Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 10 September 2021

Kamila #5

Cerita Bersambung

Usia kehamilan Kamila memasuki pekan ke tiga puluh dua. Makin hari semakin manja, inginnya selalu diperhatikan.
"Laper," kata Kamila tengah malam.
"Makan aja," jawab Faishal sekenanya tanpa membuka mata.
"Tapi males."
"Yaudah, tidur lagi."
Sebenarnya bukan itu yang diinginkan Kamila. Dia ingin Faishal bangun, paling tidak, membuat cokelat hangat untuknya. Ah, ternyata suaminya kurang peka. Kamila mencoba untuk tidur dan melupakan keinginannya. Semakin ia memaksa untuk tidur, semakin tidak bisa tidur.
Kamila bangun, ia ambil ponselnya. Setelah semua pesan dibaca, ia beralih ke ponsel suaminya. Iseng-iseng ia baca semua chat yang masuk. Ia buka chat room suaminya dengan Viona. Semua masih dalam batas normal, kecuali ada beberapa pesan yang menurutnya aneh. Kamila semakin tidak bisa tidur.

Sebagai mantan vokalis band, tentu saja kehidupan suaminya tidak jauh dari pergaulan bebas dan obat-obatan terlarang. Kalau yang kedua ini dipastikan bersih sedangkan untuk yang pertama, sepertinya dia sudah tobat.
***

Pagi hari, kepala Kamila terasa berat. Setelah salat subuh, ia tidur kembali. Mengabaikan rasa penasarannya. Jam delapan, baru ia terbangun.
Kamila melihat Faishal sedang membuat sesuatu di dapur. Ia ingin menghampiri suaminya lalu memeluk dari belakang, ah tapi egonya berkata jangan.
"Hay Nona, mau cokelat hangat?" tawar Faishal ketika melihat Kamila berjalan ke kamar mandi.
Kamila mengangguk.
"Kok, belum berangkat?" tanya Kamila setelah mencuci muka.
"Kamunya belum bangun."
"Yaudah, aku ikut."
"Gak usah, di rumah aja."
"Oh, jadi sekarang aku gak boleh tau keadaan kafe?"
"Bukan gitu, kalau di rumah kan bebas. Di kafe, mau tiduran aja susah."
Kamila diam.
"Ada apa lagi?"
"Gak ada apa-apa."
Faishal mengambil gitar di sudut ruangan, lalu memetik senarnya.
Kau begitu sempurna
Di mataku, kau begitu indah
"Stop. Pagi-pagi udah gombal."
"Dari pada manyun. Tau gak, kalau dulu, yang pas itu yang ini,"
Aku bisa membuatmu
Jatuh cinta kepadaku
Meski kau tak cinta
Kamila tersenyum.
"Nah, gitu kan cantik."
"Ini kenapa gitarnya masih ada di sini, sih?"
"Ini titipan."
"Udah, gak usah dimainin lagi."
"Siap," kata Faishal sambil memberi hormat.
"Gimana kabar Vee sama anaknya?"
"Mereka baik-baik aja. Emang kenapa?"
"Gak ada apa-apa."
"Yakin? Udah gak cemburu lagi?
"Ish!" Kamila melempar bantal kecil ke arah Faishal, tetapi berhasil ditangkis.
***

Faishal masih sibuk dengan pekerjaannya. Akhir pekan ini, ia harus ke luar kota karena akan meresmikan pembukaan KaFa cafe cabang Samarinda.
"Mil, nanti kalau Abang ke Samarinda, tinggal di rumah ibu dulu, ya," kata Faishal ketika pillow talk sebelum tidur.
"Aku gak boleh ikut, gitu?" Kamila mulai merajuk, pasalnya ia belum pernah di tinggal pergi setelah menikah.
"Perjalanan lumayan jauh. Kasihan dedenya."
"Ok. Jangan nakal disana, ya!"
"Yakali anak SD, nakal."
"Bisa aja, Abang ngelirik cewek lain di sana."
"Kalau mau begitu, dari dulu di sini juga bisa. Percayalah, setelah kenal nona angkuh, hati Abang udah gak bisa kemana-mana."
"Iyuh ...."
***

Kamila tipe orang yang kalau benci dengan seseorang, ia akan sangat benci. Namun ketika ia sayang seseorang, ia akan sangat sayang. Begitulah rasa ia pada suaminya sejak pertama dahulu hingga kini.
Hari ini, Faishal berangkat ke Samarinda sendiri. Sebelum berangkat, ia mengantar Kamila ke rumah ibunya.
Bosan di rumah, Kamila pun ingin ke KaFa caffe. Dengan mengantongi izin dari suaminya, ia memesan taksi online.
Di kafe, Vee menyambutnya seperti sahabat lama. Dia membuatkan teh hijau untuk Kamila.
"Tumben ke sini, sepi ya di rumah?" tanya Vee dengan nada manjanya.
"Ada yang mau aku omongan sama kamu."
"Owh, tentang apa?" tanyanya dengan santai.
"Jangan ganggu rumah tangga kami. Ga usah kirim-kirim pesan rayuan Abang."
"Haha, jadi karena itu. Denger ya, jauh sebelum kenal kamu, Isal itu udah hidup bareng aku. Dan sekarang, aku mau Isal balik lagi ke aku." Vee bicara dengan percaya diri.
"Itu gak akan terjadi!"
"Terus, kenapa kamu labrak aku? Kamu takut 'kan Isal berpaling," ejeknya.
"Aku cuma mau mengingatkan saja, kalau kamu masih mau kerja di sini, maka kamu harus menjaga etika."
"Asal kamu tau, aku akan lakukan apapun untuk mendapatkannya kembali."
"Ok. Aku sudah tau siapa kamu sekarang. Aku mau pulang dulu."
"Silahkan diminum tehnya."
"Makasih, aku takut teh itu beracun."
Vee kesal dengan perkataan Kamila. Ketika Kamila melangkah, ia hadang dengan kakinya sehingga Kamila kehilangan keseimbangan lalu terjatuh duduk.
"Aargh! Astaghfirullah." Kamila memegangi perut besarnya.

==========

Cairan bening membasahi bagian bawah gamisnya Kamila. Semua karyawan kafe kaget mendengar teriakan Kamila. Mereka segera menghampiri dan mengambil tindakan. Salah satu dari lima karyawan yang ada bergegas mengeluarkan mobil inventaris kafe.
Kamila dibopong oleh tiga orang karyawan laki-laki. Tak henti-hentinya ia merapalkan zikir sambil meringis menahan sakit.
Vee menghubungi Faishal, ingin mengabarkan keadaan Kamila. Namun, beberapa kali dihubungi, belum juga bisa tersambung. Kemudian Vee menulis pesan.
[Sal, gawat.]
[Kamila jatuh di kafe.]
[Kepeleset.]

Lalu menghubungi ibunya Kamila dan keluarga Faishal dengan pesan yang sama.
"Kak Vee, ayo ikut," ajak salah seorang dari mereka.
Vee yang dianggap paling dekat dengan Kamila dan keluarga Faishal, dia ikut mendampingi Kamila ke rumah sakit. Tanpa rasa bersalah, Vee duduk di sebelah Kamila. Kamila hanya memejamkan matanya. Ia tak lagi memikirkan Vee, yang terpenting janinnya selamat.
Kafe belum buka karena masih pagi, jadi tidak ada pengunjung yang mengetahui kejadian yang sebenarnya. Begitu pun dengan para karyawan yang sibuk bersih-bersih.
***

Sesampainya di rumah sakit, Kamila disambut brankar. Kemudian ia dibawa ke ruang IGD. Dia menangis, ingat akan ibunya. Seperti inikah rasanya ibu ketika akan melahirkan?
Ini kali kedua Kamila jatuh ketika hamil. Dahulu janinnya tidak bisa di selamatkan karena kondisinya yang lemah. Ia khawatir Faishal akan marah kali ini jika terjadi apa-apa dengan janinnya, karena ia tidak dapat menjaganya dengan baik. Kamila merasakan keram, kencang pada perutnya dan mulas hebat.
Setelah keluarga Kamila dan keluarga Faishal datang, dokter mengambil tindakan operasi caesar. Hal itu karena air ketuban hampir habis sementara pembukaan belum sempurna.
***

Sementara di belahan Indonesia lainnya, Faishal cemas bukan main setelah membaca pesan dari Vee. Ia menghubungi papanya, ia setuju apapun yang dokter lakukan, asalkan itu yang terbaik untuk Kamila dan janinnya.
Faishal meremas rambutnya. Investor yang ditunggunya belum juga datang. Padahal ia ingin segera menuntaskan urusannya di sini. Ia ingin mendampingi apa pun yang terjadi pada Kamila. Ini adalah kali kedua istrinya kecelakaan tanpa ia disampingnya.
Faishal memutuskan untuk ke masjid terdekat. Di sini masih pukul 10.05 WITA. Ia akan melaksanakan salat duha.
Dalam sujudnya yang panjang, ia berdoa agar istri dan anaknya selamat. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk sekarang ini kecuali berdoa, karena ia yakin hanya Allah yang mampu menyelamatkan keduanya.
***

Setelah menyelesaikan urusan dengan investor dan survey lokasi, Faishal langsung kembali ke Jakarta. Perjalanan udara dan darat ditambah lagi kemacetan, membuat ia sampai di rumah sakit ketika malam.
Namun sejak siang tadi, hatinya bungah setelah mendapat kiriman foto bayi di dalam inkubator. Ia bersyukur, anaknya selamat meski dalam perawatan intensif.
Kamila sudah berada di ruang perawatan. Ia ditemani oleh ibu dan adiknya, serta papa dan mama Faishal.
"Pah, Isal udah jadi bapak!" katanya terharu memandang bayi kecil di ruang NICU dengan bobot 2,0kg.
"Iya, Alhamdulillah, Sal. Tadi semua khawatir terjadi apa-apa sama mereka." Pak Arman menepuk pundak Faishal.
"Apalagi Isal, udah gak karuan di sana."
Obrolan terus berlangsung hingga keduanya sampai di ruang perawatan Kamila.
Kamila haru memandang bapak beranak itu. Akan tetapi ia juga merasa terabaikan. Faishal belum menyapanya. Oh, apakah ia telah terlupa, di sini ada istri yang baru saja mempertaruhkan nyawanya.
"Sal, jangan lupa, ibunya bayi disapa dulu!" Bu Waty mengingatkan.
"Ayo kita cari makan di luar dulu." Ajak pak Arman kepada semua yang ada di ruangan, kecuali Kamila dan Faishal.
"Hay, Nona. Bagaimana kabarmu?" sapa Faishal mengambil tempat duduk di sisi ranjang.
"Alhamdulillah, Allah masih memberikan kesempatan untuk bernafas."
"Terima kasih. Terima kasih karena telah melahirkan bayi yang cantik buat Abang."
"Tapi Abang curang!"
"Maksudnya?"
"Masa alis, hidung, bibir, semuanya mirip Abang."
"Kan, ketahuan sekarang!"
"Ketahuan apanya?"
"Kalau kamu sering mikirin Abang." Faishal tertawa renyah.
"Garing tau, gak!"
"Siapa namanya?"
"Gimana kalau Tsurayya, artinya kumpulan bintang. Semoga nantinya ia seperti bintang yang dapat menyinari dalam gelap atau sebagai penunjuk jalan kebaikan.
"Bagus itu, terus tambahin singkatan nama kita. Faka atau Kafa seperti nama kafe kita?"
Setelah berdiskusi panjang, akhirnya tersusun nama Tsurayya Kafa Abdullah. Nama akhir diambil dari nama keluarga Faishal Abdullah.
***

Vee tidak terlihat sejak keluarga Kamila datang di rumah sakit. Kamila pun tidak peduli, yang terpenting ia dan bayinya selamat.
Kamila tidak bilang pada Faishal tentang kejadian yang sebenarnya. Ia males banget kalau ditanya bagaimana asal mulanya ia dan Vee ribut. Faishal bisa makin besar kepala nantinya.
Faishal juga akan melakukan apapun jika orang-orang yang disayanginya terluka. Vee bisa hancur. Kamila kasihan pada Danisha.
Pada hari ketiga, Vee datang dengan Danisha. Kamila dengan kursi rodanya, mendampingi mereka ke ruang NICU.
"Lihat, ini adik Danisha. Cantik banget, mirip papa Isal." Vee memberi tahu anaknya.
"Maaf ya, tapi kakaknya Raya sudah meninggal." Kamila mengingatkan.
"Ups, sorry."
"Kenapa kamu kesini, gak takut kalau aku bilang yang sebenarnya?"
"Gak lah, Faishal kan percaya sama aku."
***

Raya tumbuh menjadi bayi yang sehat, meski dilahirkan prematur. Kamila dan Faishal berusaha merawat anaknya bersama tanpa bantuan pengasuh.
Kamila berprasangka baik pada suaminya. Ia percaya suaminya tidak akan tergoda oleh Vee. Dengan begitu, perasaannya menjadi tenang. ASI pun lancar.
"Bang, aku mau lanjutin kuliah lagi ya. Cukup menunda satu tahun aja. Kalau gak dari sekarang, bisa-bisa karatan ini."
"Yakin? Kuliah kamu itu seharian lho, full satu pekan."
"Aku udah bilang ke ibu, nanti dia bersedia bantu jaga Raya. Untuk ASI-nya nanti aku pumping."
Faishal diam tak memberi tanggapan. Kamila tahu, bila seperti ini berarti suaminya keberatan.
"Bukankah dulu Abang yang bilang, kalau aku boleh lanjut kuliah lagi. Apa Abang lupa?"
"Bukan begitu. Kasihan Raya. Dia bakal jarang ketemu ibunya."
"Aku berusaha untuk atur waktu sebaik mungkin."
Malam semakin dingin, namun perbincangan semakin panas. Kamila pun mengeluarkan jurus rahasia untuk membujuk suaminya. Akankah ia mendapat izin?

==========

Kamila mendapatkan izin untuk melanjutkan kuliahnya di fakultas kedokteran. Sekarang ia tengah memasuki semester ke empat.
Penampilan Kamila setelah melahirkan tidak berbeda dengan sebelumnya. Hanya membesar di bagian dada saja. Itu pun tertutupi dengan jilbab panjangnya.
"Pulang nanti Abang jemput, sekalian ambil Raya juga," kata Faishal sambil fokus menyetir.
"Ok. Kalau boleh dibawa, udah aku ajak kuliah itu si embul." Kamila mengingat pipi anaknya yang berisi.
"Makanya cepetan lulus."
"Tau, gak, yang bikin aku gak lulus-lulus itu, siapa?" Kamila membetulkan jilbabnya.
"Iye, iye. Nyerah dah kalo soal itu."
Faishal jengah melihat Kamila yang masih membetulkan jilbab segi empatnya. Biasanya Kamila hanya pakai jilbab instan. Baru semenjak kuliah, Faishal melihat Kamila tampil lebih rapi. Hal itu yang membuatnya makin hari makin jatuh cinta pada sang istri.
"Udah, udah dandannya. Telat nanti, hampir jam delapan ini." Mobil pun parkir di depan kampus.
"Ish, aku gak dandan lagi. Ini cuma betulin yang miring."
"Awas, jangan lirik kanan-kiri, inget anak."
"Kayaknya yang ini, aku gak bisa deh. Soalnya bukan cuma lirik, tapi melototin mayat."
"Wow, saingan berat tuh." Faishal berkelakar.
"Tapi bukan hari ini prakteknya. Cemburu boleh, curiga jangan."
Kamila pun keluar dari mobil setelah mencium tangan suaminya.
"Pumpingnya, hampir kelupaan." Kamila membuka pintu yang sebelumnya ia tutup.
"Nih. Sisain tapi." Faishal memberikan peralatan penyedot ASI beserta botolnya dari kursi belakang.
"Dasar, omes!"
"Sejak kapan Abang ganti nama?"
"Udah sana!" Kamila pun menutup pintu mobil putih itu.
***

Raya dititipkan pada Bu Tari, ibunya Kamila. Bayi itu diantar pagi-pagi sekali. Sebelum mengantar ke kampus, Faishal mampir ke tempat mertuanya dulu. Bersama Kamila yang membuai Raya tentunya.
Kesibukan di pagi hari menjadi rutinitas baru. Mereka sedang beradaptasi, menyesuaikan waktu. Kadang, sarapan pun tidak sempat. Seperti hari ini, Faishal sarapan di kafenya.
"Sibuk banget sekarang, ya, Sal?" tanya Vee.
"Cuma pagi aja."
"Kamila gimana, sih, punya bayi tapi tetep nekat kuliah."
"Dia emang keras kepala kalau udah kemauannya."
"Raya bawa ke sini aja, nanti bisa aku bantu jaga."
"Wah, boleh juga tuh."
Vee tersenyum.
***

Kamila bisa menyusui Raya secara langsung hanya di malam hari. Siang hari, ketika istirahat di kampus, dia pompa dengan alat lalu dikirim melalui ko-send ke alamat ibunya.
Sambil mendengarkan lantunan ayat suci dari laptop, Kamila meninabobokan anaknya. Ia ingin Raya tumbuh dalam naungan Al-Qur'an. Makanya, sedari kecil sudah sering diperdengarkan. Bahkan ketika masih dalam kandungan.
"Mil, gimana kalau Raya abang bawa ke kafe aja? Biar gak terlalu ribet paginya." Faishal membuka percakapan ketika Raya sudah masuk dalam box bayi.
"Siapa yang jagain kalau di sana?"
"Vee katanya mau."
"Sebenarnya ini saran Abang atau Vee? Aku gak mau anakku disentuh sama dia."
"Kamu kenapa sih, sensi banget sama Vee? Kan udah Abang sering bilang, Abang udah end sama dia."
"Abang enggak, tapi dia mungkin masih berharap."
"Tau dari mana?"
"Entah. Naluri wanita, mungkin."
"Masih ada sisa, kan?"
"Apanya?"
"Yang tadi."
Setelah menyadari maksud Faishal, Kamila melempar bantal ke arah suaminya.
"Dasar!"
***

Satu tahun sudah berlalu. Kamila masih sibuk dengan kuliahnya. Faishal pun sibuk dengan kafenya. Kadang Faishal harus ke luar kota juga untuk meninjau proyek cabang KAFA caffe. Jika sudah seperti itu, Bu Tari harus menginap di apartemen Faishal.
Kali ini, Faishal mengunjungi beberapa kota sekaligus. Jadi, perlu waktu beberapa hari untuk meninggalkan keluarga.
Akhir pekan, Kamila belanja stok kebutuhan sehari-hari sendiri. Biasanya, selalu bertiga. Karena Faishal belum pulang juga, terpaksa dia pesan taxi online.
"Kamila?" Tiba-tiba ada yang menyapa dari samping ketika Kamila memilih perlengkapan mandi bayi.
"Kak Rafif? Kok, bisa ada di sini?" tanya Kamila terkejut.
"Iya, kemarin baru sampai. Sekarang nganter ibu belanja."
Kamila segera memilih apa yang ia butuhkan. Ia merasa tidak nyaman dengan lelaki selain suaminya.
"Ini semua untuk siapa?" tanya Rafif bingung melihat Kamila belanja perlengkapan bayi.
"Buat anakku. Maaf Kak ...."
"Kamila!" Teriak seseorang yang suaranya ia rindukan.
"Abang?"

==========

"Abang, kapan sampe?" Kamila tersenyum menghampiri Faishal lalu mencium tangannya.
"Barusan. Kata ibu, kamu belanja. Jadi, langsung aja Abang susul ke sini."
"Kangen, ya?"
"Bukan, biar kamu gak keberatan bawa barang sebanyak itu." Faishal menunjuk troli yang ada di dekat Kak Rafif.
Kamila melihat Rafif yang masih berdiri di tempat semula, lalu pandangannya ia alihkan ke troli. Dia tau, Kak Rafif pasti bingung dengan pemandangan di depannya.
Kemudian Faishal berjalan lima meter ke arah Rafif. Kamila mendadak ketar-ketir dalam hatinya. Ia takut akan terjadi keributan.
"Apa kabar?" Faishal menjabat tangan Rafif.
"Alhamdulillah, baik." Rafif menyambut tangan Faishal.
Mereka seperti dua orang sahabat yang lama tidak bertemu saja.
"Maaf, waktu kami menikah, tidak sempat mengundang."
"Barakallahu fiik. Kapan menikahnya?"
"Hampir dua tahun. Kami sudah memiliki putri kecil yang lucu."
"Ana paham sekarang, Kamila menolak lamaran waktu itu karena di hatinya sudah ada orang lain."
Kamila merasa bersalah dengan perkataan Kak Rafif, di sini sepertinya dia sebagai penjahat. Akan tetapi, lidahnya keluar untuk mengucapkan kata maaf.
"Ah, sebaiknya kita cari tempat ngopi," ajak Faishal.
Kamila masih berdiri di tempat semula, mendengarkan pembicaraan dua orang lelaki yang membicarakan dirinya.
"Maaf, saya ditunggu ibu. Tadi bareng beliau ke sini."
"Ok. Lain waktu kita ngopi bareng."
"Insya Allah," jawab Kak Rafif kemudian berlalu pergi tanpa melihat Kamila lagi.
"Huft." Kamila mengembuskan napas lega. Dia bangga pada sikap suaminya yang sesantai itu.
"Kenapa? Takut terciduk ya?"
"Orang aku gak ngapa-ngapain."
"Cie, yang ketemu mantan." Faishal mulai meledek seperti biasanya.
"Ish, dasar aneh." Kamila pura-pura ngambek, ia meninggalkan trolinya.
"Mil, tunggu. Ini belanjaannya."
"Bayarin."
***

Kelap-kelip lampu mobil menghiasi jalan ibu kota. Akhir pekan lebih ramai dari malam biasanya.
Kamila melirik ke arah suaminya. Sepertinya, beberapa hari tidak bertemu saja, ketampanan Faishal bertambah beberapa persen.
Dengan kemeja warna navy dan celana krem sebatas mata kaki. Faishal menyetir dengan tenang. Kamila tau, suaminya itu tidak pernah mengumpat ketika keadaan macet parah di jalan. Seperti saat ini.
"Udah, ngeliatinnya biasa aja. Abang tau, kamu kangen, yakan?"
"Enggak, orang aku lagi liat mobil sebelah."
"Dasar, nona angkuh, gak pernah mau ngaku." Faishal mencubit hidung Kamila.
"Aww, ngakuin apaan sih?"
"Ngaku kalau terpesona sama orang di sebelah kanan kamu."
"Gak mungkin lah. Eh, keknya kita salah jalan ini." Kamila panik ketika menyadari jalan yang diambil Faishal bukan menuju apartemennya.
"Enggak, ini jalan yang benar, kok."
"Emang kita mau kemana?"
"Kita bulan madu. Abang udah pesen kamar."
"Wow." Kamila terkejut, "tapi Raya gimana? Aku yang gak enak sama ibu."
"Tenang aja, Abang sudah bilang sama ibu waktu mau jemput kamu. Dia gak keberatan kok."
"Iya, tapi akunya yang malu."
"Kenapa harus malu? Ibu juga tau, anaknya lagi kangen sama suaminya."
"Pulang nanti malam, ya?"
"Enggak, pokoknya besok."
"Dasar tukang maksa." Kamila cemberut.
***

Pagi di hari libur, jalan masih lengang. Kamila dan Faishal pulang ke apartemen dengan kardus-kardus belanjaan semalam. Sebenarnya mereka masih menikmati masa berdua, sejak punya bayi, jarang sekali waktu berkualitas bagi keduanya. Kalau saja Vee tidak telepon.
"Kok udah pulang?" tanya Bu Tari.
"Kangen Raya." Kamila menggendong dan menciumi anaknya yang belum mandi.
"Tadi Vee kasih kabar, katanya gak bisa masuk. Terus ada satu lagi karyawan yang cuti," jawab Faishal.
"Kenapa, Vee?" Bu Tari masih penasaran.
"Danisha sakit." Jawab Faishal, sedangkan Kamila masih kesal dengan Vee yang sering kali mengganggu kebahagiaannya.
Faishal menghampiri putri kecilnya yang sedang menyusu. Ia kelitiki perut Raya dengan kepalanya hingga bayi itu terkekeh-kekeh. Begitu saja seterusnya sampai si bayi kecapekan dan menangis.
***
Larut malam, Faishal belum juga pulang. Kamila mondar-mandir di depan pintu sambil menggendong Raya yang sedang menangis. Bolak-balik melihat ponselnya. Belum juga ada balasan dari suaminya.
Sejak magrib badan Raya panas sedangkan ibunya sudah pulang. Kamila jadi bingung harus berbuat apa lagi. P3K sudah dilakukan dan saran dari Bu Tari sudah dicoba semua, tetapi Raya tetap rewel.
Ponsel Kamila bergetar.
[ Bang, dimana? Cepetan pulang!]
[Nganter Danisha ke rumah sakit, ini lagi ngurusin administrasinya dulu.]
[Ini Raya juga panas badannya, rewel dari tadi.]
[Kamu 'kan calon dokter, tau kan harus ngapain?]
[Ya nggak gitu juga ... udahlah urus saja anak yang satu itu.]

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER