Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 08 September 2021

Kamila #3

Cerita Bersambung

Faishal langsung memesan tiket pesawat secara online setelah mendapat kabar dari Tante Niken. Sebenarnya perjalanan ke Bandung tidak terlalu jauh. Namun, karena panik ia tidak berani membawa mobil sendiri. Dia tidak sempat memberitahukan ayahnya juga.
Terbang selama empat puluh lima menit serasa satu bulan perjalanan. Faishal mengkhawatirkan janin yang di kandung Kamila, terlebih lagi kepada keselamatan Kamila.

Setelah sampai bandara Husein Sastranegara, Faishal langsung menuju rumah sakit.
Tante Niken menunggu di depan ruang UGD.
"Gimana kejadian, Tante?"

"Gak tau persisnya, Sal. Tadi Tante lagi bikin kue di dapur. Tiba-tiba denger teriakan Kamila."
Faishal menyugar rambut dengan kedua tangannya. Ia merasa menyesal tidak berada di sisi Kamila pada saat seperti ini.
"Tante tau, kamu orangnya baik. Semoga Kamila bisa membuka hatinya untukmu."
"Makasih, Tante."
***

Kamila menjalani kuretase, karena janin tidak bisa diselamatkan. Dia merasakan nyeri pada perut bagian bawah. Rasa mulas dan kram menyebabkan dia sulit bergerak.
Dia juga mulai bingung antara rasa senang dan sedih menjadi satu. Senang karena hilangnya beban mengandung dan sedih karena dia merasakan kehilangan.
Belum lagi nasib ia dan Faishal ke depannya. Perjanjian mereka hanya sampai bayi ini lahir. Dan sekarang, waktunya telah tiba.

Saat ini, Kamila di tempatkan dalam ruang perawatan. Faishal masuk ditemani Tante Niken.
"Mil, maaf--" Faishal belum mampu meneruskan perkataannya, karena menahan tangis.
"Kenapa kamu yang minta maaf, sedangkan yang salah itu, aku?"
"Karena ane gak jaga kalian." Faishal menyebut dirinya 'ane' kepada orang yang sudah akrab.
"Sudahlah, memang takdirnya seperti ini."
"Baik. Akan secepatnya ane urus pembatalan pernikahan."
Kamila merasa sesak mendengar apa yang dikatakan Faishal. Padahal hati mulai terbuka untuknya. Ah, memang dia sendiri yang meminta persyaratan itu.
"Ane akan mulai dari awal. Ane akan berjuang sebagai laki-laki baik. Bukankah perempuan yang baik hanya untuk lelaki yang baik?"
***

Setelah pulih kesehatannya, Kamila diajak pulang ke Jakarta oleh ibunya. Pembatalan pernikahan sedang diproses. Setelah selesai, maka status dia bukanlah janda.
Kamila bertekad melanjutkan kuliahnya yang tertunda. Dia merasa bebas saat ini. Dia bersyukur kepada Allah atas apa yang terjadi, baik dan buruknya.
Dia masuk ke kamar yang sudah lama di rindukan. Memeluk bantal dan mengusap sepreinya. Menghirup aroma yang tidak pernah berubah.
"Kak, ada tamu." Cherry masuk ke kamar.
"Siapa?"
"Itu, Mas Rafif."
"Apa? Kok dia sudah sampai sini?"
"Entah." Cherry mengangkat bahu.
Kamila belum siap bertemu dengan mas Rafif. Bukan tidak rindu tetapi hatinya bercabang saat ini.
Rafif adalah seorang yang pernah berjanji untuk membangun masa depan bersama. Akan tetapi tidak ada ikatan di antara mereka.
Bagaimana jika saat ini dia menagih janjinya? Apa reaksinya bila tahu apa yang telah terjadi?
Kepala Kamila dipenuhi spekulasi. Mau tidak mau, dia harus menemui mas Rafif.

==========

Kamila menemui mas Rafif dengan ditemani Cherry. Bukannya dia takut menghadapi sendiri, akan tetapi hanya ingin menjaga diri.
Mas Rafif mengenakan kemeja putih motif hitam dengan celana bomber sebatas mata kaki. Penampilannya tidak berubah sejak Kamila mengenalnya di pondok. Hanya sekarang terlihat lebih dewasa dengan jenggot tipisnya.
Kamila merasa canggung dengan orang yang selama ini dia tunggu kehadirannya. Entah mau dari mana memulai ceritanya.

Setelah berbasa-basi menanyakan kabar, Kamila menceritakan yang terjadi belakangan ini, dibantu Cherry ketika Kamila tidak sanggup mengungkapkan semuanya.
"Mila, ini semua bukan salahmu. Kamu tetap perempuan suci." Mas Rafif menenangkan, padahal dia sendiri kaget mendengarnya.
"Semua tidak lagi sama." Kamila menangis tersedu.
"Siapa yang telah membuatmu menderita, Kamila?" Mas Rafif mulai tersulut emosi mendengar Kamila menangis.
Belum sempat Kamila menjawabnya, terdengar ucapan salam dari luar. Cherry yang membukakan pintu pagar lalu mempersilakan masuk.
"Kak, ada Kak Faishal nih. Mau ngasih berkas, katanya."
"Siapa, dia, Mil?" tanya Mas Rafif.
Kamila diam tak menjawab. Mas Rafif pun mengerti, dia langsung bangun dari duduknya. Langsung menghampiri Faishal yang masih berdiri di depan pintu.
"Jadi kamu, orang yang telah membuat Kamila menderita?"
Bugh!
Pukulan mendarat di pipi kanan Faishal. Sedangkan dia diam tak melawan.
"Kamu yang telah merusak dia yang kusayangi?!"
Bugh!
Sekali lagi pukulan di pipi kiri. Kali ini darah keluar dari bibir Faishal.
"Ya Alloh ... sudah. Hentikan!" teriak Bu Tari yang keluar dari kamar karena mendengar kegaduhan.
"Maaf, Bu. Orang seperti ini pantas diberi pelajaran," kata mas Rafif masih diselimuti emosi.
"Sudah, Nak Rafif. Nak Faishal juga sudah minta maaf dan berubah," jelas Bu Tari.
Cherry bergegas mengambil es batu lalu membungkusnya dengan sapu tangan untuk mengompres luka dan memar wajah Faishal.
"Mila, saya mencintai kamu apa adanya. Apa pun yang sudah terjadi tidak menyurutkan keinginan saya untuk meminang kamu," kata Mas Rafif ketika suasana mulai tenang.
"Kamu ingat janji ane, Mil. Ane akan berjuang, gak bakal mundur selama kamu belum memutuskan untuk pilih siapa." Faishal tidak mau kalah.
"Maaf, untuk saat ini saya belum berniat untuk menikah. Saya ingin menyelesaikan kuliah saya yang tertunda." Kamila masuk ke kamar, meninggalkan mereka yang masih diselimuti persaingan.
***

Kamila kembali ke kampus. Seolah semua tidak pernah terjadi. Dia mengejar semua SKS yang tertinggal.
Kepercayaan dirinya kembali ketika ia dapat bergaul dengan teman-temannya. Praktikum serta laporan membuatnya lupa dengan masa lalu yang buruk.
"Mil, ikut yuk ke GI! lagi banyak diskonan," ajak Herien.
"Di sana mah, tetep aja mahal."
"Menantu orang kaya masih aja perhitungan."
"Ih, siapa? Aku masih single."
"Yaudah, aku sama yang lain duluan, ya."
***

Ketika Kamila berjalan menuju halte depan kampus, sebuah mobil putih mepet ke arahnya, lalu berhenti.
"Hai, Nona Angkuh. Ayo ikut!" Pemiliknya keluar lalu membuka pintu penumpang depan.
"Aku tidak mau ikut, Tuan Pemaksa."
"Kamu harus ikut, lihat siapa yang ada di dalam mobil."
Kaca belakang diturunkan, Cherry dan adiknya Faishal cengengesan.
"Mau ke mana?"
"Udah, ikut aja. Sebelum ane masukin paksa ke dalam mobil."
"Dasar tukang maksa," gumam Kamila.

==========

Suasana di dalam mobil Faishal begitu mencekam. Kamila masih bungkam, Faishal fokus menyetir, sementara Cherry dan Zayn di belakang juga tidak punya bahan untuk dibahas.
Kamila mengeluarkan handphone yang bergetar dari tasnya. Kemudian membuka pesan yang masuk. Tanpa sadar ia senyum-senyum membacanya.
[Mencintai adalah kata kerja.
Dicintai adalah kata sifat.
Akan tetapi, cinta bukanlah kata benda.
Cinta itu kata hati.]
(Quote by Candra Malik)
[Besok ketemu, bisa? Ada yang mau dibicarakan.] Lanjutan pesannya.
[Insya Allah.] Balas Kamila.
Faishal yang kebetulan menengok ke sebelah kiri, merasa beruntung karena pertama kalinya ia melihat lesung pipi gadis angkuh di sebelahnya.
"Baca pesan dari siapa? lebar banget itu senyum," tanya Faishal penasaran.
Kamila kembali mode diam ketika tersadar.
"Biasanya Kak Mila itu senyumnya kalau dapat pesan dari mas Rafif. Soalnya jarang banget dia chat. Ya, kan, Kak?" Cherry memberikan bocoran.
"Cher, jangan ember, deh!" Kamila mengingatkan.
"Iya Kak, iya."
"Kamu kok bisa, ikut mereka?"
"Iya, tadi aku dijemput di rumah. Kata kak Faishal, aku harus ikut supaya Kak Mila mau ikut juga."
"Tapi ini, sudah mulai malam. Kamu gak takut?"
"Gak, kak. Kan aku udah sering ngobrol sama kak Faishal. Untungnya besok libur sekolah. Emangnya kita mau kemana, sih, Kak Zayn?"
"Gak tau, tuh Bang Isal," jawab Zayn yang tidak memalingkan wajahnya dari ponsel.
***

Sebenarnya, tempat yang dituju tidak terlalu jauh. Dikarenakan macet di beberapa persimpangan jalan, hampir satu jam mereka baru sampai.
Sebuah kafe dengan mengusung tema vintage. Dari luar terlihat dalamnya karena bermaterial kaca. Tanaman-tanaman hias ditempelkan di tembok bata. KAFA cafe, tulisan besar di depan bagian atas.
Faishal turun dari mobil, ingin membukakan pintu untuk Kamila. Namun, dia terlambat karena Kamila sudah membukanya sendiri. Faishal mempersilakan para wanita untuk jalan di depan.
Kamila melihat beberapa orang yang dikenalnya. Ada ayah dan ibu Faishal. Ada temen nge-bandnya juga.
"Selamat datang, menantu Papa," sambut Pak Arman.
Kamila hanya tersenyum kikuk.
"Ayo silakan duduk sini," ajak Bu Waty.
Kamila dan Cherry mencium tangan Bu Waty. Kemudian duduk pada tempat yang disediakan. Satu meja yang sama dengan mereka.
"Papanya Faishal kepengen banget punya anak perempuan. Dari dulu sudah berusaha dan berdoa, tapi sampai sekarang belum dikabulkan." Bu Waty bercerita.
"Kalau sekarang, Papa gak mau punya anak lagi, sudah tua. Tinggal tunggu menantu sama cucu aja," timpal Pak Arman.
Kamila makin tidak enak dengan pembicaraan ini. Pasalnya, pembatalan pernikahan antara ia dan Faishal telah diresmikan satu pekan yang lalu.
Terdengar suara seseorang melalui mikrofon yang menyelamatkan Kamila dari perbincangan canggung ini.
"Assalamualaikum, selamat malam hadirin semua. Sebenarnya kita di undang kesini, karena Abang gue yang gantengnya berfaedah akan meresmikan kafe ini." Kalimat pembuka Zayn membuat Kamila terkejut.
"Kita langsung panggil aja orangnya, Bang Faishal silakan naik pentas."
"Terima kasih buat temen-temen yang sudah hadir, keluarga yang telah memberikan support besar, terutama Papa sebagai penyumbang dana terbesar, dan untuk seseorang yang menjadi sebab berdirinya kafe ini. KAFA adalah singkatan nama dia dan saya. Semoga tidak hanya nama yang bisa disatukan."
Tepukan tangan riuh terdengar dari tiap sudut ruangan.
"Sebenarnya, beberapa bulan terakhir, saya sibuk dengan proyek ini. Sampai-sampai saya kehilangan seseorang yang belum pernah saya temui. Hingga saat ini, saya masih berusaha memperjuangkan seseorang. Di sini juga saya ingin meminta maaf kepadanya atas semua keburukan yang terjadi."
"Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu bisa berencana menikahi siapa, tapi tak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa."
(Quote by Sujiwo Tejo)
Kamila merasa pipinya memanas. Detakan jantungnya terasa lebih cepat dan perutnya terasa penuh.
"Ok, terima kasih, Abang Faishal. Semoga usahanya berhasil. Nyanyi satu lagu, ya, Bang!"
"Enggak lah, yang lain aja. Sekali lagi terima kasih buat semuanya. Selamat menikmati."
***

Sudah larut malam, akan tetapi mata Kamila masih saja segar. Dia belum pernah diperlakukan seistimewa ini sebelumnya.
Dia selalu terbayang wajah tuan pemaksa yang memaksa untuk mengingatnya. Eh, tapi entah mengapa terlihat manis malam ini.
Namun, sikapnya masih dia pertahanan. Ketika Faishal mengantarkan pulang. Dia dan Cherry langsung masuk tanpa basa-basi.
Dengan merapalkan doa-doa sebelum tidur, akhirnya terlelap juga di jam dua.
***

Siang ini, Mas Rafif ingin bertemu. Tempat yang aman adalah di rumah. Karena hari libur, Cherry bisa menemani.
"Mil, maafkan saya sudah bersikap kasar di sini beberapa waktu lalu."
Kekerasan adalah hal yang dihindari Mas Rafif. Akan tetapi, mendengarkan ada orang yang bertindak melampaui batas terhadap seseorang yang dijaganya, dia bertindak di luar kesadarannya.
"Iya, Mas. Saya mengerti."
"Sekalian mau pamit juga. Saya akan berangkat ke Mesir lagi."
"Oh."
"Iya. Saya mau melanjutkan beasiswa. Maukah ikut ke sana?"
"Maksudnya?"
"Kita menikah lalu hidup di sana."

Adakah yang kangen Tuan Pemaksa, eh Nona Angkuh?

==========

"Aku menginginkan kamu,
Dia juga menginginkan kamu,
Akan tetapi Alloh bertindak sesuai keinginan-Nya."
(Anonim)
---

Pernyataan Mas Rafif tadi sungguh membuat Kamila terkejut. Dia belum memutuskan untuk menerima atau menolaknya. Ia meminta waktu satu malam untuk istikharah.
Dulu, dia membayangkan betapa bahagianya jika Mas Rafif melamar. Namun, saat ini terasa gamang. Ada sesuatu yang menghalangi hatinya.
Kamila malah mengingat Faishal. Bagaimana tentang usahanya untuk berubah lebih baik.
Apa mungkin, Tuan Pemaksa telah menempati ruang lain di hatinya? Kamila cepat-cepat menolak pikiran itu.
***

Pagi-pagi sekali Mas Rafif menelepon Kamila.
["Bagaimana jawaban pertanyaan saya kemarin? Jika 'ya', maka orang tua saya akan datang."]
["Maaf, untuk saat ini Mila ingin fokus kuliah dulu."]
Beberapa detik terjeda.
["Baik, kalau seperti itu, saya juga tidak bisa mengikat kamu. Saya tidak bisa menjanjikan apa pun. Saya selalu menunggu, tetapi jika kamu menemukan seseorang yang baik agama dan akhlaknya, abaikan saya."]
Kamila merasa bersalah. Dia tidak mampu mengucapkan apa-apa.
***

Kamila menjalani kehidupan seperti biasa. Mas Rafif juga sudah pergi ke Mesir. Sejak dulu, antara mereka memang tidak ada ikatan. Kehidupan pun berjalan masing-masing.
Beberapa bulan ini, Faishal tidak mengganggunya. Terakhir bertemu ketika pembukaan kafe. Kamila merasa ada yang hilang.
"Kak, kok kak Faishal udah lama gak ada kabarnya?" tanya Cherry ketika mereka membersihkan taman kecil di depan rumah.
"Mana kakak tau."
"Dia gak pernah telpon, gitu?"
"Lah, emang Kakak siapanya?"
"Someone special, mungkin."
"Sok tau. Dasar anak kecil."
***

Mumpung hari libur, Kamila belajar mengendarai mobil yang diberikan ayah Faishal dulu. Ia dan Cherry mengendarainya menuju lapangan di dekat rumah. Untung saja, mobilnya matic, jadi tidak terlalu sulit.
Ketika sedang mengelilingi lapangan, sebuah mobil putih mengiringinya. Kacanya diturunkan, terlihat siapa yang di balik kemudi.
"Kalau cuma di lapangan, kapan bisanya?" ejek orang itu sambil membuka kacamata hitamnya.
"Wah, kembaran Jefry Nichol! Kemana aja?" tanya Cherry bersemangat.
Kamila pun menghentikan mobil yang dikendarainya. Faishal juga berhenti, lalu keluar dari mobilnya.
"Ayo ane ajarin di jalan raya."
"Siap!" kata Cherry langsung ambil posisi di belakang.
Ada rasa gembira dalam hati Kamila melihat dia baik-baik saja. Apalagi senyumnya itu, ups.
"Jangan sekarang Cher, Kakak belum siap." Bukan karena takut, akan tetapi hatinya yang belum siap jika berdekatan dengannya.
"Ayolah, nona angkuh!" Faishal masuk menggantikan posisi Cherry.
"Enggak mau, tuan pemaksa!"
"Stop! Kak Faishal gak boleh deket-deket, bukan mahram." Cherry mengingatkan.
"Sebenarnya, sekarang orang tua ane udah di rumah kalian."
"Hah? Mau ngapain?" Kamila tersentak.
"Mau menghalalkan kamu lah," jawab Faishal dengan santai.
"Kok, bisa begitu? Aku gak pernah tau apa-apa. Kamu selalu bertindak sesuka hati. Beberapa bulan hilang, lalu muncul tiba-tiba. Kamu anggap aku apa?" Kamila mengeluarkan uneg-uneg hatinya.
"Kalem, Nona. Beberapa bulan ini ane kejar setoran buat biaya pernikahan. Jadi beneran kangen, nih?"
"Siapa yang bilang?"
"Ngaku aja!"
"Enggak!"
"Iya."
"Enggak."
"Iya."
"Cut! Cut! Kita break." Cherry menengahi perdebatan yang tak penting itu, "aku udah kayak obat nyamuk di sini."
"Jadi?" tanya Faishal.
"Apa?"
"Ane sedikit-sedikit mulai belajar. Ane gak mau nambahin dosa pandangan, dosa hati juga. Makanya ane mau kita menikah."
"Kalau aku gak mau?"
"Jangan keras kepala, Nona!"
"Terima, terima, terima!" Cherry malah jadi kompor.
"Aku masih kuliah."
"Menikah bukan halangan."
Angin kencang di lapangan menghamburkan debu hingga masuk ke dalam mobil. Pembicaraan mereka terhenti.
"Ane serius. Ayo kita pulang, mereka udah nunggu lama."
Kebiasaan tuan pemaksa, tidak pernah memberi kesempatan Kamila untuk berpikir.
Kamila pindah duduk di belakang, karena Faishal yang menggantikannya menyetir. Mobil Faishal ditinggal di lapangan.

Sepanjang perjalanan ke rumah, Kamila merasa tidak percaya. Benarkah ia tadi dilamar? Lalu harus bagaimana? Dia sendiri masih bingung dengan hatinya.

Cinta itu tidak bisa ditebak. Seseorang yang kamu pikir tidak cocok untuk kamu cintai, malah sudah mengambil seluruh hatimu tanpa pernah kamu izinkan. (Sujiwo Tejo)

Bersambung #4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER