Cerita bersambung
"Maaf, Anda siapa?" tanya Kamila tanpa melihat lawan bicaranya.
Kamila tidak mungkin lupa dengan mata hitamnya. Hanya potongan rambutnya saja yang berbeda.
"Mil, masalah kita belum selesai. Bisa kita bicara?" tanya Faishal dari luar pagar.
"Maaf, saya tidak mau bicara dengan orang asing." Kamila meninggalkan asoka yang selesai ditanam begitu saja dan langsung masuk ke rumah.
***
Rasa kangen terhadap perkuliahan membuat Kamila memilih diktat yang ada di kamarnya. Tangannya terhenti pada sebuah modul tentang reproduksi.
Kamila mencoba mengingat kembali kapan terakhir kali dia menstruasi. Sepasang netranya menatap lekat kalendar yang terletak di meja. Setelah kejadian itu, dia belum dapat tamu bulanan.
Menyadari sesuatu, Kamila menyentuh perutnya dan memukulnya sambil menangis.
Cherry yang kala itu tengah berada tak jauh dari kamar Kamila, sontak terkejut kala suara isakkan itu menyapa gendang telinga. Bergegas ia melangkah menuju kamar kakaknya. Kemudian memeluknya dengan hangat, mencoba menyalurkan energi positif. Berharap sang kakak tak larut dalam tangisnya terlalu lama.
Setelah dipastikan positif, Kamila makin mengurung diri di kamarnya. Cita-cita ingin membanggakan orang tuanya, hancur sudah. Kini, yang ada hanyalah rasa malu. Bahkan, untuk menyiram bunga pun sudah tidak sanggup.
***
Tiga bulan sudah berlalu. Faishal sedang di studio ketika pesan masuk, dari Cherika.
[Kak Faishal, Kak Mila positif hamil.]
Faishal langsung menghubungi Cherika.
[Cher, kenapa baru bilang sekarang?]
[Aku baru berani sekarang, karena Kak Mila tidak di rumah, dia sekarang tinggal di rumah tante. Tempatnya di daerah Bandung.]
Senyum terkembang di wajah Faishal. Dia merasa punya alasan untuk menemui Kamila. Dengan alamat yang diberikan Chery, dia meninggalkan studio.
***
Kamila menempati kamar atas. Dari dalam, ia bebas melihat pemandangan di sekitar rumah. Gugusan gunung biru yang menjadi favoritnya.
Tiada kerjaan lain selain membaca novel setiap harinya. Dia dilarang tantenya untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah.
Tempat ternyaman untuk membaca adalah di dekat jendela. Kamila membuka kacanya. Ketika kaca belum terbuka sempurna, ia mendengar suara mobil yang berhenti di bawah.
Kamila penasaran, dia menengok ke bawah. Sialnya, pandangan matanya berpapasan dengan orang yang baru saja keluar dari mobil. Ia langsung menutup gorden karena salah tingkah.
Tidak lama, tantenya mengetuk pintu. Kamila pura-pura tidur.
"Mil, ada yang cari kamu."
"Siapa?"
"Laki-laki. Orangnya ganteng, rapi lagi. Sepertinya dia lelaki yang baik."
"Bilang aja, aku lagi gak enak badan."
"Ih, gak boleh begitu. Dia sudah datang dari jauh."
"Hmmm--"
"Tante tunggu di bawah."
==========
Rasa enggan bertemu masih merajai egonya. Namun, tidak akan menyelesaikan masalah jika selalu menghindar. Lelaki itu pasti akan terus mencarinya.
'hmm, siapa yang memberi tau dia, kalau aku di sini? Pasti orang rumah.' Kamila membatin.
Dengan malas, Kamila menuju ke lemari cokelat di sudut kamar. Memilih secara asal gamis yang akan ia pakai. Lalu dia mengambil jilbab instan dari bahan wolfis yang ada di tumpukan atas.
***
Hampir satu jam Faishal menunggu di sofa ruang tamu. Dia memilih posisi menghadap tangga. Awalnya Tante Niken -tantenya Kamila- menemani, sekedar basa-basi. Kemudian ia sibuk di dapur.
Sambil menunggu Kamila, entah dia mau menemuinya atau tidak, Faishal membuka handphone-nya. Lama-kelamaan jenuh datang juga. Ia mengangkat pandangannya tepat ketika Kamila menuruni anak tangga.
Faishal memandang tanpa berkedip. Sungguh indah dimatanya, gadis bergamis ungu tua dengan paduan jilbab senada. Kemudian ia menundukkan pandangannya ketika Kamila melihatnya.
Hati Faishal bersorak, usahanya kali ini membuahkan hasil. Paling tidak, Kamila sudah mau menemuinya.
"Katakan segera, apa maumu?" cecar Kamila ketika sudah duduk di sofa sebelah kanan.
"Aku ingin menikahimu."
"Apa kau melamarku?
Hey, kita tidak saling kenal, Tuan."
"Aku sudah mencari tau semua tentang kamu. Lalu, Bagaimana kamu akan mengenalku, jika bertemu saja tak mau, Nona?"
"Kalau aku tetap tidak mau?"
"Anggap saja pernikahan ini karena anakku yang ada dalam kandunganmu."
"Siapa yang memberitahu tentang itu?" Kamila terhenyak dengan pernyataan Faishal.
"Ra-ha-si-a." Faishal malah bercanda.
Kamila geram, "Tahukah kamu, bahwa anak di luar pernikahan tidak menjadi anak bapak biologisnya?"
"Seperti itukah? Ok, nanti aku akan cari tau.
Paling tidak, pernikahan ini untuk menutup aib. Pikirkanlah orang tuamu juga."
Raut wajah Kamila berubah memerah, dia menahan amarahnya. Sebenarnya, disini siapa korbannya? Rasa mual yang tiba-tiba datang, membuat Kamila meninggalkan Faishal.
***
Kalau bukan karena Tante Niken yang cerewet, Kamila tidak mungkin mau di antar Faishal ke dokter kandungan. Selama ini, dia belum pernah periksa ke rumah sakit. Lagi pula, dia belum merasa seperti orang hamil.
Dalam Civic putih ini, Kamila memilih duduk di kursi belakang. Faishal lebih mirip supir pribadinya. Awalnya Tante Niken mau ikut, ketika akan berangkat, dapat orderan kue dadakan. Mau tidak mau, mereka hanya berdua.
Sepanjang perjalanan, Kamila hanya diam. Faishal jadi serba salah. Bertanya, tak di jawab. Akhirnya dia bernyanyi sendiri.
"Aku gak suka pemusik." Akhirnya Kamila buka suara.
"Ok, aku gak akan nyanyi di depan kamu." Janji Faishal.
Kemudian sepi kembali.
***
"Wah, sudah masuk Minggu ke-12. Alhamdulillah janinnya berkembang," jelas dokter perempuan itu setelah pemeriksaan USG.
"Makanan apa saja yang bagus untuk janin, dok?" tanya Faishal antusias.
"Makanan yang mengandung omega 3, baik untuk perkembangan otak."
"Terus, apa yang boleh dan tidak untuk ibunya?
"Maa syaa Alloh, istri anda beruntung sekali punya suami seperti ini, perhatian sekali."
Keduanya ingin mengelak, tapi tidak jadi. Sadar ini di tempat umum.
"Kehamilan bukan penyakit, Pak. Lakukan kegiatan seperti biasa, hanya jangan terlalu diforsir."
Kamila sebenarnya malu dengan Faishal yang banyak bertanya. Dia hanya diam menyimak. Selesai mendengarkan penjelasan dokter, kedua orang bukan suami istri itu kembali naik mobil dengan posisi semula, menuju rumah Tante Niken.
***
"Tunggu aku datang bersama keluargaku ke sini," pesan Faishal ketika sampai di depan rumah Tante Niken.
"Kita belum membicarakannya lagi, tentang syarat."
==========
"Tunggu aku datang bersama keluarga ke sini," pesan Faishal ketika sampai di depan rumah Tante Niken.
"Kita belum membicarakannya lagi, tentang syarat." Kamila mengingatkan.
"Maksudnya?" Faishal tidak jadi membuka pintu mobil.
"Aku ingin, pernikahan ini hanya sampai anak ini lahir."
"Apakah sah, pernikahan seperti itu?" tanya Faishal menatap Kamila dari spion tengah.
"Kita tidak menjalani pernikahan seperti orang lain, pernikahan ini hanya status."
***
Setelah mengantar Kamila pulang, Faishal kembali lagi ke Jakarta. Butuh waktu empat jam bila jalan lancar. Sepanjang perjalanan, Faishal bernyanyi untuk meluapkan rasa gembiranya.
Faishal tidak pulang ke rumah, melainkan ke kantor ayahnya. Gedung setinggi tiga puluh lantai. Baru kali ini, dia datang dengan keinginannya sendiri.
"Maa syaa Allah, jagoan papa berkunjung," sambut pak Arman.
"Ada yang mau Isal omongin."
"Udah sore, apa sebaiknya di rumah saja?"
"Cuma sebentar, di sini aja."
"Katakanlah."
"Isal sudah menemui Kamila."
"Usaha yang bagus."
"Isal mau menikahinya dan dia setuju."
"Semudah itu?"
"Tidak mudah juga. Itu Isal yang mendesak karena ada calon anak Isal."
"Lalu apa rencanamu?"
"Isal berusaha jadi ayah yang bertanggung jawab. Isal mau buka usaha sendiri. Untuk itu, butuh pinjaman modal."
***
Lantunan ayat suci Al-Quran terdengar merdu dari kamar Kamila. Selain membaca karya manusia sebagai terapi, dia juga membaca dan menghafal Al-Qur'an sebagai obat.
Ketika sedang mengulang hafalannya, benda hitam pipih di nakas bergetar. Sudah lama tidak ada panggilan masuk. Dengan penasaran, dia angkat telepon dari nomor tak dikenal.
["Persiapkan dirimu, Nona angkuh. Besok aku datang untuk melamarmu secara resmi."] kata seseorang di ujung telepon setelah mengucapkan salam.
["Ini sangat mendadak, Tuan pemaksa."] Tanpa disadari, mereka punya panggilan baru.
["Tenang saja, orang tuamu sudah kuberi tau. Mereka juga akan kesana besok."
***
Semua keluarga inti Kamila dan Faishal berkumpul. Bu Tari dan Cherika datang lebih awal diantar supir. Ayah Kamila telah lama tiada.
Pak Arman dan Bu Waty datang setelahnya, disusul Faishal dan Zain-adiknya- dengan mobil lain.
Tidak ada yang istimewa dari penampilan Kamila, dia memakai pakaian sehari-hari. Gamis biru dengan jilbab biru muda. Akan tetapi, bagi Faishal penampilan Kamila selalu menarik seluruh perhatiannya.
"Kedatangan kami kesini, tidak lain untuk melamar Nak Kamila untuk putra kami, Faishal." Pak Arman membuka percakapan. Faishal belum aman ketika belum ada jawaban dari Kamila.
"Kami serahkan jawabannya pada Kamila langsung. Bagaimana, Kak?" tanya Bu Tari.
Kamila hanya diam menunduk.
"Jawaban seorang gadis, bila ia diam berarti setuju," kata pak Arman yang sudah belajar agama.
Sepatah kata pun tak ada, berarti tak ada penyanggahan. Mereka menyimpulkan lanjut proses berikutnya.
***
Pernikahan berlangsung secara sederhana, hanya keluarga dekat saja yang diundang. Penghulu di datangkan ke rumah Tante Niken.
Kamila memakai gamis satin putih yang dikombinasikan dengan brokat senada, kiriman Faishal beberapa hari lalu. Dan Make-up tipis yang terkesan menyegarkan.
Sedangkan Faishal berpenampilan formal dengan tuxedo hitamnya. Siapapun yang melihatnya akan terpesona, kecuali Kamila tentunya.
Berdiri di sisi Faishal, Kamila terlihat sempurna. Kelamaan berdiri, Kamila merasa pening. Ia izin untuk istirahat.
"Sal, antar Kamila ke kamar!" perintah pak Arman.
==========
"Gak perlu, saya sendiri aja." Kamila melangkah dengan gontai menuju tangga. Baru saja langkah ke tiga, Kamila melihat kunang-kunang beterbangan di matanya, lalu gelap.
Ruangan seketika riuh, menyerukan nama Kamila. Faishal yang sedang bicara dengan ayahnya, refleks berlari ketika melihat Kamila hampir terjatuh. Tangan kokohnya menyangga bahu Kamila. Kemudian menggendongnya ke kamar atas.
Kamila mencium aroma minyak kayu putih, lalu samar ia melihat jam sudah menunjukkan pukul tiga. Padahal tadi ketika pamit, ia ingat jam sebelas.
"Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Nona angkuh," kata Faishal dengan mengembangkan senyumnya.
"Ngapain kamu di sini?"
"Hey, apa pingsan tadi telah membuatmu lupa, ane kan suamimu. Udah sah mah bebas," jawab Faishal dengan menaik-turunkan alisnya.
"Pokoknya kita gak akan melakukan apapun. Hubungan kita cuma sebatas status," tegas Kamila.
"Ok. Tapi sayang di kamar ini gak ada sofanya."
"Berarti nanti tidur di sofa luar," kata Kamila.
"Untungnya cuma satu malam aja di sini. Besok ane mau balik ke Jakarta lagi."
"Astaghfirullah, aku belum salat Zuhur." Kamila baru ingat ketika azan asar berkumandang.
"Di jamak aja. Ane mau solat di masjid," kata Faishal seraya keluar. Belum sampai pintu ia berbalik, "jangan lupa makan. Kasihan debaynya laper."
'Cuma itu alasannya?' batin Kamila. 'Lah, kenapa aku jadi gini.' Sambil menepuk-nepuk pipinya.
Kamila sebenarnya sudah paham tentang hukum pernikahan ketika hamil. Karena desakan Faishal dengan alasan menutup aib keluarga, ia menyetujuinya. Namun, dengan syarat tidak melakukan hubungan apa pun sampai anak ini lahir. Setelah itu, mereka sepakat untuk mengakhirinya.
***
Rumah Tante Niken masih ramai dengan keluarga besar. Karena beberapa keluarga rumahnya di luar kota, jadi mereka menginap malam ini.
Faishal yang hendak tidur di sofa, masuk lagi ke kamar.
"Di luar masih banyak sodara, ane tidur di lantai aja. Sini, bed cover-nya, buat alas."
"Awas, ya! Jangan ambil kesempatan." Kamila mengeluarkan bed cover motif bunga dari lemari.
"Tenang aja, ane lagi capek. Besok bangunin pagi-pagi, ada proyek penting."
Sesuai dengan perkataannya, Faishal ke Jakarta setelah salat subuh. Hari ini adalah awal pembangunan kafenya. Ia sengaja belum memberitahu Kamila. Nantinya jika sudah selesai, baru ia ajak Kamila ke sini.
***
Setelah kemarin ramai, hari ini terasa lengang. Tak ada suara-suara anak kecil yang berebut mainan. Mereka semua sudah pulang.
Ah, tiba-tiba Kamila ingat dengan wajah tengil Faishal. Kamila melihat Faishal sekarang ini bukanlah yang dulu menyerangnya. Apa secepat itu, dia berubah?
Benda pipih putih ditangannya bergetar. Notifikasi masuk, pesan dari mas Rafif.
[Assalamualaikum]
[Bagaimana kabarmu?]
[Maaf baru menyapa sekarang. Kemarin banyak tugas. Sebentar lagi ana pulang.]
Kamila membaca pesan itu. Bukannya senang, ia malah bingung karena belum menjelaskan statusnya saat ini.
***
Sudah dua bulan pernikahannya dengan Faishal. Biasanya Faishal datang ke Bandung sepekan sekali. Namun, sudah dua pekan ia tak datang.
Tangannya ingin sekali mengambil handphone untuk menanyakan kabarnya, tapi hati berkeras melarangnya.
Kamila merasakan perasaan yang belum pernah ia rasakan. Rasa ingin untuk bertemu, meski hanya melihatnya dari kamar ini. Apakah ini bawaan bayinya?
Telepon
Tidak
Telepon
Tidak
Kamila hampir melempar handphone-nya ketika tiba-tiba benda itu bergetar.
[ "Hey, Nona. Ane gak bisa ke sana. Hari ini ada kajian Syekh dari Arab."]
["Hmm"]
["Kenapa? Kangen ya? Sampaikan salam buat debay dari papahnya. Nanti malam pulang."]
Kalimat terakhir membuat Kamila semringah. Saking senangnya, dia menuruni tangga dengan berlari. Dia lupa akan kandungannya. Kakinya melompati dua anak tangga sekaligus. Hingga pada pertengahan tangga, kakinya terpeleset lalu jatuh terduduk.
"Astaghfirullah, Tante ... sakiiit!"
Bersambung #3
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Selasa, 07 September 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel