Cerita Bersambung
Kamila mondar-mandir di dalam kamar sambil menggigit jempolnya. Gaun panjang berwarna putih bersih, berbahan brokat di bagian atas dipadu dengan satin berlapis tule telah dikenakannya. Begitupun dengan make up yang telah diaplikasikan pada wajah ovalnya. Menyadarkan dirinya bahwa hari ini ia akan menikah untuk kedua kali dengan orang yang sama.
"Kakak, pengantin laki-laki sudah sampai," Cherry melebarkan pintu yang tidak tertutup.
"Cher!"
"Kenapa, Kakak tegang, ya?"
"Enggak, biasa aja. Kamu di sini aja." Kamila menarik tangan Cherry yang hendak keluar lagi.
"Ih, tangan Kak Mila dingin banget. Dulu kayaknya gak gini, deh."
"Sok tau. Dasar anak kecil."
"BTW Kak Faishal ganteng maksimal hari ini," bisik Cherry.
Bisikan itu membuat Kamila ingin segera keluar. Sejak acara lamaran dadakan satu bulan lalu, mereka tidak pernah bertemu lagi. Kata Faishal, untuk menghindari percekcokan.
Semua persiapan pernikahan ditanggung Faishal. Lewat chatting mereka diskusikan hal-hal yang perlu. Seperti model undangan dan mahar. Untuk gedung dan chattering, sudah di atur Pak Arman.
Suara ramai di luar rumah, terdengar sambutan dari kedua belah pihak.
"Mila, sebentar lagi akadnya di mulai." Bu Tari masuk ke kamar Kamila yang telah di hias nuansa putih.
Kamila mengangguk dalam duduknya.
"Kamila, ibu harap yang terbaik untuk kalian. Jadikan ini yang terakhir. Tunaikan hak dan kewajiban sebagai seorang istri. Ibu tau, ini berat untuk kamu." Kamila memeluk ibunya.
"Maafin Mila, Bu. Belum bisa membahagiakan ibu." Air mata yang ditahan sejak tadi akhirnya tumpah juga.
"Kebahagiaan kamu adalah kebahagiaan ibu juga. Udah, nanti bedaknya luntur." Bu Tari mengusap lembut air mata Kamila dengan tissu.
***
Kamila mendengarkan ijab-kabul dari dalam kamar dengan hati berdebar. Ia mendengar suara pamannya yang menjadi wali menggantikan sang ayah kemudian di susul suara Faishal sebagai jawabannya.
Setelah terdengar kata 'sah' dari para saksi, Kamila mengembuskan napas dengan berat. Statusnya sekarang menjadi seorang istri.
Faishal mengetuk pintu kamar Kamila.
"Hai, nona angkuh, mulai sekarang kamu sudah menjadi istri tuan pemaksa," Kata Faishal dengan senyum nakalnya.
Faishal mengulurkan tangan kepada Kamila untuk membawanya ke depan. Dengan ragu dan untuk pertama kalinya, Kamila menyambut uluran tangan Faishal tanpa paksaan.
Setelah menandatangani dokumen pernikahan, Faishal memakaikan cincin berbahan dasar platina bermata biru ke jari manis Kamila.
"Cium, cium, cium ...." Para undangan riuh.
Wajah Kamila memanas, rona pipinya semakin merah.
"Nanti malam aja, gaes," kata Faishal diiringi senyum lebarnya.
***
Resepsi pernikahan digelar pada setelah akad di sebuah hotel berbintang. Pak Arman mengundang semua koleganya. Pernikahan kali ini tidak seperti sebelumnya.
Wedding organizer begitu apik merencanakan semuanya. Mulai dari pelaminan dengan dekorasi kekinian. Mawar merah muda dipadukan dengan baby breath di sepanjang jalan menuju pelaminan. Meja-meja bulat tersusun rapi dengan kursi berlapis satin.
Pasangan pengantin terkesan anggun dengan nuansa putihnya. Tiara bunga di atas jilbab, menambah sempurna penampilan Kamila. Faishal yang tak hentinya tersenyum dan menyapa para undangan.
Teman-teman dekat Kamila datang semua. Herien, Nisa dan Airy mengenakan pakaian terbaik mereka.
"Barakallahu laka wa baroka alayka, wa jama'a bainakuma fii khayr." Doa Nisa untuk kedua mempelai.
"Mil, ini beneran si Faishal yang itu?" bisik Herien.
Kamila hanya tersenyum, mengerti apa yang dimaksud temannya.
"Masya Alloh, gak kuat liat senyumnya," kata Airy pelan.
"Woy, laki orang itu. Tundukkan pandangan," kata Nisa menimpali.
"Kalian lagi rapat apa?" tanya Faishal yang merasa terabaikan.
"Oh, sorry." Teman-teman Kamila tertawa cekikikan.
Gantian teman-teman Faishal yang memberikan selamat.
"Wah, usaha lo gak sia-sia, Bro," kata seorang temannya.
"Selamatan berbulan madu," ledek teman yang lain.
"Jangan pada ngiri lo, sana pada nikah," kata Faishal.
Tak lama setelah itu, Kamila melihat seorang wanita bergaun hitam berpotongan sabrina. Rambut sebahu yang dibiarkan terurai membingkai wajah cantiknya. Dia berjalan dengan anggun menuju pelaminan.
"Isal, gue gak nyangka elo nikah secepat ini," kata wanita itu setelah memberikan kata selamat pada Kamila.
Faishal menolak untuk cipika-cipiki, "Maaf, Vee."
"Ternyata elo beneran udah berubah, ya. Kek gak pernah kenal gue. Padahal dulu kan--"
"Stop, Vee, gak usah dibahas."
Kamila yang mendengar pembicaraan dua orang itu merasa risih. Belum lagi setelahnya masih ada beberapa wanita yang manja-manja dengan Faishal.
***
Resepsi selesai jam lima sore. Pengantin bermalam di salah satu kamar hotel ini. Kamila segera berganti pakaian karena tidak nyaman.
"Senyum dikit, dong!" kata Faishal menggoda Kamila.
"Capek." Kamila tidur-tiduran di kasur bertabur mawar.
"Mau di pijit kakinya?"
"Jangan!"
"Kirain. Kalau mau, ane panggilin tukang pijit."
"Hhh."
"Kenapa? ngarep ya."
"Apaan sih?"
"Kita sholat sunah dua rakaat, yuk!" Faishal mengingatkan.
Kamila tidak menyangka, Faishal sudah sejauh itu mengenal sunah.
Sebelum wudhu, Kamila minum jus jeruk yang di sediakan. Sisa setengah gelas, Faishal menghabiskan dari sisi gelas yang sama dengan Kamila.
***
Selesai salat, Faishal memegang ubun-ubun Kamila lalu berdoa seperti yang dicontohkan Nabi.
Tiba-tiba handphone Faishal di nakas bergetar. Ia lupa untuk me-nonaktifkannya. Dengan malas, Faishal mengambil dan melihatnya.
Viona calling
==========
Faishal mengambil HP-nya, lalu menekan tombol samping untuk mematikan daya.
"Siapa?" tanya Kamila.
"Bukan siapa-siapa."
"Oh."
"Cieee kepo." Faishal meledeknya.
"Enggak."
"Dasar nona angkuh, gengsinya juga selangit."
"Siapa?"
"Istrinya bang Isal."
"Enggak."
"Iya. Ngaku aja."
Bugh!
Bantal melayang, jatuh tepat di kepala Faishal. Dia yang masih berdiri, terhuyung ke belakang. Setelah dapat menyeimbangkan tubuhnya, dia ambil bantal itu, lalu membalas melemparkan ke arah Kamila yang berada di sisi ranjang.
Perang bantal pun terjadi. Tanpa sadar, keduanya saling tertawa lepas. Kebekuan mulai mencair. Faishal menyerah, begitu pun dengan Kamila.
Mereka menjatuhkan diri di tengah tempat tidur, dengan sisa tawa. Tanpa jarak, Kamila kembali terdiam, debaran jantungnya meningkat. Mata mereka sama-sama menatap atap putih.
"Mil."
"Hmm."
"Mulai sekarang, manggilnya 'abang' ya!"
"Kayak Abang tukang bakso, gitu?"
"Bukanlah, ini mah 'abang sayang'."
"Enggak mau, aneh."
"Harus mau."
"Dasar tuan pemaksa."
"Lah, kan bener. Abang udah TK, kamunya baru lahir."
"Iya, iya. Hmm, Abang." Dengan susah, Kamila berhasil menyebutnya, meski pelan.
"Ada yang ketinggalan. Abang apa?"
"Sayang."
"Yeah, akhirnya, kamu duluan yang bilang."
Tangan Kamila mencubit hidung Faishal.
"Wah, udah berani main fisik nih."
"Udah ah capek, aku mau tidur." Kamila pindah posisi, mengambil tempat paling pinggir.
"Yah, permainannya belum juga di mulai."
Debaran jantung Kamila makin menggila dan tangannya mulai dingin, takut sang suami memaksa untuk meminta haknya sekarang.
Dia dibayangi kejadian beberapa bulan lalu, saat pertemuan pertama dengan Faishal. Ia menutupinya dengan pura-pura tertidur. Semoga suaminya tidak marah dan ia bebas dari kutukan malaikat.
***
Setelah menikah, Kamila dan Faishal tinggal di apartemen studio milik Faishal yang beberapa bulan terakhir tidak dihuni. Warna abu mendominasi berpadu dengan hitam pada furniturnya.
Ruangan ini berukuran 30 meter persegi yang tidak ada sekat. Jadi, tempat tidur, dapur, dan kamar mandi ada dalam satu ruangan. Faishal bilang, tinggal di sini untuk sementara.
Selain ranjang king size, ada juga sofa merah yang menghadap ke TV 42 inch yang terpasang pada dinding.
Kamila bangun dari tidurnya ketika mendengar alarm HP. Sengaja disetel pukul tiga dini hari, agar bisa salat malam. Selesai wudhu, dia membangunkan Faishal.
Dia pandang wajah polos orang yang sudah dua bulan menjadi suaminya. Ia baru menyadari betapa mancung hidung Faishal. Ah, dia baru sadar kalau suaminya memang menawan.
"Bang, ayo bangun." Kamila mencubit hidung Faishal.
Faishal hanya menggeliat. Kamila berusaha dengan cara lain, menggelitik kakinya. Tetep tidak bangun juga. Dengan kesal, Kamila menuju wastafel untuk mengambil air dengan tangannya. Kemudian kembali lagi ke suaminya. Ia percikkan air dengan jarinya.
Faishal kaget, langsung membuka matanya. Kamila segera kabur dan Faishal berusaha mengejarnya.
"Ketangkap kamu, hhh." Faishal memeluk dari belakang lalu menggelitik pinggang Kamila.
"Ampun ... ampun, aku nyerah. Ayo segera solat sunah."
"Ibadah sunah yang lain aja dulu, ya?"
Kamila diam, lalu mengangguk. Untuk pertama kalinya bagi mereka setelah dihalalkannya.
***
Sebagai owner, Faishal juga mengelola kafenya sendiri di bantu beberapa karyawan. Jadi, setiap hari dia mesti ke kantor, sebuah ruangan kecil di sudut kafe. Faishal ingin memastikan semua berjalan lancar.
Sebagai perencana, Faishal juga melihat peluang usahanya dikembangkan di luar kota. Semangat bekerjanya bertambah sejak menikah, karena ia ingin memberikan kejutan untuk istrinya.
Ketika Faishal berjalan menuju coffe bar, dia melihat sosok yang dikenalnya sedang menunggu pesanannya. Ia ingin menghindarinya, tetapi tak sempat.
"Hai, Sal! Kebetulan banget kita ketemu di sini."
"Latte macchiato, silahkan." Barista memberikan pesanannya.
"Kamu susah banget dihubungi. Sombong ya sekarang, mentang-mentang udah nikah."
"Bukan gitu Vee, ane gak mau nambah dosa lagi dan sekarang ada hati yang perlu dijaga."
"Kamu inget ga, yang malem pernikahan waktu itu aku telepon?"
"Oh, iya. Kenapa telepon malem-malem?"
"Aku hampir bunuh diri."
Mereka asik bercerita, Vee sesekali memegang lengan Faishal, tanpa sadar ada sepasang mata bening yang melihatnya.
***
Kamila tidak jadi masuk kafe, ia langsung menghentikan taksi yang lewat. Rumah ibunya yang menjadi tujuan. Tadi pagi, suaminya bilang mau menjemput dari kampus langsung ke rumahnya.
Di dalam taksi, Kamila menatap kosong jalanan. Pikirannya tertuju pada suaminya yang sedang asik mengobrol dengan wanita yang manja.
'Mengapa sesakit ini?' tanya hatinya. Di saat ia telah menjatuhkan cintanya, mengapa Faishal malah mendua. Kamila menarik napas dalam-dalam untuk menghilangkan sesaknya dan sebisa mungkin menahan air mata yang hendak jatuh.
Tiba di rumah, Bu Tari dan Cherry menyambutnya.
"Kok sendiri, Kak? Mana Faishal? tanya Bu Tari.
"Masih sibuk di kafe, Bu."
"Ibu kangen sama dia."
"Sama anaknya sendiri gak kangen, Bu?"
"Maksud ibu, sama kalian berdua. Mudah-mudahan nanti dia jemput kamu."
"Entahlah."
"Kok gitu? Kamu udah izin, kan kalau mau ke sini?"
"Iya, tadi pagi udah bilang. Kalau sekarang belum bilang lagi, soalnya gak bisa di hubungi."
"Oh, gitu. Ibu kirain kalian sedang ada masalah."
Kamila tidak bercerita tentang apa yang di lihatnya. Dia juga belum mencari tau tentang yang sebenarnya.
***
Faishal melihat jam di tangannya. Terkejut ia karena telat jemput istrinya. Dia mengambil ponsel di saku celananya. Mati. Pantas saja tidak ada getaran.
"Maaf, Vee. Ane tinggal dulu." Faishal ke ruang kantor, men-charge ponselnya.
Faishal menekan tombol samping untuk menghidupkan HP. Dia lihat sepuluh kali panggilan masuk dari istrinya. Dia telpon balik. Menunggu tetapi tak ada jawaban.
Faishal mondar-mandir di ruangannya. Bolak-balik telepon tidak diangkat. Dia takut terjadi sesuatu yang buruk pada istrinya.
Dia coba hubungi Cherry, adik iparnya. Faishal bersyukur istrinya sudah di sana. Ia bergegas untuk menyusulnya.
***
Kamila mendengar suara mobil berhenti di depan rumah ibunya. Sudah jam delapan malam, lama sekali mereka bercengkrama rupanya. Kamila memilih untuk pura-pura tidur di kamarnya.
Pintu kamar diketuk. Karena tidak ada jawaban, Faishal membukanya sendiri.
"Yah, udah tidur. Padahal mau di ajak makan di luar." Faishal ikut tiduran dan sengaja berkata begitu karena dia tau kebiasaan istrinya yang pura-pura tidur padahal sedang lapar.
Kamila membuka mata. Dia melihat senyum Faishal, seketika luluh hatinya. Ah, semudah itu kah?
"Enak, ya ... di kafe bisa ketemu cewek mana pun."
"Tadi kamu ke kafe? Kok gak masuk?"
"Gak mau lihat orang kasmaran."
"Siapa yang kasmaran? Kamu tadi lihat Viona?"
"Siapa dia?"
"Nanti Abang jelasin. Sekarang udah lapar berat. Yuk cari makan di luar."
Kamila bangun dengan malas, Faishal masih hutang penjelasan padanya. Dia mengambil salah satu jilbab instan dari lemarinya.
"Kamu kalau cemburu, lucu ya."
"Siapa yang cemburu, coba?"
"Tetep ya, gak mau ngaku."
"Emang enggak, kok."
"Iya, iya nyonya keras kepala."
Faishal mengulurkan tangannya, ketika Kamila menyambut tangan itu, tiba-tiba seperti kunang-kunang bertebaran di mata Kamila lalu menggelap.
==========
Kamila membuka matanya. Ruangan ini asing baginya. Ia lihat bagian atas telapak tangan kirinya, terpasang selang infus.
Tangan kanannya digenggam seseorang yang duduk tertidur di sisi ranjang. Siapa lagi kalau bukan suaminya. Kamila menggerakkan tangan dalam genggaman itu.
"Haus," katanya ketika Faishal terbangun.
Faishal langsung mengambil botol air kemasan, lalu menuangnya ke gelas.
"Alhamdulillah, kamu udah sadar," kata Faishal sambil membantu Kamila duduk lalu memberikan minumnya.
"Kok, aku bisa ada di sini?"
"Tadi kamu pingsan. Ditunggu di rumah, dua jam gak sadar juga. Ibu khawatir, dia suruh Abang bawa kamu ke rumah sakit."
"Oh, jadi cuma karena ibu yang nyuruh?"
"Soalnya berat gendong-gendong kamu."
Candaan Faishal menyinggung hati Kamila. Dia tidak dapat menahan air matanya. Namun, segera ia seka sebelum Faishal melihatnya.
Terlambat. Faishal lebih dahulu menyadari. Ia mendekat lalu memeluk kepala istrinya.
"Maaf, becanda," katanya sambil mengusap rambut sebahu Kamila.
Kamila masih membeku.
"Ternyata bener kata orang ya, perempuan hamil itu sensitif."
"Siapa yang hamil?" Kamila mendongak.
Faishal mencubit hidung Kamila.
"Aww. Kok dicubit?"
"Gemes."
"Udah malem, masih rame aja." Pak Arman dan Bu Waty datang membawa dua bungkus nasi goreng yang dibelinya di depan rumah sakit.
"Kamilanya, Pah, ngambek terus dari sore tadi."
"Kamunya harus peka, Sal. Harus lebih perhatian sama istri yang sedang hamil," kata Bu Waty.
"Istri yang mana?" tanya Kamila bingung.
"Ya cuma kamu satu-satunya istri Bang Isal." Pak Arman menimpali.
"Jadi, aku hamil lagi?"
"Iya, Nona. Kita akan punya baby. Papa akan jadi kakek."
Pak Arman dan Bu Waty pamit, karena sejak dikabarkan Kamila masuk rumah sakit, mereka langsung datang.
Kamila menunduk, menarik napas dalam. Dia belum siap untuk hamil saat ini.
"Abang bilang, gak akan buatku hamil dulu."
"Entahlah. Mungkin jagoanku ini pejuang tangguh, bisa lolos dia."
"Ish. Ini serius. Gimana kuliahku? bisa tertunda lagi kalau gini."
Kamila hanya memikirkan bagaimana kuliahnya dapat selesai dengan baik. Dia tidak memikirkan perasaan Faishal yang menyambut bahagia akan kabar ini.
Sikap Kamila membuat harga diri Faishal sebagai calon ayah terluka. Karena tidak ingin melampiaskan marahnya di depan Kamila, Faishal memilih untuk keluar.
***
Kamila seorang diri dalam ruang VVIP yang cukup luas ini. Ditinggal Faishal begitu saja membuat dia berfikir, kalau apa yang diucapkannya adalah salah. Air mata tak hentinya mengalir. Rasa sensitifnya semakin mendominasi.
Kamila melihat bungkusan nasi goreng. Seingatnya, dia dan Faishal belum makan malam. Kamila turun dari ranjang dan memakai jilbab instan berbahan jersey. Dengan membawa cairan infus di tangan kanannya, dia mencari Faishal.
Rumah sakit ini cukup luas, dan baru kali ini Kamila di rawat di sini. Di lantai tiga ini, ruang rawat inap saling berhadapan. Sepi, karena memang sudah tengah malam.
Kamila turun ke lantai dua. Di sini, terletak ruang rawat ibu dan anak. Di sebelahnya, ada playground (area bermain anak-anak). Di sanalah, dia melihat sosok suaminya duduk di kursi tunggu.
Kamila duduk di kursi sebelah kanan Faishal. Tangannya ingin memeluk, tetapi hatinya bilang jangan. Suaminya masih tak bergeming. Tidak ada senyum atau candaan.
"Maaf," ucap Kamila pelan, "bukan maksud aku--"
"Abang tau, sejak kita bertemu, kamu memang gak pernah menganggap ada. Sekuat apapun usaha Abang, gak pernah ada artinya," ucap Faishal dingin.
"Bu-bukan gitu maksudku. Tadi itu, aku cuma refleks aja. Bukannya aku gak senang kalau aku hamil. Aku hanya--"
"Apa lagi yang kamu risaukan? Soal kuliah, itu bisa kapan saja. Soal tanggung jawab, Abang kurang apa lagi?" Faishal masih menekan nada bicaranya.
"Tadi aku berfikir, gak enak sama ibu. Uang tabungan pendidikan, warisan dari ayah sudah banyak yang dikeluarkan."
"Masalah rezeki untuk pendidikan, masih bisa kita cari lagi. Tapi, rezeki yang ini jangan ditolak. Abang gak mau kehilangan untuk yang kedua kalinya." Faishal mengusap perut datar Kamila. Sikapnya mulai melunak.
Kamila mengangguk. Terharu dengan perkataan suaminya, ia menangis lagi.
"Kita akan melewati masa ini bersama. Maaf, jika dulu, Abang gak tau bagaimana kondisi hamil pertama. Itu juga karena kamunya--"
"Stop. Gak usah bahas masa lalu."
"Eh, tapi waktu dulu itu, ngidamnya pengen apa sih?"
"Enggak pengen apa-apa, kayaknya."
"Terus yang jatuh dulu itu, katanya si dede bayinya kangen sama ayahnya yak?" tanya Faishal mulai becanda lagi.
"Kata siapa? Aku gak pernah bilang begitu." Kamila memukul pelan dada suaminya.
"Iya, iya." Faishal memeluk Kamila dengan kedua tangannya, ia meletakkan kepala Kamila di dadanya.
"Aww!" Darah merembes, infus di tangan kiri Kamila bocor.
"Sorry." Faishal langsung menggendong Kamila menuju ruang inapnya lewat lift.
***
Kehamilan Kamila kali ini beda dengan sebelumnya. Setiap pagi, pusing dan mual menyerang. Bau nasi, mual. Apalagi bau bawang putih.
"Mil, makan ya! sedikit-sedikit aja yang penting keisi."
Kamila hanya menggeleng.
"Abang mau ke kafe. Kalau kamu kayak gini, Abang gak bisa pergi."
"Ya udah, aku ikut aja."
Sesampainya di kafe, Faishal sibuk dengan karyawannya. Sedangkan Kamila hanya duduk-duduk sambil lihat-lihat market place di ponselnya. Bulan puasa seperti ini, kafe buka menjelang berbuka.
Seorang wanita dan anak kecil datang menghampiri Kamila.
"Hai."
"Owh, Vee, kan?"
"Kok kamu tau? Isal udah cerita, ya?"
"Cerita apa?"
"Sebenarnya, aku sama dia--"
"Hai, Danisha!" Faishal datang menyapa anak kecil yang bersama Vee.
"Papa!" panggil Danisha.
==========
Danisha, nama anak perempuan berusia sekitar tiga tahun. Pipi tembamnya membuat siapa pun ingin mencubit. Sontak Kamila bertanya ketika anak itu, memanggil papa kepada suaminya.
"Danisha anak Abang," jawab Faishal.
"Apa?!" Kamila tidak dapat menyembunyikan rasa kagetnya.
Sebagai seorang istri, dia memang belum mengetahui masa lalu suaminya. Salahnya, dia tidak mencari tau. Ah, itu karena dahulu ia memang tidak ingin tau.
Untuk menyembunyikan air mata yang hendak jatuh, ia langsung keluar kafe. Tanpa menunggu penjelasan dari Faishal atau Vee. Berlari tanpa tujuan. Pantang baginya untuk menangis di hadapan orang lain. Hal itu hanya mempermalukan dirinya.
Sampai di ujung jalan, Kamila bingung hendak kemana. Jauh juga dia berlari. Ah, dia lupa kalau sedang mengandung. Dia memegang perutnya.
"Mila! Stop! Tadi Abang belum selesai bicaranya." Faishal berhasil mengejarnya. Ia hendak merangkul, akan tetapi ditepis istrinya.
"Tadi aku sudah dengar pengakuan Abang. Aku baru menyadari kebodohan diri sendiri. Lalu sekarang aku bisa apa?"
"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Ayo kita balik ke kafe. Nanti Abang jelasin di sana, kalau di sini banyak orang lalu-lalang."
"Aku belum siap dengernya. Apalagi--"
Belum selesai bicara, Kamila pingsan.
***
Kamila kembali di rawat di ruang VVIP rumah sakit. Selain kondisi kehamilan yang membuat ia tidak bisa makan, juga keadaan psikologis yang membuat ia lemah.
"Kak, di makan dulu buburnya! nanti keburu dingin," bujuk Cherry, adiknya.
Kamila hanya menggeleng. Faishal yang melihatnya, menjadi geregetan. Dia ambil mangkuk bubur dari tangan Cherry.
"Ayo, buka mulutnya!"
"Mual."
"Ayo buka! Kamu dari kemarin gak makan." Faishal terus saja menyodorkan sendok ke mulut Kamila.
"Maksa."
"Harus."
Mau tak mau, Kamila membuka mulutnya. Sesuap demi sesuap, tentu dengan delikan mata Faishal, habis juga buburnya. Baru saja selesai makannya, Kamila buru-buru ke toilet, ia memuntahkan seluruh isi perutnya karena mual yang tidak bisa di cegah.
"Arghh, anakku gak makan dari kemarin!" Faishal berkata sambil meremas rambutnya.
Kamila berprasangka, perhatian Faishal karena anak yang di kandungnya saja.
"Terus, bagaimana anak yang besar?" Sindir Kamila.
"Anak yang mana?"
Kamila diam.
"Maksud kamu, Danisha? Dia itu anak asuh Abang. Bapaknya gak tanggung jawab. Jadi, Abang bantu biaya hidupnya."
"Kenapa harus Abang?"
"Karena Abang tau kondisi Vee. Dia gak ada keluarga lagi."
Penjelasan dari Faishal membuat Kamila lega. Prasangka buruk memang tidak boleh di biarkan, sebab hanya menyakiti diri sendiri. Memang benar kata orang, kehamilan membuat perasaan lebih sensitif.
***
Selama bulan Ramadhan ini, Kamila tidak berpuasa. Kehamilan membuatnya lemah. Dia harus makan sedikit demi sedikit tetapi sering.
Karena mabok parah, Kamila tidak bisa di tinggal sendiri di rumah. Hal ini juga yang menyebabkan Faishal membatalkan niatnya untuk itikaf di masjid besar.
Hari ini, terakhir Ramadhan. fidyah akan dibayarkan dengan cara mengundang sekitar tiga puluh orang fakir miskin untuk berbuka di kafe milik Faishal. Tidak hanya itu, Faishal juga menyiapkan paket sembako untuk mereka.
"Ishal sekarang bener-bener berubah, ya? Beruntung banget kamu. Padahal waktu sama aku dulu, dia itu cuek banget," cerita Vee yang juga datang bersama Danisha.
"Maksudnya?"
"Emang dia gak cerita sama kamu, kalau aku ini mantannya?"
Kamila menggeleng. "Belum."
"Udahlah, itu cuma masa lalu."
"Owh, Ok."
Nyatanya, Kamila tidak baik-baik saja. Meski masa lalu, hal itu mengganggu hatinya. Mana ada perempuan yang senang jika suami dekat dengan mantannya. Apalagi sekarang Vee menjadi karyawan di kafe ini.
Sampai sejauh mana hubungan mereka dahulu juga menjadi tanda tanya baginya. Selama acara berlangsung, Kamila hanya menemani Danisha nonton film di YouTube. Sambil mengawasi interaksi suaminya dengan Vee.
***
Hari raya kali ini adalah yang pertama bagi mereka setelah menikah. Kunjungan pertama ke rumah orang tua Kamila. Baru sebentar di sana, Faishal segera mengajak ke rumah orang tuanya.
"Buru-buru banget, sih, Bang! Aku kan masih kangen ibu."
Faishal mulai bosan di rumah mertuanya.
"Sudah, turuti suamimu. Pastinya kalian juga sudah di tunggu di sana," kata Bu Tari menengahi.
Sepanjang perjalanan lengang karena sebagian penghuni ibu kota mudik ke kampung halaman. Sepanjang itu pula Kamila diam. Faishal yang baru menyadari sikap istrinya sekarang, menghentikan mobilnya di sisi kiri jalan.
"Kamu kenapa?"
"Gak apa-apa." Kamila menatap jalanan yang kosong.
"Mila, kalau ngomong, liat Abang."
"Udah aku bilang, aku gak apa-apa."
"Gini, nih, kalau perempuan bilang gak ada apa-apa, pasti ada apa-apa."
Kamila masih membisu. Jika dia bilang tidak suka ada Vee di dekat suaminya, maka Faishal akan besar kepala.
"Oke. Baiklah istriku yang sempurna seperti namanya. Ibu dari anak-anakku, Abang minta maaf kalau ada salah yang gak disadari." Faishal mencoba membujuknya.
"Abang gak salah apa-apa."
"Terus?"
"Katakan siapa Vee sebenarnya?"
"Oh, jadi si Vee biang keroknya. Bilang apa dia sama kamu semalam?"
"Dia gak bilang apa-apa, makanya aku tanya Abang sekarang."
"Kamu cemburu sama dia?"
"Jawab pertanyaanku!"
"Ok. Vee itu dulu orang yang pernah deket sama Abang."
"Bilang aja mantan, yakan?"
"Abang tuh dulu jalan sama cewek, tapi gak pake hati. Beneran."
"Alah, pasti banyak deh nanti yang ngaku mantan."
"Itu udah resiko jadi istri Abang ganteng. Kamu harus mempersiapkan diri," kata Faishal sambil menaik-turunkan alisnya.
"Ish. Mulai deh."
"Udah ya, senyum sekarang! Kalau gak, Abang--"
"Apaan sih?" Kamila mendorong Faishal yang mulai mendekat. Pipinya mulai memerah karena menahan senyumnya.
Perjalanan dilanjutkan kembali tanpa ada ganjalan di hati mereka.
Bersambung #5
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Kamis, 09 September 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel