andre sebenarnya membutuhkan dana itu hanya sampai uang ekspornya dibayar, dan jika selama ini kakaknya itu selalu berhasil menghindarkan diri dari berurusan dengan Bank, kenapa untuk sekali ini Acha harus membuat kakaknya melakukan dosa besar riba.
Apakah dia dalam posisi dapat mengajukan syarat untuk pernikahan ini? bisik lirih hati Acha.
"Kau tidak adil Dhit."
"Aku bermain untuk menang."
"Aku butuh waktu untuk meminta ijin kepada kakakku dan Mama."
"Tidak perlu karena aku sudah meminta ijin kepada kak Andre, dan kau tahu apa jawabnya, semua terserah Acha."
"Apa? "
Adhitama benar benar sudah mempersiapkan semuanya, bahkan kakaknya pun sudah … Acha benar benar mati kutu dan tidak tahu harus menjawab apa, kondisi hati Acha saat ini benar benar tidak nyaman.
"Kau tidak percaya? Perlu kutanyakan pada kak Andre..."
Kata pria itu sambil mulai memencet gawainya.
Acha hampir menjawab tidak perlu, namun suara gawai itu sudah menunjukkan nada terhubung.
Adhitama berbicara dengan santai dan sepertinya memang hubungan pria itu dengan kakaknya benar-benar sudah membaik.
Pikiran Acha masih berkelana dan saat Adhitama mengulurkan gawainya, Acha gelagapan.
Terdengar suara kakaknya yang khawatir, menanyakan keadaannya dan berita tentang ijin Adhitama untuk menikahinya.
Kak Andre benar-benar kakak yang baik, meski ia membutuhkan syirkah dana dari Adhitama namun kakaknya dengan lembut tetap menanyakan apakah Acha benar-benar menginginkan pernikahan ini.
Acha melihat kakaknya itu berusaha melindungi hatinya setelah pernah hancur berkeping- keping 6 tahun yang lalu.
"Gimana?"
"Bolehkah aku mengajukan permintaan?"
"Apakah itu?"
"Aku ingin akad nikahnya hari ini habis maghrib." Ucap Acha tegas
Adhitama hampir tersedak minuman yang separuh masuk ke mulutnya, seakan tidak mengira Acha akan meminta hal tersebut.
"Itu yang pertama dan syarat kedua aku ingin kita tidur terpisah." Lanjut Acha.
Mata Adhitama benar benar berkilat gelap karena syok saat Acha mengajukan syarat keduanya.
"Bagaimana? Kau bisa?"
"Sekarang kau yang tidak adil Cha."
"Aku menguji dan mempraktekkan teori mu tentang bernegosiasi agar kedua belah pihak akan mencapai kata sepakat dengan hati yang senang,"
Kata Acha sambil tersenyum manis.
Adhitama tahu gadis itu tengah meledek teori yang pernah ia kemukakan dikelas gadis itu dulu dan akhirnya ia hanya bisa menarik nafas kasar dan dengan keki menjawab.
"Tidur terpisah tapi tetap dalam satu kamar, ketika kita dirumah Mama ataupun saat kita dirumah Nenek, kalau kita tidur terpisah kamar saat disana itu akan jadi pertanyaan besar untuk kita berdua."
"OK, deal,"
Kata Acha sambil tersenyum manis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel